16
kamus hukum, jurnal hukum, serta komentar-kementar atas putusan pengadilan.
28
Sumber bahan hukum sekunder digunakan untuk memberikan semacam “petunjuk” bagi penulis ke arah mana penulis melangkah dan sebagai panduan
berpikir dalam menyusun argumentasi untuk membahas isu hukum yang dikaji oleh penulis. Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan dalam karya tulis
ilmiah ini adalah sebagaimana yang tercantum dalam daftar pustaka. 3.3.3 Bahan Non Hukum
Bahan non hukum merupakan bahan yang digunakan sebagai penunjang dan yang memberikan petunjuk maupun kejelasan terhadap hukum primer dan
sekunder. Bahan non hukum dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan penelitian. Bahan non hukum dapat berupa buku, jurnal, laporan,
penelitian, dan lain-lain buku-buku politik, ekonomi, teknik, filsafat, kedokteran, kebudayaan, dan lain-lain sepanjang relevan dengan objek penelitian yang
dibahas.
29
Dalam penelitian ini, bahan non hukum yang digunakan berupa buku pedoman penulisan karya ilmiah, laporan penelitian non hukum atau jurnal non
hukum dan bahan-bahan lainnya sepanjang mempunyai relevansi dengan isu hukum yang dibahas dalam karya tulis ilmiah ini.
3.4 Analisis Bahan Hukum
Metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah menggunakan analisis deduktif, yaitu cara melihat suatu
permasalahan secara umum sampai dengan pada hal-hal yang bersifat khusus untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya. Langkah selanjutnya
yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum adalah :
30
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang
tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum
yang dipandang mempunyai relevansi;
28
Ibid., hal: 195-196.
29
Ibid., hal: 204-206.
30
Ibid., hal: 213.
17
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan
bahan-bahan yang telah dikumpulkan; 4.
Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan menjawab isu hukum; dan
5. Memberikan perskripsi berdasarkan argumentasi yang telah
dibangun di dalam kesimpulan. Sesuai dengan langkah-langkah diatas, sebelumnya penulis mengidentifikasi
fakta hukum dan telah menetapkan isu hukum yang akan dibahas. Selanjutnya, penulis mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan bahan hukum yang
relevan dengan isu yang akan dibahas, dan melakukan telaah terhadap isu hukum yang akan dibahas. Isu hukum yang akan dianalisis oleh penulis adalah alasan
permohonana peninjauan kembali sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak. Penulis akan menganalisis dengan menggunakan analisis
deduktif untuk menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan menjawab isu hukum, serta memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah
dibangun di dalam kesimpulan. Berdasarkan metode penelitian yang diuraikan di atas diharapkan di dalam
penulisan karya tulis ilmiah ini mampu memperoleh jawaban atas rumusan masalah sehingga memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah dan dapat memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan diterapkan.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Alasan Permohonan Peninjauan Kembali Atas Putusan Pengadilan Pajak Sebagaimana Yang Tercantum Dalam Pasal 91 Huruf C Dalam
Tujuan Pembentukan Pengadilan Pajak
Tujuan dan fungsi merupakan landasan dan dasar tertinggi bagi terciptanya sebuah aturan hukum. Tanpa tujuan dan fungsi yang jelas dari suatu aturan
hukum, maka keberlakuan hukum tersebut akan menjadi tidak jelas dan tidak bisa maksimal dalam hal penerapannya.
1
Satjipto Rahadjo berpendapat bahwa hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
2
Selain itu, hukum bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dan ketertiban, dan juga digunakan
sebagai sarana untuk mencapai keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman dalam hati setiap orang, dan jika diusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan. Dengan demikian, hukum tidak hanya harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan, ketertiban, dan
kepastian hukum, tetapi juga harus mencarikan keseimbangan antarkepentingan yang bertentangan satu dengan yang lain.
3
Oleh karena itu, setiap ketetapan dan aturan hukum pasti memiliki tujuan dan fungsi luhur, yaitu untuk mewujudkan
keadilan. Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan
penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib
Pajak itu sendiri. Karenanya, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakanbea tidak memenuhi asas
keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga
1
Hasanudin Yanggo. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, hal: 50.
