Struktur Mikro Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB V

60 pengucapan menggunakan bahasa Indonesia, maka akan diterjemahkan pada teks bahasa mandarin. Pengemasan dalam bahasa mandarin sebenarnya wujud kebebasan bagi etnis Tionghoa dalam melestarikan dan mengekspresikan kebudayaan Tionghoanya, atau bisa juga sebagai pengenalan bahasa sebagai wujud budaya Tionghoa kepada khalayak. Bahasa mandarin ditempatkan sebagai bahasa yang penting oleh metro TV sebagai media melalui program berita Metro Xin Wen, bahasa mandarin dianggap bukan lagi sebagai bahasa yang tabu seperti yang selama ini diberlakukan selama masa pemerintahan orde baru dengan kebijakan hukum pembauran dengan penekanan dan pembatasan budaya Tionghoa termasuk salah satunya bahasa mandarin. Dijelaskan oleh Kasmun saparauns 2003 bahwa pada masa itu segala bentuk media yang beraksara mandarin dilarang peredarannya, selain itu juga lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa mandarin juga dilarang, sehingga budaya Tionghoa dalam hal ini bahasa mandarin yang dikemas oleh Metro TV melalu program berita Metro Xin Wen bukan lagi suatu yang dianggap tabu, bahkan menjadi bahasa yang penting karena penggunaan bahasa mandarin mulai memiliki eksistensi yang penting di dunia internasional dan masyarakat dapat lebih terbuka dan terbiasa dengan kebudayaan Tionghoa di Indonesia.

c. Struktur Mikro

Struktur Mikro menjelaskan penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandung. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan realitas. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, kalimat, metafora macam apa suatu berita 61 disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dai suatu teks Eriyanto, 2001:15 Presenter : Pemirsa, apa kabar? Selamat datang di kota batik, Lasem. Disini adalah kecamatan Lasem di Jawa Tengah. Sekalipun Lasem hanyalah kota kecil, namun ia memiliki warisan sejarah yang teramat kaya, khususnya warisan budaya Tionghoa, karena pada abad 14, saat orang China pertama kali mendarat di Pulau Jawa, daerah pertama yang ditapaki adalah Lasem. Jika ingin tahu lebih banyak tentang Lasem, maka mari ikuti saya. Pembukaan pada berita ini menggambarkan seperti apa kota Lasem, ternyata Lasem merupakan kota kecil namun sangat terkenal dengan kebudayaan batik. Penempatan kalimat bahwa Lasem disebut dengan kota batik, membawa asumsi bahwa batik pada kota Lasem memiliki kekhasan dibandingkan dengan batik-batik di kota lain seperti pekalongan dan lain-lain. Selain itu kota Lasem terkenal dengan warisan sejarah dan budaya Tionghoa, hal tersebut dijelaskan bahwa semenjak abad ke-14, orang china pertama kali datang ke Indonesia menapaki daerah Lasem. Dalam segmen awal, Metro TV merasa perlu untuk menjelaskan sejarah mengenai Lasem bukan tanpa alasan. Dalam sebuah program berita, peletakan informasi pada kalimat serta kaitan antara kalimat satu dengan kalimat lainnya dibuat dengan sebuah tujuan tertentu, termasuk untuk membangun pemahaman mendasar tentang topik yang akan dibahas. Metro Xin Wen perlu untuk menjelaskan bahwa Lasem terkenal dengan kota batik karena batik merupakan hasil warisan budaya Tionghoa yang tidak terlepas dari sejarah masuknya orang China di Lasem, sehingga memberikan satu pemahaman bahwa orang China bukanlah orang asing yang baru saja datang di Indonesia. Kalimat tersebut memberi gagasan atas wacana bahwa China adalah bagian dari Indonesia sejak abad 14 yang 62 terbukti dengan batik sebagai simbol peranan orang China yang masuk dan membaur dengan masyarakat Lasem. Pemilihan kata ‘china’ dan bukan ‘cina’ pada pemberitaan Metro Xin Wen guna mengarahkan pada pesan yang positif mengenai etnis Tionghoa, dikarenakan realitas mengenai pemahaman yang berkembang selama ini, bahwa sebutan ‘cina’ pada umumnya dianggap sebagai sebuah ejekan yang mengucilkan dan merendahkan dari masyarakat Indonesia bagi etnis Tionghoa. Seperti yang terlihat di forum diskusi online di situs kaskus oleh beberapa kaskuser; “... kamu2 i tul ah yg per tama menumbuhkan pr asangka dar i kami kalo kamu tet ap ga mau ber sosiali sasi , jangan sal ahkan kami melabeli kamu cina bukan chayna.. beir utUser ID: 1485885, post 12-03-2012, 02:33 PM “Gan.. ane or ang tionghoa dar i Medan.. n speak Chinese too.. Gan kadang mi r is ane naek angkot di Bandung.. masih banyak masyar akat yang nyebut Dasar si Cina w ew.. r upanya masih ada yg benci ya..? wkwk... “ Hendr ick.young kaskuser User ID: 1318896 lokasi Bandung,post 12-03-2012, 12:40 PM Fenomena yang terjadi di masyarakat dengan memberikan satu bentuk penghinaan dengan sebutan ‘cina’ tentunya merupakan hasil dari konstruksi wacana pada penguasa dahulu yang mengarahkan pada stereotipe dan prasangka buruk mengenai etnis Tionghoa. Dikarenakan hal tersebut, maka Metro Xin Wen merasa perlu untuk meluruskan dengan pemilihan kata ‘China’. Lasem baru saja mengadakan kibar akbar pertama yang menarik peserta dari sekitar 50 kelenteng dari seluruh negri. Suksesnya acara kali ini tak lepas dari dukungan dan bantuan dari segenap warga Lasem, jelas menunjukkan solidaritas masyarakat lasem yang tinggi. Dari segmen berita ini dijelaskan bahwa acara kibar akbar ini diikuti oleh 50 Kelenteng yang ternyata membawa satu pemahaman bahwa 63 perayaan yang memiliki eksistensi dan keberadaan yang diakui dan juga penting merupakan perayaan agama Buddha yang merupakan identitas dari etnis Tionghoa, dan perayaan ini memang merupakan perayaan yang besar karena dilihat dari jumlah kelenteng yang berpartisipasi. Dijelaskan bahwa acara yang besar pada kota yang kecil ini