Tradisi Tumplek Ponjen dalam Perkawinan Masyarakat Adat Jawa (Studi Etnografi di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah)

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

APRILIA FARCHATAENI NIM. 1112044100041

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

ABSTRAK

Nama Aprilia Farchataeni. NIM 1112044100041 TRADISI TUMPLEK

PONJEN DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT JAWA (Studi Etnografi di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah). Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. Xi + 69 Halaman.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui interaksi tradisi Tumplek Ponjen dengan

Hukum Islam dan interaksi antara tradisi Tumplek Ponjen dengan Hukum Positif.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnografis, yang mana mengharuskan peneliti berpartisipasi secara langsung dalam masyarakat, Fokus penelitian di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Tegal.

Sedangkan untuk teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer yang diperoleh dari wawancara dan sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah, jurnal-jurnal, dll..Pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan dan memahami gambaran serta realita yang ada, penulis menggunakan teknik pengumpulan data tersebut dari data yang telah terkumpul kemudian penulisan analisis dengan menggunakan metode deskriptif.

Berdasarkan data hasil penelitian, dapat penulis simpulkan bahwa tradisi tumplek ponjen dapat dilestarikan karena tradisi tumplek ponjen sebagai symbol identitas bangsa.Meskipun harus tetap dilestarikan, akan tetapi harus ada penyaringan dan penyesuaian dengan fikih agar tidak ada pertentangan antara adat dengan fikih

dan dalam hokum positif, adat mengenai tradisi tumplek ponjen ini dapat

diberlakukan selama belum ada perundang-undangan yang mengatur.

Kata Kunci : Tradisi perkawinan, adat Jawa, Tumplek Ponjen

Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d 2015


(6)

v

ميحرلا نمحرلا ه مسب

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang telah memberikan penulis banyak sekali rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat seiring salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, Nabi terakhir serta manusia yang paling mulia.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis baik dari segi moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Rektor Universitas Islam Negri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Halim M. Ag., Ketua program Studi dan sekaligus dosen

pembingbing yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi arahan, koreksi, serta kesabaran yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini.

4. Arip Purqon MA, Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga yang selalu


(7)

vi

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan sabar telah memberikan ilmu kepada penulis.

6. Perpustakaan utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan bahan-bahan referensi skripsi ini.

7. Bapak Muchari S.Pd.I, Bapak KH. Ismail dan Bapak Nawawi yang telah

meluangkan waktu dan fikirannya untuk menjadi narasumber skripsi ini.

8. Secara khusus penulis mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada

Ayahanda Fathullah dan Ibunda Lutfiyah yang telah memberikan dukungan moril dan materil, yang senantiasa dengan tulus memberikan motivasi dan bimbingan serta mendoakan penulis.

9. Terimakasih kepada adiku Muhamad Toriq Farhan yang selalu memberikan

motivasi dan dukungan serta doa kepada penulis untuk terus menjadi contoh yang baik. Kepada saudara sepupu Fikri, mba Mae, Syukur, Awi,. Kepada wa H. Nuheri, wa Muflikhatun, om Jamil, om Fathur, tante Khikmah, om Nas terimakasih atas segala motivasinya untuk membangun semangat penulis.

10.Teman seperjuangan Peradilan Agama 2012, khususnya kelas PA.A Iffah,

Sarifah, Fida, mba Aisyah, Nafis, Deza, Putri, Nisa, Septian, Roni, Hilmi dan lainnya yang tidak bias disebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat untuk penulis.

11.Sahabat Nanik Maulidah, yang sudah menjadi teman, saudara dan menjadi


(8)

vii

12.Sahabat-sahabati Fakultas Syariah dan Hukum, Ulfah, Husnul, Wahid, Sayid,

Faisol, Awal, Noval Imas, Azka, Ita, Aya, Dinda, Iis, Putri, Vivin dan lainnya yang penulis tidak bias sebutkan satu persatu yang telah memberikan pengalaman dan semangat untuk penulis.

13.KBPA (Keluarga Besar Peradilan Agama), PMII (Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, IRMAFA (Ikatan Remaja Masjid Fathullah), HMPS SAS (Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga) 2015, IMT (Ikatan Mahasiswa Tegal), IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama) Tangerang Selatan, IPPNU Pusat, KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Tangerang Selatan dan KKN AKRAB yang telah memberikan penulis pengalaman yang tidak terlupakan.

14.Teimakasih juga kepada kepada semua yang telah berjasa membantu dalam

pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa terimakasih penulis yang sebesar-besarnya.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat sebagai amal ibadah dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Ciputat, 3 Oktober 2016 Penulis


(9)

viii

LEMBARAN PERNYATAAN ………..…...……….……… iii

ABSTRAK ………...………...…………. iv

PENGANTAR ………..………..……….. v

DAFTAR ISI ………..………... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Identifikasi Masalah ………... 5

C. Perumusan dan Pembatasan Masalah……….………. 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….………... 6

E. Tinjauan Penelitian Terdahulu……….………... 7

F. Kerangka Teori……….………. 11

G. Metode Penelitian……….………. 15

H. Sistematika Pembahasan……….………….. 17

BAB II TEORI MASLAHAH MURSALAH DAN ‘URF A. Pengertian Maslahah Mursalah………..…. 18

B. Syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah………...……….. 26

C. Pengertian‘Urf……….. 29

D. Macam-macam‘Urf…………...……….…………. 31

E. Kedudukan ‘UrfSebagai Metode Istinbath Hukum…………... 35

BAB III PROFIL DESA KEDUNGWUNGU A. Sejarah dan Kondisi Geografis………...……... 36


(10)

ix

DENGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Interaksi Tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengan

Adat ……….. 56

B. Interaksi Tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengan Hukum Islam ……… 58

C. Interaksi Tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengan Hukum Positif ………... 62

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………... 63

B. Saran-saran ………... 64

DAFTAR PUSTAKA………...……….. 65

LAMPIRAN-LAMPIRAN……….………... 69

1. Surat Lembar Pembimbing skripsi

2. Surat Permohonan Data Wawancara

3. Surat Keterangan Desa

4. Struktur Organisasi Desa

5. Hasil Wawancara


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik itu etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia lahir dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya. Selanjutnya norma ini mulai menyapa dalam institusi masyarakat. Masyarakat muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan dengan hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional hukum Islam terus menerus membentuk struktur sosial masyarakat msulim dalam menjalani

kehidupan sosialnya.1 Karena harus ada norma yang harus dipatuhi dalam

kehidupan bersama, norma-norma melekat kuat sebagai fakta didalam realitas.2

Norma-norma tersebut dibuat menjadi hukum didalam kehidupan bersama ditengah masyarakat, hukum adat yang kongkritisasi dari pada kesadaran hukum. Karena hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif kuat.

Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.3

Kebudaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia

1

Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional,

(Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012),h. 11 2

Hans Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron, (Bandung: Nusa Media, 2009), Cet. II, h. 214

3

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 338-3340


(12)

dengan belajar.4 Kebudayaan Jawa merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa dengan keanekaragamannya banyak mengilhami masyarakat Jawa dalam tindakan maupun perilaku keberagamannya. Masyarakat Jawa memiliki keunikan tersandiri. Dalam segala tindakannya biasanya tidak lepas dari mengikuti tradisi atau kebiasaan yang dianut oleh para leluhurnya. Keunikannya dapat dilihat mulai dari kepercayaan masyarakat,

bahasa, kesenian, dan tradisinya.5

Masyarakat Jawa adalah salah satu etnis yang sangat bangga dengan dengan budayanya meskipun kadang-kadang mereka tidak begitu faham dengan kebudayaannya. Budaya Jawa penuh dengan simbol sehingga dikatakan budaya Jawa adalah budaya simbolis. Sebagai contoh adalah pada prosesi perkawinan Jawa. Dalam pengertian ini simbol-simbol sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Jawa, suatu kehidupan yang mengungkapkan perilaku dan perasaan

manusianya melalui berbagai upacara adat.6

Perkawinan adat Jawa terkenal dengan kerumitan acaranya, mulai dari praperkawinan, prosesi perkawinan, sampai pascaperkawinan digelar, mereka mengadakan perilaku tertentu menurut kebiasaan setempat. Upacara perkawinan dianggap penting bagi masyarakat Jawa karena makna utama dari upacara

perkawian adalah pembentukan somah baru (keluarga baru, rumah baru) yang

4

Koenjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990),h. 180 5

Clifford Geetz, Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 13

6

Usfatun Zannah, Jurnal Wacana, Makna Prosesi Perkawinan Jawa Timur Sebagai Kearifan Lokal (Pendekatan Etnografi Komunikasi Dalam Upacara Tebus Kembar Mayang Di Desa Jatibaru Kecamatan Bungaraya Kabupaten Siak Provinsi Riau), Vol, 13, No,.2 Oktober 2014, h. 2


(13)

mandiri. Selain makna tersebut, perkawinan juga dimaknai sebagai jalan

pelebaran tali persaudaraan.7

Dalam masyarakat Jawa, perkawinan adat rasanya sulit dilepaskan dari memori komunitas masyarakat. Kalangan mayoritas muslim pada masyarakat Jawa, umumnya masih erat memegang tradisi-tradisi pendahulu atau leluhurnya. Apabila tradisi leluhurnya dianggap memberikan manfaat dan memberikan nilai positif bagi masyarakat, tradisi itu masih dipertahankan.

