18
B. Fundasi
Ratio Legis Kebebasan Beragama Sebagai HAM
Gagasan tentang HAM berkembang secara bertahap. Hak-hak mengenai kebebasan pertama dikemukakan melawan kesewenang-wenangan raja-raja
absolut abad ke-17. Penduduk Amerika Utara menciptakan daftar-daftar HAM berdasarkan pengalaman pahit mereka di Inggris dulu dan kemudian sebagai
orang jajahan. Dengan kata lain sebenarnya HAM lahir dari kezaliman. Setiap hak asasi merupakan hasil perkembangan kesadaran umum dalam salah satu golongan
masyarakat. Hanya karena akhirnya sebagian besar masyarakat yakin bahwa segi kemanusiaan itu memang harus dijamin, hal itu mendapat pengakuan sebagai
asasi dalam daftar-daftar resmi yang akhirnya memperoleh kedudukan hukum.
11
Salah satu hak tersebut adalah hak atas kebebasan beragama. Tidak dapat diragukan lagi bahwa agama memainkan peran yang sangat penting dalam
kehidupan setiap orang. Bahkan di Indonesia, memiliki agama merupakan sebuah bagian dari keharusan identitas individual yang menjadi penting dalam proses
reproduksi “politik identitas” dan bahkan telah menjadi bagian dari national identity di Indonesia.
12
Namun di sisi lain, kebebasan beragama justru dipandang sebagai salah satu pemicu konflik. Pernyataan ini muncul di dunia barat, di mana banyak pihak
yang menilai agama menjadi penyebab konflik atau pendorong ke arah terjadinya
11
Franz Magins Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 56.
12
Nicola Colbran, Op. Cit., hlm. 681.
19 kekerasan.
13
Pernyataan ini didukung oleh Huntington yang mengemukakan bahwa fase besar berikutnya dalam hubungan internasional akan merefleksikan
interaksi-interaksi antar peradaban, dan bukannya interaksi-interaksi antar negara bangsa atau antar ideologi.
14
Dengan kata lain, keyakinan beragama yang bersifat pribadi ketika menjadi sebuah kebebasan merupakan suatu persoalan perselisihan
paham antar komunitas.
15
Perlindungan internasional terhadap kebebasan beragama telah menjalain transformasi sejarah dalam kurum waktu lima abad terakhir dan membuktikan
pentingnya kebebasan beragama. Tahapannya terdiri dari tiga model perlindungan politik terhadap kebebasan beragama yang sangat berbeda, dilaksanakan
berurutan, namun overlapping:
16
a. Model cuius regio, eius religio: perjanjian damai internasional
menentukan pemisahan wilayah bagi orang dari kepercayaan agama yang berbeda, dengan menjaga orang beragama tertentu dan
menyediakan sedikit toleransi terhadap sedikit pembangkang. b.
Model perlindungan minoritas: traktat internasional bilateral maupun multilateral yang menyediakan perlindungan bagi agama minoritas
dalam suatu wilayah negara dari etnik atau agama minoritas yang mendominasi kekuasaan.
13
Malcolm D. Evans, Analisis Historis terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan sebagai Cara Menyelesaikan Konflik dalam Tore Lindholm, Op. Cit., hlm. 90-91.
14
Samuel P. Huntington dalam Tore Lindholm, Op. Cit., hlm. 91.
15
Ibid.
16
Malcolm D. Evans, Op. Cit., hlm. 90.
20 c.
Model hak asasi manusia: traktat internasional global ataupun regional yang mengkdifikasikan standar internasional terhadap HAM
universal dari individu dan komunitas agama atau pandangan hidup terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Perdebatan tentang kebebasan beragama sebagai HAM juga terjadi di Indonesia. Perdebatan ini dimulai sejak penyusunan rancangan UUD 1945 yang
bertitik pangkal pada suatu pertanyaan ‘apakah negara harus mengatur HAM
ataukah tidak’.
17
Ada dua pandangan yang berbeda di antara para penyusun konstitusi Indonesia. Pendapat Soekarno yang didukung oleh Soepomo menyatakan
Indonesia tidak perlu memasukkan pengaturan mengenai HAM dalam Konstitusi karena pada dasarnya Indonesia adalah negara yang berasaskan kekeluargaan,
sedangkan HAM dipandang ranah paham individualisme dan liberalisme.
