T1 312012709 BAB III

(1)

36

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian tentang hasil penelitian yang penulis peroleh disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn telah dibuat. Hasil penilitan ini dan anaslisis tersebut disusun mengacu pada konsep-konsep yang telah dituangkan pada BAB II. Data Bab III ini diperoleh dari beberapa sumber-sumber dari hasil wawancara dengan pasangan yang melakukan kawin lari dan dianalisis berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang berlaku di daerah setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang penulisan skripsi ini,

A.Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

a. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian

Secara umum, sesuai dengan hasil penelitian penulis, keadaan geografis lokasi penelitian (Desa Buru Kaghu), terdiri dari daerah pegunungan rendah yaitu ketinggiannya berada antara 0-200 meter diatas permukaan laut. Meskipun desa ini terdiri dari bukit-bukit, tapi diantara bukit-bukit tersebut terdapat lembah-lembah datar yang dapat dijadikanpersawahan. Seperti halnya dengan daerah-daearah lain didaerah Sumba Barat Daya, khususnya di Wewewa Selatan, daerah ini juga berada pada daerah iklim tropis dan dipengaruhi oleh dua musim yang saling bergantian. Kedua musim itu adalah musim penghujan dan musim kemarau. Pada bulan april sampai september bertiup angin timur yang bersifat kering. Angin kering


(2)

37

dikarenakan angin bertiup dari daratan Australia yang luas dan kering dan baru sedikit yang melalui lautsehingga upa air yang dibawanya tidak banyak. Pada bulan oktober sampai dengan bulan maret bertiup angin barat yang sifatnya basah. Angin basah ini dikarenakan angin ini berasal dari daratan Asia dan sudah banyak melalui laut sehingga uap air yang banyak sehingga turun hujan yang banyak pula.

b. Asal Usul Suku Wewewa

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memperkenalkan lebih awal tentang sejarah singkat tentang asal usul terbentuknya adat suku wewewa, karena penulis merasa hal ini sangat penting untuk suatu tinjauan dan analisis baik asal usul maupun sosial budaya.

Sejarah asal usul Suku Wewewa tidak terlepas dari sejarah asal usul orang Sumba. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Adat yang sekaligus Kepala Desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo,

mengatakan bahwa arti kata Wewewa itu sendiri adalah “mencari – cari”.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa orang yang masuk ke pulau Sumba ini, yang sekarang sudah menjadi orang Sumba, berasal dari Malaka (semenanjung Malaysia sekarang), dan India. Mereka masuk ke pulau Sumba melalaui Tanjung Sasar. Ia mengatakan bahwa berdasarkan cerita yang sudah diturunkan secara turun temurun bahwa dulu di Tanjung Sasar ada jembatan batu yang menghubungkan Sumba dengan Flores, dan Sumbawa1. Cerita turun temurun ini diperkuat oleh Umbu Pura Woha (2008 : 24) yang mengatakan bahwa pada waktu itu daratan pulau Sumba


(3)

38

masih bergandengan dengan daratan pulau Flores dan Sumbawa. Melalui jembatan inilah mereka masuk ke pulau Sumba.2

Suku Wewewa yang sekarang ini merupakan bagian integral dari gelombang migrasi ini yang masuk ke pulau Sumba. Dalam gelombang migrasi ini masing-masing kelompok tersebar untuk mencari tempat menetap. Salah satu dari gelombang migrasi ini dalam mencari tempat untuk menetap menemukan tempat untuk menetap di wilayah Wewewa sekarang ini. Itulah sebabnya mereka menamakan dirinya sebagai suku Wewewa.

Dari segi bahasa, desa Buru Kaghu termasuk dalam kelompok bahasa suku Wewewa. Namun dari segi adat istiadat desa Buru Kaghu dalam kesehariannya memiliki perbedaan, tetapi secara umum sama.3

c. Keadaan Sosial Budaya

Keadaan sosial budaya yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah tentang kepercayaan dan pendidikan.

1. Kepercayaan

Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang (Marapu). Kehidupan beragama di desa Buru Kaghu dapat dikatakan cukup rukun antar warga desa. Hal ini dapat terjadi karena adanya saling toleransi terutama di dalam menjalankan kewajiban agama dan kepercayaannya masing-masing.

Adapun mengenai keadaan penduduk menurut agama dan aliran kepercayaan yang dianut dapat dilihat pada tabel berikut:

2

Umbu Pura Woha, 2008. Sejarah, Musyawarah & Adat Istiadat Sumba Timur , Cipta Sarana Jaya, hal.24 3 Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.


(4)

39

Tabel 1

Keadaan Penduduk Menurut Agama dan Aliran Kepercayaan di Desa Buru Kaghu (tahun 2010)

No Agama / Aliran kepercayaan Jumlah Prosentase %

1 Kristen Protestan 9.975 50,93

2 Kristen Katholik 2.202 14,79

3 Islam 20 11,73

4 Hindu - -

5 Budha - -

6 Aliran Kepercayaan (Marapu) 5.835 22,49

Jumlah 18.032 100

Sumber data : Wawancara Kepala Desa Buru Kaghu

Dari sajian data diatas, maka dapat diketahui bahwa penganut/pemeluk agama yang dominan adalah Kristen Protestan, selanjutnya Katholik, dan Islam. Sedangkan Aliran kepercayaan (Marapu) adalah memiliki jumlah penganut nomor dua setelah agama Kristen Protestan. Dengan masih cukup banyaknya penganut aliran kepercayaan Marapu di desa Buru Kaghu maka sudah dapat dipastikan bahwa adat istiadat dan kebiasaan adat yang telah turun terumurun ada akan tetap dilakukan oleh masyarakat di desa Buru Kaghu, seperti kebiasaan kawin lari


(5)

40

(pakondona) yang merupakan bagian dari adat di desa Buru Kaghu.

2. Pendidikan

Pendidikan pada kenyataannya merupakan suatu kebutuhan masyarakat pada saat sekarang. Dikatakan demikian oleh karena denganpengembangan pendidikan yang lebih baik maka orang akan memahami, mengetahui, menemukan, dan menyelesaikan permasalahan hidupnya. Dengan pendidikan juga merupakan salah satu syarat bagi upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat sejalan dengan apa yang diharapkan bagi pelaksanaan pembangunan nasional.

