16
kamus hukum, jurnal hukum, serta komentar-kementar atas putusan pengadilan.
28
Sumber  bahan  hukum  sekunder  digunakan  untuk  memberikan  semacam “petunjuk”  bagi  penulis  ke  arah  mana  penulis  melangkah  dan  sebagai  panduan
berpikir  dalam  menyusun  argumentasi  untuk  membahas  isu  hukum  yang  dikaji oleh  penulis.  Sumber  bahan  hukum  sekunder  yang  digunakan  dalam  karya  tulis
ilmiah ini adalah sebagaimana yang tercantum dalam daftar pustaka. 3.3.3 Bahan Non Hukum
Bahan non hukum merupakan bahan yang digunakan sebagai penunjang dan yang  memberikan  petunjuk  maupun  kejelasan  terhadap  hukum  primer  dan
sekunder.  Bahan  non  hukum  dimaksudkan  untuk  memperkaya  dan  memperluas wawasan  penelitian.  Bahan  non  hukum  dapat  berupa  buku,  jurnal,  laporan,
penelitian, dan lain-lain buku-buku politik, ekonomi, teknik, filsafat, kedokteran, kebudayaan,  dan  lain-lain  sepanjang  relevan  dengan  objek  penelitian  yang
dibahas.
29
Dalam  penelitian  ini,  bahan  non  hukum  yang  digunakan  berupa  buku pedoman  penulisan  karya ilmiah,  laporan  penelitian  non  hukum  atau  jurnal  non
hukum  dan  bahan-bahan  lainnya  sepanjang  mempunyai  relevansi  dengan  isu hukum yang dibahas dalam karya tulis ilmiah ini.
3.4 Analisis Bahan Hukum
Metode  analisis  bahan  hukum  yang  penulis  gunakan  dalam karya  tulis ilmiah  ini  adalah  menggunakan  analisis  deduktif,  yaitu  cara  melihat  suatu
permasalahan  secara  umum  sampai  dengan  pada  hal-hal  yang  bersifat  khusus untuk  mencapai  preskripsi  atau  maksud  yang  sebenarnya.  Langkah  selanjutnya
yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum adalah :
30
1. Mengidentifikasi  fakta  hukum  dan  mengeliminir  hal-hal  yang
tidak  relevan  untuk  menetapkan  isu  hukum  yang  hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan  bahan-bahan  hukum  dan  bahan-bahan  non  hukum
yang dipandang mempunyai relevansi;
28
Ibid., hal: 195-196.
29
Ibid., hal: 204-206.
30
Ibid., hal: 213.
17
3. Melakukan  telaah  atas  isu  hukum  yang  diajukan  berdasarkan
bahan-bahan yang telah dikumpulkan; 4.
Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan menjawab isu hukum; dan
5. Memberikan  perskripsi  berdasarkan  argumentasi  yang  telah
dibangun di dalam kesimpulan. Sesuai dengan langkah-langkah diatas, sebelumnya penulis mengidentifikasi
fakta  hukum  dan  telah  menetapkan  isu  hukum  yang  akan  dibahas.  Selanjutnya, penulis  mengumpulkan  bahan-bahan  yang  relevan  dengan  bahan  hukum  yang
relevan dengan isu yang akan dibahas, dan melakukan telaah terhadap isu hukum yang  akan  dibahas.  Isu  hukum  yang  akan  dianalisis  oleh  penulis  adalah  alasan
permohonana peninjauan kembali sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak. Penulis akan menganalisis dengan menggunakan analisis
deduktif untuk menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan menjawab isu hukum,  serta  memberikan  preskripsi  berdasarkan  argumentasi  yang  telah
dibangun di dalam kesimpulan. Berdasarkan  metode  penelitian  yang  diuraikan  di  atas  diharapkan di  dalam
penulisan  karya  tulis  ilmiah  ini  mampu  memperoleh  jawaban  atas  rumusan masalah  sehingga  memperoleh  hasil  yang  dapat  dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah dan dapat memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan diterapkan.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Alasan  Permohonan  Peninjauan  Kembali  Atas  Putusan  Pengadilan Pajak  Sebagaimana  Yang  Tercantum  Dalam  Pasal  91  Huruf  C  Dalam
Tujuan Pembentukan Pengadilan Pajak
Tujuan dan fungsi merupakan landasan dan dasar tertinggi bagi terciptanya sebuah  aturan  hukum.  Tanpa  tujuan  dan  fungsi  yang  jelas  dari  suatu  aturan
hukum, maka keberlakuan hukum tersebut akan menjadi tidak jelas dan tidak bisa maksimal dalam hal penerapannya.
1
Satjipto Rahadjo berpendapat bahwa hukum merupakan  suatu institusi  yang  bertujuan  mengantarkan  manusia  kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
2
Selain itu, hukum bertujuan  untuk  menyelenggarakan  keadilan  dan  ketertiban,  dan  juga  digunakan
sebagai  sarana  untuk  mencapai  keadaan  keseimbangan  yang  membawa ketentraman  dalam  hati  setiap  orang,  dan  jika  diusik  atau  dilanggar  akan
menimbulkan  kegelisahan  dan  kegoncangan.  Dengan  demikian,  hukum  tidak hanya harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan, ketertiban, dan
kepastian  hukum, tetapi  juga  harus  mencarikan  keseimbangan  antarkepentingan yang  bertentangan  satu  dengan  yang  lain.
