37 terhadap hak atas kebebasan beragama sebagai HAM penulis akan mendiskusikan
terlebih dahulu berbagai konsepsi tentang negara dan agama.
1. Konsepsi tentang Negara dan Agama
Ada beberapa konsepsi negara berkenaan dengan isu hubungan antara agama dan negara yang meliputi:
67
a. The Atheist State
Negara atheis merupakan negara yang tidak mengakui adanya eksistensi agama apapun. Sebagai contoh pada tahun 1949 di Republik
Cina terjadi kampanye untuk membasmi agama dari kehidupan dan budaya China.
68
Pada tahun 1974 di Ethiopia, Gereja Ortodoks Ethiopia dibubarkan sebagai gereja negara, dan Patriarkh dieksekusi oleh junta
militer Derg Marxis pada tahun 1979.
69
Hal ini menujukkan inti konsepsi negara ini adalah adanya perilaku “anti-agama” dalam tatanan konsep
negara atheis.
b. Assertive Secularism
70
67
Ran Hirschl dalam Tom Ginsburg Rosalind Dixon, Comparative Constitutional Law, Massachusetts: Edward Elgar Publishing, 2011, hlm. 422-438.
68
Zhuo Xinping, Religion and Rule of Law in China Today, Brigham Young University Law Review, 2009.
69
Ibid, hlm. 423.
70
Ibid.
38 Model ini menetapkan bentuk sekularisme secara tegas. Dimana
sekularisme itu sendiri bermakna bahwa negara benar-benar memisahkan secara tegas urusan agama dengan urusan negara. Sebagai contoh Faiza M.
case. Kasus ini terjadi di Jerman yang notabene adalah negara sekuler. Jerman tidak mengabulkan permohonan kewarganegaraan oleh Faiza yang
menggunakan kerudung bertutup muka dan yang memiliki kebiasaan yang tidak mencerminkan kesetaraan gender bagi wanita. Hal ini merupakan
salah satu contoh praktik negara sekuler yang benar-benar ketat.
Negara sekuler dipandang melampaui netralitas terhadap agama atau religiusitas, yang menentang manifestasi agama dalam kehidupan
publik dan sekularisme dilihat sebagai elemen inti dari modern bangsa dan identitas kolektif anggotanya.
71
c. Separation as State Neutrality toward Religion
72
Pada konsep ini, netralitas terhadap agama sangat ditekankan. Hal ini merujuk pada pemisahan antara urusan negara dan agama. Negara
bersifat netral serta tidak mengintervensi sama sekali urusan agama warganya.
Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat AS. Konsitusi AS menghendaki adanya pemisahan antara urusan agama dengan urusan
71
Ibid.
72
Ibid, hlm. 424-427.
39 keagamaan,
73
walaupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya mereka tidak pernah lepas dari segala semboyan ketuhanan. Dalam kasus
Lemon v. Kurtzman,
74
Mahkamah Agung AS mencantumkan tiga faktor untuk mengevaluasi apakah peraturan perundang-undangan yang
membantu organisasi keagamaan memiliki efek non-religius: 1 apakah bantuan itu digunakan dalam menghasilkan atau tidak indoktrinasi oleh
pemerintah, 2 apakah program bantuan ditujukan kepada penerima berdasarkan agama, dan 3 apakah ada keterikatan yang berlebihan antara
pemerintah dan agama sebagai hasil dari program bantuan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan di AS terutama Konstitusi AS tidak menghendaki adanya intervensi
sedikitpun oleh negara dalam urusan keagamaan. Dengan melihat salah satu negara yang memiliki konsepsi negara Separation as State Neutrality
toward Religion maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah konsepsi ini menegaskan adanya dominasi netralitas negara dalam urusan keagamaan
rakyatnya.
d. Weak Religious Establishment
75
Dalam konsep ini sudah ada sebutan secara formal terhadap agama tertentu sebagai “agama negara”. Tentunya penetapan tersebut
73
John J. Patrick, Op. Cit., hlm. 34.
74
Lihat juga kasus Agostini v Felton; Zelman v Simmons-Harris.