Untuk lebih jelasnya mengenai keaaan saran dan prasarana pendidikan yang tersedia di desa Buru Kaghu dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2

Keadaan Penduduk menurut Pendidikan di Desa Buru Kaghu (tahun 2010)

No Jenis Sekolah Jumlah Jumlah Murid Jumlah Guru

1 TK - - -

2 SD 2 103 12

3 SMP 1 281 7


(6)

41

Jumlah 3 180 19

Sumber data: Wawancara Kepala Desa Buru Kaghu4

Dengan melihat data diatas masalah prasarana dan pemerataan pembangunan juga dirasakan di desa Buru Kaghu ini, khususnya dalam bidang pendidikan. Dimana hanya terdapat dua Sekolah Dasar di desa Buru Kaghu dan satu Sekolah Menengah Pertama, sedangkan untuk SMA/SMK belum ada sehingga banyak warga desa yang hanya merasakan bangku pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Petama saja, kalaupun ada warga desa yang ingin melanjutkan sekolah ke SMA/SMK maka mereka harus pergi ke kota kecamatan. Dengan masih banyaknya anak-anak di desa Buru Kaghu yang tidak bisa merasakan bangku sekolah, khususnya Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas secara tidak langsung berdampak pada kebiasaan melakukan kawin lari (pakondona). Apabila warga masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang layak maka dengan sendirinya warga masyarakat akan memiliki tingkat kehidupan yang lebih layak sehingga faktor ekonomi yang menjadi salah satu penyebab kawin lari (pakondona) bisa dihindari.

d. Hukum Perkawinan Adat di desa Buru Kaghu

 Tujuan Perkawinan

4


(7)

42

Tujuan perkawinan menurut hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan garis kebapakan atau keibuan atau keibuan/kebapakan, untuk kebahagiaanrumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh bilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.

Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang menjadi tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

 Bentuk Perkawinan Adat yang biasa dikenal di desa Buru Kaghu Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh masyarakat adat di desa Buru Kaghu adalah sebagai berikut:

1. Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan

paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan.

2. Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan

lamaran ternyata ternyata ditolak/tidak diterima oleh pihak keluarga wanita dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau, kuda, sapi, kepingan emas (mamuli) dan lainnya, pembayarannya diatur

5


(8)

43

berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh si pria yang memaksakan kehendaknya.

3. “Kawin Lari” (Pakondona) : Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian secara bersama-sama tanpa ada unsur paksaan dari pihak pria6.

Adapun proses terjadinya Kawin Lari (Pakondona) sebagai berikut:

Karena hubungan kedua pihak (pria dan wanita) tidak mendapat restu dari kedua orang tua mereka dan biasanya tidak direstui oleh orang tua dari pihak wanita dikarenakan adanya perbedaan status sosial diantara keduannya, mereka bersepakat untuk meninggalkan kedua orang tua mereka dan tinggal pada salah satu kerabat mereka (keluarga si pria atau wanita). Pada saat mereka melarikan diri si pria akan meninggalkan barang sebagai petunjuk bahwa mereka telah melarikan diri dalam bentuk sebilah parang atau seekor kuda, tergantung pada kemampuan si pria. Sistem ini mirip dengan yang terjadi de daerah Lampung yaitu mereka meninggalkan surat atau suatu barang, kadang-kadang sejumlah uang di rumah si wanita, pelarian ini merupakan awal dari perkawinan mereka7.

Konsekuensi logis dari bentuk atau cara memperoleh jodoh dengan cara kawin lari (pakondona) diatas adalah pihak keluarga laki-laki harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya yakni dengan ditandai pembayaran sejumlah belis (kerbau, kuda, sapi, kepingan emas atau mamuli) dan lainnya dan pembayaranya diatur berdasarkan tahapan-tahapan tertentu.

6

Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013


(9)

44

Menurut Kepala Desa Buru Kaghu Herman Ndapatondo8, apabila seorang pria yang sudah melakukan kawin lari (pakondona) harus berani untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan menurut tokoh adat Kornelis Tanggu Solo kawin lari masih terjadi sampai sekarang karena pada masyarakat adat di desa Buru Kaghu tidak ada aturan adat yang melarang untuk melakukan kawin lari (pakondona), dan dari segi agama juga tidak ada masalah karena yang paling penting adalah si pemuda mempertanggungjawabkan perbuatannya dan gereja akan ikut memperbaiki rumah tangga pasangan kawin lari (pakondona) secara rohani9.

 Mas kawin Dalam Perkawinan

Mas kawin adalah barang-barang yang diserahkan oleh pihak pengambil isteri (laki-laki) kepada pihak perempuan yang dapat berupa hewan, emas (mamuli), parang dan lain-lain, tergantung dari hasil persetujuan ke dua belah pihak yang diwakilkan oleh juru bicara kedua belah pihak.10 Sedangkan menurut Imam Sudiyat dalam Hukum Adat Sketsa Asas mas kawin merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh keluarga pihak laki-laki dalam proses pelaksanaan perkawinan adat. Mas kawin ini biasanya akan jatuh ke tangan kelompok kerabat, orang tua wanita atau calon isteri itu sendiri11.

2. Status Wanita Dalam masyarakat Adat di desa Buru Kaghu

Pengertian status dapat disamakan dengan posisi atau kedudukan. Secara harfiah kata kedudukan (status) merupakan kata benda abstrak dari kata

8 Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013. 9

Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.

10

Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.


(10)

45

kerja “duduk”. Jadi status atau kedudukan menunjuk pada posisi hierarki atau tempat didalam tingkatan kedudukan vertical.

Status wanita, berarti adanya tingkatan kedudukan antara pria dan wanita dalam masyarakat. Rupanya perbedaan tingkat masyarakat adat suku Wewewa di desa Buru Kaghu disebabkan oleh alasan biologis: fisik kuat atau lemah, tetapi sebagian juga melihat dari segi perbedaan sosial dan budaya lingkungan. Perbedaan sosial dan budaya ini menunjuk pada siapa yang mengurus anak, mencari nafkah hidup, dan siapa yang menjadi pemimpin dalam suatu keluarga.12

Masyarakat adat di desa Buru Kaghu memandang wanita sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai peran penting dalam keluarga dan juga masyarakat. Artinya ada perbedaan status tetapi perbedaan itu terletak pada alasan biologis. Dari persepsi ini maka wanita mendapat tempat tersendiri yaitu dihormati dan dihargai.

Penghormatan itu nyata dalam kehidupan masyarakat di desa Buru Kaghu dimana seorang wanita dalam masyarakat dianggap sebagai mas kawin keluarga. Ada semboyan bahwa mas kawin adalah harga seorang wanita. Penghargaan yang tinggi terhadap wanita dapat dilihat dengan banyaknya mas kawin (belis) yang di berikan oleh pihak laki-laki sebagai penghormatan kepada pihak wanita dan keluargaanya. Bagi masyarakat di desa Buru Kaghu peran wanita juga dalam urusan rumah tangga jauh lebih besar disbanding laki-laki. Pada masyarakat adat yang mengenal kebudayaan bercocok tanam (sawah) peran wanita justru lebih besar dari peran laki-laki.13

12

Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.

13


(11)

46

3. Perkawinan Lari (Pakondona) di Daerah Penelitian a. Identitas Responden

TABEL 1

Kawin Lari Oleh 10 Pasangan Responden

No Nama Pasangan Kawin Lari

Umur Pasangan Saat Kawin Lari (pakondona)

Tahun Terjadinya Kawin Lari

Status Sosial

Laki-Laki Perempuan

1 A.R. Mone & Koni Wali 33 29 1956 Orang tua Koni

Wali adalah sebagai raja kecil & orang tua R. Mone Cuma masyarakat biasa.