3
Oleh  karena  itu,  setiap  ketetapan  dan aturan  hukum  pasti  memiliki  tujuan  dan  fungsi  luhur,  yaitu  untuk  mewujudkan
keadilan. Pengadilan  Pajak  didirikan  dengan  suatu  asumsi  bahwa  upaya  peningkatan
penerimaan  pajak  pusat,  pajak  daerah,  bea  masuk  dan  cukai,  dalam  prakteknya, terkadang  dilakukan  tanpa  adanya  peningkatan  keadilan  terhadap  para  Wajib
Pajak  itu  sendiri.  Karenanya,  masyarakat  dalam  hal  ini  Wajib  Pajak  seringkali merasakan  bahwa  peningkatan  kewajiban  perpajakanbea  tidak  memenuhi  asas
keadilan,  sehingga  menimbulkan  berbagai  sengketa  perpajakan  sehingga
1
Hasanudin Yanggo. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pustaka  Al Husna Baru, hal: 50.
2
Romli Atmasasmita. 2012. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing, hal: 89.
3
CST. Kansil. 1989. Pengantar  Ilmu  Hukum  Dan  Tata  Hukum  Indonesia.  Jakarta:  Balai Pustaka, hal: 41.
dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.
Dalam sistem peradilan pajak, Pengadilan  Pajak  adalah  pengadilan  yang pertama dan terakhir dalam memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa pajak.
Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal banding dan kasasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 ayat 2 UU Pengadilan Pajak yang menjelaskan bahwa
Pengadilan  Pajak merupakan
pengadilan  tingkat  pertama  dan  terakhir pemeriksaan  atas  sengketa  pajak  dan  terhadap  putusannya  tidak  dapat  lagi
diajukan  gugatan,  banding,  atau  kasasi. Dengan  demikian,  satu-satunya upaya hukum  yang  tersedia  adalah  upaya  hukum  luar  biasa  yang  berupa  peninjauan
kembali yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 UU Pengadilan Pajak.
Instrumen  peninjauan  kembali  merupakan  bentuk  komitmen  nyata  dari pemerintah untuk  mewujudkan  penyelenggaraan  penyelesaian  Sengketa  Pajak
yang dilakukan dengan  adil melalui prosedur dan proses  yang  cepat, murah, dan sederhana  sebagaimana  yang  terdapat  dalam  Paragraf  2  Penjelasan  Umum  UU
Pengadilan  Pajak.  Peninjauan  kembali  merupakan  instrumen  yang  diberikan negara  agar  sengketa  pajak  yang  terjadi  antara  Wajib  Pajak  atau  penanggung
Pajak  dengan  pejabat  yang  berwenang  dapat  diselesaikan  dengan  seadil-adilnya. Dengan  demikian,  prosedur  peninjauan  kembali  atas  putusan  pengadilan  pajak
harus  dapat  mengakomodir  nilai-nilai  keadilan,  termasuk  alasan  permohonan peninjauan kembali.
Alasan permohonan  peninjauan  kembali  telah  ditentukan  dalam  Pasal  91 UU  Pengadilan  Pajak,  yang  salah  satunya  adalah dikabulkannya  suatu  hal  yang
tidak  dituntut  atau  lebih  dari  pada  yang  dituntut  kecuali putusan  yang berupa mengabulkan  sebagian  atau  seluruhnya  dan  menambahkan  pajak  yang  harus
dibayar. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Hakim Pajak itu tidak dapat  memutus ultra  petita atau  memutus  lebih  dari  yang  dituntut  dalam  surat
gugat. Namun,  Hakim  Pajak  dapat  memberikan  putusan  yang  semakin memberatkan  posisi  Penggugat  melalui  putusan  yang  berupa  menambah  jumlah
pajak yang harus dibayar atau yang lazim disebut reformatio in Peius.
Berdasarkan  Pasal  2  UU  Pengadilan  Pajak, Pengadilan  Pajak  didefinisikan sebagai  badan  peradilan  yang  melaksanakan  kekuasaan  kehakiman  bagi  Wajib
Pajak  atau  penanggung  Pajak yang  mencari  keadilan  terhadap sengketa pajak. Pasal  tersebut  secara  eksplisit  menegaskan  bahwa  tujuan  dari  pembentukan
Pengadilan  Pajak  adalah  untuk  mewujudkan  keadilan  bagi  Wajib  Pajak  atau penanggung  Pajak  dalam sengketa pajak.  Hal  ini  berarti  bahwa  sistem  peradilan
pajak harus menjamin dan mengakomodir nilai-nilai keadilan sehingga tidak ada orang yang merasakan ketidakadilan di hadapan hukum. Dengan demikian, segala
prosedur dalam sistem peradilan pajak, termasuk peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak, harus mencerminkan asas keadilan.
