TRADISI HUKUM CHTHONIK ADAT

(1)

MAKALAH

TRADISI HUKUM CHTHONIK (ADAT)

DOSEN PEMBIMBING : PROF. DR. H. FADHIL LUBIS, MA

OLEH : RIYANDI S MAHASISWA

PROGRAM DOKTOR PRODI HUKUM ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA - MEDAN


(2)

TRADISI HUKUM CHTHONIK (ADAT)1

BAB I A. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama, hukum nasional dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.

Dalam makalah ini penulis mengambil sebuah sub dari buku karya Ratno Lukito yaitu Tradisi Hukum Adat, hal ini sengaja penulis jadikan sebagai judul makalah karena penulis berasumsi bahwa tardisi hukum adat di Indonesia adalah sebuah hukum yang masih berlaku dan berjalan ditengah-tengah masyarakat Indonesia sampai saat sekarang ini.

Sebelum pemakalah membahas panjang lebar tentang tradisi hukum adat ada baiknya pemakalah sajikan dulu pengertian Hukum adat secara umum menurut Febrian Candra dalam Artikelnya “Hukum Adat di Indobesia” Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastic. Pemaklah sependapat dengan pengertian hokum adat yang dikemukan oleh Febrian Chandra, tetapi ada beberapa tambahan dari pemakalah yaitu tentang system hokum yang berlaku bagi masyarakat tertentu dan berlaku secara turun temurun.

Berikut ini akan penulis paparkan tentang pengertia hukum adat, penegak hukum adat, aneka hukum adat, pengakuan hukum adat oleh hukum formal, sejarah politik hukum adat dan resume buku Ratno Lukito yang berjudul Hukum Sakral dan Hukum Sekuler.

1Dalam Ungkapan lazim, adat seringkali diterjemahkan (ke bahasa Inggris) menjadi Ccustom atau Customery Law, terutama bila merujuk kepada hokum, dalam perkembangannya istilah adat tidak memiliki makna yang sederhana seperti yang dimiliki bentuk asalnya dalam bahasa arab yaitu ‘adah searti dengan urf (custom Perancis Costume. Kerumitan karakter Istilah itu pad dasarnya bias dibedakan menjadi tiga aspek, silahkan baca buku : Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler (Studi Tentang Komflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia), Cet. 1, (Jakarta : Pustaka Alvabet. 2008). Hal. 30.


(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM ADAT

Berikut ini pemakalah kemukakan beberapa pendapat pakar tentang pengertian Hukum Adat menurut Zulfadhli Hasibuan2

1. Soepomo, berpendapat bahwa yang dimaksud hukum adat adalah: “Hukum yang tidak tertulis, berarti hukum yang tidak dibentuk oleh sebuah badan legislatif, yaitu hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan sebagainya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (Judge made law) dan hukum kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.

2. Menurut Van Vollenhoven: “Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan timur asing, yang di satu pihak mempunyai sangsi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat)

3. Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Hukum Adat mengenai tata negara

2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).

3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa 2Zulfadhli Hasibuan, Hukum Adat di Indonesia, di Akses melalui Situs. https://hasibuanattack.wordpress.com/tag/hukum-adat-di-indonesia/pada Tanggal 28 Desember 2014.


(4)

Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.

Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).

Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).

Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:

1. Aceh

2. Gayo

3. Batak

4. Nias dan sekitarnya

5. Minangkabau

6. Mentawai

7. Sumatra Selatan

8. Enggano

9. Melayu

10.Bangka dan Belitung

11.Kalimantan (Dayak)

12.Sangihe-Talaud

13.Gorontalo


(5)

15.Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)

16.Maluku Utara

17.Maluku Ambon

18.Maluku Tenggara

19.Papua

20.Nusa Tenggara dan Timor

21.Bali dan Lombok

22.Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)

23.Jawa Mataraman

24.Jawa Barat (Sunda)

B. PELAKSANA HUKUM ADAT.

Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Ada beberapa unsur dalam penegakkan hokum Adat. Dibawah ini akan pemakalah sebutkan beberapa unsure hokum adat.

1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat. 2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis

3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral 4. Adanya keputusan kepala adat

5. Adanya sanksi/ akibat hukum 6. Tidak tertulis

7. Ditaati dalam masyarakat

Berikut ini beberapa sumber pengenal dan sumber Hukum Adat. 1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat 2. Kebudayaan tradisionil rakyat


(6)

4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat Sumber-Sumber pengenal adalah :

5. Pepatah adat 6. Yurisprudensi adat

7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup.

8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-Raja. 9. Doktrin tentang hukum adat

10. Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.

C. ANEKA HUKUM ADAT

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh

1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.

2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit. 3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

Aneka hukum adat ini berlaku sesuai dengan situasi dan kondisi pengaruh masyarakat setempat atau adat dan kebiasaan masyarakat setempat.

D. PENGAKUAN ADAT OLEH HUKUM FORMAL

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail


(7)

lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat

E. SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT3.

Sejarah adalah kejadian yang terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan berbagai peristiwa. Peninggalan-peninggalan itu disebut sumber sejarah. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah disebut history, artinya masa lampau masa lampau umat manusia, dalam bahasa Arab, sejarah disebut sajaratun (syajaroh), artinya pohon dan keturunan.4

Sedangkan politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya.

1. Hukum Adat Pada Masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)

Zaman kompeni atau Voc (1620-1800) adalah pada hakikatnya suatu perseroan dagang. Oleh karena itu, mudah dimengerti bahwa kompeni hanyalah mengutamakan

3 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, (1981, cet II), hal : 107-143


(8)

kepentingan sebagai badan perniagaan. Dengan demikian maka bangunan hukum adat yang hingga saat itu sudah ada didaerah-daerah yang jauh dibiarkan saja sehingga hukum rakyat tetap berlaku.

Baru apabila kepentingan kompeni terganggu, maka kompeni akan menggunakan kekuasaannya. hal ini berakibat bahwa sikap kompeni terhadap hukum adat adalah tergantung pada keperluan saat itu . Semula kompeni membiarkan hukum adat berlaku seperti sediakala tetapi pengurus kompeni di negeri Belanda (Heren XVII) menetapkan dengan perintah tertanggal 4 maret 1621 yang mengharuskan hukum sipil belanda diperlakukan di dalam daerah yang dikuasai oleh kompeni.