2 Bora Ndoboka & Ina Wini 39 40 1961 Orang tua Ina

Wini memiliki jabatan adat di suku waijewa sementara orang tua Bora Ndoboka cuma masyarakat biasa.


(12)

47

Maryam Malo berasal dari

masyarakat biasa.

4 Mere Nono & Rahel Koni Wali

23 19 1982 Kedua keluarga

berasal dari masyarakat biasa.

5 Herman Ndoko & Meriana Linda

23 20 2001 Status sosial

keluarga dari Merina Linda dilingkungan Adat lebih tinggi

dari keluarga Herman Ndoko.

6 Yusuf Mbulu & Margareta Malo

33 30 1940 Keluarga

Margareta Malo memiliki kedudukan yang

penting di masyarakat adat

Weijewa, sedangkan keluarga Yusuf

Malo Cuma masyarakat biasa.


(13)

48

7 Oktavianus Ngongo & Ester Ndama Nuna

19 21 1997 Kedua keluarga

dari kalangan masyarakat biasa.

8 Mete Nono & Wini Ndoe 26 25 1945 Kedua keluarga

juga dari kalangan masyarakat biasa.

9 Origanes Bulu & Bali Ngara 20 20 2008 Kedua keluarga

berasal dari kalangan masyarakat biasa.

10 Herman U. Doko & Dama Eti

48 23 2010 Sama-sama

berasal dari kalangan masyarakat biasa.

Sumber data Primer yang diolah

Penjelasan untuk tabel diatas:

a. Raja kecil adalah orang yang mengepalai dan memerintah wilayah desa Buru Kaghu dan beberapa desa disekitarnya sebelum adanya pemekaran desa. Setelah pemekaran desa keturunan dari raja kecil ini tetap memiliki status sosial yang tinggi dan dihormati dalam masyarakat adat sekalipun mereka sudah tidak punya kekuasaan. b. Selain raja kecil keluarga yang memiliki kedudukan penting dan


(14)

49

c. Masyarakat biasa adalah mereka yang diluar dari keluarga raja kecil dan tokoh adat.

Dari penjelasan diatas dapat di mengerti bahwa:

Responden yang memiliki status sosial tinggi seperti raja kecil dan tokoh adat dalam masyarakat adat di desa Buru Kaghu ada 4 responden, yaitu: Koni Wali, Ina Wini, Meriana Linda, dan Margareta Malo. Sedangkan sisanya berasal dari kalangan masyarakat biasa.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Kawin Lari di Desa Buru Kaghu dan Cara Penyelesaiannya

Perkawinan merupakan sifat kodrati manusia yang telah diberikan oleh Tuhan sejak manusia itu diciptakan. Pernyataan ini secara hukum telah diakui pula oleh manusia dalam hal ini masyarakat Indonesia dalam peraturan dan undang-undang. Peraturan dan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mengatur pelaksaanaan perkawinanan itu. Meskipun perkawinaan itu merupakan sifat kodrati manusia, namun pada setiap negara, suku bangsa, dan kelompok masyarakat, memiliki aturan dan undang-undang pelaksanaan perkawinan yang berbeda-beda baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dengan penelitian tulisan ini, penulis akan menjelaskan alasan-alasan terjadinya kawin lari di Desa Buru Kaghu.

Alasan yang umum seperti status sosial, keyakinan apalagi jika perbedaan itu didukung oleh kekayaan yang melimpah. Demikian pula halnya dengan di Desa Buru Kaghu Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur.


(15)

50

Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Kawin Lari (pakondona) No Nama Pasangan Kawin

Lari (pakondona)

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kawin lari (pakondona) di desa Buru Kaghu

1 A. R. Mone & Koni Wali 1. Orang tua dan keluarga perempuan tidak setuju, karena laki-laki berstatus duda sehingga mempunyai tanggung jawab keluarga yang besar.

2. Status orang tua perempuan adalah sebagai raja kecil, dan juga keluarga perempuan telah menjodohkan anak perempuan mereka dengan laki-laki lain14. 2 Bora Ndoboka & Ina

Wini

1. Orang tua si gadis tidak setuju dengan hubungan mereka karena adanya perbedaan status sosial dimana keluarga si gadis memiliki jabatan adat di suku Waijewa sementara keluarga laki-laki dari kalangan masayarakat biasa.

2. Si gadis telah dijodohkan dengan seorang pemuda lain dan bahkan sudah dilamar.15 3 Marthen Ndapa Ngara &

Maryam Malo

1. Perempuan sudah dijodohkan dengan orang lain

2. Kalaupun disetujui perkawinan adat akan memakan waktu lama, sedangkan kawin

14

Wawancara dengan Koni Wali tanggal 23 mei 2013 15 Wawancara dengan Bora Ndoboka tanggal 3 juni 2013


(16)

51

lari proses penyelesainnya cepat.16 4 Mere Nono & Rahel

Kono Mali

1. Keluarga si perempuan tidak setuju dengan pilihan anak perempuanya, 2. Orang tua si perempuan telah

menjodohkan dengan pemuda lain sementara si perempuan tidak mencintai laki-laki pilihan orang tuanya.17

5 Herman Ndoko & Meriana Linda

1. Orang tua perempuan tidak merestui karena perbedaan keyakinan

2. Status Sosial dilingkungan Adat kelurga si perempuan lebih tinggi dari pada keluarg si laki-laki.18

6 Yusuf Mbulu Malo & Margareta Malo

1. Perbedaan status sosial dimana keluarga pihak si gadis mempunyai kedudukan penting di masyarakat adat Waijewa sehingga orang tua si gadis tidak setuju dengan hubungan mereka berdua.

2. Orang tua si gadis langsung menjodohkan dengan pemuda lain yaitu Lellu Matuku. Kuatir si gadis akan dikawinkan Yusuf sepakat dengan si gadis untuk melakukan kawin lari.19

16 Wawancara dengan Marthen Ndapa Ngara tanggal 25 mei 2013 17 Wawancara dengan Mere Nono tanggal 5 juni 2013.

18

Wawancara dengan Herman Ndoko tanggal 21 mei 2013. 19 Wawancara dengan Margareta Malo tanggal 6 juni 2013.


(17)

52

7 Oktavianus Ngongo & Ester Ndama Nuna

1. Orang tua si perempuan tidak merestui hubungan dengan Oktavianus dan karena ada pemuda lain yang lebih dahulu menyatakan keinginan untuk

mengambilnya menjadi istri. Ini artinya belum ada urusan adatnya dan pemuda tersebut belum masuk minta pada orang tua gadis.