Pada hakikatnya, permohonan peninjauan kembali dapat memenuhi dimensi legal justice. Hal ini dikarenakan para pihak yang bersengketa memiliki hak yang
sama untuk melakukan peninjauan kembali sebagaimanan  yang tercantum dalam Pasal  77  ayat  3  UU  Pengadilan  Pajak.  Dengan  demikian,  hal  tersebut  sesuai
dengan filosofi legal justice yang menginginkan penegakkan dan perlakuan yang adil  dan  merata  dari  semua  individu  berdasarkan  hukum.  Namun  sebagaimana
disebutkan  sebelumnya  bahwa  pengaturan  mengenai  peninjauan  kembali ditentukan  secara  limitatif  dalam  UU  Pengadlilan  Pajak  sehingga  dimensi legal
justice bukan  hanya  harus  diejawantahkan  dalam  para  pihak  yang  dapat mengajukan  peninjauan  kembali,  tetapi  juga  dalam  alasan  permohonanan
peninjauan kembali tersebut. Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal  91  huruf  c  UU  Pengadilan  Pajak  merupakan  bentuk  pengurangan  terhadap hak-hak  dari  Wajib  Pajak  atau  penanggung  Pajak  selaku justiciabellen.  Hal  ini
dikarenakan  putusan  yang  memberatkan  Wajib  Pajak  atau  penanggung  Pajak tidak  dapat  diajukan  peninjauan  kembali.  Tidak  dapat  diajukannya  putusan  yang
bersifat reformatio in peuis sebagai alasan permohonan peninjauan kembali dalam sistem peradilan pajak di Indonesia merupakan perlakuan tidak adil ketika fiskus
dapat  mengajukan  peninjauan  kembali  pada  putusan  yang  meringankan  Wajib Pajak atau penanggung pajak, misalkan putusan yang berisi pembatalan terhadap
keputusan  fiskus  terhadap  nilai  pajak  yang  harus  dibayar  oleh  penggugat
sebagaimana  yang  tercantum  dalam  Pasal  80  ayat  1  huruf  f  UU  Pengadilan Pajak.
Menurut Hart, prinsip umum legal justice menuntut  bahwa para individu di  hadapan  yang  lainnya  berhak  atas  kedudukan  relatif  berupa  kesetaraan  atau
ketidaksetaraan  tertentu  yang  dijabarkan  melalui  postulat  “perlakukan  hal-hal serupa  dengan  cara  yang  serupa  dan  perlakukanlah  hal-hal  yang  berbeda dengan
cara  yang  berbeda”.
4
Alasan  permohonan  peninjauan  kembali  sebagaimana  yang dimaksud  dalam  Pasal  91  huruf  c  UU  Pengadilan  Pajak  tidak  memberikan
kedudukan yang setara terhadap pihak yang bersengketa dalam Pengadilan Pajak. Hal  ini  dikarenakan  fiskus dapat  mengajukan  permohonan  peninjauan  kembali
terhadap  putusan  yang  meringankan  Wajib  Pajak  atau  penanggung  Pajak, sedangkan  Wajib  Pajak  atau  penanggung  Pajak  tidak  dapat  mengajukan
peninjauan  kembali  terhadap  putusan  yang  memberatkan  dirinya.  Dengan demikian,  dapat  disimpulkan  bahwa  alasan  permohonan  peninjauan  kembali
sebagaimana  yang  dimaksud  dalam  Pasal  91  huruf  c  UU  Pengadilan  Pajak  tidak mengandung dimensi legal justice.
Berkaitan  dengan moral  justice, moral  justice keadilan  moral  tidak  lain dari keadilan berdasarkan moralitas,  yaitu standar baik dan buruk. Aturan-aturan
yang  berlaku  dalam  masyarakat  merupakan  aturan-aturan  yang  sesuai  norma- norma  moral  yang  dianut  masyarakat.  Bahkan,  Satjipto  Rahardjo  berpendapat
bahwa  “hukum  yang  hukum”  dan  bukan “hukum  yang  bukan  hukum”  adalah hukum  yang  sarat  dengan  nilai-nilai  moral,  bukan  yang  sekedar  diadakan  untuk
kepentingan pihak berkuasa.
5
Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal  91  huruf  c  UU  Pengadilan  Pajak  merupakan  bentuk  penegasian  terhadap
hukum  yang  sarat  dengan  nilai-nilai  moral  bangsa  Indonesia.  Dengan mengikrarkan diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang
adil  dan  beradab,  Bangsa  Indonesia  berkomitmen  bahwa  segala  hal  yang  ada  di Indonesia  harus  memberikan  ruang  dan  kesempatan  bagi  setiap  orang  untuk
4
H. L. A. Hart. 2010. Konsep hukum. Bandung: Nusamedia, hal: 197-198.
5
Satjipto Rahardjo. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Media Nusantara, hal: 262.