Pemerintah pengurus kompeni tersebut diatas baru pada tahun 1625 oleh Gubernur Jenderal De Carpentier akan dipenuhi akan tetapi dengan syarat jika sekiranya dapat dilakukan di negeri ini dan jika menurut keadaan di negeri ini dapat dilakukan. Dengan diadakan syarat-syarat tersebut diatas tersimpul kemungkinan untuk tidak memperlakukan hukum Belanda jika kedaan memaksa.5.

Pada awalnya hukum asli masyarakat yang dikenal dengan hukum adat dibiarkan sebagaimana adanya, namun kehadiran era VOC dapat dicatat perkembangan sebagai berikut: Sikapnya tidak selalu tetap (tergantungan kepentingan VOC), VOC hanya mencampuri urusan perkara pidana guna menegakkan ketertiban umum dalam masyarakat. Terhadap Hukum perdata diserahkan , dan membiarkan hukum adat tetap berlaku.

Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta (Batavia).

Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan batas-batas :

Sebelah barat : sungai Cisadane Sebelah timur : sungai Citarum Kedudukan VOC pada waktu itu Sebagai pengusaha perniagaan Sebagai penguasa pemerintahan

Adapun hukum yang diterapkan pada waktu itu adalah hukum VOC, yang terdiri dari unsur-unsur :

Hukum Romawi

Asas-asas hukum Belanda Kuno

5 Wardaya. Cakrawala Sejarah Di Indonesia, (Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009.).Hlm. 37.


(9)

Statuta Betawi

Statuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan plakat-palakat dan pengumuman yang dikodifikasikan. Menurut Van Vollenhoven Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang sederhana” Dalam praktek / kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum tersebut tidak dapat dijalankan, sebab :

Ada hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota Betawi/Batavia.

Ada hukum yang berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota Betawi/Jakarta.

Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :

Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer

Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak. Pepakem Cirebon

Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang bernama “pepakem Cirebon” yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan kumpulan dari hukum adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU Mataram, Kutaramanawa, Jaya Lengkaran, dan lain-lain.

Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh hukum adat :

a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap

b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor

c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan

d. Sari : bunga yang harum baunya

Penilaian VOC terhadap hukum adat :

1. Hukum adat identik dengan hukum agama Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.

2. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan). 3. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa. 2. Masa Penjajahan Jepang

Pada tanggal 9 Maret 1942 pemerintah hindia belanda bertekuk lutut menyerah tanpa syarat kepada jepang. Gubernur jenderal tjarda van starkenborgh stachouwer dibawa jepang ke Taiwan. Namun pada tanggal 14 agustus 1945 jepang terpaksa menyerah kepada sekutu


(10)

akibat bom atom yang dijatuhkan amerika pada tanggal 6 agustus 1945 di horishima. Hal mana berarti Indonesia diduduki jepang hanya selama tiga tahun lima bulan lima hari. Selama pemerintahan jepang pada umumnya yang berlaku adalah hukum militer, hukum perundangan apalagi hukum adat tidak mendapat perhatian sama sekali. Mendekati tahun 1945 orang-orang jepang mulai berbaik hati, terlihat bendera merah putih telah dapat berkibar di samping bendera hinomaru. Pada tanggal 28 Mei 1945 panitia penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan (PPPK) yang diketuai Dr. Radjiman Wediodeningrat.

Pada masa penjajahan Jepang juga terdapat regulasi yang mengatur tentang hukum adat di Indonesia, yaitu pada Pasal 3 UU No.1 Tahun 1942 yang menjelaskan bahwa semua badan pemerintah dan kekuasaanya, hukum dan UU dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu saja, asal tidak bertentangan dengan peraturan militer.

Masa itu berlaku hukum militer, sedangkan hukum perundangan dan hukum adat tidak mendapat perhatian saat itu. Peraturan pada masa pemeintahan Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum militer.

Sejarah Politik Hukum Adat

Perhatian terhadap hukum adat bermanifestasi ke dalam : Lahirnya suatu ilmu hukum adat

Pelaksanaan suatu politik hukum adat

Sejarah politik hukum adat itu dapat dibagi atas 7 periode yaitu : Masa Kompeni ( V.O.C ., 1596 – 1808 )

Masa Pemerintahan Deandels ( 1808 – 1811 ) Masa Pemerintahan Rafles ( 1811 – 1816 ) Masa 1816 – 1848

Masa 1848 – 1928 Masa 1928 – 1945

Masa 1945 sampai sekarang

Demikian sedikit pemaparan tentang Tradisi Hukum Adat yang berlaku di Indonesia, selanjutnya akan pemakalah utarakan resume buku karya Ratno Lukito yang berjudul Hukum Sakral dan Hukum Sekuler.


(11)

Buku yang ditulis oleh Ratno lukito berjudul : HUKUM SAKRAL DAN HUKUM SEKULER

Penulis : Ratno Lukito

Penerjemah : Inyiak Ridwan Muzir Editor : Muhammad Syukri

Ukuran : 15,5 x 23 cm Tebal : 570 halaman ISBN : 978-979-3064-60-4

H. RIWAYAT PENULIS

Ratno Lukito Lahir di Yogjakarta, 22 Maret 1968. Menyelesaikan studi doktornya pada Department of Comparative Law, Faculty of Law, McGill University, Montreal, Canada, pada 2006, setelah beberapa tahun sebelumnya berhasil menyelsaikan studi masternya di universitas yang sama dalam bidang Islamic Studies, Alumnus Fakultas Syariah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta, tahun 1992 itu kini menjadi pengajar pada program pasca-sarjana dibeberapa universitas di Yogjakarta, disamping yang pokok sebagai staff pengajar pada almamaternya, fakultas syariah, UIN Sunan Kalijaga, Jakarta.

Selain mengajar, dia juga menukuni kegiatan penelitian dan menulis pada beberapa jurnal internasional dan nasional serta beberapa surat kabar di tanah air. Tulisannya yang paling akhir tentang pluralisme hokum di Indonesia, berjudul “The Enigma of National Law in Indonesia: The Supreme Court’s Decisions on Gender-Neutral Inheritance” telah diterbitkan dalam International Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law 52 (2007): 147-167, University of Birmingham, Inggris. Tulisannya yang lain, “Trapped Between Legal Unification and Pluralism: The Case of The Supreme Court Decision on Interfaith,” saat ini dalam proses penerbitan dalam buku tentang polemik perkawinan pada agama di Asia Tenggara oleh The Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Sigapura. Belasan artikel ilmiahnya yang lain telah diterbit dalam jurnal Indonesia dan luar negeri seperti studia islamika, Al-Jamiah, Jentera, Musawa, McGill Journal of Middle Eastern Studies, Journal of Islamic Law and Culture dan lain-lain. Selain itu, bapak dua anak ini juga baru saja menyelesaikan penerbitan dua bukunya yang lain yaitu Tradisi Hukum Indonesia, dan juga


(12)

Hukum Islam dan Realitas Sosial. Saat ini sedang menulis tentang polemik teori dan metode ilmu dan perbandingan hokum.