2. Agar proses perkawinan mereka lebih cepat20

8 Mete Nono & Wini Ndoe Dikarenakan takut si gadis dikawinikan dengan pemuda lain. Hal ini disebabkan berita si gadis terebut dijodohkan dengan pemuda lain. Takut hal ini benar-benar terjadi, maka keduanya sepakat untuk kawin lari.21

9 Origanes Bulu & Bali Ngara

Orang tua perempuan beralasan mereka baru berusia 21 tahun sehingga terlalu muda untuk melakukan perkawinan. Namun itu hanya alasan saja karena sebenarnya dari awal orang tua si gadis tidak menyukai Origenes, dan itu yang

menyebabkan Origenes memilih kawin lari hasil kesepakatanya dengan gadis pasangannya.22

20 Wawancara dengan Oktavianus Ngongo tanggal 4 juni 2013. 21

Wawancara dengan Mete Nono tanggal 27 mei 2013. 22 Wawancara dengan Origenes Bulu tanggal 27 mei 2013.


(18)

53

10 Herman U. Doko & Dama Eti

Orang tua si gadis tidak setuju dengan pilihan si gadis dan tidak akan mau mengawinkan si gadis dengan herman karena perbedaan usia yang hampir 25 tahun diantara keduanya.23

Sumber Data Primer yang diolah

Dari tabel diatas dapat diketahui faktor-faktor dan alasan apa saja yang menyebabkan terjadinya kawin lari (pakondona) di desa buru kaghu, yakni :

1. Faktor Status Sosial: adanya perbedaan status sosial (4 pasangan responden) yaitu: R. Mone dan Koni Wali, Bora Ndoboka dan Ina Wini, Herman Ndoko dan Meriana Linda, Yusuf Mbulu dan Margareta Malo.

2. Faktor Perjodohan: karena si gadis sudah dijodohkan (5 pasangan responden) yaitu: Bora Ndoboka dan Ina Wini, Marthen Ndapa dan Maryam Malo, Mere Nono dan Rahel Kono Wali, Yusuf Mbulu Malo dan Margareta Malo, Mete Nono dan Wini Ndoe.

3. Faktor Ekonomi: agar penyelesaian adat lebih cepat dan tidak membutuhkan biaya besar (2 pasangan responden) yaitu: Marthen Ndapa Ngara dan Maryam Malo, Oktavianus Ngongo dan Ester Ndama Nuna.

4. Faktor Usia: karena perbedaan usia antara kedua mempelai (1 pasangan responden) yaitu: Herman U. Doko dan Dama Eti.


(19)

54 c. Tahapan Penyelesaian

Pada kasus kawin lari (pakondona) di desa Buru Kaghu hukum adat telah menyediakan tahapan-tahapan adat yang harus dilalui oleh tiap pasangan kawin lari (pakondona) untuk bisa kembali diterima dalam komunitas masyarakat adat. Tahapan-tahapan adat itu sendiri terdiri dari 5 tahapan yaitu:

Perbedaan antara pasangan kawin lari (pakondona) yang satu dengan yang lain dalam menjalankan tahapan-tahapan tersebut terletak pada jumlah hewan yang dibawa pada saat Tange Welli Ya (tutup malu) dan jumlah hewan atau emas (mamuli) yang diberikan pada saat Tau Welli/Ya Welli


(20)

55

(pembayaran belis). Berikut adalah tahapan-tahapan yang dilalui oleh para responden kawin lari (pakondona) dalam bentuk tabel:

Tabel 3

Tahapan-tahapan penyelesaian kawin lari (pakondona)

No Nama

Pasangan Kawin Lari (pakondona) Tahapan 1 Namata (pencarian) Tahapan 2 Tange Weli Na (tutup malu) Tahapan 3 Tikar Adat Tahapan 4 Tau Welli/Ya Welli (pembayaran Belis) Tahapan 5 Palu Bengga

1 A. R. Mone & Koni Wali

Tahapan dimana pihak keluarga si gadis mencari anak gadis yang telah pergi atau melakukan kawin lari (pakondona)

5 ekor kuda Tahapan dimana pihak

keluarga si gadis & pihak keluarga laki-laki bertemu untuk membicarakan & menentukan jumlah belis/mas kawin, bisa diwakilkan oleh keluarga,

pemuka adat & juru bicara yang masing-masing ditunjuk oleh tiap keluarga. 15 ekor kerbau & emas

(mamuli)

Tahapan dimana sudah selesai/lunas pembayaran belis dari pihak keluarga laki-laki ke keluarga pihak perempuan.

2 Bora

Ndoboka & Ina Wini

3 ekor kuda 20 ekor

kerbau & 5 ekor kuda

3 Marthen

Ndapa Ngara & Maryam

Malo

Emas

(mamuli) &

1 ekor kuda

10 ekor kerbau & 10

ekor kuda

4 Mere Nono & Rahel Kono Mali 5 ekor kerbau 10 ekor kerbau

5 Herman

Ndoko & Meriana

3 ekor kuda 25 ekor

kerbau & emas


(21)

56 Linda Tahapan dimana Tahapan dimana pihak keluarga si gadis mencari anak gadis yang telah pergi atau melakukan kawin lari (pakondona) Tahapan dimana pihak keluarga si gadis & pihak keluarga laki-laki bertemu untuk membicarakan & menentukan jumlah belis/mas kawin, bisa diwakilkan oleh keluarga,

pemuka adat & juru bicara yang

masing-masing ditunjuk oleh tiap keluarga.

(mamuli)

Tahapan dimana sudah selesai/lunas pembayaran belis dari pihak keluarga laki-laki ke keluarga pihak perempuan.

6 Yusuf

Mbulu Malo & Margareta

Malo

Emas

(mamuli)

30 ekor kerbau

7 Oktavianus Ngongo & Ester Ndama

Nuna

Emas

(mamuli)

10 ekor kerbau & 5

ekor kuda

8 Mete Nono & Wini

Ndoe

3 ekor kuda Emas

(mamuli) &

10 ekor kerbau

9 Origanes

Bulu & Bali Ngara

5 ekor kuda 10 ekor

kerbau & 5 ekor kuda

10 Herman U Doko & Dama Eti 5 ekor kerbau 10 ekor kerbau & emas

(mamuli)

Sumber Data Primer yang diolah


(22)

57

1. Tahapan Namata (pencarian) adalah tahapan dimana keluarga si gadis mencari anak gadis yang telah pergi atau melakukan kawin lari (pakondona)

2. Tahapan Tange Weli Na (tutup malu) adalah tahapan dimana keluarga laki-laki akan datang memberitahukan keluarga si gadis perihal anak gadis mereka yang berada di salah satu kerabat keluarga laki-laki dengan membawa beberapa ekor hewan dan emas (mamuli) sebagai tanda tutup malu.