2
Romli Atmasasmita. 2012. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing, hal: 89.
3
CST. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hal: 41.
dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.
Dalam sistem peradilan pajak, Pengadilan Pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa pajak.
Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal banding dan kasasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 ayat 2 UU Pengadilan Pajak yang menjelaskan bahwa
Pengadilan Pajak merupakan
pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas sengketa pajak dan terhadap putusannya tidak dapat lagi
diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan demikian, satu-satunya upaya hukum yang tersedia adalah upaya hukum luar biasa yang berupa peninjauan
kembali yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 UU Pengadilan Pajak.
Instrumen peninjauan kembali merupakan bentuk komitmen nyata dari pemerintah untuk mewujudkan penyelenggaraan penyelesaian Sengketa Pajak
yang dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana sebagaimana yang terdapat dalam Paragraf 2 Penjelasan Umum UU
Pengadilan Pajak. Peninjauan kembali merupakan instrumen yang diberikan negara agar sengketa pajak yang terjadi antara Wajib Pajak atau penanggung
Pajak dengan pejabat yang berwenang dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan demikian, prosedur peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak
harus dapat mengakomodir nilai-nilai keadilan, termasuk alasan permohonan peninjauan kembali.
Alasan permohonan peninjauan kembali telah ditentukan dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, yang salah satunya adalah dikabulkannya suatu hal yang
tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut kecuali putusan yang berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambahkan pajak yang harus
dibayar. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Hakim Pajak itu tidak dapat memutus ultra petita atau memutus lebih dari yang dituntut dalam surat
gugat. Namun, Hakim Pajak dapat memberikan putusan yang semakin memberatkan posisi Penggugat melalui putusan yang berupa menambah jumlah
pajak yang harus dibayar atau yang lazim disebut reformatio in Peius.
Berdasarkan Pasal 2 UU Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak didefinisikan sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib
Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Pasal tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa tujuan dari pembentukan
Pengadilan Pajak adalah untuk mewujudkan keadilan bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak dalam sengketa pajak. Hal ini berarti bahwa sistem peradilan
pajak harus menjamin dan mengakomodir nilai-nilai keadilan sehingga tidak ada orang yang merasakan ketidakadilan di hadapan hukum. Dengan demikian, segala
prosedur dalam sistem peradilan pajak, termasuk peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak, harus mencerminkan asas keadilan.
Pada hakikatnya, permohonan peninjauan kembali dapat memenuhi dimensi legal justice. Hal ini dikarenakan para pihak yang bersengketa memiliki hak yang
sama untuk melakukan peninjauan kembali sebagaimanan yang tercantum dalam Pasal 77 ayat 3 UU Pengadilan Pajak. Dengan demikian, hal tersebut sesuai
dengan filosofi legal justice yang menginginkan penegakkan dan perlakuan yang adil dan merata dari semua individu berdasarkan hukum. Namun sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa pengaturan mengenai peninjauan kembali ditentukan secara limitatif dalam UU Pengadlilan Pajak sehingga dimensi legal
justice bukan hanya harus diejawantahkan dalam para pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi juga dalam alasan permohonanan
peninjauan kembali tersebut. Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak merupakan bentuk pengurangan terhadap hak-hak dari Wajib Pajak atau penanggung Pajak selaku justiciabellen. Hal ini
dikarenakan putusan yang memberatkan Wajib Pajak atau penanggung Pajak tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Tidak dapat diajukannya putusan yang
bersifat reformatio in peuis sebagai alasan permohonan peninjauan kembali dalam sistem peradilan pajak di Indonesia merupakan perlakuan tidak adil ketika fiskus
dapat mengajukan peninjauan kembali pada putusan yang meringankan Wajib Pajak atau penanggung pajak, misalkan putusan yang berisi pembatalan terhadap
keputusan fiskus terhadap nilai pajak yang harus dibayar oleh penggugat
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 ayat 1 huruf f UU Pengadilan Pajak.