Tradisi perkawinan adat Jawa menggunakan model kebogiron misalnya,

masih sering dapat dijumpai. Tradisi ini ketika prosesi temu manten diiringi

dengan berbagai macam musik tradisional jawa berupa gong, slenthem, bonang,

penerus, saron, peking, gender, demung dan kendang. Saat ini untuk meyiasati

musik pengiring kebogiroan ketika temu manten di Kabupaten Tegal, diantaranya

dalam bentuk CD (compact disk) atauflash disk.

Kehidupan ideal yang didambakan oleh siapapun adalah kehidupan yang berbudaya dan memiliki akar tradisi yang harmonis, baik secara fisik maupun psikis, sehingga dengan budaya dan tradisi tersebut akan tercipta juga pola kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang harmonis dengan dinamika hidup

yang tinggi untuk mencapai keluhuran peradaban dan kemanusiaan.8 Di antara

tradisi dan kebudayaan bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat, terutama masyarakat Jawa tengah yaitu

tradisi perkawinan Tumplek Ponjen. Keanekaragaman upacara tradisi perkawinan

7

Hildred Geertz, Keluarga Jawa, terj. Hersri, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), h. 58 8


(14)

Tumplek Ponjen, di dalamnya terdapat keyakinan tertentu yang menunjukkan adanya daya serap yang berbeda dari kekuatan tradisi setempat.

Seperti halnya adat istiadat budaya Jawa, upacara Tumplek Ponjen

merupakan hasil perilaku dari manusia yang lebih mengarah pada sistem religi Jawa. Hasil dari kekuatan cipta, rasa dan karsa manusia digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka berke-Tuhanan. Artinya masyarakat Jawa dengan kesadaran yang tinggi mengakui adanya Tuhan yang telah menciptakan dunia, alam semesta dan isinya. Menyadari akan hal itu dalam keyakinan terhadap roh, maka dalam rangka sistem religinya masyarakat jawa tidak mengabaikan roh yang dimaksud sebagai sesama makhluk Tuhan. Pemahamannya dalam melaksanakan persembahan syukur terhadap Tuhan, masyarakat Jawa menciptakan suasana hening, aman tanpa gangguan dari siapa pun. Yang paling utama keikhlasan terhadap Tuhan, karena hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa kita menyembah, bersyukur dan memohon.

Tradisi perkawinan Tumplek Ponjenini merupakan momen penting bagi

orang tua yang akan menikahkan anaknya yang terakhir. Adat ini sebagai wujud

syukur atas selesainya tugas orang tua. prosesi Tumplek Ponjen ini dilakukan pada

saat sungkeman, orang tua akan memberikan kantong yang berisis biji-bijian (beras kuning, kedelai, jagung) dan sejumlah uang yang di berikan oleh orang tua dan sanak keluarganya dalam satu kantong tersebut. Setelah selesai, orang tua

menyebar udhik-udhik yang berada dalam kantong, yang kemudian diperebutkan


(15)

Salah satu daerah di Jawa Tengah yang hingga saat ini menggunakan

Tradisi perkawinan Tumplek Ponjen tersebut adalah Desa Kedungwungu

Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal, yang dalam prosesi perkawinannya masih mempertahankan tradisi tersebut. Dari sudut pandang etnografis, tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini tentunya mempunyai makna filosofis yang terkandung didalamnya, maka dari itu, atas pertimbangan tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Tradisi Tumplek Ponjen Dalam Perkawinan Masyarakat Adat Jawa (Studi di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah)”.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah diatas penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah yang ada dalam bahasan ini. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah:

1. Apakah yang dimaksud dengan tradisi dan Tumplek Ponjen?

2. Darimana asal-usul tradisi tersebut?

3. Bagaimana tatacara pelaksanaan tradisi dan Tumplek Ponjen?

4. Bagaimana masyarakat menjaga agar budaya itu tetap ada?

5. Bagaimana pandangan hukum islam tentang tradisi dan Tumplek Ponjen?

6. Bagaimana pandangan hukum positif dengan tradisi Tumplek Ponjen ?

7. Bagaimana realisasi antara adat dan Islam?

C. Batasan dan Rumusan Maslah


(16)

Dalam skripsi ini perlu adanya pembatasan masalah agar lingkup bahasannya tidak terlalu luas dan melebar. Adapun batasan masalah dalam

skripsi ini adalah mengenai persoalan tradisi Tumplek Ponjen yang ada di

Desa Kedungwung Kabupaten Tegal, tatacara pelaksanaan tradisi perkawinan dan pandangan Islam mengenai adat tersebut.

2. Rumusan Masalah

Sesungguhnya dalam Islam tidak terdapat pembeda ataupun pengkhususan dalam hal pelaksanaan perkawinan bagi setiap orang. Namun dalam masyarakat Desa Kedungwungu Kabupaten Tegal terdapat pengkhususan bagi sebagian orang yang akan melaksasakan perkawinan yaitu

dengan dilaksanakannya upacara Tumplek Ponjen bagi anak bungsu. Oleh

karena itu pertanyaan penelitiannya adalah:

a. Bagaimanainteraksi antara tradisi Tumplek Ponjendi Desa Kedungwungu

dengan Hukum Islam ?

b. Bagaimanainteraksi antara traadisi Tumplek Ponjen di Desa

Kedungwungu dengan Hukum Positif ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan suatu penelitian adalah mengungkapkan secara jelas apa yang ingin dicpai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari definisi tersebut, maka tujuan peneliti adalah:

a. Untuk mengetahui interaksi antara tradisi Tumplek Ponjen di Desa


(17)

b. Untuk mengetahui interaksi antara tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengaan Hukum Positif.

2. Kegunaan Penelitian

Sejalan dengan terciptanya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut :

a. Secara Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya dibidang Ilmu Hukum Keluarga dan umumnya pada Ilmu Pengetahuan.

b. Secara Praktis

Memberikan pencerahan kepada masyarakat luas khususnya kepada masyarakat Desa Kedungwungu Kabupaten Tegal mengenai

Tradisi Tumplek Ponjen dan dapat mengokohkan keyakinan terhadap

hukum islam. E. Tinjauan Terdahulu

Tinjauan terdahulu yang dimaksud adalah melihat data-data skripsi tahun-tahun sebelumnya dengan tujuan menganalisis skripsi yang berkaitan dengan judul atau permasalahan penyusun. Dari sekian banyak skripsi yang penyusun temukan, diantara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah sebagai berikut:

Tabel I.0

NO Penelitiaan terdaahulu Penelitian Sekaraang

1 Judul

Penelitian

1. Setyo Nur Kuncoro

Tradisi Upacara

Tradisi Tumplek


(18)

Perkawinan Adat

Kearaton Surakarta,

Fakultas Syariah,

Universitas Islam

Negri Malang, 2014

2. India Rama Winona,

Tata Upaacaara Perkawinan dan Hantaran pengantin Bekasri Lamongan,

Fakultas Teknik,

Universitas Surabaya, Vol 2 No. 2 tahun 2013

3. Ismiya Hadiana,

Makna Filosofi Galam rituaal Pengantin Jawa di Rembang, Fakultas Bahasa dan Seni,

Universitaas Negri

Semaarang, 2010

4. Sri Haryono Eko

setyawan, Proses

Perkaawinan Adat Jawa dalam Prespektif Hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitaas

Sebelaas Maret

Surakarta, 2010

Perkawinan

Masyarakat Adat


(19)

2 Fokus Penelitian

1. Fokus pada upacara

perkawinan adaat

keraton

2. Fokus pada tata cara

perkawinan daan

hantaara pengantin

3. Fokus pada makna

filosofi dalam ritual pengantin jawa

4. Fokus padaProses

Perkaawinan Adat

Jawa dalam Prespektif Hukum Islam

Fokus pada tradisi

tumplek ponjen

3 Subjek Objek

penelitian

1. Masyarakat Desa

Kauman, Pasar

Kliwon, Surakarta

2. Masyarakat Bekasri

Lamongan

3. Masyaraakat

Rembang

4. Hukum Islam

Masyaraakat Desa Kedungwungu,

KecamatanJatinegaara, Kabupaten Tegal

4 Metode

Penelitian

1. Penelitian lapangan

2. Penelitian lapangan

3. Penelitian lapangan

4. Penelitian Hukum

Normaatif

Penelitian lapangan

5 Tujuan

Penelitian

1. Mengetaahui prosesi

upacara perkawinan

adat keraton Surakarta pada mmmasyarakat

Mengetahui hubungan tradisi tumplek ponjen

dengan Hukum Islam dan Hukum Positif.


(20)

Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta.

2. Mendeskripsikan

tahapaan tata

upacaara, jenis

hantaran dan makna hantaran.

3. Mengetahui tata caraa

pelaksanaan dan

makna nilaai-nilai

filosofi yang

terkandung dalam

ritual pengantin jawaa di rembang

4. Untuk mengetahui

Proses Perkaawinan

Adat Jawa dalam

Prespektif Hukum Islam

Dari beberapa skripsi daan jurnal wacana yang ditulis di atas baik yang ditulis oleh Setyo Nur Kuncoro, maupun yang di tulis oleh yang lainnya, dapat disimpulkan bahwa meskipun skripsi dan jurnal di atas membahas tentang permasalahan adat Jawa, tetapi topik yang diangkat merupakan berbeda dengan apa yang akan di angkat oleh penulis, beda halnya dengan sekripsi yang penulis bahas, meskipun tema utamanya adalah adat Jawa, tetaapi cakupan yang penulis


(21)

Jawa. Dengan demikian jelas terdapat perbedan aantara topik yang penulis bahas dengan penulis di atas.

F. Kerangka Teori

Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam, pengaruh adat-sosio cultural

suatu masyarakat terhadap pembentukan hukum islam sangatlah kuat. Hal ini terlihat pada hasil ijtihad para imam madzhab, seperti imam Maliki banyak

dipengaruhi adat masyarakat kota Madinah, seperti imam Syafi‟I banyak

dipengaruhi adat masyarakat Bahdad pada qaul qodim-nya dan masyarakat Mesir

pada qoul jadid-nya.

Hukum islam mengakomodir adat suatu masyarakat sebagai sumber

hukum selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nash al-Qur‟an maupun

as-Sunnah. Hal ini dapat dipahami bahwa adat yang diterima adalah adat yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Dalam skripsi ini penulis akan menggunakan analisa „urf karena bahasan

di sini banyak meneliti adat istiadat pada masyarakat yang sangat beragam, penulis akan menggunakan hukum islam untuk masuk kepada permasalahan. Dan

analisa maslahah mursalah untuk mengambil manfaatdan menolak kemudharatan

dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara‟.

1. „Urf

Secara bahasa „urf berarti mengetahui, kemudia dipakai untuk arti sesuatu


(22)

seehat.9„urfmerupakan sesuatu yang dikenal di kalangan umat manusia dan selalu diikuti, baik „urf perkataan maupun „urf perbuatan.10

Hukum Islam bersifat universal, sehingga ia mengatur segala aspek kehidupan manusia. Namun bagaimanapun hukum Islam tidak terlepas dari pengaruh budaya atau adat dari suatu daerah.

Qaidah ini sumber dari firman Allah SWT yang tertuang dalam QS. AL-A‟raf (7): 157

























































)

فارعاا

157:7/

)

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisimereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), merekaitulah orang-orang beruntung”.

Ayat ini menjelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang

berkembang dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum, apabila adat kebiasaan itu dinilai baik (tidak bertentangan dengan hukum), dan membawa kemaslahatan ummat.

9

A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970),h. 77 10

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasallahan dan Fleksibelitasnya (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 77


(23)

Adat yang baik adalah kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan akal sehat dan sejalan dengan hati nurani dan dalam penerapannya sulit untuk ditolak sebagai suatu hukum yang berlaku.

Adat kebiasaan yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang telah mafhum di tengah-tengah masyarakat karena berulangkali dilaksanakan, sehingga menjadi norma hukum dalam masyarakat yang bersangkutan.

Adat yang bertentangan dengan sumber-sumber pokok hukum islam, dengan sendirinya ditolak sebagai dari sumber isnpirasi pembentukan hukum islam. Adat kebiasaan yang telah lama mentradisi dan diterima sebagai sumber apabila sebuah kebenaran-apalagi secara substansial cocok dengan al-Quran dan as-Sunnah akan berpeluang dijadikan hujjahdalam pembentukan hukum islam.

Adat atau „urf dihargai sebagai sumber apabila terdapat 3 syarat yang

harus ada, yaitu:

a. „Urf itu tidak berlawanan dengan nas yang tegas, maksudnya adat itu tidak bertentangan dengan hukum.

b. Apabila adat itu sudah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan

berkembang dalam masyarakat.

c. „Urf itu merupakan adat yang umum, karena hukumnya umum tidak dapat

ditetapkan dengan „urf yang khas.11

2. Maslahah mursalah

Maslahah mursalah menurut istilah para ahli ilmi ushul fiqih adalah suatu kemaslahatn di mana syari‟ tidak mensyriatkan suatu hukum untuk merealisir

11


(24)

suatu kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maslahat ini disebut mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil membatalkannya. Contohnya adalah kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan memungut pajak terhadap tanah itu di daerah yang mereka taklukan, atau lainnya yang termasuk kemaslahatan yang dituntut oleh keadaan-keadaan darurat, berbagai kebutuhan, atau berbagai kebaikan, namun belum disyariatkan hukumnya, dan tidak ada bukti syara‟ yang menunjukkan terhadap pengakuannya atau pembatalannya.12

Jumhur ulama ummat Islam berpendapat,bahwasannya maslahah mursalah

adalah hujjah syar‟iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijmak, atau qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum ersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditingguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara‟.13

Alasan ulama tentang bolehnya berdalil dengan maslahah mursalah di

antaranya adalah Allah mengutus rasul-rasul bertujuan untuk kemaslahatan atau kemanfaatan manusia. Demikian juga Allah menurunkan syariatnya adalah untuk

kemaslahatan manusia. Sedangkan maslahah mursalah sama juga tujuannya.

Oleh karena itu, Syekh Ibnu Taimiyah berkata bahwa apabila seseorang mendapat kesulitan dalam memeriksa hukum sesuatu, apakah hukumnya mubah

12

Abdul Wahhab Khallafah, Ilmu Ushul Fiqih, (semarang: Dina Utama, 1994, Cet. Ke-1), h. 116

13


(25)

atau haram, maka lihatlah maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan)

sebagai dasar.14

G. Metode Penelitian

1. Jenis pendekatan penelitian

Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif15 dengan pendekatan etnografi yaitu melihat dan mengamati secara

langsung kehidupan masyarakat Desa Kedungwungu Kabupaten Tegal yang

melakukan tradisi Tumplek Ponjen.

2. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer yang diperoleh secara langsung oleh penulis melalui observasi dan wawancara langsung kepada tokoh adat dan ulama serta kesaksian secara lisan atau tercatat dari pelaku tradisi atau masyarakat

umum yang mengetahui tradisi Tumplek Ponjen.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan serta mendukung dalam proses penulisan penelitian ini antara lain; dokumen-dokumen resmi, buku-buku, ataupun hasil penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

14

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1, h.161 15

Disebut penelitian kualitatif apabila jenis data dan analisa data yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang menggunakan penalaran. Yayan Sopyan,


(26)

Cara pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan dan memahami gambaran serta realita yang ada, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara

Penulis akan melakukan wawancara dengan beberapa tokoh adat di desa Kedungwungu Kabupaten Tegal beserta beberapa tokoh ulama 2. Observasi

Penulis akan melakukan observasi langsung pada warga yang

melakukan pernikan dengan adat Tumplek Ponjen di Desa

Kedungwungu Kabupaten Tegal

3. Analisis Data

Penulis menggunakan metode deskriptif (deskriptive tesearch) dalam

proses analisa data

Adapun teknik penulisan merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan

SkripsiFakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.16

H. Sistematika Pembahasan

Bagian ini adalah upaya untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi, oleh karena itu penulis menyusun suatu sistematika penulis seperti yang dijelaskan di bawah ini.

16

Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, Pedomn Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, 2012).


(27)

Pembahasan pertama menguraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi maslah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab I ini merupakan landasam pemikiran dari sebuah penelitian, fungsina adalah untuk menguraikan dan menjelaskan bab-bab selanjutnya. Kemudian pada pembahasan yang kedua

menguraikan tentang mashlahah musrsalahdan „urf.

Pada pembahasan yang ke tiga penulismenguraikan tentang profil Desa

Kedungwungu Kabupaten Tegal. Kemudian pada pembahasan yang keempat,

merupakan pembahasan dari hubungan tradisi tumplek ponjen dengan hukum

islam dan hukum positif.Selanjutnyapada pembahasan yang terakhiryaitu penutup yang berisikan kesimpulan dari permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab- sebelumnya dan saran-saran sebagai solusi dari permasalahan.


(28)

18

Untuk memahami maslahah mursalah secara baik, terlebih dahulu perlu

diketahui makna dalam kajian ushul fiqih, secara etimologis “maslahah

mursalah” terdiri atas dua suku kata, yaitu maslahah dan mursalah.

Secara etimologi, kata maslahahberasal dari kata „salaha’ atau „saluha’

yang berarti baik. Kata ini adalah antonim dari kata „fasad’ yang berarti rusak.

Dengan demikian maslahahadalah kebalikan dari kata mafsadah (kerusakan).

Kata maslahahitu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata masalih.

Pengarang kamus “Lisan al-Arab” menjelaskan pengertian maslahat dari dua

arah, yaitu maslahah yang mempunyai arti „al-shalah’ dan maslahah sebagai

bentuk tunggal (mufrad) dari kata „al-mashalih’ semuanya mengandung arti

adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan

kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan.1

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah

mempunyai arti “sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna”

sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat kepentingan.2

Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan dan ketenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak

1 Rachmat Syafe‟i.

Ilmu Ushul Fiqi, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet. Ke-1), h.117.

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai Pustaka. 1996, Cet. Ke-2),h.634.


(29)

kemudharatan atau kerusakan. Sehingga setiap yang mengundang manfaat patut

disebut maslahah.

Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata:

arsala-yursilu-irsal yang artinya: „adam al-taqyid (tidak terikat) atau yang berarti juga: al-mutlaqah (bebas atau lepas).3

kemudian pengertian maslahah secara terminologi, terdapat beberapa

definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi

tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghazali misalnya,

mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat

dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara‟.4

Tujuan syara‟ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara‟ tersebut maka dinamakan maslahah, dan upaya untuk menolak

segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara‟

tersebut juga dinamakan maslahah.5

Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syathibi mengatakan bahwa kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara

kelima tujuan syara‟ termasuk kedalam konsep maslahah. Dengan demikian,

3

Ahmad Mukri Aji, Pandangan al-Ghazali Tentang maslahah mursalah, Jurnal Ahkam, IV, 08, (Jakarta:2002), h.38.

4 Ma‟ruf Amin,

Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising, 2008, Cet. Ke-1), h. 152.

5Ma‟ruf Amin,


(30)

menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus

bertujuan untuk kemaslahatan diakhirat.6

Sedangkan definisimaslahah menurut said Ramdhan al-Buthi adalah:

م س ف م يد ظفح م دا عل ميكحلا عراشلا ا دصق يتلا ةعف ملا : ةح صملا

ق ط م لا ما م ست م ل قع

ا ي اميف يترت

Artinya:”al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para

hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri akal, keturunan dan harta

mereka sesuai dengan ukuran tertentu diantaranya.”

Dari definisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah

tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang ditetapkan

syar’i adalah pemeliharaan lima hal pokok (kulliyat- al-Khamasah), semua bentuk

tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak

kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut maslahah.7

Sifat dasar dari maqasid al-syari’ah adalah pasti, dan kepastian disini

merujuk pada otoritas maqasid al-syari;ah itu sendiri. Dengan demikin eksistensi

maqasid al-asyari’ahpada setiap ketentuan hukum syariat menjadi hal yang tidak

terbantahkan baik yang bersifat perintah wajib atau larangan.8

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa al-Ghazali mengajukan

teori maqhasid as-ayari’ah ini dengan membatasi pemeliharaan syariah pada

6

Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muafaqat fi Ushul al-Syariah, (t,t:Dar ibn Affan, 1997) cet, ke-1 jilid 2,h. 17-18. Lihat juga Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum Islam, (Jakarta:Paramuda Advertising, 2018, Cet. Ke-1),h. 153.

7

Firdaus, Ushul Fiqih Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensi, (Jakarta:Zikrul Hakim,2004, Cet, ke-1), h. 81.

8

Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Pres, 2007, Cet. Ke-1), h. 129.


(31)

kulliat al-khamsah.Konsep pemeliharaan tersebut dapat diimplementasikan dalam

dua metode: pertama preventif (bersifat mencegah), dalam metode konstruktif,

kewajiban-kewajiban Agama dan berbagai aktifitas sunat yang baik dilakukan

dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan pada

semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif kedua metode tersebut

bertujuan mengukuhkan elemen maqhasid al-syari’ah sebagai jalan menuju

kemaslahatan.

Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda

tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang

baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan

kerusakan pada manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.9

Sedangkan secara teminologi ada beberapa rumusan definisi yang berbeda

tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan

berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:

1. Al-Ghazali merumuskan maslahah mursalah sebagai berikut: “Apa-apa

(maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nas

tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”

2. Abdul Wahab Khalaf memberi rumusan berikut:

“Maslahah Mursalahialah masalah yang tidak ada dalil syara’ datang untuk

mengakuinya atau menolaknya.”10

3. Muhammad Abu Zahra memberi definisi:

9

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke-2), h. 325.

10

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Gema Risalah Press, 1996, Cet. Ke-7), h. 142.


(32)

Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidakada petunjuk

tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”11

Dalam kaitannya dengan ini Wahbah Zuhaili.12 Mengemukakan bahwa yang

dimaksud dengan maslah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan

tindakan dengan tujuan syara’, tetapi tidak ada dalil tertentu dai syara yang

membenarkan atau menggugurkan, dan dengan ditetapkan hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari padanya, sejalan dengan hal ini

Ahmad Munif Suratmaputra13 juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

maslahah mursalah adalah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’ dan tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkanya.

Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat diterik kesimpulan tentang

hakikat dari maslahat mursalah tersebut, sebagai berikut:

a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat

mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia

b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selarn dan sejalan dengan tujuan syara’

dalam menetapkan hukum

c. Apa yang baik menurut akal dan selaras juga dengan tujuan syara’ tersebut

tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang mengakuinya.14

Pada perkembangan selanjutny penggunaan term maslahah mursalah telah

terjadi dikalangan ulama Ushul Fiqih. Sebagian ulama ada yang menyebutkan

11MuhamadAbu Zahrah penerjemah Saefullah Ma’sum dkk,

Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008 Cet. Ke-11), h.427.

12

Wahabah Zuhaili, Ushul Fiqih al Islam, (Bairut:Dar al-Fikr, 1986),h. 757. 13

Ahmad Munif Suramaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali Masalahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-1), h. 71.

14


(33)

dengan istilah: al-munasib al-mursal, al-istidlal al-mursal,al-Qiyas al-Maslahi,

sedangkan Imam al-Ghazali dengan nama “al-istislah”.15

Para ulama ushil fiqh sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah

dapat dijadikan sebagai dalil hukum dalam menetapkan hukum. Kemaslahatan

seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Adapun mengenai maslahah mursalah

pada prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam

menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya

mereka berbeda pendapat.16

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah

mursalah sebagai dalil disyariatkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum.

Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang

dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan „illat (motivasi hukum) dalam

penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut

digunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Misal jenis sifat yang

dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah dalam sebuah Hadits diterangkan

)“Rasulullah saw melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota

dengan maksud untuk membeli barang mereka, sebelum para petani itu

memasuki pasar”). Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari”kemudharatan bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli

barang petaini tersebut dibatas kota, dan menolak kemudharatan itu merupakan

konsep al-maslahah al-mursalah.

15 Rachmat Syafe’I,

Ilmu Ushul Fiqih, h. 118. 16

Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, (Ciputat: Logos Publishing House, 1996, Cet. Ke-1), h. 120 , lihat juga Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum islam, h. 160.


(34)

Dengan demikian Ulama Hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu

terdapat dalam nash dan ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis

sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Dan penerapan konsep maslahah

al-mursalah dikalangan Hanafiyah terlihat secara luas dalam metode istihsan.17

Ulama Malikiyah dan Hanabillah menerima maslahah mursalah sebagai

dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiwh

yang palin banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah

merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci

seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa

keberadaan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat pasti (qat’i), sekalipun

dalam penerapannya bersifat zanni (relatif).18

Begitu halnya dengan ulama golongan Syafi’iiyah pada dasarnnya, juga

menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syata’, akan tetapi Imam al-Syafi’i

memasukkannya kedalam qiyas, namun salah satu pengikut mazhab ini Imam

al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas

permasalahan maslahah mursalah, walaupun beliau menyebutnya dengan istilah

al-istislah. Dengan demikian, jumhur ulama sebenarnya menerima maslahah mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum Islam.19

Adapun penggunaan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan

hukum jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah alasan sebagai berikut:

17

Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, h. 120-121.

18

Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, h. 121-122. 19


(35)

1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah

berfirmandalamQS. Al-Anbiya (21) :107











ايبناا(

107:21/

)

Artinya: “Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat

bagi semesta alam”.

Ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seluruhnya

dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan

akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan maslahah terhadap hukum-hukum

lain yang juga mengandung kemalshatan adalah legal.

2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat,

zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada

hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.

3. Jumhur ulama juga beralasan dengan menujuk kepada beberapa perbuatan

sahabat, seperti Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran „Umar bin al

-Khatab, sebagai salah satu kemalshatan untuk melestarikan al-Qur’an dan

menuliskan al-Qur’an pada satu bahasa di zaman „Utsman bin’Affan demi

memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.20

B. Syarat berhujjah dengan Maslahah Mursalah

Ulama dalam memakai dan mempergunakan maslahah mursalah sebagai

hujjah sangat berhati-hati dan memberikan syarat-syarat yang begitu ketat, karena dikhawatirkan akan menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menutut

20Ma’ruf Amin,


(36)

hawa nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak ada batasan-batasan dalam mempergunkannya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan.

Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi pembentukan hukum suatu kejadian itu dan dapat mendatangkan keuntungan, manfaat atau

menolak madarat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu

mendatangkankeuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah

yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah

didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan. Contoh maslahah ini ialah

maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan isterinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakiim saja dalam segala keadaan.

2. Berupa maslahah yang bersifat umum. Bukan maslahah yang bersifat

perorangan. Yang dimaksud dengan ini yaitu, agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan manfaat

kepada umat manusia, atau dapat menolak madarat dari mereka, dan bukan

hanya memberikan menfaat kepada seseorang atau beberapa orang saja. Apabila demikian maka hal tersebut tidak dapat syariatkan sebagai sebuah hukum.

3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum

atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ dalam artian bahwa

maslahah tersebut adalah maslahah yang hakiki dan selalu sejalan dengan


(37)

4. Diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari

kesulitan.21

Imam Ghazali, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah sebagai

salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakannya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat. Syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Maslahah itu haruslah satu dari lima kebutuhan pokok. Apabila hanya kebutuhan kedua atau pelengkap maka tidak dapat dijadikan landasan.

2. Maslahah itu haruslah bersifat sementara, yakni kemaslahatan kaum muslim secara utuh, bukan hanya sebagian orang atau hanya relevan dalam keadaan tertentu.

3. Maslahahtersebut harus bersifat qath’i )pasti) atau mendekati itu.22

Sedangkan Imam Syatibi tidak mengharuskan hal-hal yang disyaratkan oleh Imam Ghazali, tetapi mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam

ketika memutuskan hukum berdasarkan maslahah mursalah, yaitu:

1. Harus masuk akal, sehingga ketika disampaikan kepada akal, akal dapat

menerimanya. Namun tidak boleh menyangkut hal-hal ibadah.

2. Secara keseluruhan, harus sesuai dengan tujuan-tujuan syariat, yang mana

tidak menghilangkan satu dasarpun dari dasar-dasar agama, dan satu

21

Abdul Wahab Al-khalaf, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani,2003), h. 145-146. 22

Yusuf Qardhawi. Keluaesan dan keluasan Syari’at islam: Dalam Menghadapi Perubahan Zaman, (Jakarata: Pustaka, 1996, Cet. Ke-1), h. 24.


(38)

dalilpun dari dalil-dalil yang qath’i. Tetapi ia harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang menjadi tujuan dari syariat, meskipun tidak ditemukan dalil khusus yang menerangkannya.

3. Maslahah mursalah harus selalu mengacu kepada pemeliharaan hal-hal yang bersifat vital atau menghilangkan kesulitan dan hal-hal membertakan

di dalam agama.23

Selanjutnya Imam Malik, dalam mempergunakan pemakaianmaslahah

mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakannya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat, syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Adanya kesesuain antara maslahat yang diperhatikan dengan maqasid

al-syariah, dimana maslahat tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan

dalil syara’ meskipun hanya satu.

2. Maslahat tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat

)rasional), yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap

maslahat, sehingga tidak ada tempat untuk maslahat dalam maslahah

ta’abbudiyah dan perkara-perkara syara’ yang sepertinya.

3. Hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan

terhadap perkara yang daruri )primer) menurut syara’ dan meniadakan

kesempitan dalam agama.24

23

Yusuf Qardhawi alih bahasa Zuhairi Misraw, M. Imdadun Rahmah. Fikih Taysir Metode Praktis Mempelajari Fikih, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, Cet. Ke-1), h. 91.

24 Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum syara”, (Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), h. 35-36.


(39)

Bila diperhatikan syarat-syarat maslahah mursalah diatas terlihat bahwa

ulama yang memakai dan menggunkana maslahah mursalah dalam berhujjah

cukup hati-hati dalam menggunakannya. Karena bagaimanapun juga apa yang dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan suatu hukum dalm hal-hal

yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.25

C. Pengertian ‘Urf

Dalam literatur ilmu Ushul Fiqih, pengertian adat (al-adah) dan „urf

mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata berasal dari bahasa arab

yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata „urf berasal dari kata

araf yang mempunyai derivasi kata al-ma’ruf yang berarti sesuatu yang

dikenal/diketahui.26 Sedangkan kata adat berasal dari kata„addah yang

mempunyai derivasi kata al-adah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang

(kebiasaan).

Arti „urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau

ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk

melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, „urf ini sering

disebut sebagai adat.27

Menurut Abdul Wahab Al-khalaf, „urf adalah apa yang dikenal oleh

manusia dan menjadi tradisinya, baik ucapan, perbuatan atau

pantangan-pantangan, dan disebut juga adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan

antara „urf dan adat. Adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia jual beli

25 Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum syara”, (Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), h. 36.

26

Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), h.363. 27Rahmat Syafe’I,


(40)

dengan tukar menukr secara lngsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan,

seperti kebiasaan umat manusia menyebut al-walad secara mutlak berarti anak

laki-laki, bukan anak perempuan, dan kebiasaan mereka untuk mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan menusia menurut derajat

mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk

dari kesepakatan para Mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.28

Musthafa Ahmad al-zarqa’ )guru besar fiqih Islam di Universitas „Amman,

Jordania), mengatakan bahwa „urfmerupakan bagian dari adat, karena adat lebih

umum dari „urf. Suatu „urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang

didaerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan „urf bukanlah

kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dikebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman. Yang dibahas para Ulama Ushul Fiqih, dalam

kaitannya dengan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ adalah

„urfbukan adat.29

D. Macam-Macam ‘Urf

Ahmad Fahmi Abu Sunnah dan Ahmad Musthafa al-Zarqa’ serta para

Ulama Ushul fiqih membagi „urf menjadi tiga macam:30

a. Dari segi objeknya, „urf dibagi kepada:

1. Al-„urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan), adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkpana itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya: kata daging

28

Abdul Wahab Al-khalaf, Ushul Fiqih,(Jakarta: Pustaka Amani,2003), h.117. 29

Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 138-139. 30


(41)

yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada.

2. Al-„urf al-„amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara khusus.

b. Dari segi cakupannya, „urf dibagi kepada:

1. Al-„urf al-„am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jula beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil termasuk dalam harga jual, tenpa akad sendiri dan biaya tambahan.

2. Al-„urf al-khash, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan di daerah tertentu. Misalnya, kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, „urf dibagi kepada:

1. Al-„urf al-shahih, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pria memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin. 2. Al-„urf al-fasid, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang


(42)

dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang

dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang sesama pedagang. E. Kedudukan ‘UrfSebagai Metode Istinbath Hukum

Sumber hukum Islam terbagi menjadi dua, manshush (berdasarkan nash)

dan ghairu manshush (tidak berdasarkan nash). Manshush terbagi menjadi dua

yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, Ghairu manshush terbagi menjadi dua yakni

muttaqaf „alaih)ijma’ dan qiyas) dan mukhtalaf fih)istihsan, „urf, istishab,sad ad

-dzarai’, maslahah mursalah, qaul shohabi, dan lain-lain).

„Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada

umumnya, „urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang

pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan „urf dikhususkan

lafal yang „amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena „urf pula terkadang

qiyas ditinggalkan.

Para Ulama banyak yang sepakat dan menerima „urf sebagai dalil dalam

mengistinbathkan hukum, selama ia merupakan al-„urf al-shahih dan tidak

bertentangan dengan hukum Islam, baik berkaitan dengan al-„urf al-„amm atau

al-„urf al-khas.

Seorang Mujtahid dalammenetapkan suatu hukum, menurut Imam al-Qarafi, harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan suatu kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh Ulama madzhab, menurut imam Syatibi dan imam Ibnu Qayim


(43)

hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang

dihadapi.31

Ada beberapa alasan „urf dapat dijadikan dalil, diantaranya yaitu:32

1. Hadis Nabi yang dinukil oleh Djazuli dalam bukunya yang berbunyi:

م ه د ع ع

ريخ دمحم ق دج ف دا علا

ق يف ع طا زع ه ا اف د عس

ق ريخ احصا

ق دج ف دمحم ق دع دا علا

ق يف ع طا مث دا علا

ق

م رتخ اف دا علا

امف ي د ى ع تاقي يدل

سح ه د ع ف ا اسح م سملا ار

ف اتيس ار ام

ئس ه د ع

) )ي ار طلا ا ر

Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa sesungguhnya Allah ada

dalam hati hamba, hati yang paling baik adalah hati Nabi Muhamad, hamba seorang mukmin adalah sebaik-baiknya hati, mereka akan memilih sesuatu yang baik untuk agamanya dan mereka akan berperang demi agamanya, maka apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah dan apa yang dianggap buruk oleh orang-orang islam, maka hal itu buruk pula di sisi Allah. (HR. Thabrani)

Hal ini menunjukkan bahwa segala adat kebiasaan yang dianggap baik oleh umat Islam adalah baik menurut Allah, karena apabila tidak melaksanakan kebiasaan tadi, mak akan menimbulkan kesulitan.

Dalam kaitan ini Allah berfirmandalam QS. Al-Hajj (22) : 78







جحلا(

(78:22/

Artinya: “dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam aama suatu

kesempitan”.

31

Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 142. 32

Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000), h. 186-187.


(44)

2. Hukum Islam di dalam khitab-nya memelihara hukum-hukum Arab yang maslahat seperti perwalian nikah oleh pria, menghormati tamu dan sebagainya.

3. Adat kebiasaan manusia baik berupa perbuatan maupun perkataan berjalan

sesuai dengan aturan hidup manusia dan keperluaanya, apabila dia berkata ataupun berbuat sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa berlaku pada masyarakat.

Adat atau „urf dengan persyaratan-persyaratan terntentu dapat dijadikan

sandaran untuk menetapkan suatu hukum, bahkan di dalan sistem hukum Islam

kita kenal qa’idah kulliyah fiqhiyah yang berbunyi:33

ةمكحم ةعيرش ةداعلا

1. Maksudnya, adat dapat dijadikan hukum untuk menetapkan suatu hukum

syara’

يعرش يلد ت اتاك فرعلا اتلا

2. Sesuatu yang ditetapkan adat atau „urf seperti yang ditetapakan dalil syara’

ةمكحم ةداعلا

3. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum34

Para ulama Ushul fiqih menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat dijadikan

sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:35

33

Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000), h. 185.

34


(45)

1. „urf itu berlaku secara umum, artinya „urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarkat tersebut.

2. „Urf itu telah masyarakat ketika persoalan yang kan titetapkan hukumnya itu

muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum tiu lebih dahulu

ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.

3. „Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam

suatu transaksi.

4. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash.

35


(46)

37 BAB III

POTRET DESA KEDUNGWUNGU A. Sejarah dan Kondisi Geografis

Kedungwungu adalah sebuah nama kelurahan yang namanya berasal dari namakedung dan kayu wungu. Dahulu di desa tersebut terdapat banyak sekali kedung dan kayu wungu yang menjadi salah satu sumber penghasilan dan sumber kehidupan.kedung digunakan masyarakat dahulu untuk mencari ikan, airnya digunakan untuk memasak, mencuci dan mandi, sedangkankayu wugu biasa digunakan oleh masyarakat desa kedungwungu sebagai salah satu bahan untuk

membut rumah.1

Desa Kedungwungu sebagai salah satu desa di wilayah Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal dan sebagian wilayahnya pun dikelilingi oleh

perbukitan gunung selamet. Dalam Kecamatan Jatinegara terdapat 17 desa2 yang

di mana 8 desa tidak berada dalam wilayah pegunungan dan 9 lainnya termasuk wilayah pegunungan.

Desa Kedungwungu termasuk dalam wilayah pegunungan yang diapit oleh

bukit yang subur dan pemandangan yang menawan.3 Desa ini terbagi dalam empat

daerah kecil yaitu Dukuh Tampingan, Dukuh Kerajan, Dukuh Magangan dan Dukuh Jingkang. Desa ini begitu sederhana dengan wilayah yang masih banyak ditanami padi karena mayoritas masyarakat disini adalah petani.

1

wawancara pribadi dengan bapak Muchari, Kepala Desa Kedungwungu, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, pada tangal 25 Agustus 2016.

2

Kecamatan Jatinegara,diakses pada tanggal 28 Agustus 2008

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Jatinegara,_Tegal. 3

Andri Saputra, Sejarah Desa Kedungwungu diakses pada tanggal 28 Agustus 2008 di


(47)

Wilayah Desa Kedugwungu berada dalam wilayah Kecamatan Jatnegara dan salah satu dari 17 desa, dengan jarak tmpuh terhadap pusat pemerintahan sebagai berikut:4

Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan : 15 (lima belas) KM.

Jarak dari ibukota kabupaten : 36 (tiga puluh enam) KM.

Jarak dai ibukota provinsi : 205 (dua ratus lima) KM.

Sedangkan batas wilayah Kelurahan/Desa Kedungwung adalah:5

Sebelah utara : Padasari Sebelah selatan : Mokaha Sebelah Timur : Argatawang Sebelah barat : Danareja

Adapun luas wilayah Desa Kedungwungu adalah 5291.9 Ha. Luas wilayah Desa Kedungwungu menurut jenis tanah sebagian besar adalah tanah darat yaitu; Tegalan/ladang 556,75 Ha. Pemukiman 34.400 Ha.

Pemerintah Desa Kedungwung dipimpin oleh seorang Kepala desa dan dibantu oleh beberapa staf yang terdiri dari 4 kepala dusun dan jug beberapa staf lainnya yang mengurusi berbagai kepentingan di Desa Kedungwungu bejumlah

2.897 jiwa dengan dominasi kaum perempuan.6

Tabel 1.1

Dominasi jumlah Penduduk

No Jenis Kelain Jumlah penduduk

1 Laki-laki 1.435

4

Data Monografi Desa Kedungwungu Tahun 2015. 5

Data Monografi Desa Kedungwungu Tahun 2015. 6


(48)

2 Perempuan 1.462

Jumlah 2.897

Sumber: buku Monografi Desa Kedungwungu Tahun 2015

Berdasarkan tabel di atas jumlah peduduk Desa Kedungwungu lebih banyak didominasi oleh kaum perempuan yaitu sekitar 1.462 jiwa sedangkan kaum laki-laki sekitar 1.435 jiwa. Adapun jumlah penduduk kelompok usia pendidikan menurut struktur umur adalah sebagai berikut:

Tabel 1.2

Kelompok Usia Pendidikan No

Kelompok usia pendidikan (dalam tahun)

Jumlah

1 00-03 140

2 04-06 155

3 07-12 320

4 13-15 125

5 16-18 142

6 19 tahun ke atas 2015

Sumber: buku Monografi Desa Kedungwungu Tahun 2015

Berdasarkan tabel di atas jumlah peduduk menurut kelompok usia pendidikan banyak dihuni oleh mereka yang berusia 07-12 tahun dan paling sedikit berusia 04-06 tahun.

Tabel 1.3 Keompok Usia Kerja

No Kelompok Usia

Tenaga Kerja


(49)

1 10-14 tahun 145

2 15-19 tahun 189

3 20-26 tahun 257

4 27-40 tahun 962

5 41-56 tahun 936

6 57- keatas 421

Sumber: buku Monografi Desa Kedungwungu Tahun 2015

Berdasarkan hasi wawancara penulis dengan Kepala Desa pada tanggal 25 jui 2015 bahwa perekonomin penduduk Desa Kedungwungu dalam tingkatan menengah kebawah, sehingga banyak masyarakat yang memilih putus sekolah dan memilih untuk merantau atau bertani.

Penduduk desa Kedungwungu berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2015 berjumlah 2.897 jiwa dengan jumlah perempuan 1.462 jiwa dan laki-laki 1.435 jiwa. Berikut ini merupakan data 2015 yang diperoleh dari prodeskel Desa

Kedungwungu yang terahir diakses pada desember 2015 lalu:7

Tabel 1.4

Jumlah penduduk Desa Kedungwungu

No Tahun

Jumlah Laki-laki (orang) Jumlah Perempuan (orang) Jumlah Total (orang) Jumlah Kepala Keluarga (KK) Kepadatan Penduduk (jiwa/Km2)

1 2014 1.418 1.435 2.853 505 34

2 2015 1.435 1.462 2.897 509 34

Sumber: buku Monografi Desa Kedungwungu Tahun 2015

7


(50)

Mayoritas mata pencaharian Desa Kedungwungu adalah di bidang pertanian, perternakan dan perburuhan. Pertanian di Desa Kedungwungu ditinjau dari kepemilikan tanah yang terbagi menjadi dua jenis pertanian yaitu pertanian pribadi dan pertanian persil. Pertanian pribadi adalah pertanian yang dikerjakan di atas tanah milik sendiri, sedangkan pertanian persil adalah aktifitas pertanian yang dikerjakan di atas tanah lahan milik Perhutani yang ditanami kayu tines yang

dimanfaatkan getahnya.8 Meskipun menjadi mata pencaharian utama masyarakat

desa, pertanian di wilayah Desa Kedungwungu tidak menjanjikan, hasil pertanian hanya berkisar pada tanaman Padi dengan hasil jual yang tidak begitu tinggi. Hal itu disebabkan keadaan geografis Desa Kedungwungu yang jauh dari keramaian dan berada di lingkungan perbukitan.

Tabel 1.4

Penduduk Menurut Profesi atau Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Laki-laki

(orang)

Perempuan

(orang) Jumlah

1 Pegawai Negri Sipil 9 3 12

2 Pensiun TNI/POLRI 2 - 2

3 Petani 360 116 476

4 Buruh Tani 130 161 291

5

Pengrajin Industri Rumah Tangga

4 - 4

6 Pedagang Keliling 10 - 10

8

Wawancara pribadi dengan bapak Muchari, Kepala Desa Kedungwungu, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, pada tangal 25 Agustus 2016.


(51)

7 Peternak 3 3 Sumber: buku Monografi Desa Kedungwungu Tahun 2015

Melalui data di atas, menunjukan pola kegiatan perekonomian masyarakat Desa Kedungwungu dengan mayoritas penduduk, bekerja sebagai petani, buruh dan pedagang keliling.

Desa Kedungwungu adalah Desa yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani dan buruh, karena mengingat lahan Desa Kedungwungu ini banyak

pesawahan dan perkebunan.9

B. Sosial Keagamaan Desa Kedungwung

1. Agama

Dalam bidang agama, masyrakat Desa Kedugwungu seluruhnya beragama Islam.

Tabel 1.5

Agama Penduduk Kedungwungu

No Agama Laki-laki

(orang)

Perempuan (orang)

1 Islam 1.435 1.463

Sumber: buku Monografi Desa Kedungwungu Tahun 2015

Berdasarkan hasi wawancara penulis dengan Kepala Desa pada tanggal 27 juli 2016 bahwa kondisi keagamaan penduduk Desa Kedungwungu cukup baik. Dilihat dari kelompok pengajian yang diadakan setiap minggu dan setiap bulan. Kelompok pengajian laki-laki biasa diadakan pada malam jumat dan malam senin setiap satu minggu sekali sedangkan kelompk pengajian perempuansetiap

minngunya pada hari jum’at dan minggu, setiap bulannya pada tanggal 5

(pengajian limanan), dan 15(pengajian limalasan).

9


(52)

2. Budaya

Budaya ritual yang masih membumi di tengah-tenah masyarakat adalah:10

a. Tradisi yang ada pada prosesi pernikahan adat jawa Desa Kedungwungu.

b. Upacara anak dalam kandungan. Upacara ini biasanya dilakukan pada usia

kandungan emat bulan karena menurut kepercayaan umat islam bahwa malaikat mulai meniupkan roh kepada sang janin. Biasanya dilaksanakan pada malam hari yang dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, para sesepuh

serta tokoh Agama dengan cara yang islami sepertitahlilan.

c. Muputi, tradisi masyarakat Desa Kedungwungu setelah melahirka adalah

muputi yaitu memberi nama sang bayi dan di barengi dengan ari-ari sang bayi dibungkus dengan kain bagus lalu di letakan didalam tempat kemudia ditaam denga lampu selama 40-7- hari, karena ari-ari sang bayi tersbut dianggap sebagai saudara. Dalam acara ini biasanya akan dibuat tumpeng.

d. Selametan menurut penanggalan jawa atau yang disebut „kalender jawa’

diantara kaender-kalender umat islam yang biasa dilakukan masyarakat Desa Kedungwungu antara lain: 12 Maulud (Rabi Awal) untuk merayakan

hari kelahiran Nabi SAW,7 Syawal dengan acara ketupatan yaitu dengan

diramaikan membuat ketpat dan digunakan untuk selametan di mushalla terdekat dan dibagikan kepada saudara terdekat.

Di Desa Kedungwungu bisa dikatakan bahwa masalah budaya hubungan antara masyarakat telah terjadi secara turun-temurun dari tradisi nenek moyang,

masyarakatnya saling tenggang rasa dengan sesamanya.11

Desa Kedungwungu apabila ditinjau dari sarana pendidikannya terdiri dari beberapa gedung sekolah.

Tabel 1.6

Data Sekolah Formal di Desa Kedungwungu

No Jenis Gedung Jumlah Gedung

10

wawancara pribadi dengan bapak Muchari, Kepala Desa Kedungwungu, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, pada tangal 2016.

11

wawancara pribadi dengan bapak Muchari, Kepala Desa Kedungwungu, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, pada tangal 2016


(1)

ponjen, yang tumplek ponjen yang menikah paling terahir di antara 4 anak saya tadi, tapi seiring berjalannya waktu tradisi ini ada perubahan, masyarakat menggunakan tumplek ponjen untuk semua anak terakhir laki-laki dan perempuan.

5. Tata cara tumplek ponjen bagaimana ?

Jawaban : ada baskom yang diisi biji-bijian, beras kuning, perhiasan dan uang yang diberikan oleh orang tua, sanak-saudara dan tamu undangan dicampur menjadi satu, lalu di do’akan oleh juru paes atau tokoh agama, selanjutnya dibawa dengan digendong kemudian ditumpahkan oleh orang tua pengantin kemudian diperbutkan uang dan perhiasannya yang tercampur beiji-bijian dan beras kuning oleh mempelai.

6. Kapan upacara tumplek ponjen dilakukan ?

Jawaban: paling terakhir, setelah semua upacara dilakukan. 7. Siapa yang melakukan tumplek ponjen ini ?

Jawaba : anak terahir yang dinikahkan

8. Apakah tumplek ponjen itu menurut adat diharuskan ?

Jawabnnya : yaa tidak diharuskan juga, tapi orang sini sudah menjadi kebiasaan, jadi jika tidak dilaksanakan rasanya kurang afdhal saja. Adegan seluruh adat Jawa, itu hanya adat, kalo ada manten tidak melakukan tradisi adat itu tidak apa-apa, itu tontonan. Sekarang orangnya Agamis, orangnya berpendidikan tidak pakai itu tidak apa-apa mereka pasti sudah mengerti, tetapi kalo di pakai itu dijadikan sebagai seni budaya tapi jangan dijadikan sebagai keyakinan, itu saya sampaikan.

9. Bagaimana jika tradisi tumplek ponjen menjadi sebuah keharusan dan jika tidak dilaksanakan akan menimbukan sesuatu terhadap kehidupan rumah tangganya ?

Jawaban : kalo penganten tidak melakukan runtutan tradisi tersebut khawatir hidupnya akan menjadi susah, sengsara, rezekinya seret itu tidak boleh itu termasuk melakukan dosa sirik, jadi adegan ini semata-mata hanya tontonan seni budaya untuk dilestarikan, jangan dijadikan sugesti keyakinan, ketika dijadikan keyakinan kita terancam oleh surah Al-luqman


(2)

ladzulmun a’dziim. Itu panjangannya bias dilihat di alquran, ayat tersebut itu cerita atau nasihat lukman kepada anaknya untuk pembelajaran aqidah bahwa jangan menduakan Allah. Dahulu dalang-dalang Kuncoro tidak pernah melakukan begitu sehingga sekarang saya khawatir kalo itu dijadikan adat lalu dijadikan keyakinan maka umat islam banyak yang menyimpang dari dosa-dosa sirik. Bahkan yang sholat tapi punya pemikiran syirik begitu, itu sholatnya tidak diterima

10.Apa makna dari tumplek ponjen itu ?

Jawaban : orang tua dan sanak-saudara memberikan sebagian modal kepada anak tersebut itu supaya bias dimanfaatkan kalau bias buat dagang yaa dagang kalau biasa buat bertani yaa bertani itu terserah yang penting tidak terputus, kemudian uang yang sudah terkumpl tadi diperebutkan maknanya adalah setelah menikah harus rajin mencari nafkah, tidak terus bergantung kepada pemberian dari orang tua atau dari saudaraApa tujuan dari tradisi tumplek ponjen ?

Jawaban : tujuannya menyampaikan syukur kepada Allah karena telah menuntaskan kewajibannya untuk menikahkan anak-anaknya dan memberi tahukan kepada kerabat bahwa tugas untuk menikahkan anak-anaknya telah selesai.

11.Manfaat dari tradisi tumplek ponjen ini apa ?

Jawaban : mengajarkan untuk saling memberi dan saling menolong.

Kedungwungu, 29 Juli 2015

Peneliti Tokoh Adat


(3)

LAPORAN WAWANCARA

DENGAN TOKOH AGAMA DESA KEDUNGWUNGU KH. ISMAIL

1. Bagaimana kehidupan keagamaan di desa kedungwungu ? Jawaban : alhamdulillah baik, seluruhnya beraagama islam.

2. Menurut bapak seberapa kuatkah masyarakat di desa ini memegang adat istiadat ?

Jawaban : masih sangat kuat, karena masyarakat desa Kedungwungu sampai sekarang masih menggunakan tradisi jaman dahulu.

3. Menurut bapak bagaimana sebenarnya posisi islam terhadap adat istiadat? Jawaban : memang ada kaidah “al-a’dah adawa” yang artinya meninggalkan kebiasaan maka akan menimbulkan kesalahpahaman. Tetapi tu adalah adat yang dianggap bertentangan dengan syari’at, kalau yang bertentangan dengan syariat , jelas sekuat apapun adat tersebut harus ditinggalkan sebab adat itu bukanlah agama, adat adalah kebiasaan seklompok orang atau seklompok daerah sedangkan agama adalah sifatnya universal untuk rahmatan lil’alamin, sehingga kalau dilihit seberapa kuat adat mempengaruhi agama, tidak boleh jika adat mendominasi agama. Bahkan jika ada adat yang bertetangan dengan syariat, maka adat tersebut tidak boleh dilakukan .

4. Apa yang bapak ketahui tentang tradisi tumplek ponjen ?

Jwaban : itu tradisi untuk anak yang mbontot, anak saya yang pembontotot juga tumplek pojenan

5. Apakah di dalam islam mengenai tradisi tumplek ponjen di berlakukan ? Jawaban : boleh saja diberlakukan, tidak ada larangannya, selagi tradisi tersebut tidak bertentangan dengan agama.


(4)

ini hanyalah adat,kaloupun ada bersangkutan dengan adat yang di bolehkan, karena tradisi ini sudah ada sejak dahulu dan dilakukan oleh masyarakat disini, dan tidak bertentangan dengan alquran dan hadis, karena tradisi ini hanya pemberian dan bentuk syukur dariorang tua. Dalam tatacara tradisi ini juga tidak ada yang aneh-aneh.

7. Apakah menurut bapak tradisi tumplek ponjen dalam tatacaranya ada penyelewengan dari agama ?

Jawaban : menurut saya tidak ada, karena tradisi tumplek ponjen ini tidak mengandung nilai syirik, yang meminta kepada selain Allah, atau menyajikan sesaji untuk leluluhur untuk mengharapkan sesuatu. Jika dalam prakteknya menyeleweng dari agama harus dihapuskan.

8. Bagaimana menurut bapak sebagai masyarakat desa kedungwungu, apakah adat ini perlu dihapus atau tidak ?

Jawaban : kalo dihapuskan sih tidak, akan tetapi jangan dimaknai hal itu sebagai keharusan, artinya jika ingin berjalan, berjalan saja menurut biasanya. Tap jangan dimaknai bahwa ini adalah suatu keharusan secara adat maupun syariat. Nanti yang ada bisa menyeleweng dari agama.

Kedungwungu, 28 Juli 2015

Peneliti Tokoh Agama


(5)

LAPORAN WAWANCARA

DENGAN KEPALA DESA KEDUNGWUNGU BAPAK MUCHARI S.Pd.I

1. Apakah bapak mengerti tentang sejarah Desa Kedungwungu ?

Jawaban : tidak mengerti banyak sih, paling tentang asal-muasal nama Desa kedungwungu ini. Nama Kedungwungu itu dulu karena banyaknya kayu wungu dan banyaknya kedung atau sungai disini, yang biasa digunkan untuk mata pencaharian masyarakat Desa Kedungwungu. kayunya biasa digunakan untuk salah satu bahan pembuatan rumah, kedungnya dulu banyak sekali ikan, dan untuk mandi.

2. Bagaimana kehidupan keagamaan di desa kedungwungu ?

Jawaban : alhmdulillah sangatbaik, bisa dilihat dari kelompok pengajian yang ada. Seperti pengajian limalasan (pengajian setiap tagal 15) limanan (pengajian setiap tanggal 5) jemuahan dan senenan. Pengajian ini disetiap blok ada.

3. Menurut bapak seberapa kuatkah masyarakat di desa ini memegang adat istiadat ?

Jawaban : yaa sebagian besar masyarakat disini masih menggunakan adat turun-temurun dari nenek moyang, seperti adat yang ada pada pernikahan, manaqiban, keba, muputi,selametan dan lain-lain.

4. Bagaimana kondisi ekonomi di Desa Kedungwungu ?

Jawab : pereokonomian di Desa kedungwungu dalam tingkatan menengah kebawah, disini kebanyakan petani itu juga nggak semua petani menggarap lahannya sendiri.

5. Bagaimana kondisi pendidikan di Desa Kedungwungu ?

Jawaban : yaa biak, walaupun belum ada SMA/sedrajat anak-anak yang mau melanjutkan SMA bisa ke etangga desa yang dekat


(6)

merantau ke ibukota untuk memperbaiki kondisi ekonomi.

Kedungwungu, 28 Juli 2015

Peneliti Kepala Desa