75
Tom Ginsburg, Op. Cit., hlm. 427-430.
40 berimplikasi bagi kehidupan publik. Beberapa negara di Eropa yang
menerapkan konsep ini adalah Norwegia, Denmark, Finlandia dan Islandia. Contoh kasusnya adalah sebutan Gereja Lutheran Injili sebagai
“gereja negara” di negara-negara tersebut. Kepala Negara Norwegia misalnya, yang juga pemimpin gereja. Hukum Norwegia menjamin
kebebasan beragama, tetapi juga menyatakan bahwa Lutheranisme Injili adalah agama resmi negara.
Dari konsep ini dapat dilihat bahwa sebenarnya walaupun negara menjamin adanya kebebasan beragama, namun terdapat halangan
tersendiri terkait dengan klausul “agama negara”. Hal ini menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi kaum minoritas. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa sebenarnya kebebasan untuk memanifestasikan agama seseorang dalam konsep ini tidak berarti bahwa seseorang memiliki hak
untuk memanifestasikan agama seseorang kapan saja dan di mana saja dan dengan cara apapun yang sesuai dengan keyakinannya masing-masing
karena terhambat pada masalah “agama negara”.
e. Formal Separation with De Facto Pre-eminence of One
Denomination
76
Konsep ini merupakan sebuah fitur dalam negara, di mana terdapat pemisahan secara resmi antara urusan agama dan negara serta kebebasan
beragama dijamin secara konstitusional. Tetapi pola-pola sistematis
76
Ibid., hlm. 430-431.
41 hegemoni gereja politik dan gereja-sentris moralitas di atur dalam
konstitusi.
Sebagai contoh, kebanyakan negara-negara yang mayoritas populasinya adalah pemeluk agama Katholik Roma. Di negara-negara
tersebut seperti Filipina, Polandia, Irlandia, Spanyol atau Italia, ada pengaruh moralitas Katholik yang kuat ke dalam putusan-putusan pada
kasus-kasus konstitusional di sana.
Irlandia misalnya. Meskipun status khusus Katholik telah dihapus dari Konstitusi Irlandia pada tahun 1973, tetapi Pasal 41 dari Konstitusi
negara ini menyatakan ‘recognises the Family as the natural primary and
fundamental unit group of Society, and as a moral institution possessing inalienable and imprescriptible rights, antecedent and superior to all
positive law ’.
Indikasi yang dapat ditemukan dari praktik negara yang menganut konsep tersebut adalah walaupun ada pengakuan mengenai kebebasan
beragama serta adanya pengaturan tentang jaminan kebebasan tersebut di level konstitusi, namun sebenarnya agama mayoritaslah yang masih
memiliki keistimewaan tersendiri terutama dalam masalah pengaturan hukum di negara tersebut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kebebasan agama yang sebenarnya merupakan suatu yang ‘semu’. Meskipun negara memberikan
42 pengakuan atas kebebasan beragama, namun sebenarnya negara tidak
memberikan pengakuan yang memadai atas hak untuk memanifestasikan agama sesuai dengan keyakinan seseorang di dalam negara.
f. Separation Alongside Multicultural Accommodation
77
Konsep ini menggabungkan pemisahan resmi agama dan negara dengan pendekatan accomodationist untuk keragaman dan perbedaan
agama. Model ini, sangat umum di masyarakat imigran, terutama Kanada, yang mencerminkan komitmen yang sebenarnya dalam multikulturalisme
dan keragaman dengan pendekatan asimilasi. Urusan Negara dan agama dipisahkan, tetapi konsepsi kewarganegaraan tidak terikat pada
sekularisme ketat atau netralitas. Arti sebenarnya dari kewarganegaraan dalam model ini memang lebih mendekati liberalisme, yang menghormati
aspek umum kenegaraan dan kebangsaan saat merayakan perbedaan dalam tradisi warga budaya dan agama. Article 2 a dari Canadian Charter of
Rights and Freedoms melindungi kebebasan beragama. Bagian 16-23 Piagam menetapkan status konstitusional PerancisInggris bilingualisme
di Kanada; Article 27 Charter of The United Nation melengkapi prinsip-
prinsip ini dengan mengabadikan multikulturalisme dan keragaman sebagai salah satu pasak penjaga roda identitas konstitusional Kanada.
Mahkamah Agung Kanada telah mengembangkan yurisprudensi dalam mendukung negara untuk mengesahkan multikulturalisme dan
77
Ibid., hlm. 431-432.
43 kemudahan akomodasi perbedaan budaya dan agama di ruang publik.
Putusan-putusan yang dikeluarkan misalnya, R v Big M Drug Mart, 1985; R v Edwards Books and Art Ltd., 1986. Dalam dua putusan tersebut
Pengadilan menggunakanan dasar keragaman dan multkultural sebagai penyelesaian.
Dalam konsep ini dapat disimpulkan bahwa pengakuan atas keragaman serta multikulturalisme sangat ditonjolkan. Konsep ini
mengandalkan asimilasi keragaman sebagai pemersatu bangsa.
g. Religious Jurisdictional Enclaves
78
Model ini didasarkan pada akomodasi selektif agama di daerah hukum tertentu. Hukum umumya adalah sekuler, namun komunitas agama
diberi otonomi yurisdiksi, terutama dalam hal status pribadi dan pendidikan. Inti fitur pengaturan ini berasal dari sistem Ottoman millet
dalam semi-otonom daerah-daerah kantong yurisdiksi untuk agama minoritas. Negara-negara seperti Kenya, India dan Israel mengakui
komunitas agama atau adat otonomi yurisdiksi untuk menjalankan tradisi mereka sendiri di beberapa wilayah hukum, terutama hukum keluarga.
Sebagai contoh India yang sudah lama berdebat mengenai ruang lingkup dan status hukum Muslim dan Hindu pribadi agama, versus hak-
hak individu dan kebebasan yang dilindungi oleh Konstitusi India. Salah
78
Ibid., hlm. 433-435.
44 satu contoh pertentangan yang ada di India adalah perjuangan antara
pendukung sekularisme universal dan para pendukung status quo, di mana agama minoritas terutama Muslim menikmati otonomi yurisdiksi tertentu
dalam hal status pribadi, terutama pernikahan dan perceraian.
Kasus Shah Bano adalah salah satu ilustrasi pertentangan tersebut. Kasus ini melibatkan wanita Muslim tua yang sudah bercerai dengan
suaminya 43 tahun melalui praktik Muslim talak, yang memungkinkan seorang suami untuk menentukan perceraian secara keseluruhan. Namun,
Shah Bano tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya dan kelima anaknya, ia berupaya mencari biaya penghidupan dirinya dan anak-
anaknya di pengadilan.
Menurut hukum privat muslim, mantan suami Shah Bano hanya berkewajiban untuk membayarnya sejumlah kecil uang penghidupan
selama tiga bulan setelah perceraian, yang dikenal sebagai periode iddat. Bagian 125 dari Hukum Acara Pidana menetapkan bahwa seorang suami
dapat diperintahkan untuk membayar pemeliharaan untuk istri atau mantan istri jika ia tidak mampu mempertahankan dirinya sendiri. Namun,
menurut Pasal 127 dari ketentuan yang sama, pembayaran pemeliharaan ditinjau kembali oleh pengadilan di mana wanita telah menerima jumlah
itu karena di bawah hukum privat.
Dalam putusan kasus Muhammad Ahmad Khan v Shah Bano Begum, Mahkamah Agung India menyatakan negara menetapkan bahwa
45 ketentuan mengenai hak istri atas pemeliharaan yang diabaikan adalah
terlepas dari hukum privat di India yang berlaku terhadap para pihak. Dengan kata lain, hak-hak individu dan norma-norma kesetaraan gender
yang lebih mendasar dari praktik yang sudah berjalan lama di India menjadi yurisdiksi hukum Muslim. Pengadilan menyatakan bahwa hak
atas pemeliharaan menurut Pasal 125 adalah hak hukum sekuler yang bisa dilakukan terlepas dari hukum pribadi para pihak, dan itu bagian 125
mengesampingkan hukum pribadi, jika ada konflik antara dua ketentuan.