Menurut Hart, prinsip umum legal justice menuntut bahwa para individu di hadapan yang lainnya berhak atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau
ketidaksetaraan tertentu yang dijabarkan melalui postulat “perlakukan hal-hal serupa dengan cara yang serupa dan perlakukanlah hal-hal yang berbeda dengan
cara yang berbeda”.
4
Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak memberikan
kedudukan yang setara terhadap pihak yang bersengketa dalam Pengadilan Pajak. Hal ini dikarenakan fiskus dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali
terhadap putusan yang meringankan Wajib Pajak atau penanggung Pajak, sedangkan Wajib Pajak atau penanggung Pajak tidak dapat mengajukan
peninjauan kembali terhadap putusan yang memberatkan dirinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alasan permohonan peninjauan kembali
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mengandung dimensi legal justice.
Berkaitan dengan moral justice, moral justice keadilan moral tidak lain dari keadilan berdasarkan moralitas, yaitu standar baik dan buruk. Aturan-aturan
yang berlaku dalam masyarakat merupakan aturan-aturan yang sesuai norma- norma moral yang dianut masyarakat. Bahkan, Satjipto Rahardjo berpendapat
bahwa “hukum yang hukum” dan bukan “hukum yang bukan hukum” adalah hukum yang sarat dengan nilai-nilai moral, bukan yang sekedar diadakan untuk
kepentingan pihak berkuasa.
5
Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak merupakan bentuk penegasian terhadap
hukum yang sarat dengan nilai-nilai moral bangsa Indonesia. Dengan mengikrarkan diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab, Bangsa Indonesia berkomitmen bahwa segala hal yang ada di Indonesia harus memberikan ruang dan kesempatan bagi setiap orang untuk
4
H. L. A. Hart. 2010. Konsep hukum. Bandung: Nusamedia, hal: 197-198.
5
Satjipto Rahardjo. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Media Nusantara, hal: 262.
mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan adil. Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak memang akan dapat membuat proses penyelesaian sengketa
perpajakan melalui Pengadilan Pajak dapat dilakukan secara cepat, karena sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi pasal tersebut tidak cukup
mengakomodir kepentingan para pencari keadilan. Hal ini dikarenakan upaya hukum tersebut tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan pajak yang
berupa menambah pajak yang dibayar oleh penggugat. Padahal, tidak tertutup kemungkinan adanya kesalahan hakim dalam melakukan penghitungan terhadap
pajak yang harus dibayar oleh penggugat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan dimensi moral
justice. Dalam konteks social justice, aturan hukum harus mendistribusikan hak
dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan atau kesepakatan
antara pihak yang terlibat. Konsep social justice dimaksudkan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam kerja sama tersebut. Konsep ini dibagi menjadi dua
bagian, yaitu interpretasi terhadap situasi awaloriginal position atas persoalan pilihan yang ada, dan adanya seperangkat prinsip yang akan disepakati.
6
Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak memberikan posisi yang tidak seimbang
antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan fiskus. Dengan tidak memberikan akses bagi permohonan peninjauan kembali atas putusan yang
berupa penambahan pajak yang harus dibayar, UU Pengadilan Pajak telah meletakkan dasar-dasar diskriminasi terhadap hak-hak dasar individu. Sebagai lex
specialis terhadap UU Pengadilan Tata Usaha Negara, UU Pengadilan Pajak juga mengemban tugas mulia untuk memberikan perlindungan kepada para pencari
keadilan dengan menegaskan status quo awal bahwa antara fiskus dan Wajib Pajak atau penanggung Pajak adalah setara sebagaimana filosofi dalam Pasal 77
ayat 3 UU Pengadilan Pajak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa situasi
6
John Rawls. 2006. A Theory of Justice, Teori Keadilan. diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal: 274
awaloriginal position Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan fiskus dalam alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mengandung kesetaraan. Esensi dari pembentukan pengadilan pajak adalah untuk mewujudkan
penyelenggaraan penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Berkaitan dengan
esensi tersebut, prinsip yang disepakati dalam pengadilan pajak adalah prinsip keadilan. Menjadikan peninjauan kembali sebagai satu-satunya upaya hukum
yang dapat digunakan terhadap putusan pengadilan pajak merupakan cara yang paling efektif untuk mewujudkan peradilan pajak yang memiliki prosedur dan
proses yang cepat, murah, dan sederhana. Namun, hal tersebut tidak boleh menegasikan asas keadilan yang menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa
pajak. Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan makna
kesetaraan dalam konsep keadilan sebagai fairness, karena fiskus memiliki posisi yang lebih tinggi daripada Wajib Pajak atau penanggung Pajak dimana terdapat
putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan peninjauan kembali oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak.