pastinya akan melibatkan seluruh masyarakat Lasem. Sedangkan dilihat dari realitas kehidupan beragama di Indonesia, konflik yang terjadi antara agama mayoritas dan agama minoritas kerap kali terjadi, seperti skandal penutupan gereja dikarenakan adanya rasa keberatan dari agama mayoritas ketika suatu agama minoritas mengadakan perayaan agamanya. Hal ini memberi satu pemahaman, yang dimana ini merupakan konstruksi yang dibangun oleh Metro Xin Wen bahwa jika acara yang begitu besar dapat berlangsung dengan sukses, itu berarti acara tersebut mendapatkan dukungan dan bantuan dari masyarakat Lasem yang non Buddha. Dari pemahaman yang dikembangkan oleh Metro Xin Wen melalui penyajian bahasa pada teks, menggiring pada nilai dari peristiwa yang dimunculkan yakni nilai toleransi dalam kehidupan beragama. VO: Ulang Tahun Dewi Mak Co jatuh pada tanggal 23 bulan 3 penanggalan China. Tahun ini, Kelenteng Tjoe An Kiong Lasem merayakan kibar akbar untuk merayakannya. Ada sekitar 50 kelenteng di seluruh negri turut serta dalam kibar ini, setiap kelenteng membawa sekitar 100 orang. Setiap rombongan membawa serta patung Dewa Tuan Rumah mereka, jumlah seluruhnya sekitar 80 patung Dewa Tuan Rumah dalam kibar ini. Kibar dibuka oleh Wakil Bupati Rembang, H. Abdul Hafidz. Beliau mengatakan, merupakan suatu kebanggaan bagi warga Lasem untuk dapat mengadakan acara ini, karena itu budaya ini harus terus dipertahankan. Pada paragraf ini berita diarahkan secara lebih spesifik mengenai betapa besarnya perayaan yang diadakan pada kota Lasem. Dapat 64 dibayangkan betapa besarnya perayaan ini dengan setiap kelenteng yang berjumlah 50 membawa rombongannya yang berjumlah 100 beserta dengan jumlah 80 Patung Dewa Rumah. Selain itu juga dijelaskan makna dari perayaan ini bahwa untuk memperingati hari Ulang Tahun Dewi Mak Co. Pemilihan setiap kata dan kalimat yang diproduksi oleh Metro Xin Wen dengan memberikan detil mengenai jumlah serta makna dari perayaan yang mengarahkan pada kepercayaan agama Buddha, bukanlah suatu yang tidak disengaja, namun memiliki maksud yang mengarahkan pada satu pemahaman bahwa bentuk perayaan ini bukanlah bentuk perayaan sosial yang hanya mengatasnamakan agama tertentu sehingga alasan tersebut dapat melazimkan masyarakat Lasem yang non Buddha untuk menerima dan mendukung perayaan tersebut, namun jelas bahwa bentuk perayaan tersebut sangat berkaitan dengan kepercayaan dari agama Buddha yang justru merupakan fenomena pengecualian pada kehidupan multi etnis di Indonesia. Maksud dari Metro Xin Wen dalam memproduksi bahasa-bahasa tertentu dalam penyampaian berita tersebut, bertujuan untuk membangun wacana dan pengetahuan bagi khalayak terhadap kehidupan pluralisme berbangsa yang ideal dengan mengedepankan nilai solidaritas dan toleransi antar sesama. Perayaan yang menggambarkan kepercayaan agama Buddha justru disambut baik oleh Bupati Rembang sebagai perwakilan pemerintah. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan melihat pada bagaimana wacana yang dikembangkan pada masa orde baru yang dijelaskan oleh Greiff 1991:19 bahwa agama Buddha diakui oleh pemerintah sebagai agama yang resmi di Indonesia diatur dengan UU No.51969. Diakuinya agama Buddha seharusnya juga turut memberikan kebebasan bagi umat Buddha untuk menjalankan ritual keagamaan, namun hal ini tidak sejalan dengan dengan kebijaksanaan asimilasi pemerintah Orde Baru mengenai etnis Tionghoa, yang pada akhirnya juga memberikan tekanan terhadap praktek 65 keagamaan yang bersumber pada negeri leluhur sehingga praktek keagamaan hanya dilakukan di lingkungan keluarga, akibatnya arak- arakan keagamaan tidak pernah ada. Memasuki era reformasi kebebasan bagi etnis Tionghoa dibuka dan tidak dibatasi lagi termasuk perayaan agama. Pada penyampaian berita Metro Xin Wen dijelaskan bahwa perayaan tersebut dibuka oleh pemerintah daerah yang dimana Metro Xin Wen berupaya untuk tidak hanya menunjukkan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah namun juga pemerintah memberikan sambutan, penerimaan dan dukungan, sebagai bentuk tidak ada lagi diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan agama Buddha sebagai etnis dan agama minoritas. Penekanan nilai pada berita bahwa tidak ada lagi bentuk diskriminasi dan pengasingan kepada etnis Tionghoa oleh Metro Xin Wen untuk mengarahkan khalayak terhadap penempatan etnis Tionghoa yang diakui dan diterima pada konteks saat ini. H. Abdul hafidz Bupati Rembang : “Untuk masyarakat Lasem ini merupakan kebanggaan karena ini salah satu budaya yang bisa kita angkat pada level nasional bahkan internasional” Ungkapan dari Bupati Rembang dijelaskan oleh Bourdieu dalam Rusdiarti 2003:33 sebagai bentuk ujaran performatif yang dianggap bahwa bahasa merupakan praktik sosial dari seseorang, yang dimana ujaran dari Bupati Rembang tersebut menunjukkan partisipasi pemerintah terhadap ritual perayaan tersebut. Ujaran performatif tidak terlepas dari institusi atau kapasitasnya sebagai Bupati sehingga memiliki otoritas untuk memberikan pernyataan bahwa perayaan kibar akbar ini merupakan budaya yang patut dibanggakan bagi masyarakat, sehingga komentar dari bupati Rembang dengan kapasitasnya sebagai perwakilan pemerintah seperti memberikan satu petunjuk dan arahan yang dibentuk oleh Metro Xin Wen bagi masyarakat untuk bisa menghargai dan membanggakan 66 budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari kekayaan budaya Bangsa Indonesia. Dijelaskan oleh Kasmun saparaus 2003:43 bahwa penekanan dan pembatasan pada agama etnis Tionghoa yang bersumber pada negeri Leluhur oleh pemerintah