3. Tahapan Tikar adat adalah tahapan dimana pihak keluarga si gadis dan pihak keluarga laki-laki akan bertemu untuk membicarakan dan menentukan jumlah belis atau mas kawin, biasanya diwakilkan oleh seorang juru bicara yang ditunjuk oleh masing-masing tiap keluarga. 4. Tahapan Tau Welli/Ya Welli adalah tahapan dimana pihak keluarga

laki-laki akan datang untuk menyerahkan belis atau mas kawin yang telah disepakati bersama dalam tahapan tikar adat.

5. Tahapan Palu Bengga adalah tahapan dimana telah selesai atau telah lunas pembayaran belis dari pihak keluarga laki-laki ke keluarga pihak perempuan.

6. Emas (Mamuli) adalah sebuah aksesoris atau perhiasan khas adat perempuan sumba yang digantung pada telinga dan terbuat dari emas. Satu mamuli biasanya seharga satu ekor kerbau.24

7. Hewan yang diberikan dalam tahap Tange Welli Na dan tahap Tau Welli/Ya Welli berupa kerbau atau kuda memiliki alasan sendiri, karena bagi masyarakat sumba pada umumnya dan masyarakat adat di

24


(23)

58

desa Buru Kaghu pada khususnya kerbau dan kuda memiliki nilai lebih dalam kebudayaan, karena sejak dahulu kerbau dan kudan sudah menjadi salah satu mas kawin atau belis dan juga sering menjadi korban persembahan dalam upacara-upacara adat.25

8. Peranan kepala adat dan tokoh adat dalam tahapan penyelesaian kawin lari (pakondona) adalah mengawasi jalannya tahapan penyelesaian adat tapi juga bisa dimintai nasihat dan solusi untuk masalah kawin lari (pakondona), juga bisa menjadi juru bicara salah satu pihak tentunya apabila diminta oleh salah satu pihak keluarga secara adat. 26

B.Analisis

1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kawin Lari

Dari beberapa kasus yang sudah penulis paparkan diatas dapat dilihat bahwa kasus kawin lari diselesaikan oleh peraturan adat dengan ketentuan-ketentuan adat yang berlaku atau dalam hal ini sangat jelas bahwa adat yang mengambil alih penyelesaian kasus kawin lari tersebut. Setelah penulis melakukan penelitian dapat diketahui bahwa dalam peraturan masyarakat adat di desa Buru Kaghu tidak dianjurkan untuk melakukan kawin lari akan tetapi hukum adat di desa Buru Kaghu juga tidak melarang, dapat dilihat hukum adat di desa

25

Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.

26


(24)

59

Buru Kaghu sudah mengatur bagaimana tahapan-tahapan proses penyelesaian kasus kawin lari apabila terjadi sehingga walaupun kawin lari menimbulkan masalah tetapi dapat diterima oleh masyarakat setelah melalui tahapan adat (sanksi adat)27.

Fenomena kawin lari cukup menarik bila ditarik pada ruang dimensi dan pergulatan tradisi di dalamnya. Sebagai entitas local indegenious yang berkearifan tradisional, secara ideal muatan masif yang harus ada penunjang idealitas sebuah adat adalah insigh dari nilai adat istiadat itu sendiri. Kaitannya dengan budaya kawin lari, sebagian masyarakat penganut system perkawinan ini meyakini dengan menjelaskan bahwa pada umumnya secara cultural dapat dianggap sebagai cara yang disetujui laki-laki untuk membuktikan kelaki-lakian mereka sebagai respon terhadap dominasi politik dan ekonomi oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Argument seperti ini lebih pada pilihan katarsis bagi masyarakat suku Waijewa karena kungkungan imperilisasi, infiltrasi dan aneksasi dari kekuatan eksternal.

Budaya kawin lari merupakan salah satu dari entitas kultur tradisional bagi suku bangsa Waijewa dari hasil asimilasi dan dialektika kebudayaan. Penjelasan yang mungkin diberikan dan penunjang popularitas tradisi ini adalah berkaitan dengan kenyataan bahwa raja-raja di Sumba pasca aneksasi dan orang-orang lain yang sangat berkuasa sering mengambil perempuan-perempuan Sumba sebagai gundik. Dengan melihat fenomena waktu itu, antisipasi keluarga-keluarga Waijewa sering mendorong anak wanitanya untuk lari bersama (melarikan) dengan laki-laki Waijewa yang dicintainya. Secara psikologis gerak antisipatif masyarakat Waijewa waktu itu tidak jauh dari upaya mempertahankan relasi

27


(25)

60

endogamis ketimbang menjadi alat pemuas kekuasaan bagi perempuan Waijewa waktu itu.

Pemangku adat atau masyarakat Waijewa umumnya menyatakan bahwa praktik budaya kawin lari merupakan hasil budaya yang terjadi turun temurun di masyarakat Sumba. Pada masyarakat Waijewa, pada prosesi melarikan gadis secara otomatis menjadikan mereka keluarga baru pada pasangan kawin lari tersebut.

Popularitas kawin lari dengan pelarian-pelarian terkesan menjadi sebentuk simflikasi pilihan dalam sikap yang menggunakan legalitas adat sebagai instrument pencapaian keingina. Karena pilihan yang lain seperti perkawinan dengan meminang terkadang cukup memberatkan dan membutuhkan modal dan kesiapan psikologis yang harus ditanggung oleh calon mempelai pria. Kemungkinan lamaran ditolak dan ntidak disetujui oleh pihak perempuan, perbedaan status social, syarat-syarat persetujuan dan lainnya yang harus dipenuhi oleh pelamar tidak kalah sering terasa memberatkan pihak laki-laki, maka lari bersama menjadi pilihan tepat bagi satu pasangan.

Fenomena kawin lari diasumsikan sebagai puncak etis wujud kearifan lokal bagi masyarakat suku Waijewa secara ekskusif. Muatan immanen dari sisi ini adalah keterlibatan keyakinan akan kebenarannya. Namun di samping kesan-kesan positif di dalamnya tidak jarang praktek perkawinan lari ini menyisakan persoalan-persoalan yang mengancam keutuhan keluarga baik secara sosiologis maupun psikologis. Salah satu persoalan yang muncul adalah konflik yang terjadi pada rumah tangga yang pada ahkirnya memunculkan tindakan kekerasan dan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan di dalam rumah tangga.


(26)

61

Jika dalam kasus kawin lari terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka hukum adat tidak dapat mengjangkau persoalan tersebut karena memang hukum adat tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan, misalnya yang berkaitan dengan penyelesaian kasus kekerasan atau sampai pada tahapan pemberian sanksi-sanksi adat. Artinya bahwa ketika ada kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan maka tidak akan pernah ada penyelesaian yang dilakukan melalui hukum adat dan biasanya kasus-kasus seperti ini cenderung dibiarkan oleh keluarga pihak perempuan sehingga tidak ada tindak lanjut.

