Ruang Lingkup atau Cakupan Hak Atas Kebebasan Beragama

23 Hal ini dipertegas oleh Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 tersebut berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 sebagai penjabarannya menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya. 25

C. Ruang Lingkup atau Cakupan Hak Atas Kebebasan Beragama

Sebagai HAM Secara garis besar, hak atas kebebasan beragama mencakup kebebasan untuk meyakini agamakeyakinan serta kebebasan dalam menjalankanmengekspresikan agamakeyakinan tersebut. 26 Kebebasan meyakini agama merupakan kebebasan untuk meyakini atau tidak meyakini agama tertentu. Sementara kebebasan mengekspresikan agamakeyakinan mencakup kebebasan yang baik individual atau dalam komunitas dan di depan umum atau pribadi, untuk memanifestasikan agamakeyakinannya dalam pengajaran, praktik ibadah dan ketaatan. Pasal 18 ICCPR yang merupakan salah satu tonggak perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama membedakan kebebasan berpikir, bernurani, beragama atau keyakinan dengan kebebasan untuk 25 Buku VIII Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945. Hlm. 372-374. 26 Fulthoni, et al., Op.cit. Hlm. 9. 24 megekspresikanmenjalankan agama atau keyakinan. 27 Yang dimaksud dengan kebebasan memeluk agama di sini adalah perlindungan terhadap kebebasan atas keyakinan teistik, kepercayaan non-teistik dan ateistik, serta hak untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan. 28 Kebebasan ini meliputi kebebasan memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk mengganti agama atau keyakinan yang sedang dianut dengan agama atau keyakinan lainnya atau mengikuti pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama atau kepercayaan yang pernah dipeluknya. 29 Dalam menikmati haknya tersebut, tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk mempunyai atau menganut agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya. 30 Hal ini bermakna bahwa terdapat pelarangan terhadap pemaksaan kehendak berkenaan dengan memeluk agama atau keyakinan terhadap penganut atau non-penganut agama untuk mengikuti keyakinan maupun jamaah keagamaan tertentu. 31 Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan untuk mengekspresikanmenjalankan agama atau keyakinan menjangkau pengertian yang luas, dikarenakan kebebasan ini mencakup kebebasan 27 General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 3. 28 Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 2. 29 General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 5. 30 Article 182 ICCPR. 31 General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 5. 25 menjalankanmengekspresikan agama baik secara individu ataupun secara berkelompok dengan orang lain secara umum atau pribadi. Hal ini mencakup pelaksanaan ritual dan seremonial yang memberikan dampak langsung terhadap keyakinan, maupun pengalaman sejenis yang integral termasuk pembangunan tempat ibadah, penggunaan formula maupun peralatan ritual dan simbol keagamaan, serta ibadah pada hari libur. 32 Kebebasan menjalankanmemanifestasikan agama seseorang ini dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum sepanjang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. 33 Berikut adalah ketentuan-ketentuan spesifik tentang pembatasan yang berlaku bagi hak atas kebebasan untuk menjalankanmemanifestasikan agamakeyakinan: Article 18 3 ICCPR: “Freedom to manifest ones religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.” Article 9 2 ECHR: “Freedom to manifest one’s religion or beliefs shall be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary in a democratic society in the interests of public safety, for the protection of public order, health or morals, or for the protection of the rights and freedoms of others .” 32 General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 4. 33 Article 18 3 ICCPR, Article 9 2 ECHR, Article 12 3 ACHR. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 8. 26 Article 12 3 ACHR: “Freedom to manifest ones religion and beliefs may be subject only to the limitations prescribed by law that are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the rights or freedoms of others.” Pembatasan yang diperbolehkan terhadap hak atas kebebasan beragama khususnya hak untuk menjalankanmemanifestasikan agamakeyakinannya meliputi: 1. Pembatasan-pembatasan dalam rangka keamanan publik public safety Pembatasan berdasarkan keamanan publik public safety bertujuan untuk mencegah adanya manifestasi agama dalam ranah publik yang dimungkinkan akan menimbulkan bahaya tertentu dan mengancam keselamatan orang-orang atau keselamatan harta benda. 34 Ketika ancaman terkait agama bersifat mengancam publik, maka negara diberi kewenangan untuk mengambil upaya yang benar-benar diperlukan dan proporsional dalam rangka melindungi keselamatan publik, yakni dengan penindakan terhadap kelompok keagamaan yang mengancam tersebut bahkan dengan memberikan ancaman pidana. Dalam kasus M. A. v. Italy, Komite HAM menganggap bahwa suatu penuntutan pidana terhadap upaya untuk menyusun kembali fasisme yang sudah dibubarkan di Italia merupakan suatu intervensi yang diperbolehkan terhadap kebebasan berkeyakinan sesuai Article 18 3 34 Manfred Nowak, Pembatasan-Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 207. 27 ICCPR. 35 Umumnya pemerintah menggunakan klausul “keselamatan publik” sebagai dasar penindakan terhadap perlindungan keselamatan individual orang-orang yang terkena pembatasan tersebut. Dalam kasus X v. UK, komisi HAM Eropa menganggap hukum di Inggris yang mengharuskan semua pengendara sepeda motor untuk menggunakan helm sebagai hukum yang diperbolehkandibenarkan untuk melindungi keselamatan publik, bahkan ketika hukum tersebut diterapkan kepada penganut Sikh. 36 2. Pembatasan-pembatasan dalam rangka ketertiban public order Kebebasan menjalankan agama juga dapat dibatasi berdasarkan perlindungan atas ketertiban public order. Hal ini untuk menghindari gangguan pada tatananketertiban publik dalam pengertiannya yang sempit. 37 Pembatasan yang diizinkan terhadap kebebasan memanifestasikanmenjalankan agama seseorang demi kepentingan tatanan ketertiban publik adalah keharusan bagi komunitas keagamaan untuk didaftar sebagai entitas legal berdasarkan hukum domestik 38 dan untuk menaati peraturan perundang-undangan yang mengatur pertemuan- 35 M. A. v. Italy, comm. No. 1171981 UN Human Rights Committee, 10 April 1984, keputusan penolakan. 36 X v. UK, App No. 799277 EcomHR, 14 Keputusan dan laporan 234, 12 Juli 1978, keputusan penolakan. Lihat juga Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 208. 37 Manfred Nowak., Op. Cit., hlm. 209. Yang dimaksud dengan ketertibantatanan publik dalam Pasal 9 2 ECHR hanya mengacu pada gagasan “tatanan di tempat-tempat yang dapat diakses setiap orang”. 38 Canea Catholic Church v. Greece, 27 EHRR 329 1999 ECTHR 1997-VIII, 16 Desember 1997 pelanggaran terhadap ECHR, Article 6 dan 14, tidak ada pengujian Article 9. 28 pertemuan publik atau pendirian tempat-tempat peribadatan publik. Namun ketika pengaturan tersebut justru digunakan secara sewenang- wenang dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu, maka hal ini akan menjadi suatu pelanggaran terhadap kebebasan beragama. 39 Dalam kasus Mannousakis v. Greece, misalnya, pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaiankebenaran dari suatu dakwaan terhadap pendirian dan pengoperasian suatu rumah ibadat tanpa izin dari Menteri Urusan Pendidikan dan Agama Yunani. 40 Pengadilan menyatakan bahwa penerapan keharusan adanya perizinan memang selaras dengan Article 9 ECHR, namun dengan catatan hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah sudah dipenuhi atau belum. Namun pengadilan menemukan dan mengemukakan bahwa Yunani telah menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula persyaratan-persyaratan yang kaku, atau yang bersifat mempersulit, bahkan melarang praktik keagamaan tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan terhadap pemohon merupakan suatu bentuk intervensi terhdap kebebasan mereka dalam memanifestasikan agama mereka, suatu intervensi yang tidak diperlukantidak diharuskan dalam suatu masyarakat demokratik. 41 3. Pembatasan-pembatasan dalam rangka perlindungan kesehatan publik 39 Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 212. 40 Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 1997 EctHR 1996-IV, 26 September 1996. 41 Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 213. 29 Kebebasan menjalankan suatu agama juga diperbolehkan untuk dibatasi dalam kerangka perlindungan kesehatan publik. 42 Pembatasan- pembatasan yang diperbolehkan karena alasan kesehatan publik dimaksudkan untuk mengizinkan intervensi negara dalam rangka mencegah wabah atau penyakit-penyakit lain. Misalnya pada kasus X v. The Netherland, hukum Belanda menerapkan kewajiban supaya peternak sapi perah wajib menjadi anggota program kesehatan dalam rangka mencegah tuberkolosis pada ternak. Namun kenyataannya ada sekelompok petani Protestan Belanda yang menolak ketentuan ini. Pengadilan HAM Eropa menjustifikasi ketentuan negara ini dengan memperbolehkan keberlakuan kewajiban tersebut karena hal ini demi menyelamatkan dari bahaya yang mengancam kesehatan anggota atau bahkan pihak lain. 43 4. Pembatasan-pembatasan dalam rangka perlindungan moral Moral merupakan alasan paling tidak jelas dan paling kontroversial dari semua alasan untuk menjustifikasi pembatasan kebebasan menjalankanmemanifestasikan suatu agama. Konsep moral diderivasikan dari banyak tradisi sosial, filosofis dan agama. Akibatnya, pembatasan terhadap kebebasan memanifestasikan agamakeyakinan demi melindungi moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang tidak hanya berasal dari 42 Article 18 3 ICCPR, Article 9 2 ECHR, Article 12 3 ACHR. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 8. 43 X v. The Netherland, App. No. 106861 EcomHR, 14 Desember 1962, keputusan penolakan, Yb 5, 278. 30 tradisi tunggal. 44 Ketika setting sosial menjadi semakin pluralistik, cukup beralasan untuk memperkirakan bahwa akan semakin luas dan banyak situasi dimana praktik keagamaan dapat bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dianut secara luas. Namun merujuk pada perbedaan standar dan tolok ukur moral di wilayah tertentu, maka pembatasan ini diperbolehkan sesuai dengan diskresi negara sepanjang tidak menimbulkan pelanggaran terhadap kebebasan umum. 45 5. Pembatasan-pembatasan demi melindungi hak-hak dan kebebasan fundamental orang-orang lain. Pembatasan yang mengacu pada kategori ini mengedepankan toleransi sebagai dasar utama. Hal ini dikarenakan agama memiliki tendensi inheren untuk berinteraksi dengan agama lain. Bahkan terkadang dalam cara-cara yang mengganggu kebebasan beragama orang lain. Di sinilah letak pembolehan pembatasan terhadap kebebasan memanifestasikan agamakeyakinan seseorangsekelompok orang. 46 Praktik yang dapat dibatasi berupa a penyebaran agama secara tidak patut proselytism, b penghujatan blasphemy, serta c pelanggaran 44 General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 8. 45 Ibid. 46 Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 222. 31 terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari orang-orang lain. 47 Salah satu kasus utama mengenai proselytism adalah Kokkinakis v. Greece 48 yang mengadili pasangan suami istri yang didakwa melakukan aktivitas penyebaran agama dengan berkunjung dari pintu ke pintu untuk membujuk orang lain untuk menjadi penganut agama mereka. Pengadilan menegaskan bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agamanya meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain, namun tidak termasuk proselytism menyebarkan agama dengan cara yang tidak patut, seperti menawarkan keuntungan sosial atau materi atau melakukan tekanan tidak patut dengan maksud untuk memperoleh anggota baru. 49 Jika proselytism ditujukan untuk melindungi kebebasan berkeyakinan, agama atau kepercayaan dari kemungkinan aktivitas penyebaran agama secara tidak patut oleh kelompok agama lain, penghujatan blasphemy dimaksudkan untuk melindungi perasaan keagamaan individu dari kemungkinan diciderai oleh orang lain. Kasus yang terkenal adalah Otto-Preminger-Institut v. Austria menyangkut film Das Liebeskonzil. 50 Pengadilan HAM Eropa membenarkan penyitaan dan pelarangan film tersebut oleh Austria berdasarkan Pasal 10 2 karena 47 Ibid., hlm. 222-230. 48 Kokkinakis v. Greece, 17 EHRR 397 1994 EctHR 260-A, 25 Mei 1993. 49 Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik, Op. Cit., hlm. 223-224. 50 Otto-Preminger-Institut v. Austria, 19 EHRR 34 1995 EctHR 295-A, 20 September 1994. 32 diperlukandiharuskan untuk melindungi hak mayoritas penduduk Tyrl yang beragama Katholik Roma demi penghormatan yang sepantasnya terhadap kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama mereka yang telah dilindungi dalam Pasal 9 ECHR. Secara umum, yurisprudensi pengadilan HAM Eropa sangat melindungi standar-standar moral yang disamakan dengan perasaan keagamaan mayoritas ataupun minoritas di negara masing-masing. Kebebasan menjalankan agamakeyakinan seseorang juga harus memperhatikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari orang lain. Hak-hak fundamental orang lain tersebut berwujud hak untuk hidup, kebebasan, integritas, ruang pribadi, perkawinan, harta kekayaan, kesehatan, pendidikan, kesetaraan, larangan perbudakan serta penyiksaan dan juga hak-hak minoritas. 51 Dari cakupan hak atas kebebasan beragama yang dibagi menjadi dua bagian tersebut kebebasan berpikir, bernurani, beragama atau keyakinan; serta kebebasan untuk mengekspresikanmenjalankan agama atau keyakinan, maka dapat terlihat bahwa sesungguhnya terda pat perbedaan “bobot” perlindungan terhadapnya. Klausul pembatasan dalam Article 18 3 ICCPR, Article 9 2 ECHR, Article 12 3 ACHR hanya berlaku bagi kebebasan seseorang dalam menjalankanmemanifestasikan agamakeyakinannya saja, dan tidak berlaku bagi 51 Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik, Op. Cit., hlm. 228. 33 dimensi internal berpikir, nurani, beragama, atau berkeyakinan. 52 Dalam hal apapun, kebebasan memeluk dan meyakini suatu agamakeyakinan secara luas dianggap sebagai kebebasan absolut. 53 Dengan pengertian lain hal ini tidak boleh diintervensi oleh negara. Dalam rangka melindungi kebebasan beragama, diperlukan adanya pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan menjalankanmemanifestasikan agama seseorang. 54 Perbedaan konsep perlindungan antara kebebasan memeluk dan meyakini suatu agamakeyakinan dengan kebebasan menjalankanmemanifestasikan agama erat kaitannya dengan toleransi. Ketika berbicara tentang kebebasan memeluk dan meyakini suatu agamakeyakinan, kebebasan seseorang mengacu pada urusan personal. 55 Yang dimaksud dengan urusan personal adalah urusan antara individu seseorang dengan Tuhannya sehingga hal ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dalam keadaan apapun karena merupakan hak yang absolut. 56 Namun ketika berbicara tentang kebebasan untuk mengekspresikanmenjalankan agama atau keyakinan maka hubungan yang terbentuk bukan hanya antara individu dengan Tuhannya, namun juga antara 52 Ibid. 53 Malcolm D. Evans, Religious Liberty anf International Law in Europe, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 221, 317. Lihat Cantwell v. Connecticut, 310 U.S. 296, 303 –04 1940; Bowen v. Roy, 476 U.S. 693, 699 1986 dalam Ioannis G. Dimitrakopoulos, Individual Rights and Liberties Under the U.S. Constitution, Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, 454. 54 Melissa S. Williams Jeremy Waldron, Toleration and Its Limits, New York: New York University Press, 2008, hlm. 31. 55 Melissa S. Williams Jeremy Waldron. Op.,Cit. Hlm. 7. 56 Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion paragraf 2. 34 individu satu dengan individu lain. Sehingga yang perlu ditekankan adalah adanya toleransi yang ujungnya demi menghormati hak-hak orang lain pula. 57 Lindholm secara spesifik mengemukakan tentang ruang lingkup hak atas kebebasan beragama meliputi delapan elemen: 58 1. Kebebasan Internal Artinya, setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Hak ini mencangkup kebebasan untuk setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan. 59 2. Kebebasan Eksternal Hal ini bermakna setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran pengamalan, ibadah dan penaatan. 60 3. Tanpa Dipaksa 57 Nihal Jayawickrama. Op. Cit., hlm. 8. 58 Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 19. Lihat juga Ketentuan utama dalam Pasal 18 UDHR, Pasal 18 serta Pasal 2 2 dan Pasal 42 ICCPR., Deklarasi 1981, Pasal 9 ECHR, serta Pasal 12 ACHR. 59 General comment No. 22: Article 18 ICCPR Freedom of thought, conscience or religion menjelaskan bahwa “Article 18 melindungi keyakinan yang mempercayai Tuhan, yang tidak percaya pada Tuhan dan ateis, maupun hak untuk tidak mengakui memeluk agama atau keyakinan apapun.” Hal ini termasuk hak untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan. 60 Article 181 ICCPR, Article 9 ECHR. 35 Tanpa dipaksa bermakna tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya. 61 4. Tanpa Diskriminasi Maknanya adalah Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hal kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun. 62 5. Hak Orang Tua dan Wali Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang. 63 6. Kebebasan Korporat dan Kedudukan Hukum Artinya komunitas keagamaan mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak ingin menggunakan 61 Article 182 ICCPR. 62 Article 21 ICCPR. 63 Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 20. Lihat juga Article 184 ICCPR dan Article 14 Convention on the Right of The Child. 36 kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim diakui bahwa mereka memiliki hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain. 64 7. Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Eksternal Pembatasan atas hak kebebasan beragama hanya dapat dilakukan apabila memang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar orang lain. 65 8. Tidak Dapat Dikurangi Tidak ada satupun pihak yang dapat mengurangi hak atas kebebasan beragama yang dimiliki oleh setiap orang. 66

D. Kewajiban-Kewajiban Korelatif Negara Terhadap Hak Atas

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB I

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB II

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam Ranah Hukum Internasional dan Hukum Nasional T1 312007058 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Folklore dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum Internasional T1 312006046 BAB I

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Folklore dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum Internasional T1 312006046 BAB II

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Standar Perlindungan Hak – Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional T1 312008059 BAB II

0 0 37