Dalam konteks permohonan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan pajak di Indonesia, keadilan substantif sebagai
sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari
konsep dan penegakan keadilan. Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berorientasi dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat
menekankan pada aspek regularitas dan penerapan formalitas legal semata. Oleh karena itu, perlu adanya reformulasi dalam alasan permohonan peninjauan
kembali atas putusan pengadilan pajak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak agar dapat mewujudkan keadilah substantif
dalam integrasi global.
4.2. Pengaturan di Masa Mendatang mengenai Alasan Permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam Rangka
Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Integrasi Global
Pada era global, Indonesia dihadapkan pada pangsa pasar yang terbuka dan luas dimana pertukaran barang dan jasa masuk sebebas-bebasnya. Padangan
mengenai globalisasi sebagai proses transformasi bebas hambatan dan mekanismenya di serahkan pada pangsa pasar sebebas-bebasnya padahal tidak
demikian, globalisasi sesungguhnya diibaratkan dengan “pagar rumah” yang terbuka, namun dalam rumah tersebut tetap mempunyai aturan main yang harus
diikuti oleh para “tamu” yang datang ke “rumah” tersebut. Dalam konsep “pagar rumah” tersebut menandakan bahwa kehidupan suatu kelompok masyarakat tidak
satu pun yang membiarkan kehidupannya dan teritorialnya tanpa hukum. Sejatinya suatu Negara mempunyai kedaulatan yang mana Negara lain tidak
bisa mencampuri urusan dalam negeri karena, aturan main itu di ciptakan oleh “tuan rumahnya”. Sistem global tidak berlangsung bebas kontrol dari suatu
Negara karena globalisasi bukan merupakan jalan tanpa mekanisme. Mekanisme tersebut sebagai petunjuk hubungan antar Negara dengan Negara lain yang di
bangun atas perjanjian-perjanjian yang telah di sepakati. Ketika Negara sepakat akan melakukan suatu usaha di dalamnya berarti Negara tersebut sepakat dan
telah siap untuk tunduk pada hukum Negara tersebut. seperti halnya di Indonesia, ketika investor asing menanamkan modalnya dan mendirikan usaha-usaha di
Indonesia maka investor asing tersebut wajib membayar pajak sebagaimana hal ini telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Pembayaran Pajak. Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar negara yang digunakan untuk
melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada dasarnya, pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang
hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis dan
besarnya pajak yang akan dipungut.
7
Hal tersebut mengacu pada Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala pungutan pajak harus berdasarkan
undang-undang”. Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak, tetapi tidak berdasarkan undang-undang maka pungutan tersebut bukanlah pajak, tetapi lebih
tepat disebut dengan perampokan taxation without representation is robbery. Setiap anggota masyarakat khususnya masyarakat yang tergolong sebagai
wajib pajak pada dasarnya harus patuh dan mau melunasi kewajibannya untuk melunasi utang pajaknya dengan baik dan benar untuk meratakan pendapat
masyarakat. Hal ini merupakan hal yang sangat vital karena sifatnya mikro dan khusustertentu serta mempunyai bidang tersendiri dalam suatu lingkup yang lebih
besar makro, yaitu keuangan Negara dan hal ini adanya keterkaitan dan ketergantungan, antara pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian
masyarakat dan tidak terlepas dari peran serta wajib pajak di satu pihak. Di lain pihak, tanpa adanya wajib pajak dan peran serta mereka untuk membayar pajak,
pemungutan pajak tidak akan terlaksana. Pemungutan pajak terhadap Wajib Pajak diawali dengan adanya surat
ketetapan pajak SKP yang dikeluarkan oleh aparatur pajak fiskus mengenai jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Sifat interdependensi ini
diwujudkan di dalam sistem pengadilan pajak nasional yang bersifat pengabdian dan pengawasan atas pelaksanaan keputusan yang diambil oleh birokrat atau
eksekutif, dan berdasarkan keadilan dan kebenaran. Dalam praktik, surat ketetapan pajak tersebut menimbulkan suatu sengketa
atau perselisihan. Sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat mengenai penetapan pajak terutang yang diterbitkan oleh
fiskus.