mendapatkan  perlakuan  yang  manusiawi  dan  adil.  Pasal  91  huruf  c  UU Pengadilan  Pajak  memang  akan  dapat  membuat proses  penyelesaian  sengketa
perpajakan melalui Pengadilan Pajak dapat dilakukan secara  cepat, karena sudah memperoleh  kekuatan  hukum  tetap,  tetapi  pasal  tersebut  tidak  cukup
mengakomodir  kepentingan  para  pencari  keadilan.  Hal  ini  dikarenakan upaya hukum  tersebut  tidak  dapat  ditempuh  terhadap  putusan  pengadilan  pajak  yang
berupa  menambah  pajak  yang  dibayar  oleh  penggugat.  Padahal,  tidak  tertutup kemungkinan  adanya  kesalahan  hakim  dalam  melakukan  penghitungan  terhadap
pajak  yang  harus  dibayar  oleh  penggugat.  Dengan  demikian,  dapat  disimpulkan bahwa Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan dimensi moral
justice. Dalam  konteks social  justice,  aturan  hukum  harus  mendistribusikan  hak
dan  kewajiban  fundamental  serta  menentukan  pembagian keuntungan  dari  kerja sama  sosial  berdasarkan  prinsip  kemanusiaan  dan  keadilan  atau  kesepakatan
antara  pihak  yang  terlibat.  Konsep social  justice dimaksudkan  agar  tidak  ada pihak  yang  dirugikan  dalam  kerja  sama  tersebut.  Konsep  ini  dibagi  menjadi  dua
bagian,  yaitu interpretasi  terhadap  situasi  awaloriginal  position atas  persoalan pilihan yang ada, dan adanya seperangkat prinsip yang akan disepakati.
6
Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal  91  huruf  c  UU  Pengadilan  Pajak  memberikan  posisi  yang  tidak  seimbang
antara  Wajib  Pajak  atau  penanggung  Pajak  dengan  fiskus.  Dengan  tidak memberikan  akses  bagi  permohonan  peninjauan  kembali  atas  putusan  yang
berupa  penambahan  pajak  yang  harus  dibayar,  UU  Pengadilan  Pajak  telah meletakkan dasar-dasar diskriminasi terhadap hak-hak dasar individu. Sebagai lex
specialis terhadap UU Pengadilan Tata Usaha Negara, UU Pengadilan Pajak juga mengemban  tugas  mulia  untuk  memberikan  perlindungan  kepada  para  pencari
keadilan  dengan  menegaskan status  quo  awal  bahwa  antara  fiskus  dan  Wajib Pajak  atau  penanggung  Pajak  adalah  setara  sebagaimana  filosofi  dalam  Pasal  77
ayat 3 UU Pengadilan Pajak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa situasi
6
John Rawls. 2006. A Theory of Justice, Teori Keadilan. diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal: 274
awaloriginal  position Wajib  Pajak  atau  penanggung  Pajak  dengan  fiskus dalam alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mengandung kesetaraan. Esensi  dari  pembentukan  pengadilan  pajak  adalah untuk  mewujudkan
penyelenggaraan  penyelesaian  Sengketa  Pajak  yang  dilakukan  dengan  adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Berkaitan dengan
esensi  tersebut,  prinsip  yang  disepakati  dalam  pengadilan  pajak  adalah  prinsip keadilan.  Menjadikan  peninjauan  kembali  sebagai  satu-satunya  upaya  hukum
yang  dapat  digunakan  terhadap  putusan  pengadilan  pajak  merupakan  cara  yang paling  efektif  untuk  mewujudkan  peradilan  pajak  yang  memiliki  prosedur  dan
proses  yang  cepat,  murah,  dan  sederhana.  Namun,  hal  tersebut  tidak  boleh menegasikan  asas  keadilan  yang  menjadi  landasan  dalam  penyelesaian  sengketa
pajak.  Alasan  permohonan  peninjauan  kembali  sebagaimana  yang  tercantum dalam  Pasal  91  huruf  c  UU  Pengadilan  Pajak tidak  sesuai  dengan  makna
kesetaraan dalam konsep keadilan sebagai fairness, karena fiskus memiliki posisi yang  lebih  tinggi  daripada  Wajib  Pajak  atau  penanggung  Pajak  dimana  terdapat
putusan  pengadilan  pajak  tidak  dapat  diajukan  peninjauan kembali  oleh  Wajib Pajak atau penanggung Pajak.
Dalam  konteks  permohonan  peninjauan  kembali  atas  Putusan  Pengadilan Pajak  dalam  sistem  peradilan  pajak  di  Indonesia,  keadilan  substantif  sebagai
sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya  ide-ide  dan  realitas  yang  seharusnya  menjadi  bagian  intrinsik  dari
konsep  dan  penegakan  keadilan. Penegakan  hukum  yang  berjalan  selama  ini terkesan  kuat  masih  berorientasi  dalam  bentuk  keadilan  prosedural  yang  sangat
menekankan  pada  aspek  regularitas  dan  penerapan  formalitas  legal  semata. Oleh karena  itu,  perlu  adanya  reformulasi  dalam  alasan  permohonan  peninjauan
kembali atas putusan pengadilan pajak sebagaimana  yang dimaksud dalam Pasal 91  huruf  c  UU  Pengadilan  Pajak  agar  dapat  mewujudkan  keadilah  substantif
dalam integrasi global.