orde baru membawa imbas pada bentuk pengasingan dan pendiskriminasian oleh masyarakat selama ini. Masyarakat mayoritas yang memiliki stereotipe negatif mengenai etnis Tionghoa minoritas merasa dibenarkan dengan pembelaan dari pemerintah, sehingga kebijakan asimilasi yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru bukannya membawa pembauran bagi etnis Tionghoa sebagai minoritas namun membuat etnis Tionghoa dikucilkan sehingga membentuk kelompok yang ‘eksklusif’ dan tidak dianggap sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh salah satu pendapat dari salah satu kaskuser pada forum diskusi online di situ kaskus: “segala bentuk perayaan imlek, bar ongsay, cap go meh tak pantas dan tak perlu di lestarikan di Indonesia.Mer eka cuma numpang dagang di Indonesi a” gentongpengui n User ID: 2765153akt ivis kaskus31-01-2012, 08:32 PM Memasuki era reformasi dengan menjunjung hak dan kebebasan agama dan suku, tidak membuat masyarakat Indonesia dengan semudah itu juga menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang telah berakar selama masa Orde Baru, sehingga ujaran performatif dari Bupati Rembang selaku wakil dari pemerintah sengaja diproduksi dan ditampilkan oleh Metro Xin Wen dalam kemasan berita mengenai perayaan Kibar Akbar untuk memberikan suatu wacana baru kepada masyarakat mengenai penghapusan diskriminasi terhadap budaya dan agama etnis Tionghoa untuk mewujudkan kesatuan dan keharmonisan berbudaya di Indonesia. VO: Kibar mengelilingi Kecamatan Lasem sejauh 7 km. Meski cuaca sangat panas, namun sama sekali tidak mengurangi antusiasme penonton untuk menonton, peserta kibar pun penuh semangat 67 mengikuti acara ini, lautan manusia memenuhi sepanjang jalan. Demi menjaga ketertiban selama acara, beberapa jalan utama di Lasem ditutup. Ketua panitia, Rudy Hartono mengatakan tujuan kibar ini adalah untuk mengucap syukur atas segala berkat Tuhan, menolak bala dan mempererat hubungan antar sesama. Dalam segmen ini, Metro TV merasa perlu untuk menjelaskan keberlangsungan pada kegiatan perayaan kibar akbar ini, untuk mengarahkan pada suasana dan kondisi mengenai sambutan yang baik dari masyarakat Lasem yang non Buddha dan non Tionghoa, sehingga mengantar pada wacana yang dibangun oleh Metro Xin Wen mengenai bentuk penerimaan dan penghapusan pada anggapan bahwa etnis Tionghoa didiskriminasi dan diasingkan dari masyarakat Indonesia. Selain itu, secara tidak langsung wacana tersebut memberikan kesadaran bagi masyarakat Indonesia mengenai interaksi yang harmonis antar agama dan etnis, dititik beratkan pada pentingnya penerimaan dan penghargaan terhadap suatu budaya. Wacana yang dibangun oleh Metro TV melalui Metro Xin Wen mengenai etnis Tionghoa merupakan suatu wacana baru yang ditanamkan kepada khalayak untuk mendekonstruksi wacana penguasa sebelumnya mengenai etnis Tionghoa, yang mengakibatkan etnis Tionghoa merasa didiskriminasi sehingga mengarah pada sikap yang eksklusif. Penyebab semakin kuatnya sikap eksklusif pada etnis Tionghoa yang merupakan wacana politik yang dibentuk oleh penguasa Belanda untuk menciptakan keterpisahan antara golongan Timur Asing dengan golongan pribumi diperkukuh pada masa Orde Baru dengan kebijakan dan hukum pembauran yang diberlakukan bagi etnis Tionghoa dengan bentuk pembatasan dan penekanan pada budaya, agama kepercayaan, adat istiadat dan bahasa. Dijelaskan oleh Kasmun Saparaus 2003 mengenai segala hal yang merupakan budaya Tionghoa termasuk adat istiadat dan perayaan agama yang beridentik Tionghoa dan bersumber dari Negeri leluhur, dilarang dan dibatasi eksistensinya di wilayah umum dan hanya dilakukan 68 di lingkungan keluarga saja. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967, sehingga wacana yang muncul adalah stereotipe bahwa budaya yang identik dengan kecinaan akan membahayakan bagi kebudayaan nasional. Stereotipe yang dikembangkan dari wacana tersebut memunculkan sikap yang mengucilkan dari masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa yang menjalankan adat istiadat Tionghoa. Seperangkat Wacana pada masa orde baru menurut St. Tri Guntur Narwaya 2006 merupakan manifestasi kekuasaan yang ditanam sedemikian rupa sehingga mengembangkan disiplin masyarakat yang mengatur interaksi sosial, sehingga berimbas dengan adanya diskriminasi oleh mayoritas terhadap minoritas. Pada kenyataannya undang-undang yang memaksa etnis Tionghoa menghilangkan identitas mereka telah mengasingkan golongan ini, karena hal tersebut mengidentifikasikan mereka sebagai bagian yang terpisah dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga terciptanya perasaan tertindas. Selain itu dengan adanya tekanan dalam bentuk penindasan dan pengasingan yang diberlakukan oleh pemerintah, banyak generasi etnis Tionghoa yang pada akhirnya tidak memahami budaya serta bahasa etnis mereka sendiri, sekalipun kebijakan yang dibuat adalah bentuk pelarangan di depan umum, namun bentuk pengasingan pemerintah terhadap budaya dan identitas Tionghoa yang terlihat menjadi ‘ilegal’ di mata masyarakat Indonesia sehingga memberikan tekanan secara sosial terhadap keturunan Tionghoa yang kehilangan identitasnya namun juga tidak merasa menjadi bangsa Indonesia karena merasa didiskriminasi dan diasingkan. Konstruksi wacana dari teks berita yang disajikan oleh Metro Xin Wen sangat berbanding terbalik dengan wacana yang dibentuk pada masa orde baru mengenai etnis Tionghoa yang diasingkan dan anggapan bahwa budaya Tionghoa dianggap membahayakan bagi kebudayaan nasional. Bentuk diskriminasi yang ditanamkan pada orde baru rasa-rasanya tidak terlihat pada