8
Perbedaan penetapan pajak tersebut dapat berupa perbedaan mengenai jenis maupun jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.
7
Wirawan B. Ilyas. 2014. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat, hal: 13
8
Atep Adya Barata. 2002 Memahami Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak, Jakarta: Sociadana, LP3AB-IBTA, hal: 5.
6
Penyelesaian sengketa pajak di Indonesia menjadi kompetensi absolut dari pengadilan pajak untuk banding dan gugatan.
9
Berbeda halnya dengan upaya keberatan yang menjadi kewenangan dari kantor pajak yang mengeluarkan SKP.
Karakteristik keputusan Pengadilan Pajak berbeda dengan keputusan yang dikeluarkan oleh eksekutif sebagai tingkat pertama. Pengadilan Pajak merupakan
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa Pajak. Oleh karena itu, keputusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan tidak ada upaya hukum terhadap putusan pengadilan pajak, maka
diperlukan lembaga peninjauan kembali. Lembaga peninjauan kembali herzeining hadir sebagai suatu upaya hukum
luar biasa yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak apabila keputusan Pengadilan Pajak dinilai kurang memuaskan. Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa: Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum
luar biasa, di samping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua aspek pemeriksaan yang
meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus
oleh Mahkamah Agung.
Pengajuan peninjauan kembali tidak menghalangi pelaksanaaneksekusi putusan pengadilan pajak dan dapat dilakukan, baik sebelum maupun sesudah
eksekusi selama jangka waktu pengajuan masih terpenuhi.
10
Adanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung ini memecahkan masalah berupa keluhan para pemohon bandinggugatan pencari keadilan maupun terbandingtergugat karena telah ada
upaya perbaikan mengenai putusan pengadilan pajak. Jadi, keberadaan peninjauan kembali bertujuan sebagai sarana terakhir ultimum remedium yang dapat
dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa pajaknya apabila
9
Muhammad Djafar Saidi. 2007 Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: Rajagrafindo Persada, hal: 60-62.
10
Jamal Wiwoho dan Lulik Djatikumoro. 2004 Dasar-Dasar Penyelesaian Sengketa Pajak, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal: 121.
upaya hukum yang telah dilakukan mulai keberatan, banding dan gugatan hasilnya tidak memuaskan bagi dirinya.
Peninjauan kembali pada hakikatnya menerapkan asas kepatutanbillijheid semestinya dapat dijadikan sarana untuk membetulkan kekeliruan sekaligus
melindungi sikap tindakan Penjabat Pajak maupun Hakim dalam menerapkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
11
Oleh karena itu, menjadi kewenangan Mahkamah Agung sebagai pucuk tertinggi pemutus terakhir para
pihak yang bersengketa melalui putusan peninjauan kembali. Peninjauan Kembali dapat diajukan jika ada novum atau bukti baru yang
ditemukan, kemudian setelah perkara diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila dilihat dalam Pasal 91 huruf c mengenai alasan-alasan
pengajuan peninjauan kembali dalam pengadilan pajak disebutkan bahwa: “Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat 1 huruf b dan huruf c.” Selanjutnya dalam Pasal 80 ayat 1 huruf b dan huruf c disebutkan bahwa:
“Putusan pengadilan pajak dapat berupa: b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya; c. menambah Pajak yang harus dibayar.” Menurut hemat penulis,
ketentuan tersebut menimbulkan suatu ketidakadilan dan tidak adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak an sich, tetapi juga bagi masyarakat secara luas.