2. Tahapan-Tahapan Penyelesaian Adat Kawin Lari di Desa Buru Kaghu

Masyarakat suku Waijewa di Desa Buru Kaghu mengenal kawin lari sebagai tradisi yang mengawali perkawinan, bukannya melamar seorang gadis melalui orang tuanya. Kawin lari melibatkan pertemuan antara si pria dengan si gadis untuk bersepakat melakukan pelarian dengan kemauan bersama dan tanpa adanya paksaan menuju suatu tempat persembunyian. Pelarian ini dianggap sudah berhasil bila mempelai wanita dan pria telah sampai dan menyembunyikan diri di suatu tempat rahasia (penyebuan), biasanya di rumah salah seorang kerabat


(27)

62

Menyadari bahwa anak gadis mereka tidak pulang hingga larut malam (menurut sebagian adat sekitar dari jam 22-esok harinya), orang tua gadis tersebut mengirim keluarga untuk mencari dan melaporkan kasus tersebut pada kepala desa dan kepala adat , mereka yang akan mengumumkan kasus ini lebih lanjut ke seluruh penjuru desa, kepala desa juga meminta penduduk untuk memberi tahu dirinya atau orang tua si gadis jika mereka mengetahui di mana si gadis bersembunyi, ini adalah tahap pencarian (Namata). Hari berikutnya keluarga yang mewakili mempelai pria mengirim pesan atau untuk memberitahukan pelarian itu kepada kepala desa dan atau kepala adat, mereka yang akan meneruskan informasi itu ke orang tua si gadis. Keluarga disertai oleh kerabat laki-laki mempelai pria, bersama-sama mendatangi orang tua mempelai wanita dan memberitahukan mereka bahwa anaknya telah melakukan pelarian dan barada di tempat yang aman, keluarga dari pihak pria datang dengan membawa beberapa ekor hewan (biasanya kerbau dan atau kuda), mamuli (emas) yang akan diserahakan ke keluarga wanita sebagai tanda tutup malu (Tange Weli Na). Setelah keluarga perempuan menerima tanda tutup malu (Tange Weli Na) maka akan dilanjutkan dengan tahapan tikar adat, tahapan ini adalah tahapan dimana kedua belah pihak keluarga akan duduk bersama dalam sebuah pertemuan untuk membicarakan tentang penentuan jumlah belis (mas kawin). Setelah kedua pihak keluarga mendapat kesepahaman tentang penentuan jumlah belis (mas kawin) dalam tahapan tikar adat maka selanjutnya berturut-turut tahapan yang harus dilalui oleh pihak keluarga laki-laki adalah Tau Welli/Ya Welli dan Palu Bengga, seperti yang telah dijelaskan penulis pada halaman 55-57.

Sesuai dengan hasil penelitian melalui pembagian angket kepada responden dan wawancara kepada narasumber penulis akan menganalisis perkawinan adat


(28)

63

suku Waijewa di dedesa Buru Kaghu Kabupaten Sumba Barat Daya. Analisis ini didasarkan pada rumusan masalah yaitu mengapa masyarakat adat suku Waijewa masih mempertahankan budaya hukum perkawinan adat.

Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dianalisis bahwa budaya hukum yang terjadi suku Waijewa Kabupaten Sumba Barat dapat dianalisis berdasarkan 3 komponen menurut Lawrence M Freidman yakni :

a. Komponen Struktur : berdasarkan Struktural Kelembagaan Adat didalam suku waijewa ada dewan adat yakni Kepala Adat, Kepala Suku, dan Pesuruh Adat yang tersturktur sebagai lembaga yang menentukan layak tidak seorang itu melangsungkan perkawinanan atau bagaimana cara-cara pasangan itu dapat layak melangsungkan perkawinan dengan syarat-sayarat tertentu.

b. Komponen Substansi : Aturan-aturan adat atau keputusan-keputusan dewan adat suku waijewa yang berlaku mengikat bagi masyarakat adat dan apabila tidak melakukanya maka akan mendapatkan ancaman keluar dari anggota masyarakat adat yang berlaku turun temurun. Dalam hal masalah perkawinan adat dewan adat banyak menentukan suatu perkawinan itu dapat berlangsung atau tidak mengingat kemungkianan strata atau status sosial dimasyarakat suku waijewa sehingga perlu adanya pennetuan nilai belis atau mas kawin untuk menyetarakan strata atau status sosial yang berbeda khususnya status dari pihak keluarga laki-laki.

c. Komponen Hukum yang bersifat kultural :

Internal Legal Culture : Dalam Suku Waijewa kita bisa melihat


(29)

64

dari internal dalam dewan adat suku waijewa, sedangkan Eksternal

Legal Culture adalah budaya hukum yang terlahir dari luar wilayah

wewenang hukum adat yakni kawin lari walaupun dalam perkembanganya dewan adat ikut ambil bagian dalam proses penyelesaian kawin lari dan mengembalikan pasangan kedalam lingkungan masyarakat adat kembali dengan cara syarat-sayarat yang nantinya akan ditentukan.

Menurut Lawrence M Freidman komponen ketiga akan menentukan apakah pengadilan umum akan didaya gunakan atau tidak? Karena nilai-nilai dalam masyarakat itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang menggunakan, atau tidak menggunakan, atau menyalahgunakan, proses hukum serta sistem hukum. Semua komponen yang ada terdapat dalam struktur budaya hukum nasional juga terdapat pada hukum pada masyarakat adat suku waijewa.

No Komponen Budaya Hukum Nasional Budaya Hukum Masyarakat Suku

Waijewa

1 Komponen Struktur Ada Lembaga Pembentuk Undang-Undang seperti Badan Legislatif dan Eksekutif dan ada lembaga penegak hukum atau yang melaksanakan Undang-Undang yakni Kepolisian, dan badan yudikatif

Dewan Adat yakni : Kepala Adat, Kepala Suku dan Pesuruh Adat


(30)

65

2 Komponen Subtansi Sumber-sumber hukumnya

adalah : KUHP,

KUHPerdata,

Undang-Undang, dan Yurisprudensi

Aturan-Aturan adat yang sifat pada umumnya tidak tertulis, namun mengikat masyarakat suku waijewa

3 Komponen Kultural Internal legal culture : adalah putusan-putusan berasal dari lembaga-lembaga dalam budaya hukum nasional, dan

eksternal legal culture :

berasal dari luar lembaga-lembaga tersebut.

Internal Legal Culture : berkaitan

dengan putusan-putusan dewan adat yang seharusnya dilaksanakan, sedangkan ekternal legal culture adalah hal –hal yang lain yang mempengaruhi dan menjadi pembeda dan dewan adat harus ikut memutuskan. Contohnya kawin lari.

Di dalam 3 komponen budaya hukum, dalam hal komponen substansi yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan di dalam proses penyelesaian kawin lari, perlindungan terhadap hak-hak perempuan terjadi pada tahapan yang disebut Namata (tutup malu). Pada tahapan ini pihak laki-laki membawa harta diluar Tau Welli/Ya welli (Pembayaran Belis) sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan itikad baik dari pihak laki-laki. Setelah pihak laki-laki menyelesaikan tahapan-tahapan adat sebagai bentuk pertanggungjawaban terhapat hak-hak perempuan maka selanjutnya pihak keluarga perempuan harus patuh pada hukum adat yang berlaku yakni menerima tahapan adat. Dalam kasus-kasus seperti ini, biasanya pihak keluarga perempuan menerima serta patuh terhadap tahapan tahapan adat akan tetapi belum tentu


(31)

66

pihak keluarga perempuan rela untuk menerima laki-laki yang menjadi pilihan anak perempuan mereka.

Semua komponen diatas saling berkaitan satu sama lain yang disebut dengan sistem hukum. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada dilingkungan yang sarat dengan faktor-faktor non-hukum lainya. Miasalnya ketika penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Jadi jika hukum dipahami sebagai suatu sistem , maka seluruh tata aturan yang berbeda didalamnya tidak boleh saling bertentangan.

Ini bisa dilihat apabila kawin lari yang terjadi di suku waijewa maka banyak aturan-aturan adat yang harus diselesaikan untuk mengembalikan pasangan kawin lari tersebut kembali kedalam masyarakat adat apabila tidak menyelesaikanya maka mereka akan dianggap sebagai orang buangan. Namun pasangan kawin lari dari suku waijewa juga menghindar karena banyak aturan-aturan adat yang cukup memberatkan dan memakan waktu lama didalam suku waijewa dan mereka lebih memilih untuk menikah secara sipil dan agama mereka masing-masing. Menjadi persoalan apabila kawin lari ini melibatkan pasangan yang belum cakap hukum atau salah satunya belum cakap hukum khususnya pada seorang gadis. Maka dewasa ini atau apabila terjadi dalam waktu sekarang maka akan bertentangan dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Apabila pasangan kawin lari tersebut tidak secepatnya melakukan perkawinan maka mereka akan bertentnangan dengan pasal perzinahan dalam KUHP.

Nilai-nilai yang telah mapan dalam masyarakat adat suku waijewa pada dasarnya terbentuk melalui pola perilaku dan sikap dari masyarakat suku


(32)

67

Waijewa. Misalnya ketika nilai-nilai adat dianggap menjadi sesuatu yang penting bagi kehidupan mereka maka segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan mereka pasti tidak terlepas dari nilai-nilai adat itu sendiri.

Adat dalam suku waijewa dilakukan dan dipatuhi oleh masyarakatnya karena telah memberikan rasa aman dan sejahtera bagi mereka dalam

kehidupannya. Hal ini tidak lepas dari namanya “kekuasaan supranatural”,

masyarakat adat percaya bahwa didalam adat istiadat yang dipatuhi olehnya ada kekuasaan yang besar dan mampu memberikan kebahagian bagi mereka.

Dalam kultur hukum terbagi atas Internal Legal Culture dan Eksternal

Legal Culture. Yang termasuk dalam Internal Legal Culture dalam adat adalah

(Kepala Adat), (Kepala Suku), dan (Pesuruh Adat). Karena mereka inilah yang bertanggung jawab dalam suatu rangkaian upacara adat yang dilakukan. Baik itu upacara adat yang akan dilakukan. Baik itu upcara perkawinan, pembayaran mas kawin ataupun penyelesaian masalah-masalah perkawinan adat dalam hal ini yang berkaitan dengan kawin lari.

Kawin lari adalah perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan dikawininya dengan persetujuan sang gadis itu menghindari dari tata cara adat yang dianggap rumit dan memakan biaya terlalu mahal. Fenomena kawin lari ini sering terjadi karna terpaksa untuk menghindari persyaratan adat dalam melakukan perkawinan.

Berdasarkan definisi kawin lari penulis mencoba menyimpulkan bahwa kawin lari merupakan perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan dikawini dengan persetujuan si gadis untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang dianggap menghambat perkawinan, seperti tata cara atau persyaratan adat yang


(33)

68

memakan waktu dan biaya banyak. Menurut Hadikusuma (1977), latar belakang terjadinya kawin lari yaitu disebabkan oleh faktor-faktor yaitu :

1. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan, dan upacara perkawinan yang diminta pihak gadis tidak dipenui pihak bujang

2. Gadis belum diizinkan orang tua nya untuk bersuami, sehingga si gadis memutuskan untuk bertindak sendiri

3. Orang tua atau keluarga si gadis untuk menolak lamaran pihak bujang 4. Si bujang dan si gadis telah melakukan hal yang bertentangan dengan

hukum adat dan hukum agama.

5. Perekonomian si bujang tidak berkecukupan

6. Posisi gadis yang ingin berumah tangga tapi memiliki kakak yang belum menikah

7. Kedudukan si bujang dalam tingkatan atau derajat atau strata adat tidak seimbang dengan kedudukan si gadis


(1)

63

suku Waijewa di dedesa Buru Kaghu Kabupaten Sumba Barat Daya. Analisis ini didasarkan pada rumusan masalah yaitu mengapa masyarakat adat suku Waijewa masih mempertahankan budaya hukum perkawinan adat.

Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dianalisis bahwa budaya hukum yang terjadi suku Waijewa Kabupaten Sumba Barat dapat dianalisis berdasarkan 3 komponen menurut Lawrence M Freidman yakni :

a. Komponen Struktur : berdasarkan Struktural Kelembagaan Adat didalam suku waijewa ada dewan adat yakni Kepala Adat, Kepala Suku, dan Pesuruh Adat yang tersturktur sebagai lembaga yang menentukan layak tidak seorang itu melangsungkan perkawinanan atau bagaimana cara-cara pasangan itu dapat layak melangsungkan perkawinan dengan syarat-sayarat tertentu.

b. Komponen Substansi : Aturan-aturan adat atau keputusan-keputusan dewan adat suku waijewa yang berlaku mengikat bagi masyarakat adat dan apabila tidak melakukanya maka akan mendapatkan ancaman keluar dari anggota masyarakat adat yang berlaku turun temurun. Dalam hal masalah perkawinan adat dewan adat banyak menentukan suatu perkawinan itu dapat berlangsung atau tidak mengingat kemungkianan strata atau status sosial dimasyarakat suku waijewa sehingga perlu adanya pennetuan nilai belis atau mas kawin untuk menyetarakan strata atau status sosial yang berbeda khususnya status dari pihak keluarga laki-laki.

c. Komponen Hukum yang bersifat kultural :

Internal Legal Culture : Dalam Suku Waijewa kita bisa melihat adanya budaya hukum yang berupa putusan-putusan yang terlahir


(2)

64

dari internal dalam dewan adat suku waijewa, sedangkan Eksternal Legal Culture adalah budaya hukum yang terlahir dari luar wilayah wewenang hukum adat yakni kawin lari walaupun dalam perkembanganya dewan adat ikut ambil bagian dalam proses penyelesaian kawin lari dan mengembalikan pasangan kedalam lingkungan masyarakat adat kembali dengan cara syarat-sayarat yang nantinya akan ditentukan.

Menurut Lawrence M Freidman komponen ketiga akan menentukan apakah pengadilan umum akan didaya gunakan atau tidak? Karena nilai-nilai dalam masyarakat itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang menggunakan, atau tidak menggunakan, atau menyalahgunakan, proses hukum serta sistem hukum. Semua komponen yang ada terdapat dalam struktur budaya hukum nasional juga terdapat pada hukum pada masyarakat adat suku waijewa.

No Komponen Budaya Hukum Nasional Budaya Hukum Masyarakat Suku Waijewa

1 Komponen Struktur Ada Lembaga Pembentuk Undang-Undang seperti Badan Legislatif dan Eksekutif dan ada lembaga penegak hukum atau yang melaksanakan Undang-Undang yakni Kepolisian, dan badan yudikatif

Dewan Adat yakni : Kepala Adat, Kepala Suku dan Pesuruh Adat


(3)

65

2 Komponen Subtansi Sumber-sumber hukumnya

adalah : KUHP,

KUHPerdata, Undang-Undang, dan Yurisprudensi

Aturan-Aturan adat yang sifat pada umumnya tidak tertulis, namun mengikat masyarakat suku waijewa

3 Komponen Kultural Internal legal culture : adalah putusan-putusan berasal dari lembaga-lembaga dalam budaya hukum nasional, dan eksternal legal culture : berasal dari luar lembaga-lembaga tersebut.

Internal Legal Culture : berkaitan dengan putusan-putusan dewan adat yang seharusnya dilaksanakan, sedangkan ekternal legal culture adalah hal –hal yang lain yang mempengaruhi dan menjadi pembeda dan dewan adat harus ikut memutuskan. Contohnya kawin lari.

Di dalam 3 komponen budaya hukum, dalam hal komponen substansi yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan di dalam proses penyelesaian kawin lari, perlindungan terhadap hak-hak perempuan terjadi pada tahapan yang disebut Namata (tutup malu). Pada tahapan ini pihak laki-laki membawa harta diluar Tau Welli/Ya welli (Pembayaran Belis) sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan itikad baik dari pihak laki-laki. Setelah pihak laki-laki menyelesaikan tahapan-tahapan adat sebagai bentuk pertanggungjawaban terhapat hak-hak perempuan maka selanjutnya pihak keluarga perempuan harus patuh pada hukum adat yang berlaku yakni menerima tahapan adat. Dalam kasus-kasus seperti ini, biasanya pihak keluarga perempuan menerima serta patuh terhadap tahapan tahapan adat akan tetapi belum tentu


(4)

66

pihak keluarga perempuan rela untuk menerima laki-laki yang menjadi pilihan anak perempuan mereka.

Semua komponen diatas saling berkaitan satu sama lain yang disebut dengan sistem hukum. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada dilingkungan yang sarat dengan faktor-faktor non-hukum lainya. Miasalnya ketika penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Jadi jika hukum dipahami sebagai suatu sistem , maka seluruh tata aturan yang berbeda didalamnya tidak boleh saling bertentangan.

Ini bisa dilihat apabila kawin lari yang terjadi di suku waijewa maka banyak aturan-aturan adat yang harus diselesaikan untuk mengembalikan pasangan kawin lari tersebut kembali kedalam masyarakat adat apabila tidak menyelesaikanya maka mereka akan dianggap sebagai orang buangan. Namun pasangan kawin lari dari suku waijewa juga menghindar karena banyak aturan-aturan adat yang cukup memberatkan dan memakan waktu lama didalam suku waijewa dan mereka lebih memilih untuk menikah secara sipil dan agama mereka masing-masing. Menjadi persoalan apabila kawin lari ini melibatkan pasangan yang belum cakap hukum atau salah satunya belum cakap hukum khususnya pada seorang gadis. Maka dewasa ini atau apabila terjadi dalam waktu sekarang maka akan bertentangan dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Apabila pasangan kawin lari tersebut tidak secepatnya melakukan perkawinan maka mereka akan bertentnangan dengan pasal perzinahan dalam KUHP.

Nilai-nilai yang telah mapan dalam masyarakat adat suku waijewa pada dasarnya terbentuk melalui pola perilaku dan sikap dari masyarakat suku


(5)

67

Waijewa. Misalnya ketika nilai-nilai adat dianggap menjadi sesuatu yang penting bagi kehidupan mereka maka segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan mereka pasti tidak terlepas dari nilai-nilai adat itu sendiri.

Adat dalam suku waijewa dilakukan dan dipatuhi oleh masyarakatnya karena telah memberikan rasa aman dan sejahtera bagi mereka dalam kehidupannya. Hal ini tidak lepas dari namanya “kekuasaan supranatural”, masyarakat adat percaya bahwa didalam adat istiadat yang dipatuhi olehnya ada kekuasaan yang besar dan mampu memberikan kebahagian bagi mereka.

Dalam kultur hukum terbagi atas Internal Legal Culture dan Eksternal Legal Culture. Yang termasuk dalam Internal Legal Culture dalam adat adalah (Kepala Adat), (Kepala Suku), dan (Pesuruh Adat). Karena mereka inilah yang bertanggung jawab dalam suatu rangkaian upacara adat yang dilakukan. Baik itu upacara adat yang akan dilakukan. Baik itu upcara perkawinan, pembayaran mas kawin ataupun penyelesaian masalah-masalah perkawinan adat dalam hal ini yang berkaitan dengan kawin lari.

Kawin lari adalah perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan dikawininya dengan persetujuan sang gadis itu menghindari dari tata cara adat yang dianggap rumit dan memakan biaya terlalu mahal. Fenomena kawin lari ini sering terjadi karna terpaksa untuk menghindari persyaratan adat dalam melakukan perkawinan.

Berdasarkan definisi kawin lari penulis mencoba menyimpulkan bahwa kawin lari merupakan perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan dikawini dengan persetujuan si gadis untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang dianggap menghambat perkawinan, seperti tata cara atau persyaratan adat yang


(6)

68

memakan waktu dan biaya banyak. Menurut Hadikusuma (1977), latar belakang terjadinya kawin lari yaitu disebabkan oleh faktor-faktor yaitu :

1. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan, dan upacara perkawinan yang diminta pihak gadis tidak dipenui pihak bujang

2. Gadis belum diizinkan orang tua nya untuk bersuami, sehingga si gadis memutuskan untuk bertindak sendiri

3. Orang tua atau keluarga si gadis untuk menolak lamaran pihak bujang 4. Si bujang dan si gadis telah melakukan hal yang bertentangan dengan

hukum adat dan hukum agama.

5. Perekonomian si bujang tidak berkecukupan

6. Posisi gadis yang ingin berumah tangga tapi memiliki kakak yang belum menikah

7. Kedudukan si bujang dalam tingkatan atau derajat atau strata adat tidak seimbang dengan kedudukan si gadis