peristiwa kibar akbar masyarakat Lasem, dengan 69 menunjukkan begitu besar dan pentingnya perayaan ini sehingga jalanan di Kota Lasem ditutup sehingga jelas mengapa di awal berita dijelaskan bahwa perayaan ini tidak terlepas dari dukungan dari masyarakat Lasem, karena perayaan ini sebenarnya akan menyita tempat dan waktu bagi kegiatan rutinitas masyarakat Lasem, namun sikap antusias masyarakat dan lautan manusia memeriahkan perayaan agama Buddha ini, memberikan satu pemahaman kepada masyarakat bahwa perayaan ini disambut dan diterima oleh masyarakat Lasem yang notabene non buddha. Dijelaskan juga bahwa antusias masyarakat menyebabkan peserta acara yang merupakan anggota kelenteng menjadi semangat. Rudy Hartono Ketua Panitia : “Kita mengucapkan banyak terimakasih atas berkat dari Dewi Mak Co dan Tuhan, sehingga perekonomian-perekonomian khususnya di Kota Lasem bisa bagus dan untuk sekop nasional supaya negara kita bisa menjadi lebih baik.” Ujaran performatif oleh ketua panitia merupakan bentuk ucapan syukur dan harapan, yang menjelaskan mengenai identitas dirinya sebagai umat Buddha dengan ucapan syukur yang diarahkan pada kepercayaannya secara langsung dengan menyebut Dewi Mak Cho yang kemudian harapan dari kibar ini sebagai wujud doa untuk perekonomian kota Lasem dan negara Indonesia dapat lebih baik. Sehingga sangat menunjukkan identitasnya sebagai seorang yang beragama Buddha dan beretnis Tionghoa namun juga berbangsa Indonesia dengan pengharapan negara Indonesia bisa lebih baik. Wacana pada teks tersebut untuk memperteguh pemahaman bahwa sekalipun tradisi tersebut merupakan tradisi yang beridentik Tionghoa yang bermuasal dari Negeri Tiongkok, namun pesan dari tujuan dan harapan dari tradisi tersebut tetap terarah bagi kepentingan negara Indonesia. 70 Penanaman wacana tersebut oleh Metro Xin Wen bertujuan untuk menegaskan kekeliruan dari pihak-pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat bahwa sekalipun budaya pada etnis Tionghoa diberikan kebebasan untuk dirayakan dan dipelihara, tidak membuat etnis Tionghoa merasa tidak berbangsa Indonesia seperti yang selama ini menjadi ketakutan pemerintah orde baru sehingga diberlakukan hukum pembauran yang menekan dan mendiskriminasi segala bentuk budaya etnis Tionghoa. VO: Kibar ini tidak hanya diikuti oleh anggota kelenteng di seluruh negri. Namun juga mendapat dukungan dan bantuan dari seluruh warga Lasem, termasuk juga Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah dan Forum Silaturahmi Santri lasem Sekar Jagad. Forum Santri bahkan bertugas menjaga keamanan di area kelenteng selama kibar berlangsung, benar-benar menunjukkan semangat kekeluargaan dan toleransi antar umat beragama dan suku yang berbeda di Lasem. Abdul Rochmin Ketua Santri Sekar jagad : “Sebetulnya itu sudah menjadi kebiasaan dari orang-orang Lasem untuk saling menghormati diantara sesama, diantara komponen masyarakat di Lasem ini.” Penjelasan Sunartio 2001 mengenai data agama yang dipeluk pada masyarakat Lasem di Tahun 2000 bahwa 21.244 adalah muslim, 1.203 pemeluk agama Katholik Roma, 987 pemeluk agama Kristen Protestan dan 631 adalah pemeluk agama Hindu, Budha dan Confusius. 2 Sangat terlihat jelas perbandingan jumlah antara agama Islam dengan Buddha, yang dimana Islam merupakan pemeluk agama mayoritas dan agama Buddha merupakan pemeluk agama yang minoritas di kota Lasem, namun fakta tersebut membuka satu pemahaman mengenai kondisi kehidupan pluralisme pada masyarakat Lasem, dimana tokoh Santri yang 2 Sunartio, Anindhita N. 2001, Perancangan Kawasan Pusat Kota Lama Lasem, Studi Kasus: Lingkungan Sekitar Alun-Alun Lasem, Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. 71 merupakan tokoh masyarakat mayoritas turut serta dalam suksesnya perayaan dari kepercayaan agama minoritas. Ujaran performatif dari ketua santri dengan menegaskan bahwa saling menghormati antara agama sudah menjadi kebiasaan dan budaya dari masyarakat Lasem, menjelaskan kepada seluruh khalayak bahwa kehidupan pluralisme yang harmonis di kehidupan berbangsa dapat terwujud dengan membudidayakan sikap toleransi dan solidaritas. permasalahan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia, yang tidak memiliki sikap toleransi sebenarnya juga tidak terlepas dari sejarah yang dimana penguasa kolonial Belanda dan pemerintah orde baru turut membentuk suatu wacana yang mampu mengatur sikap ‘disiplin’ masyarakat dalam berinteraksi dan bersosialisasi, sehingga menjadi kemelut yang membentangkan jurang pemisah diantara hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia. Wacana mengenai kota Lasem yang disajikan oleh Metro Xin Wen berupaya memberikan wawasan terhadap pluralisme budaya yang diartikan oleh Horton dan Hunt 1984 adalah suatu bentuk penyesuaian diri dimana suku dan adat istiadat mereka yang berbeda dapat bekerja sama secara damai dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-kultural berdasarkan hak-hak yang secara nisbih sama, yang berarti masing-masing suku tanpa dipandang sebagai kelompok mayoritas ataupun minoritas mempunyai kedudukan sederajad dalam mengembangkan dimensi-dimensi kebudayaannya. Metro Xin Wen berupaya mengusung wacana mengenai kehidupan pluralisme yang harmonis melalui produksi berita dengan menyajikan ujaran performatif dari tokoh Santri yang merupakan tokoh dari kelompok mayoritas di Lasem, sehingga khalayak diarahkan untuk meneladani sikap dari tokoh santri tersebut dan membuka satu pemahaman yang baru mengenai nilai toleransi dan solidaritas dalam konteks kehidupan pluralisme berbangsa dan bernegara, dengan mengarahkan