Ratno Lukito saat ini menjabat sebagai Sektretaris Program Doktor Konsorsium Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogjakarta, juga menjadi dosen tamu di School of Humanities and Languages, University of Western Sydney, Australia. Tinggal di Warungboto UH IV No. 744 Yogjakarta, dia dapat dihubungi pada nomor 081392511733

I. MUATAN ISI BUKU

Pembahasan dalam buku ini sangat sistimatis, dari daftar isi dapat terlihat dengan rapi isi dari keseluruhan buku ini, misalnya dalam bab pendahuluan dibahas tentang ;

a. Wacana Hukum dan Masyarakat,

b. Hukum Modern dan Fakta Pluralisme di Indonesia, c. Pendekatan Teoretis,

d. Signifikansi dan Cakupan Studi,

Pada bab selanjutnya pada bagian satu dibahas tentang tradisi hukum Indonesia, adapun yang menjadi pembahasannya adalah :

Bab I: Tradisi Hukum Chthonic, a. Persoalan Definisi,

b. Polemik Mengenai Adat sebagai Hukum, c. Karakter Hukum Adat,

d. Aspek Substantif Hukum Adat, e. Keberlanjutan dan Perubahan,

f. Hubungan dengan Tradisi Hukum Lainnya, Bab II: Tradisi Hukum Islam,

a. Konsep Dasar Hukum Agama,

b. Persoalan Akal dan Wahyu dalam Teknik Hukum, c. Ajaran Sufisme dan Legalisme dalam Islam Indonesia,

d. Yang “Senyatanya” dan “Seharusnya” dalam Hukum Islam Indonesia, Bab III: Tradisi Hukum Sipil

a. Ide Revolusioner Hukum SIpil b. Konsep Hukuk Subtstantif,


(13)

c. Tradisi Hukum Sipil dan Penjajahan Belanda di Indonesia d. Penerimaan Tradisi Hukum Sipil: dari Imposisi ke Akutansi, BAGIAN DUA

PERGUNAAN ANTAR-TRADISI HUKUM DALAM LINTASAN SEJARAH INDONESIA,

Bab IV: Fase Pertama: Hukum dan Kolonialisme

a. Positivism Eropa dan Landasan Hukum Kolonialisme, b. “Tata Hukum” Kolonial Belanda,

1. Periode Ketakmengertian, 2. Periode Pencampurtanganan,

c. Tradisi Hukum Kolonial versus Tradisi Hukum Masyarakat,

Bab V: Fase Kedua: Pluralisme dan Cita-Cita Hukum Nasional (1945-1975)

a. Hukum dan Perdebatannya di Awal Proses Pembentukan Undang-Undang Dasar, 1. Uniformisme versus Pluralisme,

2. Sekularisme versus Islamisme,

b. Penguatan Tradisi Hukum Negara di Tengah Polisentrisme Hukum, a. Nasib Hukum Adat: Kasus Hukum Tanah,

b. Nasib Hukum Islam: Kasus Hukum Keluarga,

Bab VI: Fase Ketiga: Rezim Tangan Besi dan State Legal Pluralism (1975-2000), a. Falsafah Hukum Nasional dan Teori Pluralisme Hukum,

1. Pencarian Teori: Antara Monisme dan Polisentrisisme Hukum, 2. Positivisme Hukum Islam,

b. Kontinuitas dan Perubahan dalam Pengakuan Negara terhadap Pluralisme Hukum, 1. Memahami Stimulus Pengakuan Hukum,

2. Strategi Beda, Logika Lama dan Hasil yang Sama, BAGIAN TIGA:

KONFLIK AKIBAT PLURALISME DAN UPAYA PENYELESAIAN NEGARA, Bab VII: Hukum Antar –personal dan Misi

Penyeragaman Hukum,

a. Hukum Antar-personal Warisan Penjajah, b. Kematian Intergentiel Recht,

c. Upaya-upaya Penyelesaian Legislatif dalam Masalah Hukum Privat Antar-personal, 1. Adopsi,


(14)

3. Harta Pencarian Bersama dalam Perkawinan,

Bab VIII: Penyelesaian Kasus Antar-personal di Pengadilan: Peran Porstulat Hukum Nasional,

a. Perkawinan Antar-iman,

1. Interpretasi Hukum atau Nasionalisasi Hukum, 2. Kasus Andi Voni versus Negara

3. Analisi,

b. Kewarisan Antar-iman,

1. Konflik Praktik Kewarisan di Tengah Upaya Penyatuan, 2. Masalah Kewarisan Antar-iman,

3. Kasus Jazilah versus Subandiyah Ammar Asof dll. Dan Sri Widyastuti versus Bambang Setyobudi dll.

4. Analisis,

c. Kwarisan Perempuan, 1. Kewarisan Anak,

2. Kasus Tati Supiati versus patah, dll. Dan Kasus Inaq Putrahimah versus Nur Said, dll.,

3. Analisis,

BAB III KESIMPULAN

Kajian yang diketengahkan dalam buku ini memperlihatkan bahwa menciptakan sistem hukum yang seragam bukanlah pekerjaan mudah. Selalu ada tantangan terhadap wewenang hukum resmi negara ketika ketentuan-ketentuan normatif non-negara juga berlaku dalam masyarakat. Hal ini terutama terjadi di Indonesia, dimana peralihan dari administrasi kolonial Belanda menuju sistem hukum modern tidak hanya memangkas pluralisme hukum yang ada di tanah air, tapi juga menghasilkan memangkas pluralisme hukum yang ada ditanah air, tapi juga menghasilkan konflik-konflik hukum antara ketentuan normatif Negara dengan ketentuan normatif non-negara. Perjumpaan dua kubu inilah yang sesungguhnya mewarnai wacana hukum nasional yang terdapat ditanah air sekarang ini. Persoalan yang mesti dijawab adalah bagaimana dan sejauh mana Negara mampu mengelola fakta kemajemukan di negeri ini.

Dilihat dari perspektif politik hukum, kecenderungan Negara untuk tetap mempertahankan kerangka hukum sipil Belanda sebagai logika pembuatan hukum menyebabkan tradisi hukum sipil berkembang pesat. Hasilnya adalah dikotomi dalam pembuatan hukum antara tradisi hukum sipil yang menumbuh dalam lembaga Negara, disatu


(15)

pihak, dan tradisi hukum adat dan hukum Islam dipihak lain. Selain itu, karean dominasi Negara dalam perjumpaan hukum antara ketiga tradisi ini begitu besar, tantangan apapun yang diperlihatkan tradisi hukum adat atau hukum Islam dapat dipadamkan dengan mudah. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa struktur pembuatan hukum dan sistem peradilan yang sekarang ini berlaku di alam Indonesia merdeka pada hakikatnya berasal dari tradisi hukum kolonial Belanda. Ideologi sekuler, dimana hukum dilihat sebagai institusi duniawi yang dibangun didalam masyarakat, yang lepas dari campur tangan faktor-faktor Ilhiah yang biasanya dipahami dalam tradisi Islam. Lebih dari itu, Negara juga bersifat individual karena nilai-nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi dan jadi titik tolak dalam proses hukum, yang biasanya ditemukan dalam tradisi adat, telah dielimnasi dari logika penciptaaan hukum. Inilah hukum secara epistemologis adalah urusan Negara untuk membuatnya, bukan urusan Tuhan atau komunitas.

Pada tataran praiktis, klaim kemodernan hukum, dengan keseragaman sebagai deologi intinya, tidak bisa bekerja secara sempurna kerena hukum Negara meiliki keterbatasan ketika situasi nyata diranah domestik justru mempersubur kemajemukan. Sejarah hukum di Indonesia dapat digambarkan sebagai pergumulan berkepanjangan antara gagasan keseragaman hukum degan fakta kemajemukan. Sebagai sebuah gagasan yang inheren bisa dipisahkan dari ideologi posivisme dan nasionalisme Negara itu sendiri, dimana seluruh anak bangsa yang hidup didalam batas-batas Negara-bangsa harus mejadi bagian dari entitas tunggal. Hukum dan sistem hukum yang berlaku dalam bangsa tersebut juga harus membentuk suatu unit tunggal dimana Negara berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pembuatan hukum, namun monopoli hukum semacam ini langung mengedor persis ketika ketentuan normatif yang tidak dihasilkan Negara juga diakui. Dampak penerimaan hukum-hukum non-negara, baik secara eksplisit maupun implisit, bisa sangat jauh karena efektifitas hukum Negara dalam dirinya sendiri senantiasa bersyarat dan “selalu gagal memenuhi pretense ideologisnya.” Di Negara multi-pluralis seperti Indonesia, keterbatasan hukum-hukum Negara disebabkan oleh beberapa ketentuan normatif yang telah berurat berakar dalam tradisi kelompok-kelompok agama terutama (Islam) dan tradisi adat. Inilah alasan megapa kampanye Negara tentang pembangunan suatu sistem hukum nasional yang modern ditanah air, sebagai bagian dari penguatan politik hukum di Negara yang tersentralisasi, dianggap mengancam perkembangan tradisi hukum lain yang berbeda diluar cakupan hukum Negara. Jelas sekali disini bahwa kesenjangan akan terus berlangsung antara tujuan pembentukan hukum nasional yang seragam yang terlalu ambisius dengan kenyataan


(16)

situasi hukum multikultural ditanah air, sehingga pendekatan biner yang dilakukanpun tidak mampu menghasilkan jalan keluar terbaik.

Akibatnya, pembentukan sistem “Hukum Nasional” sebenarnya justru memperkuat pluralisme hukum ditanah air. Gagasan tentang keseragaman sistem hukum nasional yang dicita-citakan baru bisa dikatakan realistis jika Negara mengakui pluralisme yang ada. Hal ini tercermin dalam pilihan yang diambil pemerintah untuk melaksanakan kebijakan “pluralisme hukum yang lemah” (state/weak legal pluralism) dan bukannya bentuk yang lebih terang-terangan berupa “pluralisme hukum yang kuat dan mengakar” (deep/strong legal pluralism) dalam strategi pembuatan hukum nasionalnya. Pilihan terhadap pluralisme bentuk pertama didasarkan pada keyakinan akan satu sistem hukum yang bisa berlaku diseluruh negeri tanpa mengabaikan kebetuhan transplantasi hukum yang berasal dari tradisi hukum lain. Dalam praktiknya, strategi pluralisme hukum ini menghasilkan bentuk nasionalisasi yang khas dimana keseragaman lebih mengemuka dalam bentuk prosedur ketimbang substansi. Terutama diwilayah hukum keluarga. UU Pokok Perkawinan (UU No. 1/1974) adalah contoh terbaik disini. Walaupun undang-undang ini sudah berhasil ditetapkan pada beberapa dekade awal pasca-kemerdekaan (sebagai cerminan kepedulian Negara untuk menerapkan hukum perkawinan nasional), namun keseragaman umumnya hanya menyentuh soal-soal prosedural-dimana Negara diterima sebagai satu-satunya instistusi yang dapat mengesahkan perkawinan-sementara keragaman dalam aturan-aturan spesifik yang mengatur perkawinan tetap diakui dan bahkan diperkuat oleh undan-undang tersebut.

Maka pencangkokan hukum sejatinya tak bisa dipisahkan dari fakta pluralisme. Namun, sejauh mana penciptaan sebuah hukum nasional di Indonesia bisa bekerja dengan baik akan sangat bergantung pada strategi yang dipakai Negara dalam proses pencangkokan itu sendiri. Kajian kita dalam buku ini telah membuktikan bahwa setidaknya ada dua pilihan yang tersedia disini: akulturasi hukum dan asimilasi hukum. Dalam strategi pertama, tingkat dominasi Negara dalam proses pembuatan hukum yang dominan, semakin besar kemungkinan keseragaman hukum bisa terwujud. Hanya dengan proses akulturasi yang sungguh-sungguhlah Negara bisa berharap menuai keberhasilan dalam menyeragamkan sistem hukum nasional, baik dari segi substansi maupun prosedurnya. Salah satu contoh terbaik terbaik dari proses hukum pidana Belanda kedalam hukum pidana nasional. Dalam kasus ini, keberhasilan proses akulturasi sangat ditentukan oleh keberhasilan mengintegrasikan tradisi hukum pidana Belanda kedalam hukum pidana nasional, baik dari proses akulturasi ini ditunjukkan dalam kerberhasilan mengintegrasikan tradisi hukum pidana


(17)

Belanda kedalam hukum nasional. Dalam kasus ini, keberhasilan proses akulturasi sangat ditentukan oleh keberhasilan mengintegrasikan sistem pidana mereka ketanah jajahan, dan khususnya jika kita mengamati kecenderungan politis pemerintah pasca-kemerdekaan untuk melanjutkan tradisi Belanda dalam proses pembuatan hukum pidana. Dengan derajat yang lebih rendah, proses akulturasi juga dapat dikatakan berhasil dalam ketetapan Negara tentang UU Pokok Agraria. Menariknya, walaupun dalam hal ini undang-undang tersebut menyangkut tanah, namun Negara nampaknya berusaha kuat menerapkan model Barat (yaitu hukum agraria Belanda) dalam hukum baru yang lebih seragam.

Pembangunan hukum nasional juga bergantung pada kemampuan Negara dalam melakukan asimilasi hukum, yang dapat berfungsi dalam menyelesaikan konflik substantif antar berbagai tradisi hukum yang ada dalam masyarakat. Strategi ini juga berjalan baik di Indonesia dalam proses pencangkokan hukum, ketika metode akulturasi dipandang tidak memadai. Namun begitu, banyaknya keragaman tradisi hukum ditengah masyarakat selalu mengandung potensi konflik yang amat besar, sehingga penyesuaian-penyesuaian oleh pihak-pihak lain lebih sering diperlukan untuk menjembatani kesenjagan antara satu hukum dengan hukum lain. Ini melahirkan sebuah prinsip umum bahwa semakin besar kesenjangan substantif antara berbagai hukum, semakin sulit pula upaya untuk mencapai asimilasi hukum didalam kasus-kasus tertentu, dan sebaliknya. Contoh terbaik dari kasus ini adalah kegagalan Negara menetapkan sebuah hukum waris nasional, yang mengakibatkan berbagai hukum yang terpisah dan berbeda satu sama lain tetap bertahan terlepas dari upaya terus menerus dari Negara untuk menciptakan keseragaman. Asimilasi hukum ini gagal karena masing-masing tradisi kewarisan begitu ketat dalam interprestasinya sehingga tidak ada sisi-sisi persamaan yang bisa ditemuka diantara mereka yang akan memungkinkan terjadinya suatu penyelarasan. Sementara itu, proses asimilasi nampaknya lebih berhasil didalam kasus penetapan UU Pokok Perkawinan. Seperti tercermin dalam pasal-pasalnya, hukum perkawinan nasional mencerminkan beberapa kompromi hukum diantara berbagai tradisi perkawinan yang terdapat dalam hukum adat, hukum Islam maupun hukum sipil Belanda, yang kemudian menghasilkan sebuah entitas hukum baru. Disini, Negara berhasil menjalankan perannya sebagai agen yang mengakomodasi tiga ajaran berbeda menyangkut perkawinan yang sama-sama dianut masyarakat.

Maka dari dua metode pencangkokan hukum ini, kita dapat menangkap strategi Negara dalam menangani perjumpaan ketentuan-ketentuan normatif non-negara vis-à-vis hukum resmi Negara. Dalam perkembangannya, proses penyelarasan hukum ini nampaknya


(18)

lebih bertumpu pada asimilasi ketimbang akulturasi. Ini dapat dilihat dari fakta bahwa konflik-konflik hukum biasanya lebih sulit diselesaikan ketika negara mencoba mendominasi ketentuan-ketentuan normatif lain. Selain itu sejarah hukum ditanah air ditandai oleh tekanan terus menerus dari kelompok Muslim yang ingin menerapkan sesempurna mungkin ajaran-ajaran substantif hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Bahkan situasi situasi politik tanah air berada dititik nadir; walhasil, produksi hukum Negara lebih berpihak pada tradisi hukum Islam ketimbang tradisi hukum adat. Dari perpektif Negara, perbedaan perlakuan itu sebenarnya adalah konsekuensi logis dari keinginan Negara untuk melancarkan agenda politiknya, sehingga respons yang diberikan kepada hukum-hukum Negara selalu diukur berdasarkan keuntungan yang akan diperoleh Negara serta nilai tawar hukum-hukum tersebut ketika berhadapan dengan Negara. Hal ini memperlihatkan bahwa sejauh mana tanggapan positif Negara dalam penerapan hukum-hukum non-negara akan sangat ditentukan oleh seberapa besar tantangan yang dilancarkan oleh hukum-hukum non-negara tersebut.

Jadi, prinsip yang lahir dari sini adalah bahwa makin besar tekanan kepada Negara, semakin besar pula kecenderungan Negara untuk memberikan respons posotif kepada tradisi normatif non-negara dalam proyek pembuatan sebuah hukum nasional. Kalau ini benar, maka kita akan dapat memahami motif politik apa yang ada dipihak Negara ketika menghadapi pluralisme hukum: akomodasi yang akan diberikan kepada hukum-hukum tak resmi sebanding dengan pengaruh komunitas pemilik hukum itu dalam Negara. Dilihat dari perpektif ini, jelaslah mengapa kebanyakan regulasi dan statuta yang ditetapkan dalam dua dasawarsa terakhir lebih terkait dengan tradisi hukum Islam ketimbang tradisi hukum adat. Sebab walaupun sekularisme tetap menjadi basis ideologis pembuatan hukum, namun banyak aspek-aspek substantif ajaran hukum Islam muncul dalam sistem hukum nasional-dengan mengambil rupa dan struktur hukum sekuler. Kita dapat menunjuk beberapa regulasi penting sebagai contoh, seperti Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Wakaf; UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam; UU No. 17 ttahun 1999 tentang ibadah haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang Manajemen Zakat. Undang-undang dsan peraturan ini menunjukkan bahwa, meskipun tradisi hukum Islam dan tradisi hukum adat secara resmi diakui memiliki peran yang sama dalam membangun hukum nasional, namun praktis politik nampaknya lebih berpihak pada hukum Islam.

Dengan demikian, kesetaraaan diantara tradisi hukum Islam, hukum adat dan hukum sipil dalam proses pembuatan kukum itu kini telah luntur. Ketiga tradisi hukum ini tidak lagi


(19)

membentuk dikotomi antara hukum Negara/resmi dengan hukum tak resmi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, tapi membentuk keragaman derajat sesuai dengan cakupan nasionalnya disatu sisi, dan cakupan lokal/regionalnya disisi lain. Hukum sipil dan hukum Islam dalam hal ini menduduki kubu yang sama sementara hukum adat berada dikubu yang lain. Dengan demikian, supremasi hukum tidak lagi diukur berdasarkan derajat kedekatannya dengan hukum pusat (Negara), akan tetapi sejauh mana tradisi itu bisa diterapkan secara nasional. Maka, tidak seperti hukum adat yang bagaimana pun juga bersifat lokal/regional, hukum sipil dan hukum Islam memiliki audiens yang lebih luas sehingga prinsip nasionalisasi dapat dengan mudah diterapkan kepada para pengikutnya. Disinilah bisa kita pahami mengapa suara hukum adat dikancah nasional sangat jarang terdengar; posisinya dalam konstelasi politik hukum nasional pun seringkali terpinggirkan. Sebaliknya, hukum Islam, karena diuntungkan oleh sifatnya sebagai hukum yang tak terbatas bagi satu wilyah lokal tertentu, lebih sering didengarkan oleh Negara.

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa kebijakan Negara menyangkut pluralisme hukum terletak pada pemosisian hukum formal sebagai factor determinannya. Ranah sentral senantiasa ditempati oleh hukum-hukum Negara sementara ketentuan-ketentuan normatif non-negara harus tetap berada dipinggiran. Sejauh mana hukum-hukum pinggiran ini dapat dekat dengan dengan pusat tersebut. Akibatnya, semakin tinggi kemampuan tradisi normatif non-negara itu meniru karakter hukum Negara, akan semakib besar pula kemungkinan penerimaan Negara terhdap tradisi tersebut. Inilah konsekuensi dari ideologi “pluralismee hukum Negara”, dimana kemajemukan hukum bekerja didalam sebuah sistem yang tunggal. Dengan kata lain, aktor pembuat hukum tetaplah Negara itu sendiri, sementara pluralitas dimanfaatkan untuk memperkaya kandungan hukum yang diproduksi Negara.

Bagi Negara, ini bisa berarti bahwa ditataran praksis ada tiga strategi yang dapat dipakai dalam membangun pluralismee hukum ditanah air. Pertama, Negara secara langsung mengadopsi beberapa ketentuan-ketentuan normatif non-negara dan kemudian menggabungkan kedalam sistem hukum nasional, berdasarkan posisi dominannya ketika berhadapan dengan tradisi hukum yang lain. Strategi ini biasanya dilakukan dengan menggunakan cara akulturasi hukuk, seperti saat Negara membuat sistem hukum pidananya. Kedua, Negara mencoba mengkombinasikan sejumlah hukum-hukum substantif yang ada ditengah masyarakat menjadi sebuah hukum, dimana sejumlah ajaran hukum, yang terbukti berlaku efektif ditengah masyarakat, digabungkan untuk menciptakan sebuah hukum baru.


(20)

Hukum perkawinan nasional dapat dikutip disini sebagai contoh, dimana pembuatan berbagi pasalnya didasarkan pada kemampuan Negara mengasimilasikan berbagai tradisi perkawinan yang berbeda-beda. Ketiga, strategi yang terakhir, adalah kompartementalisasi hukum, strategi ini khususnya dipakai ketika cara akulturasi dan asimilasi tidak mampu menyelesaikan soal pluralitas. Kompartementalisasi dipakai ketika hukum-hukum tak resmi memiliki cakupan nasional tapi hanya berlaku bagi elemen mengadopsi ajaran-ajaran hukum dari tradisi hukum tak resmi itu kedalam sistem hukum nasional dan kemudian mengubah karakternya menjadi hukum Negara. Sejumlah peraturan Negara tentang hukum Islam adalah contoh terbaik dari strategi ini: beberapa aspek hukum Islam diterapkan pada level regulasi Negara dengan cara mengubah karakter informal dan khasnya sebagai hukum tak resmi menjeadi hukum Negara yang punya formal dan resmi. Namun sayangnya, sampai sekarang hukum ini banya berlaku bagi tradisi hukum Islam. Jadi, walaupun hukum Islam sebagian besar sudah dinasionalkan untuk mencakup seluruh segmen kelompok muslim ditanah air, namun ini masih mempertahankan karakternya sebagai sistem yang terpisah dari tradisi-tradisi hukum yang lain.

DAFTAR BACAAN

Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, (1981, cet II).

Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler (Studi Tentang Komflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia), Cet. 1, (Jakarta : Pustaka Alvabet. 2008).

Soepomo, Bab – Bab Tentang Hokum Adat , (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996) Wardaya. Cakrawala Sejarah Di Indonesia, (Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009.)

Zulfadhli Hasibuan, Hukum Adat di Indonesia, di Akses melalui Situs.

https://hasibuanattack.wordpress.com/tag/hukum-adat-di-indonesia/ pada Tanggal 28


(21)

(1)

situasi hukum multikultural ditanah air, sehingga pendekatan biner yang dilakukanpun tidak mampu menghasilkan jalan keluar terbaik.

Akibatnya, pembentukan sistem “Hukum Nasional” sebenarnya justru memperkuat pluralisme hukum ditanah air. Gagasan tentang keseragaman sistem hukum nasional yang dicita-citakan baru bisa dikatakan realistis jika Negara mengakui pluralisme yang ada. Hal ini tercermin dalam pilihan yang diambil pemerintah untuk melaksanakan kebijakan “pluralisme hukum yang lemah” (state/weak legal pluralism) dan bukannya bentuk yang lebih terang-terangan berupa “pluralisme hukum yang kuat dan mengakar” (deep/strong legal pluralism) dalam strategi pembuatan hukum nasionalnya. Pilihan terhadap pluralisme bentuk pertama didasarkan pada keyakinan akan satu sistem hukum yang bisa berlaku diseluruh negeri tanpa mengabaikan kebetuhan transplantasi hukum yang berasal dari tradisi hukum lain. Dalam praktiknya, strategi pluralisme hukum ini menghasilkan bentuk nasionalisasi yang khas dimana keseragaman lebih mengemuka dalam bentuk prosedur ketimbang substansi. Terutama diwilayah hukum keluarga. UU Pokok Perkawinan (UU No. 1/1974) adalah contoh terbaik disini. Walaupun undang-undang ini sudah berhasil ditetapkan pada beberapa dekade awal pasca-kemerdekaan (sebagai cerminan kepedulian Negara untuk menerapkan hukum perkawinan nasional), namun keseragaman umumnya hanya menyentuh soal-soal prosedural-dimana Negara diterima sebagai satu-satunya instistusi yang dapat mengesahkan perkawinan-sementara keragaman dalam aturan-aturan spesifik yang mengatur perkawinan tetap diakui dan bahkan diperkuat oleh undan-undang tersebut.