4.2. Pengaturan di  Masa  Mendatang mengenai  Alasan  Permohonan Peninjauan  Kembali atas  Putusan  Pengadilan  Pajak dalam  Rangka
Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Integrasi Global
Pada era global, Indonesia dihadapkan pada pangsa pasar yang terbuka dan luas  dimana  pertukaran  barang  dan  jasa  masuk  sebebas-bebasnya.  Padangan
mengenai  globalisasi  sebagai  proses  transformasi  bebas  hambatan  dan mekanismenya  di  serahkan  pada  pangsa  pasar  sebebas-bebasnya padahal  tidak
demikian,  globalisasi  sesungguhnya  diibaratkan  dengan  “pagar  rumah”  yang terbuka,  namun  dalam  rumah  tersebut  tetap  mempunyai  aturan  main  yang  harus
diikuti oleh para “tamu” yang datang ke “rumah” tersebut. Dalam konsep “pagar rumah” tersebut menandakan bahwa kehidupan suatu kelompok masyarakat tidak
satu pun yang membiarkan kehidupannya dan teritorialnya tanpa hukum. Sejatinya suatu Negara mempunyai kedaulatan yang mana Negara lain tidak
bisa  mencampuri  urusan  dalam  negeri  karena,  aturan  main itu  di  ciptakan  oleh “tuan  rumahnya”.  Sistem  global  tidak  berlangsung  bebas  kontrol  dari  suatu
Negara  karena  globalisasi  bukan  merupakan  jalan  tanpa  mekanisme.  Mekanisme tersebut  sebagai  petunjuk  hubungan  antar  Negara  dengan  Negara  lain  yang  di
bangun  atas  perjanjian-perjanjian  yang  telah  di  sepakati.  Ketika  Negara  sepakat akan  melakukan  suatu  usaha  di  dalamnya  berarti  Negara  tersebut  sepakat  dan
telah siap untuk tunduk pada hukum Negara tersebut. seperti halnya di Indonesia, ketika  investor  asing  menanamkan  modalnya  dan  mendirikan  usaha-usaha  di
Indonesia  maka  investor  asing  tersebut  wajib  membayar  pajak  sebagaimana  hal ini telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Pembayaran Pajak. Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar negara yang digunakan untuk
melaksanakan  pembangunan  bagi  seluruh  rakyat  Indonesia. Pada  dasarnya, pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang
hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak  harus  mendapat  persetujuan  dari  rakyat  itu  sendiri  mengenai  jenis  dan
besarnya pajak yang akan dipungut.
7
Hal tersebut mengacu pada Pasal 23 ayat 2 UUD  1945  yang  menyatakan  bahwa  “segala  pungutan  pajak  harus  berdasarkan
undang-undang”. Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak, tetapi tidak berdasarkan undang-undang maka pungutan tersebut bukanlah pajak, tetapi lebih
tepat disebut dengan perampokan taxation without representation is robbery. Setiap  anggota  masyarakat  khususnya  masyarakat  yang  tergolong  sebagai
wajib  pajak  pada  dasarnya  harus  patuh  dan  mau  melunasi  kewajibannya  untuk melunasi  utang  pajaknya  dengan  baik  dan  benar  untuk  meratakan  pendapat
masyarakat.  Hal  ini  merupakan  hal  yang  sangat  vital  karena  sifatnya  mikro  dan khusustertentu serta mempunyai bidang tersendiri dalam suatu lingkup yang lebih
besar  makro,  yaitu  keuangan  Negara  dan  hal  ini  adanya  keterkaitan  dan ketergantungan,  antara  pemungutan  pajak  merupakan  perwujudan  pengabdian
masyarakat  dan  tidak  terlepas  dari  peran  serta  wajib  pajak  di  satu  pihak.  Di  lain pihak,  tanpa  adanya  wajib  pajak  dan  peran  serta  mereka  untuk  membayar  pajak,
pemungutan pajak tidak akan terlaksana. Pemungutan  pajak  terhadap  Wajib  Pajak  diawali  dengan  adanya  surat
ketetapan  pajak  SKP  yang  dikeluarkan  oleh  aparatur  pajak  fiskus  mengenai jumlah  pajak  yang  harus  dibayar  oleh  Wajib  Pajak.  Sifat  interdependensi  ini
diwujudkan  di  dalam  sistem  pengadilan  pajak  nasional  yang  bersifat  pengabdian dan  pengawasan  atas  pelaksanaan  keputusan  yang  diambil  oleh  birokrat  atau
eksekutif, dan berdasarkan keadilan dan kebenaran. Dalam praktik, surat ketetapan pajak tersebut menimbulkan suatu sengketa
atau  perselisihan.  Sengketa  pajak  terjadi  karena  adanya  ketidaksamaan  persepsi atau perbedaan pendapat mengenai penetapan pajak terutang yang diterbitkan oleh
fiskus.
8
Perbedaan  penetapan  pajak  tersebut  dapat  berupa  perbedaan  mengenai jenis maupun jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.
7
Wirawan B. Ilyas. 2014. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat, hal: 13
8
Atep  Adya  Barata.  2002 Memahami  Prosedur  Beracara  Di  Pengadilan  Pajak, Jakarta: Sociadana, LP3AB-IBTA, hal: 5.
6
Penyelesaian  sengketa  pajak  di  Indonesia  menjadi  kompetensi absolut  dari pengadilan  pajak  untuk  banding  dan  gugatan.
9
Berbeda  halnya  dengan  upaya keberatan  yang menjadi  kewenangan dari kantor  pajak  yang mengeluarkan SKP.