pada realitas 72 Lasem bahwa tradisi dan kepercayaan etnis Tionghoa merupakan bagian dari budaya Indonesia sehingga diterima, dihormati dan diberikan apresiasi oleh seluruh elemen masyarakat di Lasem dan pemerintah daerah pada konteks kehidupan antar etnis, budaya dan agama yang harmonis di Lasem. Penanaman wawasan pluralisme mengenai kehidupan solidaritas dan toleransi yang dikonstruksi oleh metro Xin Wen, untuk mengarahkan khalayak pada wacana baru agar tidak perlu adanya lagi sikap yang eksklusif dan mendiskriminasi pada masyarakat. VO: Selama ini warga Tionghoa Lasem hanya mengadakan kibar kecil-kecilan pada perayaan Cap Go Meh setiap tahun. Kini, dalam rangka memperkenalkan Lasem kepada khalayak luas, kibar diadakan skala nasional. Penuturan pada berita ini menjelaskan pada pilihan kata ‘terbesar’ dari topik judul berita ‘kibar akbar terbesar di Lasem’ yang ternyata kibar akbar ini merupakan perayaan yang paling besar dibandingkan tahun- tahun sebelumnya. Dijelaskan tujuan dari perayaan yang diadakan besar- besaran dalam rangka untuk memperkenalkan kota Lasem kepada khalayak, yang dari kalimat berita tersebut mengarahkan khalayak pada pemahaman bahwa perayaan tersebut merupakan perayaan yang penting dan menjadi identitas bagi kota tersebut. Sehingga Metro Xin Wen dalam penyampaian maksud berita berusaha untuk menggiring pada realitas bahwa budaya minoritas dari etnis Tionghoa dan agama Buddha justru merupakan budaya yang membanggakan dan menjadi identitas bagi kota tersebut. Realitas ini merujuk pada pemikiran Candy Jorian sebagai produser Metro Xin Wen yang menyatakan bahwa; “sikap ‘eksklusifitas’ dan diskriminasi tidak akan pernah terwujud ketika ada rasa berbagi dan rasa menolong antara sesama etnis dan agama, dikarenakan setiap rangkaian tradisi dan ibadah sama-sama dimaknai bahwa itu merupakan kekayaan Bangsa Indonesia dan kekayaan 73 itu milik bersama,sekalipun itu bukan budaya dan tradisi mereka”Candy Natazia Jorian, Produser Metro Xin Wen Pemikiran Candy sebagai produser Metro Xin Wen tergambarkan pada pemberitaan mengenai “Kibar Akbar terbesar di Lasem” yang dimana wacana mengenai perayaan agama Buddha yang merupakan agama minoritas haruslah dimaknai oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk kekayaan budaya Bangsa Indonesia sebagai milik bersama dan patut dibanggakan dan didukung. Seperti menurut Horton dan hunt 1984 bahwa keindahan pluralisme budaya Indonesia akan terlihat ketika setiap budaya dapat ditonjolkan beriringan dengan sikap toleransi dan kerukunan yang tercipta pada masyarakat Indonesia tanpa adanya stereotipe dan diskriminasi. Batik merupakan industri penting di Lasem. Setiap orang yang datang ke Lasem, tidak akan lupa membeli batik. Orang Tionghoa telah tiba di Pulau Jawa pada abad 14, mereka tiba pertama kali di Lasem, serta hasil asimilasi 2 budaya Jawa-Tionghoa juga sangat terlihat. Mari kita lihat bersama profil Kota Lasem. Pada rangkaian kalimat ini dijelaskan bahwa batik yang merupakan hasil asimilasi dari 2 budaya yakni budaya Tionghoa dan Jawa menjadi industri yang sangat penting dan menguntungkan bagi kota ini, asimilasi yang menguntungkan bagi kota Lasem ini karena kedatangan Tionghoa pada abad 14. Kedatangan orang Tionghoa dan asimilasi yang mewujudkan batik Lasem menjadikan simbol dari identitas bersama yakni identitas masyarakat Lasem. Wujud asimilasi ini membuktikan bahwa etnis Tionghoa tidak eksklusif seperti yang sudah tertanam di benak masyarakat Indonesia. Batik sebagai wujud asimilasi dua budaya dan etnis ini menunjukkan interaksi yang harmonis antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa, karena tidak ada sikap eksklusif yang mampu mewujudkan asimilasi dengan pembentukan budaya baru. 74 Wacana yang dibentuk oleh penguasa Belanda mengenai etnis Tionghoa yang eksklusif bertujuan untuk adanya keterpisahan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Stereotipe yang merupakan hasil wacana dari penguasa Belanda mengenai Tionghoa yang eksklusif didekonstruksikan oleh Metro Xin Wen bahwa ‘etnis Tionghoa sebenarnya tidak eksklusif’ melalui pemberitaan mengenai kedatangan etnis Tionghoa ke Lasem pada abad ke 14 dan menghasilkan batik Lasem sebagai wujud asimilasi. Sehingga pemahaman yang dikonstruksi oleh Metro Xin Wen bahwa etnis Tionghoa sebenarnya tidak eksklusif, dan kemudian menggiring pada pemikiran bahwa keeksklusifan yang terus berlanjut sampai pada konteks kekinian pada etnis Tionghoa juga tidak terlepas dari faktor bahwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat mayoritas itu sendiri melakukan diskriminasi dan pengasingan bagi etnis mereka yang minoritas. Hal ini menjadi sebab akibat yang saling terkait sehingga wacana yang ditekankan oleh Metro Xin Wen mengenai kehidupan interaksi pluralisme pada masyarakat Lasem yang mencapai asmilasi, memberikan refleksi bagi masing-masing pihak untuk bercermin agar tidak secara terus menerus dipermainkan oleh sejarah lampau sampai pada konteks kekinian karena konteks mengenai masyarakat Lasem merupakan suatu rujukan yang mengarahkan pada satu pemikiran bahwa stereotipe akan terus melekat ketika stereotipe tersebut masih terus diyakini oleh diri sendiri dan akhirnya menjadi bumerang bagi kehidupan pluralisme dalam berbangsa di Negara Indonesia. VO: Lasem merupakan sebuah kecamatan kecil di pesisir pantai Laut Jawa Utara. Memiliki sejarah yang panjang dan nuansa oriental yang sangat kental, karena itulah ia dikenal sebagai “Tiongkok kecil”. Perjalanan dengan mobil dari Semarang menuju Lasem sekitar 2-3 jam. Menurut catatan yang ada Lasem