Dengan demikian sebenarnya konsep negara yang memberikan otonomi terhadap daerah-daerah yurisdiksinya dalam hal urusan beragama
justru memicu banyak kesenjangan ketika berada di level negara. Hal ini dikarenakan rentannya ketidakharmonisan dalam pola hukum yang ada di
negara tersebut.
h. Strong Establishment – Religion as a Constitutionally Enshrined
Source of Legislation
79
Model ini identik dengan theokrasi yang memiliki empar unsur utama yakni: 1 adanya sebuah agama tunggal atau denominasi agama
yang resmi disahkan oleh negara, yang menjadi agama negara, 2 mengabadikan agama sebagai sumber utama legislasi dan interpretasi
hukum-hukum dasarnya, dengan kata lain hukum tidak boleh melanggar perintah-perintah agama negara tersebut, 3 hubungan badan keagamaan
79
Ibid., hlm. 435-437.
46 dan pengadilan diberi status yurisdiksi resmi di kedua basis regional atau
substantif, dan yang beroperasi sebagai sistem pengadilan sipil, dan 4 kepatuhan terhadap perbedaan formal antara otoritas politik dan otoritas
keagamaan, perlindungan kebebasan beragama bagi kaum minoritas, dan adanya beberapa bentuk judicial review aktif. Yang paling penting,
otonomi yurisdiksi negara ini memiliki beberapa aspek kunci dari yurisprudensi pengadilan agama yang akan ditinjau kembali oleh
pengadilan konstitusional tertinggi negara.
80
Sebagian besar norma hukum yang berlaku adalah agama. Namun pada daerah-daerah yurisdiksi tertentu, seperti hukum ekonomi atau
aspek tertentu dari kesetaraan gender, dipengaruhi oleh hukum agama. Salah satu kasus menarik adalah penerapan model negara ini di Arab
Saudi. Sistem hukum Arab Saudi sepenuhnya berdasarkan fiqh yurisprudensi Islam. Pasal 1 Konstitusi Arab Saudi 1993 berbunyi:
“Kerajaan Arab Saudi adalah negara Islam berdaulat Arab dengan Islam sebagai agamanya; Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, doa Tuhan dan
SAW adalah konstitusi”. Pasal 23 menetapkan kewajiban negara untuk memajukan Islam: Negara melindungi Islam; yaitu menerapkan syariat
nya, melainkan perintah orang untuk melakukan yang benar dan menghindari yang jahat, melainkan memenuhi tugas mengenai panggilan
Allah”. Pada saat yang sama, Bab IV Konstitusi Arab Saudi berjudul: Prinsip Ekonomi melindungi hak milik pribadi, memberikan jaminan
80
Ibid., hlm. 436.
47 terhadap penyitaan aset, dan menunjukkan bahwa pembangunan
ekonomi dan sosial yang harus dicapai sesuai dengan rencana yang adil dan ilmiah. Selain itu, pengadilan Saudi menerapkan syariat dalam
segala hal status perdata, pidana atau pribadi, Pasal 232 dari Royal SK 1965 menyediakan untuk pembentukan sebuah komisi untuk
penyelesaian semua sengketa komersial. Meskipun hakim di pengadilan biasa biasanya ditunjuk oleh Menteri Kehakiman dari kalangan lulusan
perguruan tinggi syariat diakui oleh hukum, anggota komisi untuk penyelesaian sengketa diangkat oleh Departemen Perdagangan. Dengan
kata lain, Arab Saudi telah secara efektif mengecualikan keuangan, perbankan dan modal perusahaan dari penerapan aturan syariat. Contoh
lebih lembut dari model ini yang umum di dunia Islam, dari Qatar atau Uni Emirat Arab ke tujuan eksotis seperti Maladewa atau Comoros di
Samudera Hindia. Singkatnya, agama telah membuat timbal balik yang besar selama beberapa dekade terakhir, dan sekarang menjadi de facto
dan de jure pilar identitas kolektif, nasional dan hukum konstitusional di negara-negara mayoritas Muslim di Asia, Afrika dan Timur Tengah.
2. Kewajiban-kewajiban Korelatif Negara