Karakteristik  keputusan  Pengadilan  Pajak  berbeda  dengan  keputusan  yang dikeluarkan oleh eksekutif sebagai tingkat pertama. Pengadilan Pajak merupakan
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa Pajak. Oleh karena itu, keputusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mempunyai
kekuatan  hukum  tetap  in  kracht  van  gewijsde.  Hal  tersebut  tidak  menutup kemungkinan  tidak  ada  upaya  hukum  terhadap  putusan  pengadilan  pajak,  maka
diperlukan lembaga peninjauan kembali. Lembaga peninjauan kembali herzeining hadir sebagai suatu upaya hukum
luar biasa  yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak apabila keputusan Pengadilan Pajak dinilai kurang memuaskan. Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa: Peninjauan  Kembali  ke  Mahkamah  Agung  merupakan  upaya  hukum
luar  biasa,  di  samping  akan  mengurangi  jenjang  pemeriksaan  ulang vertikal,  juga  penilaian  terhadap  kedua  aspek  pemeriksaan  yang
meliputi  aspek  penerapan  hukum  dan  aspek  fakta-fakta  yang mendasari  terjadinya  sengketa  perpajakan,  akan  dilakukan sekaligus
oleh Mahkamah Agung.
Pengajuan  peninjauan  kembali  tidak  menghalangi  pelaksanaaneksekusi putusan  pengadilan  pajak  dan  dapat  dilakukan,  baik  sebelum  maupun  sesudah
eksekusi selama jangka  waktu pengajuan masih terpenuhi.
10
Adanya kesempatan untuk  mengajukan  upaya  hukum  luar  biasa berupa  Peninjauan  Kembali  kepada
Mahkamah  Agung  ini  memecahkan  masalah  berupa  keluhan  para  pemohon bandinggugatan  pencari  keadilan  maupun  terbandingtergugat  karena  telah  ada
upaya perbaikan mengenai putusan pengadilan pajak. Jadi, keberadaan peninjauan kembali  bertujuan  sebagai  sarana  terakhir  ultimum  remedium  yang  dapat
dilakukan  oleh  Wajib  Pajak  untuk  menyelesaikan  sengketa  pajaknya  apabila
9
Muhammad  Djafar  Saidi.  2007 Perlindungan  Hukum  Wajib  Pajak  dalam  Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: Rajagrafindo Persada, hal: 60-62.
10
Jamal Wiwoho dan Lulik Djatikumoro. 2004 Dasar-Dasar Penyelesaian Sengketa Pajak, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal: 121.
upaya  hukum  yang  telah  dilakukan  mulai  keberatan,  banding  dan  gugatan hasilnya tidak memuaskan bagi dirinya.
Peninjauan  kembali  pada  hakikatnya  menerapkan  asas  kepatutanbillijheid semestinya  dapat  dijadikan  sarana  untuk  membetulkan  kekeliruan  sekaligus
melindungi  sikap  tindakan  Penjabat  Pajak  maupun  Hakim  dalam  menerapkan peraturan  perundang-undangan  perpajakan.
11
Oleh  karena  itu,  menjadi kewenangan  Mahkamah  Agung  sebagai  pucuk  tertinggi  pemutus  terakhir  para
pihak yang bersengketa melalui putusan peninjauan kembali. Peninjauan  Kembali dapat  diajukan  jika  ada novum atau  bukti  baru  yang
ditemukan,  kemudian  setelah  perkara  diputus  dan  telah  mempunyai  kekuatan hukum  tetap. Apabila  dilihat  dalam  Pasal  91  huruf  c  mengenai  alasan-alasan
pengajuan  peninjauan  kembali  dalam  pengadilan  pajak  disebutkan  bahwa: “Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut,  kecuali  yang  diputus  berdasarkan  Pasal  80  ayat  1  huruf  b  dan  huruf c.”  Selanjutnya  dalam  Pasal  80  ayat  1  huruf  b  dan  huruf  c  disebutkan  bahwa:
“Putusan  pengadilan  pajak  dapat  berupa:  b.  mengabulkan  sebagian  atau seluruhnya;  c.  menambah  Pajak  yang  harus  dibayar.”  Menurut  hemat  penulis,
ketentuan  tersebut  menimbulkan  suatu  ketidakadilan  dan  tidak  adanya  kepastian hukum bagi Wajib Pajak an sich, tetapi juga bagi masyarakat secara luas.
Ketidakadilan  dan  tidak  adanya  kepastian  hukum  yang  terdapat  dalam ketentuan diatas muncul karena dinegasikannya beberapa syarat yang seharusnya
dapat  dijadikan  sebagai  alasan-alasan  diajukannya  peninjauan  kembali.  Dalam Pasal 91 huruf c terdapat terdapat frasa “kecuali yang diputus berdasarkan Pasal
80  ayat  1  huruf  b  dan  huruf  c.”  Makna  yang  terkandung  dalam  frasa  tersebut memberikan  isyarat  bahwa  beberapa  putusan  yang  dijatuhkan  oleh  pengadilan
pajak  tidak  dapat  dilakukan  peninjauan  kembali.  Padahal,  setiap  putusan  yang dihasilkan  oleh  para  hakim  tidak  pernah  lepas  dari  kekeliruan  atau  kekhilafan.