merupakan wilayah pertama di Pulau Jawa yang ditapaki oleh Laksamana Cheng Ho pada abad 75 14, mengawali masuknya budaya Tionghoa ke tanah air kemudian banyak mempengaruhi budaya lokal. menjelaskan Kota Lasem yang terkenal dengan nuansa oriental dan julukan “Tiongkok kecil”, memberikan gambaran bahwa hal yang menarik dan menonjol dari Kota kecil ini adalah budaya dan nuansa Tionghoa. Kata dari ‘Tiongkok kecil’ tidak menjadi suatu permasalahan pada masyarakat Lasem, dilihat dari hubungan interaksi antar masyarakat, bahkan dijadikan suatu cirikhas dari kota tersebut. Dijelaskan oleh Metro Xin Wen dalam kalimat yang memberikan keterangan sejarah kedatangan etnis Tionghoa pada abad ke 14, yang kedatangannya lebih dahulu daripada kedatangan Kolonial Belanda di abad ke 15, dan juga kedatangan orang Tionghoa mempengaruhi banyak budaya lokal, berusaha mengarahkan pada pemahaman bahwa etnis Tionghoa pada masa itu tidak menarik diri terhadap masyarakat pribumi dan masyarakat pribumi pun tidak membatasi diri. Pengaruh pertautan budaya terjadi tanpa hambatan. Kondisi yang berusaha dijelaskan oleh Metro Xin Wen, menggiring pada pemikiran bahwa hal tersebut dapat terjadi karena tidak ada pihak luar yang berkuasa dan memonopoli wilayah Indonesia dan juga tidak ada politik pemisahan golongan dan wilayah, yang membuat etnis Tionghoa pada saat itu yang hijrah ke Indonesia untuk harus memilih kepada siapa harus berpihak ataupun dipaksa untuk mengikuti politik tersebut, namun etnis Tionghoa yang menapaki tanah Jawa pada masa itu langsung berinteraksi dan melebur dengan masyarakat pribumi. Sigit Witjaksono Tokoh Tionghoa : “Orang Tionghoa sudah berbaur dengan orang Indonesia sejak Cheng Ho datang, mereka datang dari Tiongkok kesini hanya orang laki-laki saja, disini kawin dengan wanita-wanita dari Jepara, wanita dari Lasem sehingga melahirkan keturunan orang seperti saya ini yang dikatakan Hua Kiao yaitu orang Tionghoa peranturan.” 76 Ujaran performatif dari seorang tokoh Tionghoa menjelaskan mengenai sejarah pertautan etnis Tionghoa dengan masyarakat lokal di Lasem, yang dimana cikal bakal dari hubungan Tionghoa dengan masyarakat lokal diawal dengan kedatangan Cheng Ho yang ingin menyebarkan agama Islam yang sekarang menjadi agama mayoritas di kota Lasem, kedatangan Cheng Ho pada Tahun 1413 jauh lebih awal sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia, sehingga pertautan tersebut telah terjalin sebelum masuknya politik hukum dan wacana untuk adanya keterpisahan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia yang dimana wacana tersebut masih terus berakar dan menjadi konflik yang berkepanjangan pada kehidupan pluralisme di Indonesia. Ujaran performatif dari tokoh Tionghoa di Lasem mengenai etnis Tionghoa sudah berbaur yang disajikan oleh Metro Xin Wen, berbanding terbalik dengan anggapan masyarakat Indonesia mengenai etnis Tionghoa yang eksklusif. Dijelaskan oleh August Mellaz 2002 bahwa etnis Tionghoa cenderung suka berkelompok-kelompok, dengan menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri. Stereotipe mengenai Tionghoa yang eksklusif dan cenderung berkelompok dan tinggal di kawasan sendiri, sebenarnya merupakan stereotipe dari hasil wacana yang dikembangkan oleh politik Belanda. Wacana politik tersebut dijelaskan oleh Furnivall 1944 dalam Coppel 1993, bahwa pada masa kekuasaan Belanda, dijalankannya politik dengan kebijakan keterpisahan golongan dan wilayah. Diperkukuh oleh hukum sehingga seluruh penduduk ini terbagi ke dalam tiga golongan yang berbeda-beda, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asia, dan golongan pribumi. Tiga golongan ini memiliki hak-hak hukum dan hak-hak istimewa yang juga berbeda-beda, dan pada umumnya, orang Tionghoa sebagai golongan Timur Asing mempunyai kedudukan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan penduduk pribumi. Maka dari itu, asimilasi dengan penduduk pribumi akan menurunkan status sosial mereka dan menyebabkan mereka kehilangan beberapa hak istimewa dalam 77 hukum. Bahkan sekaligus ada keinginan untuk berasimilasi, politik pemerintah Belanda semakin mempersulitnya. Sistem perkampungan wijkenstelsel, yang mengharuskan orang Tionghoa bermukim di kota dan wilayah tertentu telah diperhebat, dan mereka diharuskan memperoleh surat jalan apabila mereka hendak melakukan perjalanan keluar. Politik Belanda memainkan peranan penting sekali dalam memastikan bahwa suatu masyarakat golongan Timur Asing tidak terserap oleh penduduk pribumi. Politik Belanda tersebut memproduksi wacana mengenai etnis Tionghoa yang eksklusif dan berkelompok, yang dimana wacana tersebut mengatur dan membentuk kondisi yang sedemikian rupa untuk mencapai tujuan politik Belanda, yakni agar tidak adanya persatuan antara etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia. Wacana yang dibentuk oleh Belanda tersebut dirasakan masih mengatur interaksi hubungan antara etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia, dibuktikan oleh banyak pendapat dari forum diskusi online terbesar di Indonesia yakni situs kaskus, dengan beberapa pendapat dari kaskusers; “t p ti dak bisa di pungkir i juga , kadang tionghoa akan lebih nyaman jika ber kelompok dengan suku mereka sendiri. jadi ya ane menghimbau juga, gak cuma di medan, si ngkawang, bangka, at aupun daerah lain yg banyak suku tionghoanya.. ber baur l ah dengan suku l ai n. btw.. bini ane juga ketur unan tionghoa, sedang ane jawa” kur ni aw an.mgl,kaskuser User ID: 3594676 .lokasi jogj akar ta. Post 12- 03-2012, 10:51 AM “setuju gan, umumnya warga tionghoa biasanya eksklusif.bahkan di kampung pun kadang2 gak mau baur sama war ga pr ibumi. tapi kadang kar ena w ar ga pr ibuminya juga, coz kadang2 suka member i kan cap dan stempel bur uk ke war ga ti onghoa. int inya mah kedewasaan kedua belah pihak memang sangat per lu.” Ser vexHONDA kaskuser , UserI D: 1314366, post12-03-2012, 20:40 PM 78 Hal ini memberikan satu petunjuk yang jelas bahwa stereotipe buruk yang melekat pada etnis Tionghoa sangat erat kaitannya pada konteks politik kolonial Belanda yang sengaja diciptakan agar tidak adanya persatuan untuk melawan kolonial Belanda, sehingga stereotipe mengenai etnis Tionghoa sangat berdasar pada sejarah dan konteks di masa lalu. Metro Xin Wen melalui pemberitaan mengenai kota Lasem berupaya memaparkan dan menawarkan satu konteks pada kehidupan masyarakat Lasem yang berbanding terbalik pada konteks penguasa masa lampau yang secara kuat mempengaruhi hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sampai masa sekarang, sehingga upaya metro Xin Wen tersebut dapat mengarahkan khalayak pada pemikiran bahwa stereotipe dan hubungan buruk yang tercipta merupakan hasil wacana masa lampau. VO: Asimilasi 2 budaya ini pun melahirkan budaya baru, budaya peranakan. Batik Lasem yang termashyur memancarkan keindahan budaya peranakan. Motif burung Hong yang elegan diselingi motif tradisional Jawa diatas kain batik merah. Menceritakan pertautan 2 budaya, layaknya interaksi harmonis diantara suku Tionghoa dan Jawa selama ini yang rukun dan bersatu. Pada segmen ini, dijelaskan secara detil keindahan batik dan pertautan budaya dari kedua etnis dengan mengarahkan bahwa pertautan unsur-unsur budaya tersebut merupakan simbol dan bukti mengenai interaksi harmonis diantara etnis Tionghoa dan Jawa. Peristiwa pada masyarakat Lasem yang bisa dikatakan pengecualian dibandingkan dengan kelaziman yang ternyata sangat berdasar pada konteks kedatangan etnis Tionghoa yang lebih awal menetap dan melebur sebelum kedatangan Belanda membuktikan bahwa terjalin hubungan yang sangat harmonis yang dititik beratkan pada 79 pencapaian asimilasi yakni pembentukan budaya baru sebagai identitas bersama. dijelaskan oleh Coppel 1994 Sekalipun kebudayaan orang Tionghoa yang berakar sering dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai kelompok etnis Indonesia khususnya, seperti terlihat dalam kasus Tionghoa peranakan seperti pada upaya asimilasi dengan seperangkat kebijakan pembauran yang dilakukan pada masa orde baru untuk pencapaian asimilasi juga dikatakan tidak berhasil, Penelitian pada masyarakat Tionghoa di Malang oleh Erin Kite 2004 ditarik kesimpulan bahwa hukum-hukum dari Orde Baru mencapai keberhasilan yang terbatas, yaitu kemampuan berbahasa Tionghoa antara kelompok usia 15 sampai 19 tahun amat berkurang, dan banyak orang Tionghoa sudah berpindah agama menjadi penganut Kristen atau Katolik. Akan tetapi, walau ketidakmampuan dan perubahan sesugguhnya tercipta oleh adanya hukum-hukum tersebut, tidak mengurangi kekuatan identitas Tionghoa pada masyarakat keturunan Tionghoa di Malang. Ini bisa dilihat dari hasil angket yang memperlihatkan bahwa kebanyakan koresponden masih merasa lebih seperti seorang Tionghoa daripada seorang Indonesia, sehingga menjelaskan bahwa sekalipun ada pengaruh budaya etnis-etnis di Indonesia pada budaya etnis Tionghoa ini, tidaklah berarti bahwa mereka itu telah terasimilasikan ke dalam masyarakat pribumi. Metro Xin Wen memberikan penjelasan bahwa asimilasi bukanlah suatu hal yang dipaksakan apalagi dengan menekan dan menghilangkan budaya dan tradisi etnis Tionghoa sehingga etnis Tionghoa menjadi kehilangan jati diri dan merasa didiskriminasi, namun asimilasi merupakan perwujudan yang alami dari seiringnya hubungan yang harmonis pada kehidupan multietnis. Hal ini terlihat pada penjelasan secara detil yang diarahkan pada segmen Metro Xin Wen mengenai unsur-unsur dua budaya yang bertaut dan memancarkan keindahan pada batik Lasem, jika asimilasi yang diartikan diwujudkan dengan penekanan dan penghilangan budaya 80 dan jati diri dari suatu etnis, tidak mungkin ada batik Lasem yang memiliki pertautan 2 unsur budaya termasuk salah satunya unsur budaya Tionghoa. Hal ini memberikan satu arahan berpikir yang ditawarkan oleh Metro Xin Wen bahwa untuk adanya asimilasi letaknya bukan pada pembunuhan budaya dan karakter suatu kelompok namun bagaimana menumbuhkan hubungan yang baik. hal ini juga menjelaskan pada kondisi yang dipaparkan oleh coppel 1994 bahwa Sekalipun kebudayaan orang Tionghoa yang berakar sering dipengaruhi sekali oleh kebudayaan berbagai kelompok etnis Indonesia, namun tidak sampai tahap asimilasi. Hal ini diyakini bahwa kondisi tersebut belum sampai pada hubungan yang harmonis , sehingga jelas bahwa asimilasi akan benar-benar tercapai hanya jika adanya hubungan yang benar-benar harmonis seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Lasem dengan tidak adanya stereotipe dan prasangka yang memunculkan sikap diskriminasi dan eksklusifitas pada kehidupan multi etnis. Menurut sejarah, suku Tionghoa Lasem dahulu berperang bersama dengan suku Jawa melawan penjajah Belanda Penjelasan sejarah bahwa etnis Tionghoa ikut berpartisipasi melawan penjajah membuktikan bahwa pertautan etnis ini memang sudah terjalin lama sebelum kedatangan Belanda sehingga politik wacana dan golongan tidak bisa diberlakukan bagi etnis Tionghoa di Lasem yang sudah terlebih dahulu memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan, berbeda dengan etnis Tionghoa di daerah lain dan menapaki tanah Indonesia setelah kedatangan Belanda. Muaja dalam Coppel 1994 