23 Hal ini dipertegas oleh Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 tersebut berbunyi
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 sebagai penjabarannya menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau
memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam
kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya.
25
C. Ruang Lingkup atau Cakupan Hak Atas Kebebasan Beragama
Sebagai HAM
Secara garis besar, hak atas kebebasan beragama mencakup kebebasan untuk
meyakini agamakeyakinan
serta kebebasan
dalam menjalankanmengekspresikan agamakeyakinan tersebut.
26
Kebebasan meyakini agama merupakan kebebasan untuk meyakini atau tidak meyakini agama tertentu.
Sementara kebebasan mengekspresikan agamakeyakinan mencakup kebebasan yang baik individual atau dalam komunitas dan di depan umum atau pribadi,
untuk memanifestasikan agamakeyakinannya dalam pengajaran, praktik ibadah dan ketaatan.
Pasal 18 ICCPR yang merupakan salah satu tonggak perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama membedakan kebebasan berpikir,
bernurani, beragama
atau keyakinan
dengan kebebasan
untuk
25
Buku VIII Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945. Hlm. 372-374.
26
Fulthoni, et al., Op.cit. Hlm. 9.
24 megekspresikanmenjalankan agama atau keyakinan.
27
Yang dimaksud dengan kebebasan memeluk agama di sini adalah perlindungan terhadap kebebasan atas
keyakinan teistik, kepercayaan non-teistik dan ateistik, serta hak untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan.
28
Kebebasan ini meliputi kebebasan memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk mengganti agama atau keyakinan yang
sedang dianut dengan agama atau keyakinan lainnya atau mengikuti pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama atau kepercayaan yang pernah
dipeluknya.
29
Dalam menikmati haknya tersebut, tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk mempunyai atau menganut agama atau
keyakinannya sesuai dengan pilihannya.
30
Hal ini bermakna bahwa terdapat pelarangan terhadap pemaksaan kehendak berkenaan dengan memeluk agama
atau keyakinan terhadap penganut atau non-penganut agama untuk mengikuti keyakinan maupun jamaah keagamaan tertentu.
31
Sedangkan yang
dimaksud dengan
kebebasan untuk
mengekspresikanmenjalankan agama atau keyakinan menjangkau pengertian yang
luas, dikarenakan
kebebasan ini
mencakup kebebasan
27
General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 3.
28
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 2.
29
General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 5.
30
Article 182 ICCPR.
31
General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 5.
25 menjalankanmengekspresikan agama baik secara individu ataupun secara
berkelompok dengan orang lain secara umum atau pribadi. Hal ini mencakup pelaksanaan ritual dan seremonial yang memberikan dampak langsung terhadap
keyakinan, maupun pengalaman sejenis yang integral termasuk pembangunan tempat ibadah, penggunaan formula maupun peralatan ritual dan simbol
keagamaan, serta
ibadah pada
hari libur.
32
Kebebasan menjalankanmemanifestasikan agama seseorang ini dapat dibatasi oleh ketentuan
berdasarkan hukum sepanjang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
33
Berikut adalah ketentuan-ketentuan spesifik tentang pembatasan yang berlaku bagi hak atas kebebasan untuk menjalankanmemanifestasikan
agamakeyakinan:
Article 18 3 ICCPR: “Freedom to manifest ones religion or beliefs may be subject only to such
limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of
others.” Article 9 2 ECHR:
“Freedom to manifest one’s religion or beliefs shall be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary in a
democratic society in the interests of public safety, for the protection of public order, health or morals, or for the protection of the rights and
freedoms of others
.”
32
General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 4.
33
Article 18 3 ICCPR, Article 9 2 ECHR, Article 12 3 ACHR. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 8.
26 Article 12 3 ACHR:
“Freedom to manifest ones religion and beliefs may be subject only to the limitations prescribed by law that are necessary to protect public safety,
order, health, or morals, or the rights or freedoms of others.” Pembatasan yang diperbolehkan terhadap hak atas kebebasan beragama
khususnya hak untuk menjalankanmemanifestasikan agamakeyakinannya meliputi:
1. Pembatasan-pembatasan dalam rangka keamanan publik public safety
Pembatasan berdasarkan keamanan publik public safety bertujuan untuk mencegah adanya manifestasi agama dalam ranah publik yang
dimungkinkan akan menimbulkan bahaya tertentu dan mengancam keselamatan orang-orang atau keselamatan harta benda.
34
Ketika ancaman terkait agama bersifat mengancam publik, maka negara diberi kewenangan
untuk mengambil upaya yang benar-benar diperlukan dan proporsional dalam rangka melindungi keselamatan publik, yakni dengan penindakan
terhadap kelompok keagamaan yang mengancam tersebut bahkan dengan memberikan ancaman pidana.
Dalam kasus M. A. v. Italy, Komite HAM menganggap bahwa suatu penuntutan pidana terhadap upaya untuk menyusun kembali fasisme
yang sudah dibubarkan di Italia merupakan suatu intervensi yang diperbolehkan terhadap kebebasan berkeyakinan sesuai Article 18 3
34
Manfred Nowak, Pembatasan-Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 207.
27 ICCPR.
35
Umumnya pemerintah menggunakan klausul “keselamatan publik” sebagai dasar penindakan terhadap perlindungan keselamatan
individual orang-orang yang terkena pembatasan tersebut. Dalam kasus X v. UK, komisi HAM Eropa menganggap hukum di Inggris yang
mengharuskan semua pengendara sepeda motor untuk menggunakan helm sebagai hukum yang diperbolehkandibenarkan untuk melindungi
keselamatan publik, bahkan ketika hukum tersebut diterapkan kepada penganut Sikh.
36
2. Pembatasan-pembatasan dalam rangka ketertiban public order
Kebebasan menjalankan agama juga dapat dibatasi berdasarkan perlindungan atas ketertiban public order. Hal ini untuk menghindari
gangguan pada tatananketertiban publik dalam pengertiannya yang sempit.
37
Pembatasan yang
diizinkan terhadap
kebebasan memanifestasikanmenjalankan agama seseorang demi kepentingan
tatanan ketertiban publik adalah keharusan bagi komunitas keagamaan untuk didaftar sebagai entitas legal berdasarkan hukum domestik
38
dan untuk menaati peraturan perundang-undangan yang mengatur pertemuan-
35
M. A. v. Italy, comm. No. 1171981 UN Human Rights Committee, 10 April 1984, keputusan penolakan.
36
X v. UK, App No. 799277 EcomHR, 14 Keputusan dan laporan 234, 12 Juli 1978, keputusan penolakan. Lihat juga Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 208.
37
Manfred Nowak., Op. Cit., hlm. 209. Yang dimaksud dengan ketertibantatanan publik dalam Pasal 9 2 ECHR hanya mengacu pada gagasan “tatanan di tempat-tempat yang dapat diakses
setiap orang”.
38
Canea Catholic Church v. Greece, 27 EHRR 329 1999 ECTHR 1997-VIII, 16 Desember 1997 pelanggaran terhadap ECHR, Article 6 dan 14, tidak ada pengujian Article 9.
28 pertemuan publik atau pendirian tempat-tempat peribadatan publik.
Namun ketika pengaturan tersebut justru digunakan secara sewenang- wenang dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok keagamaan
tertentu, maka hal ini akan menjadi suatu pelanggaran terhadap kebebasan beragama.
39
Dalam kasus Mannousakis v. Greece, misalnya, pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaiankebenaran dari suatu dakwaan terhadap
pendirian dan pengoperasian suatu rumah ibadat tanpa izin dari Menteri Urusan Pendidikan dan Agama Yunani.
40
Pengadilan menyatakan bahwa penerapan keharusan adanya perizinan memang selaras dengan Article 9
ECHR, namun dengan catatan hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah sudah dipenuhi atau belum. Namun pengadilan
menemukan dan mengemukakan bahwa Yunani telah menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula persyaratan-persyaratan yang kaku,
atau yang bersifat mempersulit, bahkan melarang praktik keagamaan tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan terhadap pemohon
merupakan suatu bentuk intervensi terhdap kebebasan mereka dalam memanifestasikan
agama mereka,
suatu intervensi
yang tidak
diperlukantidak diharuskan dalam suatu masyarakat demokratik.
41
3. Pembatasan-pembatasan dalam rangka perlindungan kesehatan publik
39
Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 212.
40
Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 1997 EctHR 1996-IV, 26 September 1996.
41
Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 213.
29 Kebebasan menjalankan suatu agama juga diperbolehkan untuk
dibatasi dalam kerangka perlindungan kesehatan publik.
42
Pembatasan- pembatasan yang diperbolehkan karena alasan kesehatan publik
dimaksudkan untuk mengizinkan intervensi negara dalam rangka mencegah wabah atau penyakit-penyakit lain. Misalnya pada kasus X v.
The Netherland, hukum Belanda menerapkan kewajiban supaya peternak sapi perah wajib menjadi anggota program kesehatan dalam rangka
mencegah tuberkolosis pada ternak. Namun kenyataannya ada sekelompok petani Protestan Belanda yang menolak ketentuan ini. Pengadilan HAM
Eropa menjustifikasi ketentuan negara ini dengan memperbolehkan keberlakuan kewajiban tersebut karena hal ini demi menyelamatkan dari
bahaya yang mengancam kesehatan anggota atau bahkan pihak lain.