Maka akibatnya keadilan yang ditutup oleh kepastian hukum.
11
Syofrin Syofyan. 2004 Hukum Pajak dan Permasalahannya, Bandung: Refika Aditama, hal: 66.
8
Kekeliruan  atau  kekhilafan  hakim  dalam  putusannya  telah  mengakibatkan putusan yang tidak menguntungkan reformation in peius dan kerugian terhadap
Pemohon Banding atau Penggugat. Meskipun penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi pengadilan menghasilnya putusan yang bersifat menang atau kalah win
or lose. Dalam praktik, putusan pengadilan pajak justru menambah jumlah pajak yang  harus  dibayarkan  oleh  Wajib  Pajak.  Hal  tersebut  jelas  telah  merugikan
Pemohon Banding atau Penggugat. Sebagaimana  diketahui  bahwa  hukum  yang  mengatur  mengenai  pajak
masuk  dalam  ranah  hukum  publik.  Hal  tersebut  berarti  pada  hakikatnya  setiap penyelesaian  sengketa  pajak  yang  timbul  adalah  untuk  melindungi  kepentingan
publikumum. Sehingga keadilan yang dicari adalah keadilan substantif. Mengutip pernyataan  Satjipto  Rahardjo  bahwa,  “pengadilan  boleh  dikatakan  sebagai  suatu
badan  yang  memutuskan  keadilan  berdasarkan  aturan  dan  prosedur  yang  sudah ditentukan.  Maka  sejak  saat  itu  pula  kita  berbicara  tentang  adanya  dua  macam
keadilan yaitu keadilan substansial substantial justice dan keadilan formal legal justice.”
12
Sebagai negara  hukum  yang  menjunjung  tinggi  asas equality  before the  law, sudah  seharusnya  penegakan  hukum  harus  selalu  berorientasi  terhadap
tujuan utama dalam hukum yaitu keadilan. Ketentuan dalam Pasal 91 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang  Pengadilan  Pajak  secara in  concreto telah  menimbulkan  permasalahan hukum terhadap para pencari keadilan justitiabellen yang merasa bahwa putusan
yang  dijatuhkan  oleh  pengadilan  pajak  telah  jauh  dari  makna  keadilan. Keterbatasan syarat yang secara formal-prosedural telah diatur dalam Pasal a quo
menghasilkan  putusan  yang  tidak  berpihak  kepada  keadilan  substantif.  Alasan pengajuan  peninjauan  kembali  atas  putusan  pengadilan  pajak haruslah  dalam
kerangka  yang  demikian,  yakni  untuk  mencapai  dan  menegakkan  hukum  dan keadilan. Sesuai dengan kredo yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu “fiat justitia
ruat coelum” hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh.
12
Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Yogyakarta: Genta Publishing, hal: 148.
Upaya pencapaian kepastian hukum rechtzekerheid sangat layak diadakan pembatasan,  namun  upaya  untuk  pencapaian  keadilan  hukum  rechtvaardigheid
tidaklah  demikian,  karena  keadilan  merupakan  kebutuhan  manusia  yang  sangat mendasar,  lebih  mendasar  dari  kebutuhan  manusia  tentang  kepastian  hukum.
Kebenaran  materiil  mengandung  semangat  keadilan  sedangkan  norma  hukum acara  mengandung  sifat  kepastian  hukum  yang  terkadang  mengabaikan  asas
keadilan.  Oleh  karena  itu,  upaya  hukum  untuk  menemukan  kebenaran  materiil dengan  tujuan  untuk  memenuhi  kepastian  hukum  telah  selesai  dengan  putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada  prinsipnya,  penyempurnaan  terhadap  Peninjauan  Kembali  dengan
memasukkan  konsep reformatio  in  peius ke  dalam  alasan  peninjauan  kembali dengan  menghasilkan  suatu  kebenaran.  Bahkan  dengan  adanya  rumusan  konsep
reformatio in peius semua putusan pengadilan pajak dapat memperoleh kebenaran dan  berkeadilan  substantif.  Menurut  teori  kebenaran  pragmatis,  bahwa  suatu
pernyataan atau pemikiran dikatakan benar  apabila dapat mendatangkan  manfaat atau kegunaan pada banyak orang. Manfaat atau kegunaan yang dimaksud berarti
dapat  dilaksanakan  dan  ditindaklanjuti  dalam  perbuatan  secara  nyata.  Dalam  hal ini  ketika  konsep reformatio  in  peius dimasukkan  ke  dalam  alasan  peninjauan
kembali  putusan  hakim  maka    dapat  mengantarkan  manusia  pada  kesejahteraan dan membuat manusia bahagia untuk terwujudnya keadilan substantif.