menyatakan bahwa hubungan yang tidak baik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari politik yang mereka pilih pada awalnya kedatangan mereka dengan melihat kondisi Indonesia yang dipegang oleh Belanda dan pretise elit pribumi merosot sehingga membuat mereka tidak tertarik pada 81 masyarakat pribumi, sehingga menurut Furnivall pada akhirnya diperkukuh dengan politik penggolongan dan hak istimewa yang dibedakan yang semakin diupayakan oleh Belanda untuk benar-benar adanya keterpisahan, pada dua hal yakni keterpisahan hak dan keterpisahan wilayah yang ternyata politik keterpisahan pada dua hal tersebutlah yang melahirkan stereotipe negatif mengenai etnis Tionghoa. Dari pemaparan tersebutlah memunculkan satu benak pada penulis bahwa mungkin saja kenyataan bahwa etnis Tionghoa pendatang, bisa jadi tidak menjadi permasalahan substansial dari permasalahan hubungan yang buruk antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sampai saat ini, jika saja pendatang yang datang ke tanah Indonesia etnis Tionghoa memilih kepada pribumi sebagai penduduk asli dari negeri yang mereka datangi dibandingkan memihak kepada penguasa sementara. Seperti yang terlihat dari konstruksi yang ditawarkan oleh Metro Xin Wen pada konteks masyarakat Lasem yang dimana hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat lokal terjalin harmonis tanpa ada kontaminasi kekuasaan Belanda dan politik golongan dan keterpisahan, yang ternyata politik tersebut membawa dampak yang panjang bagi hubungan etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sampai pada konteks kekinian. Upaya Metro Xin Wen dalam mengangkat konteks mengenai hubungan yang harmonis pada masyarakat Lasem berupaya menyadarkan khalayak bahwa hubungan yang buruk tidak terlepas dari adanya kekuasaan lain dan sejarah politik wacana yang dibentuk oleh penguasa tersebut. Berangkat dari pemahaman ini, diharapkan bisa membawa suatu perenungan bagi masyarakat bahwa wacana mengenai sejarah kota Lasem menjadi sebuah bukti bahwa jika saja penjajahan tidak masuk dan politik keterpisahan tidak diberlakukan maka bukan suatu yang mustahil bahwa hubungan masyarakat Indonesia dalam konteks luas dengan etnis Tionghoa yang leluhurnya notabene sebagai pendatang akan harmonis dan berdampingan seperti masyarakat Lasem, sehingga dari perenungan ini 82 diharapkan khalayak mampu menentukan sikap untuk masuk ke dalam konteks baru pada hubungan etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia yang harmonis seperti pada masyarakat Lasem. Industri yang berkembang di Lasem antara lain industri batik, pembuatan terasi, dan perikanan. Pemerintah daerah setempat sedang berusaha mengembangkan ekonomi kreatif dan pariwisata Lasem. Karena itu, kini banyak bank yang mulai membuka cabang di Lasem untuk membantu perkembangan ekonomi masyarakat setempat. Ismanto Camat Lasem : “masyarakat Lasem terkenal dengan masyarakat yang kreatif. Hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi, kami mengaplikasikannya pada kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh Kabupaten yang dinamakan Program Gerbang Elok Gerakan Pembangunan Ekonomi Lokal. Kami meningkatkan, kami aplikasikan di tengah-tengah masyarakat.” VO:Terdapat banyak bangunan tua Tionghoa di Lasem, termasuk diantaranya bangunan kelenteng dan perumahan. Bangunan- bangunan ini pun telah dimasukkan menjadi calon bangunan Cagar Budaya sejak tahun lalu. Penjelasan pada segmen ini memberikan gambaran mengenai perekonomian di Kota Lasem dan perindustrian yang memegang peranan besar untuk perekonomian di Lasem adalah industri batik, sehingga menekankan bahwa asimilasi budaya sebagai wujud keharmonisan pluralisme dalam berbangsa justru akan membawa keindahan dan menguntungkan dibandingkan dengan permusuhan yang menimbulkan konflik dan kerugian. Selain fokus perekonomian, budaya dan peninggalan sejarah dan bangunan tua Tionghoa juga dijadikan sesuatu yang bermanfaat dengan menjadi cagar budaya yang menguntungkan bagi pariwisata kota dan penduduk Lasem. 83 Pada penjelasan segmen ini, Metro Xin Wen berupaya memberikan pemahaman kepada khalayak mengenai keindahan dan keuntungan dari pencapaian kehidupan pluralisme yang harmonis tanpa adanya konflik, yang dijelaskan bagaimana perkembangan kehidupan masyarakat Lasem yang harmonis sehingga memusatkan pada kemajuan di berbagai bidang seperti sumberdaya manusia yang diwadahi dengan penciptaan lapangan kerja dan pariwisata. Wacana yang dibangun oleh Metro Xin Wen diharapkan mampu menjadi cermin bagi seluruh masyarakat untuk berkaca dan merefleksikan kehidupan pluralisme seperti apa yang ingin diwujudkan, apakah harus hidup dengan sejarah yang kelam dan merusak masa depan berbangsa ataukah ingin memberikan sejarah yang baru bagi generasi kedepan mengenai keindahan pluralisme berbangsa untuk kemajuan Negara Indonesia.

5.2 “BUKU

Dokumen yang terkait

PENGARUH DAYA TARIK BERITA METRO XIN WEN TERHADAP INTENSITAS ETNIK TIONGHOA MENONTON METRO XIN WEN Studi pada Masyarakat Etnik Tionghoa di Pecinan Malang

1 28 2

Hubungan antara Kegiatan Menonton Program Metro Xin Wen dengan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Penonton Etnis Tionghoa.

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB II

0 1 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa) T1 362008017 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Dan Kekuasaan (Studi Analisis Wacana Kritis Metro Xin Wen terhadap Etnis Tionghoa)

0 0 34

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis Video Dokumenter Kompas TV “Sianida di Kopi Mirna” T1 BAB V

0 0 1