18
Pandangan tersebut ditentang oleh M. Hatta dan M. Yamin yang menginginkan agar hak-hak manusia diatur dalam UUD. Kekhawatiran Hatta adalah dengan
tidak adanya jaminan atas hak tersebut dalam UUD, akan menjadikan Negara yang baru dibentuk menjadi negara kekuasaan. Hal ini berarti bahwa tidak ada
batasan negara untuk melakukan apapun terhadap rakyatnya. Namun akhirnya, pada 16 Juli 1945 perdebatan dalam BPUPKI menghasilkan kompromi sehingga
17
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta,
2010. Hlm. 24-29.
18
Ibid., hlm. 27-28.
21 diterima beberapa ketentuan dalam UUD tentang HAM. Bahkan dalam masa
transisi konstitusi Indonesia pun ketentuan HAM tidak pernah tertinggal.
19
Salah satu jenis HAM yang juga dibahas, bahkan dibahas secara tersendiri oleh para pendiri negara adalah tentang agama. Dalam sidang BPUPKI ada 2
pendapat yang saling berseberangan mengenai dasar negara Indonesia. Hal ini berimplikasi pada persoalan penetapan konsep hubungan antara negara dan
agama. Indonesia bukan negara sekuler serta bukan negara agama mayoritas. Dalam sidang-sidang BPUPKI tahun 1945, golongan Islam menyatakan bahwa
Indonesia harus berdasarkan Islam sesuai dengan Al- Qur’an dan Sunah. Namun
pendapat ini ditentang oleh kaum nasionalis yang menyadari adanya agamakepercayaan lain di Indonesia. Perdebatan tersebut akhirnya mencapai
konsensus penting berupa Rancangan UUD yang memuat pasal mengenai kebebasan beragama yang berbunyi “Negara menjamin kebebasan setiap warga
negara untuk memeluk agama apa pun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama masing-
masing.”
20
Namun golongan Islam tidak menyetujui sehingga diubah menjadi, pertama
, “Negara harus mendasarkan pada Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kedua, “Negara akan menjamin
kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama lain dan untuk beribadah
19
Transisi yang dimaksud meliputi pengaturan agama dalam: a Pasal 29 UUD 1945 tepatnya dalam Bab XI, b Pasal 18 Konstitusi RIS 1950, c Pasal 18 UUDSementara 1950, d UUD
1945 amandemen I-IV yang dianut hingga saat ini ketentuan mengenai agama tidaak diamandemen.
20
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009, hlm. 102.
22 sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
21
Sekali lagi golongan Islam menentang ayat kedua ketentuan tersebut sehingga diubah menjadi “Negara
menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama masing-
masing.”
Konsep negara Islam ditentang oleh kaum nasionalis dengan latar belakang keanekaragaman agamakepercayaan yang diyakini oleh bangsa
Indonesia. Ketentuan mengenai syari’at Islam berpotensi timbulnya kedudukan
yang lebih menguntungkan bagi Islam dibandingkan dengan penganut agama lain.
22
Di samping konsep negara Islam, konsep negara sekuler juga ditentang sebagai dasar negara Indonesia karena dipandang sebagai sebuah pemikiran,
tujuan, dan sikap yang terbatas pada kehidupan duniawi. Sekulerisme dianggap tidak sanggup memberi bimbingan yang kuat dan tegas dibanding agama.
23
Penolakan terhadap konsep-konsep hubungan negara dan agama tersebut menyebabkan konsep hubungan negara dan agama di Indonesia sangat ambigu.
Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang membuat
Indonesia semakin digambarkan sebagai bukan negara sekuler namun juga bukan negara agama mayoritas.
24
21
Ibid. Hlm. 103.
22
Ibid. Hlm. 105.
23
Ibid. Hlm. 106.
24
Nicola Cobran, Kebebasan Beragama atau Nerkeyakinan di Indonesia dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit
., hlm. 683. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kompromi antara kelompok pendukung nasionalisme sekuler dan kelompok yang menginginkan Islam sebagai
dasar negara.
23 Hal ini dipertegas oleh Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 tersebut berbunyi
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 sebagai penjabarannya menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau
memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam
kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya.
25
C. Ruang Lingkup atau Cakupan Hak Atas Kebebasan Beragama