43
4. Pembatasan-pembatasan dalam rangka perlindungan moral
Moral merupakan alasan paling tidak jelas dan paling kontroversial dari semua alasan untuk menjustifikasi pembatasan kebebasan
menjalankanmemanifestasikan suatu agama. Konsep moral diderivasikan dari banyak tradisi sosial, filosofis dan agama. Akibatnya, pembatasan
terhadap kebebasan memanifestasikan agamakeyakinan demi melindungi moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang tidak hanya berasal dari
42
Article 18 3 ICCPR, Article 9 2 ECHR, Article 12 3 ACHR. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 8.
43
X v. The Netherland, App. No. 106861 EcomHR, 14 Desember 1962, keputusan penolakan, Yb 5, 278.
30 tradisi tunggal.
44
Ketika setting sosial menjadi semakin pluralistik, cukup beralasan untuk memperkirakan bahwa akan semakin luas dan banyak
situasi dimana praktik keagamaan dapat bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dianut secara luas. Namun merujuk pada perbedaan standar
dan tolok ukur moral di wilayah tertentu, maka pembatasan ini diperbolehkan sesuai dengan diskresi negara sepanjang tidak menimbulkan
pelanggaran terhadap kebebasan umum.
45
5. Pembatasan-pembatasan demi melindungi hak-hak dan kebebasan
fundamental orang-orang lain.
Pembatasan yang mengacu pada kategori ini mengedepankan toleransi sebagai dasar utama. Hal ini dikarenakan agama memiliki
tendensi inheren untuk berinteraksi dengan agama lain. Bahkan terkadang dalam cara-cara yang mengganggu kebebasan beragama orang lain. Di
sinilah letak
pembolehan pembatasan
terhadap kebebasan
memanifestasikan agamakeyakinan
seseorangsekelompok orang.
46
Praktik yang dapat dibatasi berupa a penyebaran agama secara tidak patut proselytism, b penghujatan blasphemy, serta c pelanggaran
44
General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 8.
45
Ibid.
46
Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 222.
31 terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari orang-orang
lain.
47
Salah satu kasus utama mengenai proselytism adalah Kokkinakis v. Greece
48
yang mengadili pasangan suami istri yang didakwa melakukan aktivitas penyebaran agama dengan berkunjung dari pintu ke pintu untuk
membujuk orang lain untuk menjadi penganut agama mereka. Pengadilan menegaskan bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan
agamanya meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain, namun tidak termasuk proselytism menyebarkan agama dengan cara yang tidak
patut, seperti menawarkan keuntungan sosial atau materi atau melakukan tekanan tidak patut dengan maksud untuk memperoleh anggota baru.
49
Jika proselytism
ditujukan untuk
melindungi kebebasan
berkeyakinan, agama atau kepercayaan dari kemungkinan aktivitas penyebaran agama secara tidak patut oleh kelompok agama lain,
penghujatan blasphemy dimaksudkan untuk melindungi perasaan keagamaan individu dari kemungkinan diciderai oleh orang lain. Kasus
yang terkenal adalah Otto-Preminger-Institut v. Austria menyangkut film Das Liebeskonzil.
50
Pengadilan HAM Eropa membenarkan penyitaan dan pelarangan film tersebut oleh Austria berdasarkan Pasal 10 2 karena
47
Ibid., hlm. 222-230.
48
Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 1994 EctHR 260-A, 25 Mei 1993.
49
Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik, Op. Cit., hlm. 223-224.
50
Otto-Preminger-Institut v. Austria, 19 EHRR 34 1995 EctHR 295-A, 20 September 1994.
32 diperlukandiharuskan untuk melindungi hak mayoritas penduduk Tyrl
yang beragama Katholik Roma demi penghormatan yang sepantasnya terhadap kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama mereka yang
telah dilindungi dalam Pasal 9 ECHR. Secara umum, yurisprudensi pengadilan HAM Eropa sangat melindungi standar-standar moral yang
disamakan dengan perasaan keagamaan mayoritas ataupun minoritas di negara masing-masing.
Kebebasan menjalankan agamakeyakinan seseorang juga harus memperhatikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari orang
lain. Hak-hak fundamental orang lain tersebut berwujud hak untuk hidup, kebebasan, integritas, ruang pribadi, perkawinan, harta kekayaan,
kesehatan, pendidikan, kesetaraan, larangan perbudakan serta penyiksaan dan juga hak-hak minoritas.