Maka pencangkokan hukum sejatinya tak bisa dipisahkan dari fakta pluralisme. Namun, sejauh mana penciptaan sebuah hukum nasional di Indonesia bisa bekerja dengan baik akan sangat bergantung pada strategi yang dipakai Negara dalam proses pencangkokan itu sendiri. Kajian kita dalam buku ini telah membuktikan bahwa setidaknya ada dua pilihan yang tersedia disini: akulturasi hukum dan asimilasi hukum. Dalam strategi pertama, tingkat dominasi Negara dalam proses pembuatan hukum yang dominan, semakin besar kemungkinan keseragaman hukum bisa terwujud. Hanya dengan proses akulturasi yang sungguh-sungguhlah Negara bisa berharap menuai keberhasilan dalam menyeragamkan sistem hukum nasional, baik dari segi substansi maupun prosedurnya. Salah satu contoh terbaik terbaik dari proses hukum pidana Belanda kedalam hukum pidana nasional. Dalam kasus ini, keberhasilan proses akulturasi sangat ditentukan oleh keberhasilan mengintegrasikan tradisi hukum pidana Belanda kedalam hukum pidana nasional, baik dari proses akulturasi ini ditunjukkan dalam kerberhasilan mengintegrasikan tradisi hukum pidana


(2)

Belanda kedalam hukum nasional. Dalam kasus ini, keberhasilan proses akulturasi sangat ditentukan oleh keberhasilan mengintegrasikan sistem pidana mereka ketanah jajahan, dan khususnya jika kita mengamati kecenderungan politis pemerintah pasca-kemerdekaan untuk melanjutkan tradisi Belanda dalam proses pembuatan hukum pidana. Dengan derajat yang lebih rendah, proses akulturasi juga dapat dikatakan berhasil dalam ketetapan Negara tentang UU Pokok Agraria. Menariknya, walaupun dalam hal ini undang-undang tersebut menyangkut tanah, namun Negara nampaknya berusaha kuat menerapkan model Barat (yaitu hukum agraria Belanda) dalam hukum baru yang lebih seragam.

Pembangunan hukum nasional juga bergantung pada kemampuan Negara dalam melakukan asimilasi hukum, yang dapat berfungsi dalam menyelesaikan konflik substantif antar berbagai tradisi hukum yang ada dalam masyarakat. Strategi ini juga berjalan baik di Indonesia dalam proses pencangkokan hukum, ketika metode akulturasi dipandang tidak memadai. Namun begitu, banyaknya keragaman tradisi hukum ditengah masyarakat selalu mengandung potensi konflik yang amat besar, sehingga penyesuaian-penyesuaian oleh pihak-pihak lain lebih sering diperlukan untuk menjembatani kesenjagan antara satu hukum dengan hukum lain. Ini melahirkan sebuah prinsip umum bahwa semakin besar kesenjangan substantif antara berbagai hukum, semakin sulit pula upaya untuk mencapai asimilasi hukum didalam kasus-kasus tertentu, dan sebaliknya. Contoh terbaik dari kasus ini adalah kegagalan Negara menetapkan sebuah hukum waris nasional, yang mengakibatkan berbagai hukum yang terpisah dan berbeda satu sama lain tetap bertahan terlepas dari upaya terus menerus dari Negara untuk menciptakan keseragaman. Asimilasi hukum ini gagal karena masing-masing tradisi kewarisan begitu ketat dalam interprestasinya sehingga tidak ada sisi-sisi persamaan yang bisa ditemuka diantara mereka yang akan memungkinkan terjadinya suatu penyelarasan. Sementara itu, proses asimilasi nampaknya lebih berhasil didalam kasus penetapan UU Pokok Perkawinan. Seperti tercermin dalam pasal-pasalnya, hukum perkawinan nasional mencerminkan beberapa kompromi hukum diantara berbagai tradisi perkawinan yang terdapat dalam hukum adat, hukum Islam maupun hukum sipil Belanda, yang kemudian menghasilkan sebuah entitas hukum baru. Disini, Negara berhasil menjalankan perannya sebagai agen yang mengakomodasi tiga ajaran berbeda menyangkut perkawinan yang sama-sama dianut masyarakat.

Maka dari dua metode pencangkokan hukum ini, kita dapat menangkap strategi Negara dalam menangani perjumpaan ketentuan-ketentuan normatif non-negara vis-à-vis hukum resmi Negara. Dalam perkembangannya, proses penyelarasan hukum ini nampaknya


(3)

lebih bertumpu pada asimilasi ketimbang akulturasi. Ini dapat dilihat dari fakta bahwa konflik-konflik hukum biasanya lebih sulit diselesaikan ketika negara mencoba mendominasi ketentuan-ketentuan normatif lain. Selain itu sejarah hukum ditanah air ditandai oleh tekanan terus menerus dari kelompok Muslim yang ingin menerapkan sesempurna mungkin ajaran-ajaran substantif hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Bahkan situasi situasi politik tanah air berada dititik nadir; walhasil, produksi hukum Negara lebih berpihak pada tradisi hukum Islam ketimbang tradisi hukum adat. Dari perpektif Negara, perbedaan perlakuan itu sebenarnya adalah konsekuensi logis dari keinginan Negara untuk melancarkan agenda politiknya, sehingga respons yang diberikan kepada hukum-hukum Negara selalu diukur berdasarkan keuntungan yang akan diperoleh Negara serta nilai tawar hukum-hukum tersebut ketika berhadapan dengan Negara. Hal ini memperlihatkan bahwa sejauh mana tanggapan positif Negara dalam penerapan hukum-hukum non-negara akan sangat ditentukan oleh seberapa besar tantangan yang dilancarkan oleh hukum-hukum non-negara tersebut.