Selain  itu,  parameter  keadilan  substantif  dilihat  dari  prinsip equality before  the  law yakni  dimana  penegakan  dan  perlakuan  harus  secara  adil  dan
merata  dari  semua  individu  berdasarkan  hukum tanpa  pandang  bulu  bagi  para pihak  yang  dapat  mengajukan  peninjauan  kembali,  dan  juga  dalam  alasan
permohonanan  peninjauan  kembali.  Disisi  lain,  parameter  keadilan  substantif dapat  dilihat  pada  nilai-nilai  moral  yang  terkandung  pada  aturan-aturan  hukum
yang  hidup  living  law  dan  berkembang  di  tengah-tengah  masyarakat. Perkembangan nilai-nilai moral menunjukan baik atau benar. Nilai-nilai moralitas
masyarakat  diukur  dengan  perkembangan  masyarakat  yang  selalu  dinamis. Kedinamisan  nilai-nilai  moral  dalam  masyarakat  yang  sudah  berakar  pada  jiwa
raga  masyarakat  tersebut  memiliki  semangat  untuk  mendapatkan  keadilan substantive secara penuh.
Reformatio  in  peius sudah  menjadi  keniscayaan  yang  harus  diterima  oleh Wajib  Pajak  apabila dictum hakim  dalam  putusannya  menambah  jumlah  pajak
yang  harus  dibayarkannya.  Hakim  niscaya  merupakan  seorang  tokoh  sentral dalam  pengadilan.  Melalui  putusan-putusannya,  keadilan  diberikan  kepada  para
pencari  keadilan  atau  masyarakat.  Apabila  putusan  tidak  mengadung  makna keadilan, sudah seharusnya putusan tersebut harus dapat digugat. Pengadilan dan
sistem  peradilan  yang  ada  dirasakan  tidak  memadai  lagi  untuk  menyalurkan keinginan masyarakat memperoleh keadilan.
13
Dengan demikian, pengadilan dan hakimnya  tidak  steril  terhadap  pikiran,  ide-ide  dan  gagasan-gagasan  yang
berkembang di sekelilingnya. Ketentuan  dalam  pasal a  quo sangat  jelas  mengurangi  hak-hak  masyarakat
yang dijamin oleh UUD 1945. Prinsip equality before the law yang terdapat dalam salah satu ciri negara hukum terciderai dengan adanya pengecualian aturan  yang
formal-prosedural  yang  tidak  menciptakan  keadilan  substantif  bagi  para  pencari keadilan. Senada dengan itu, menurut Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa:
14
Penegakan  hukum  pada  hakikatnya  mengandung  supremasi  nilai substansial  yaitu  keadilan.  Namun,  semenjak  hukum  modern
digunakan,  pengadilan  bukan  lagi  tempat  untuk  mencari  keadilan searching of justice. Pengadilan tidak lebih hanya menjadi lembaga
yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Hukum kemudian tidak lagi  dapat  menyediakan  keadilan  sebagai trade  mark-nya  selama  ini.
Keadilan  telah  main  secara  dramatis  di  lembaga-lembaga  peradilan dibawah  rezim  hukum  modern.  Lembaga  peradilan  yang  semula
sebagai house  of  justice harus  berubah menjadi  tempat  untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dan prosedur.
Dari  ungkapan  pernyataan  diatas,  jelas  memberikan  gambaran  bahwa keadilan berada ditangan hakim di pengadilan pajak. Namun, keadilan tidak dapat
dicapai  sebagai  akibat  dari  adanya pembatasan  syarat  atau  alasan  untuk dilakukannya  upaya  peninjauan  kembali  terhadap  putusan  pengadilan  pajak.
13
Ibid., hal. 155.
14
Satjipto  Rahardjo. 2013. Penegakan  Hukum,  Suatu  Tinjauan  Sosiologis,  Yogyakarta: Genta Publishing, hal: ix.
Mengingat hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga  keadilan  substantif  harus  lebih  didahulukan  ketimbang  keadilan
prosedural,  hal  ini  semata-mata  agar  dapat  menampilkan  hukum  menjadi  solusi bagi problem-problem kemanusiaan.
15
Parameter  keadialan  substantif  tidak  hanya  dilihat  dari  prinsip equality before  the  law dan moral justice, tetapi juga social  justice.  Aturan  hukum  harus
mendistribusikan  hak  dan  kewajiban  fundamental  yang  berdasarkan  prinsip kemanusiaan  dan  keadilan  atau  kesepakatan  antara  pihak  yang  terlibat  serta
mendistribusikan  hak  dan  kewajiban  fundamental  dan  menentukan  pembagian keuntungan dari kerja sama sosial berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan
atau  kesepakatan  antara  pihak  yang  terlibat.  Berdasarkan  Pasal  77  ayat  3  UU Pengadilan Pajak semua pihak berhak untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali PK yang mana pada posisi awal menurut Pasal 91 huruf c pihak fiskus terdapat ketimpangan dimana pihak fiskus dapat melakukan Peninjauan Kembali
terhadap  putusan  yang  dapat  meringankan  wajib  pajak  sedangkan  wajib  pajak tidak  dapat  melakukan  Peninjauan  kembali  terhadap  putusan  yang  memberatkan
dirinya.  Secara  otomatis,  agar  terciptanya  kesetaraan  maka  konsep reformatio  in peius sangat  tepat  apabila  dimasukkan  ke  dalam  alasan  permohonan  Peninjauan
Kembali untuk mewujudkan keadilan substantif.
15
Faisal. 2014. Memahami Hukum Progresif, Yogyakarta: Penerbit Thafa Media, hal: 89.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan