BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Alenia keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945. Namun, pembangunan nasional yang berkesinambungan dan
berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai, terutama dari sumber perpajakan. Pajak memiliki peran yang sangat vital bagi
pembangunan Indonesia, karena pajak menyumbang sekitar Rp1.099,94 Triliun atau sekitar 73,23 dari seluruh penerimaan Negara pada Tahun 2013.
1
Timbulnya sengketa perpajakan sebagai konsekuensi atas peningkatan jumlah Wajib Pajak dan pemahaman atas hak dan kewajibannya dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Bahkan, jumlah sengketa pajak yang masuk ke
Pengadilan Pajak cenderung mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir. Pada level Peninjauan Kembali PK perkara Tata Usaha Negara di
Mahkamah Agung, kasus pajak menempati urutan pertama. Dari total akumulasi dari tahun ke tahun, berkas yang masuk hingga akhir 2013 adalah sebanyak
17.914, sementara untuk permohonan peninjauan kembali PK atas putusan pengadilan pajak sebesar 1.149.
2
Sengketa pajak yang timbul memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Hal ini dikarenakan pajak
memegang peran penting dan strategis dalam penerimaan negara sehingga dalam penyelesaian sengketa sajak diperlukan jenjang pemeriksaan ulang vertikal yang
lebih ringkas untuk mengurangi inefisiensi akibat potensi pengulangan
pemeriksaan menyeluruh pada setiap jenjang pemeriksaan ulang vertikal. Oleh
1
Direktorat Jenderal Pajak RI. http:www.pajak.go.idcontentnewsperan-pajak-terhadap-
pembangunan-nasional-dan-daerah , diakses Senin, 26 Oktober 2015 pukul 21.53 wib.
2
Hukum Online. http:www.hukumonline.comberitabacalt53212059c938bsengketa-
pajak-cenderung-meningkat , diakses Senin, 26 Oktober 2015 pukul 22.22 wib.
2
karena itu, Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak, sebagai langkah
untuk menyelesaikan sengketa pajak tersebut. Dalam memutus sengketa pajak, Pengadilan Pajak dapat memberikan
putusan yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat dari keadaan sebelum penggugat mengajukan gugatannya. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat 1 huruf c yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menambah Pajak yang harus dibayar oleh
Penggugat. Putusan tersebut digunakan apabila fakta hukum menunjukan bahwa kewajiban pajak Penggugat yang sebenarnya lebih besar daripada nilai kewajiban
pajak yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang digugat atau yang diajukan suatu keberatan oleh Penggugat kepada Pengadilan Pajak.
3
Dalam sistem Peradilan Pajak, putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Satu-satunya upaya hukum yang dapat
ditempuh oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak adalah peninjauan kembali. Namun, Pasal 91 huruf c
memberikan pengecualian bahwa untuk putusan yang memuat menambah jumlah pajak yang dibebankan kepada Penggugat tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali. Dengan demikian, putusan yang berupa “menambah jumlah pajak yang dibebankan kepada Penggugat” langsung memiliki kekuatan hukum yang tetap,
dan tidak ada upaya hukum yang disediakan oleh negara untuk Wajib Pajak atau penanggung pajak sebagai para pencari keadilan dalam sengketa pajak.
Dalam paradigma hukum progresif, hukum harus selalu hadir menyesuaikan kebutuhan manusia dengan semangat zamannya. Hukum tidak hanya berorientasi
terhadap apa yang menjadi kebutuhan manusia saat ini, tetapi juga harus menjangkau kebutuhan manusia di masa mendatang.
4
Hal ini berarti bahwa hukum harus merespon kebutuhan manusia, bukan hanya untuk mengatasi kasus-
kasus yang terjadi saat ini tetapi juga harus memiliki kepekaan untuk
3
Gatot Supramono. 2010. Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan. Yogyakarta: Andi Offset, hal: 17.
4
Hadi Supeno. 2010. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal: 197.
3
menyelesaikan hal-hal yang mungkin akan di masa mendatang. Sebagai contoh kasus hipotetik adalah terjadinya hakim Pengadilan Pajak melakukan kesalahan
dalam melakukan penghitungan nilai pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak sehingga Wajib Pajak atau penanggung pajak membayar
pajak lebih besar daripada nilai pajak yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Putusan yang dibuat atas kesalahan tersebut tidak dapat diajukan
peninjauan kembali. Hal ini dikarenakan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak tidak menjadikan kekhilafan hakim sebagai alasan permohonan penunjauan kembali.
Selain itu, putusan tersebut termasuk dalam pengecualian dalam alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 huruf c
UU Pengadilan Pajak. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa pengadilan bukanlah diartikan
semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian abstrak, yaitu hal yang memberikan keadilan. Hal ini berarti bahwa tugas
pengadilan atau hakim dalam memberikan keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan, kongkritnya kepada yang mohon keadilan, apa yang menjadi
haknya atau apa hukumnya.
5
Demikian pula dengan Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak haruslah memberikan keadilan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
sebagai pencari keadilan dalam sengketa pajak. Dengan demikian, Sistem Peradilan Pajak haruslah memberikan akses seluas-luasnya bagi Wajib Pajak atau
penanggung pajak untuk memperoleh keadilan. Berdasarkan uraian diatas, Pengadilan Pajak merupakan institusi pengadilan
yang digunakan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak untuk mencari keadilan dalam sengketa pajak. Namun, upaya hukum yang disediakan dalam Pengadilan
Pajak, dalam hal ini peninjauan kembali PK, kurang memadai dalam upaya memberi keadilan bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat legal gaps antara tujuan pembentukan Pengadilan Pajak dengan upaya hukum yang tersedia didalamnya. Oleh karena itu, perlu
5
Sudikno Mertokusumo. 1983. Sejarah Pengadilan dan Perundang-undangannya Sejak Tahun 1942 dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hal: 2-3.
4
adanya rekonstruksi pengaturan terhadap peninjauan kembali dalam Pengadilan
Pajak untuk mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global.
1.2. Rumusan Masalah