Jadi, prinsip yang lahir dari sini adalah bahwa makin besar tekanan kepada Negara, semakin besar pula kecenderungan Negara untuk memberikan respons posotif kepada tradisi normatif non-negara dalam proyek pembuatan sebuah hukum nasional. Kalau ini benar, maka kita akan dapat memahami motif politik apa yang ada dipihak Negara ketika menghadapi pluralisme hukum: akomodasi yang akan diberikan kepada hukum-hukum tak resmi sebanding dengan pengaruh komunitas pemilik hukum itu dalam Negara. Dilihat dari perpektif ini, jelaslah mengapa kebanyakan regulasi dan statuta yang ditetapkan dalam dua dasawarsa terakhir lebih terkait dengan tradisi hukum Islam ketimbang tradisi hukum adat. Sebab walaupun sekularisme tetap menjadi basis ideologis pembuatan hukum, namun banyak aspek-aspek substantif ajaran hukum Islam muncul dalam sistem hukum nasional-dengan mengambil rupa dan struktur hukum sekuler. Kita dapat menunjuk beberapa regulasi penting sebagai contoh, seperti Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Wakaf; UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam; UU No. 17 ttahun 1999 tentang ibadah haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang Manajemen Zakat. Undang-undang dsan peraturan ini menunjukkan bahwa, meskipun tradisi hukum Islam dan tradisi hukum adat secara resmi diakui memiliki peran yang sama dalam membangun hukum nasional, namun praktis politik nampaknya lebih berpihak pada hukum Islam.

Dengan demikian, kesetaraaan diantara tradisi hukum Islam, hukum adat dan hukum sipil dalam proses pembuatan kukum itu kini telah luntur. Ketiga tradisi hukum ini tidak lagi


(4)

membentuk dikotomi antara hukum Negara/resmi dengan hukum tak resmi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, tapi membentuk keragaman derajat sesuai dengan cakupan nasionalnya disatu sisi, dan cakupan lokal/regionalnya disisi lain. Hukum sipil dan hukum Islam dalam hal ini menduduki kubu yang sama sementara hukum adat berada dikubu yang lain. Dengan demikian, supremasi hukum tidak lagi diukur berdasarkan derajat kedekatannya dengan hukum pusat (Negara), akan tetapi sejauh mana tradisi itu bisa diterapkan secara nasional. Maka, tidak seperti hukum adat yang bagaimana pun juga bersifat lokal/regional, hukum sipil dan hukum Islam memiliki audiens yang lebih luas sehingga prinsip nasionalisasi dapat dengan mudah diterapkan kepada para pengikutnya. Disinilah bisa kita pahami mengapa suara hukum adat dikancah nasional sangat jarang terdengar; posisinya dalam konstelasi politik hukum nasional pun seringkali terpinggirkan. Sebaliknya, hukum Islam, karena diuntungkan oleh sifatnya sebagai hukum yang tak terbatas bagi satu wilyah lokal tertentu, lebih sering didengarkan oleh Negara.

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa kebijakan Negara menyangkut pluralisme hukum terletak pada pemosisian hukum formal sebagai factor determinannya. Ranah sentral senantiasa ditempati oleh hukum-hukum Negara sementara ketentuan-ketentuan normatif non-negara harus tetap berada dipinggiran. Sejauh mana hukum-hukum pinggiran ini dapat dekat dengan dengan pusat tersebut. Akibatnya, semakin tinggi kemampuan tradisi normatif non-negara itu meniru karakter hukum Negara, akan semakib besar pula kemungkinan penerimaan Negara terhdap tradisi tersebut. Inilah konsekuensi dari ideologi “pluralismee hukum Negara”, dimana kemajemukan hukum bekerja didalam sebuah sistem yang tunggal. Dengan kata lain, aktor pembuat hukum tetaplah Negara itu sendiri, sementara pluralitas dimanfaatkan untuk memperkaya kandungan hukum yang diproduksi Negara.

Bagi Negara, ini bisa berarti bahwa ditataran praksis ada tiga strategi yang dapat dipakai dalam membangun pluralismee hukum ditanah air. Pertama, Negara secara langsung mengadopsi beberapa ketentuan-ketentuan normatif non-negara dan kemudian menggabungkan kedalam sistem hukum nasional, berdasarkan posisi dominannya ketika berhadapan dengan tradisi hukum yang lain. Strategi ini biasanya dilakukan dengan menggunakan cara akulturasi hukuk, seperti saat Negara membuat sistem hukum pidananya. Kedua, Negara mencoba mengkombinasikan sejumlah hukum-hukum substantif yang ada ditengah masyarakat menjadi sebuah hukum, dimana sejumlah ajaran hukum, yang terbukti berlaku efektif ditengah masyarakat, digabungkan untuk menciptakan sebuah hukum baru.


(5)

Hukum perkawinan nasional dapat dikutip disini sebagai contoh, dimana pembuatan berbagi pasalnya didasarkan pada kemampuan Negara mengasimilasikan berbagai tradisi perkawinan yang berbeda-beda. Ketiga, strategi yang terakhir, adalah kompartementalisasi hukum, strategi ini khususnya dipakai ketika cara akulturasi dan asimilasi tidak mampu menyelesaikan soal pluralitas. Kompartementalisasi dipakai ketika hukum-hukum tak resmi memiliki cakupan nasional tapi hanya berlaku bagi elemen mengadopsi ajaran-ajaran hukum dari tradisi hukum tak resmi itu kedalam sistem hukum nasional dan kemudian mengubah karakternya menjadi hukum Negara. Sejumlah peraturan Negara tentang hukum Islam adalah contoh terbaik dari strategi ini: beberapa aspek hukum Islam diterapkan pada level regulasi Negara dengan cara mengubah karakter informal dan khasnya sebagai hukum tak resmi menjeadi hukum Negara yang punya formal dan resmi. Namun sayangnya, sampai sekarang hukum ini banya berlaku bagi tradisi hukum Islam. Jadi, walaupun hukum Islam sebagian besar sudah dinasionalkan untuk mencakup seluruh segmen kelompok muslim ditanah air, namun ini masih mempertahankan karakternya sebagai sistem yang terpisah dari tradisi-tradisi hukum yang lain.

DAFTAR BACAAN

Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, (1981, cet II).

Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler (Studi Tentang Komflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia), Cet. 1, (Jakarta : Pustaka Alvabet. 2008).

Soepomo, Bab – Bab Tentang Hokum Adat , (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996) Wardaya. Cakrawala Sejarah Di Indonesia, (Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009.)

Zulfadhli Hasibuan, Hukum Adat di Indonesia, di Akses melalui Situs. https://hasibuanattack.wordpress.com/tag/hukum-adat-di-indonesia/ pada Tanggal 28 Desember 2014.


(6)