51
Dari cakupan hak atas kebebasan beragama yang dibagi menjadi dua bagian tersebut kebebasan berpikir, bernurani, beragama atau keyakinan; serta
kebebasan untuk mengekspresikanmenjalankan agama atau keyakinan, maka dapat terlihat bahwa sesungguhnya terda
pat perbedaan “bobot” perlindungan terhadapnya. Klausul pembatasan dalam Article 18 3 ICCPR, Article 9 2
ECHR, Article 12 3 ACHR hanya berlaku bagi kebebasan seseorang dalam menjalankanmemanifestasikan agamakeyakinannya saja, dan tidak berlaku bagi
51
Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik, Op. Cit., hlm. 228.
33 dimensi internal berpikir, nurani, beragama, atau berkeyakinan.
52
Dalam hal apapun, kebebasan memeluk dan meyakini suatu agamakeyakinan secara luas
dianggap sebagai kebebasan absolut.
53
Dengan pengertian lain hal ini tidak boleh diintervensi oleh negara.
Dalam rangka melindungi kebebasan beragama, diperlukan adanya pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan menjalankanmemanifestasikan
agama seseorang.
54
Perbedaan konsep perlindungan antara kebebasan memeluk dan
meyakini suatu
agamakeyakinan dengan
kebebasan menjalankanmemanifestasikan agama erat kaitannya dengan toleransi. Ketika
berbicara tentang kebebasan memeluk dan meyakini suatu agamakeyakinan, kebebasan seseorang mengacu pada urusan personal.
55
Yang dimaksud dengan urusan personal adalah urusan antara individu seseorang dengan Tuhannya
sehingga hal ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dalam keadaan apapun karena merupakan hak yang absolut.
56
Namun ketika berbicara tentang kebebasan untuk mengekspresikanmenjalankan agama atau keyakinan maka hubungan yang
terbentuk bukan hanya antara individu dengan Tuhannya, namun juga antara
52
Ibid.
53
Malcolm D. Evans, Religious Liberty anf International Law in Europe, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 221, 317. Lihat Cantwell v. Connecticut, 310 U.S. 296, 303
–04 1940; Bowen v. Roy, 476 U.S. 693, 699 1986 dalam Ioannis G. Dimitrakopoulos, Individual
Rights and Liberties Under the U.S. Constitution, Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, 454.
54
Melissa S. Williams Jeremy Waldron, Toleration and Its Limits, New York: New York University Press, 2008, hlm. 31.
55
Melissa S. Williams Jeremy Waldron. Op.,Cit. Hlm. 7.
56
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 2.
34 individu satu dengan individu lain. Sehingga yang perlu ditekankan adalah adanya
toleransi yang ujungnya demi menghormati hak-hak orang lain pula.
57
Lindholm secara spesifik mengemukakan tentang ruang lingkup hak atas kebebasan beragama meliputi delapan elemen:
58
1. Kebebasan Internal
Artinya, setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Hak ini mencangkup kebebasan untuk setiap
orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.
59
2. Kebebasan Eksternal
Hal ini bermakna setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran pengamalan, ibadah dan penaatan.
60
3. Tanpa Dipaksa
57
Nihal Jayawickrama. Op. Cit., hlm. 8.
58
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 19. Lihat juga Ketentuan utama dalam Pasal 18 UDHR, Pasal 18 serta Pasal 2 2 dan Pasal 42 ICCPR., Deklarasi 1981, Pasal 9 ECHR, serta Pasal 12
ACHR.
59
General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion menjelaskan bahwa “Article 18 melindungi keyakinan yang mempercayai Tuhan, yang tidak
percaya pada Tuhan dan ateis, maupun hak untuk tidak mengakui memeluk agama atau keyakinan apapun.” Hal ini termasuk hak untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau
pindah agama atau keyakinan.
60
Article 181 ICCPR, Article 9 ECHR.
35 Tanpa dipaksa bermakna tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga
terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.
61
4. Tanpa Diskriminasi
Maknanya adalah Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hal kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang
yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa
pembedaan apapun.
62
5. Hak Orang Tua dan Wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan
agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan
beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang.
63
6. Kebebasan Korporat dan Kedudukan Hukum
Artinya komunitas keagamaan mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri.
Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak ingin menggunakan
61
Article 182 ICCPR.
62
Article 21 ICCPR.
63
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 20. Lihat juga Article 184 ICCPR dan Article 14 Convention on the Right of The Child.
36 kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim diakui bahwa mereka
memiliki hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan
agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain.
64
7. Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Eksternal
Pembatasan atas hak kebebasan beragama hanya dapat dilakukan apabila memang diperlukan untuk melindungi keamanan publik,
ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar orang lain.
65
8. Tidak Dapat Dikurangi
Tidak ada satupun pihak yang dapat mengurangi hak atas kebebasan beragama yang dimiliki oleh setiap orang.
66
D. Kewajiban-Kewajiban Korelatif Negara Terhadap Hak Atas