Ketidakadilan dan tidak adanya kepastian hukum yang terdapat dalam ketentuan diatas muncul karena dinegasikannya beberapa syarat yang seharusnya
dapat dijadikan sebagai alasan-alasan diajukannya peninjauan kembali. Dalam Pasal 91 huruf c terdapat terdapat frasa “kecuali yang diputus berdasarkan Pasal
80 ayat 1 huruf b dan huruf c.” Makna yang terkandung dalam frasa tersebut memberikan isyarat bahwa beberapa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan
pajak tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Padahal, setiap putusan yang dihasilkan oleh para hakim tidak pernah lepas dari kekeliruan atau kekhilafan.
Maka akibatnya keadilan yang ditutup oleh kepastian hukum.
11
Syofrin Syofyan. 2004 Hukum Pajak dan Permasalahannya, Bandung: Refika Aditama, hal: 66.
8
Kekeliruan atau kekhilafan hakim dalam putusannya telah mengakibatkan putusan yang tidak menguntungkan reformation in peius dan kerugian terhadap
Pemohon Banding atau Penggugat. Meskipun penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi pengadilan menghasilnya putusan yang bersifat menang atau kalah win
or lose. Dalam praktik, putusan pengadilan pajak justru menambah jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Hal tersebut jelas telah merugikan
Pemohon Banding atau Penggugat. Sebagaimana diketahui bahwa hukum yang mengatur mengenai pajak
masuk dalam ranah hukum publik. Hal tersebut berarti pada hakikatnya setiap penyelesaian sengketa pajak yang timbul adalah untuk melindungi kepentingan
publikumum. Sehingga keadilan yang dicari adalah keadilan substantif. Mengutip pernyataan Satjipto Rahardjo bahwa, “pengadilan boleh dikatakan sebagai suatu
badan yang memutuskan keadilan berdasarkan aturan dan prosedur yang sudah ditentukan. Maka sejak saat itu pula kita berbicara tentang adanya dua macam
keadilan yaitu keadilan substansial substantial justice dan keadilan formal legal justice.”
12
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law, sudah seharusnya penegakan hukum harus selalu berorientasi terhadap
tujuan utama dalam hukum yaitu keadilan. Ketentuan dalam Pasal 91 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak secara in concreto telah menimbulkan permasalahan hukum terhadap para pencari keadilan justitiabellen yang merasa bahwa putusan
yang dijatuhkan oleh pengadilan pajak telah jauh dari makna keadilan. Keterbatasan syarat yang secara formal-prosedural telah diatur dalam Pasal a quo
menghasilkan putusan yang tidak berpihak kepada keadilan substantif. Alasan pengajuan peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak haruslah dalam
kerangka yang demikian, yakni untuk mencapai dan menegakkan hukum dan keadilan. Sesuai dengan kredo yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu “fiat justitia
ruat coelum” hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh.
12
Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Yogyakarta: Genta Publishing, hal: 148.
Upaya pencapaian kepastian hukum rechtzekerheid sangat layak diadakan pembatasan, namun upaya untuk pencapaian keadilan hukum rechtvaardigheid
tidaklah demikian, karena keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian hukum.
Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas
keadilan. Oleh karena itu, upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan tujuan untuk memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada prinsipnya, penyempurnaan terhadap Peninjauan Kembali dengan
memasukkan konsep reformatio in peius ke dalam alasan peninjauan kembali dengan menghasilkan suatu kebenaran. Bahkan dengan adanya rumusan konsep
reformatio in peius semua putusan pengadilan pajak dapat memperoleh kebenaran dan berkeadilan substantif. Menurut teori kebenaran pragmatis, bahwa suatu
pernyataan atau pemikiran dikatakan benar apabila dapat mendatangkan manfaat atau kegunaan pada banyak orang. Manfaat atau kegunaan yang dimaksud berarti
dapat dilaksanakan dan ditindaklanjuti dalam perbuatan secara nyata. Dalam hal ini ketika konsep reformatio in peius dimasukkan ke dalam alasan peninjauan
kembali putusan hakim maka dapat mengantarkan manusia pada kesejahteraan dan membuat manusia bahagia untuk terwujudnya keadilan substantif.
Selain itu, parameter keadilan substantif dilihat dari prinsip equality before the law yakni dimana penegakan dan perlakuan harus secara adil dan
merata dari semua individu berdasarkan hukum tanpa pandang bulu bagi para pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, dan juga dalam alasan
permohonanan peninjauan kembali. Disisi lain, parameter keadilan substantif dapat dilihat pada nilai-nilai moral yang terkandung pada aturan-aturan hukum
yang hidup living law dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Perkembangan nilai-nilai moral menunjukan baik atau benar. Nilai-nilai moralitas
masyarakat diukur dengan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Kedinamisan nilai-nilai moral dalam masyarakat yang sudah berakar pada jiwa
raga masyarakat tersebut memiliki semangat untuk mendapatkan keadilan substantive secara penuh.
Reformatio in peius sudah menjadi keniscayaan yang harus diterima oleh Wajib Pajak apabila dictum hakim dalam putusannya menambah jumlah pajak
yang harus dibayarkannya. Hakim niscaya merupakan seorang tokoh sentral dalam pengadilan. Melalui putusan-putusannya, keadilan diberikan kepada para
pencari keadilan atau masyarakat. Apabila putusan tidak mengadung makna keadilan, sudah seharusnya putusan tersebut harus dapat digugat. Pengadilan dan
sistem peradilan yang ada dirasakan tidak memadai lagi untuk menyalurkan keinginan masyarakat memperoleh keadilan.
13
Dengan demikian, pengadilan dan hakimnya tidak steril terhadap pikiran, ide-ide dan gagasan-gagasan yang
berkembang di sekelilingnya. Ketentuan dalam pasal a quo sangat jelas mengurangi hak-hak masyarakat
yang dijamin oleh UUD 1945. Prinsip equality before the law yang terdapat dalam salah satu ciri negara hukum terciderai dengan adanya pengecualian aturan yang
formal-prosedural yang tidak menciptakan keadilan substantif bagi para pencari keadilan. Senada dengan itu, menurut Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa:
14
Penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial yaitu keadilan. Namun, semenjak hukum modern
digunakan, pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari keadilan searching of justice. Pengadilan tidak lebih hanya menjadi lembaga
yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Hukum kemudian tidak lagi dapat menyediakan keadilan sebagai trade mark-nya selama ini.
Keadilan telah main secara dramatis di lembaga-lembaga peradilan dibawah rezim hukum modern. Lembaga peradilan yang semula
sebagai house of justice harus berubah menjadi tempat untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dan prosedur.
Dari ungkapan pernyataan diatas, jelas memberikan gambaran bahwa keadilan berada ditangan hakim di pengadilan pajak. Namun, keadilan tidak dapat
dicapai sebagai akibat dari adanya pembatasan syarat atau alasan untuk dilakukannya upaya peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan pajak.
13
Ibid., hal. 155.
14
Satjipto Rahardjo. 2013. Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, hal: ix.
Mengingat hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan substantif harus lebih didahulukan ketimbang keadilan
prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.
15
Parameter keadialan substantif tidak hanya dilihat dari prinsip equality before the law dan moral justice, tetapi juga social justice. Aturan hukum harus
mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental yang berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan atau kesepakatan antara pihak yang terlibat serta
mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental dan menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan
atau kesepakatan antara pihak yang terlibat. Berdasarkan Pasal 77 ayat 3 UU Pengadilan Pajak semua pihak berhak untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali PK yang mana pada posisi awal menurut Pasal 91 huruf c pihak fiskus terdapat ketimpangan dimana pihak fiskus dapat melakukan Peninjauan Kembali
terhadap putusan yang dapat meringankan wajib pajak sedangkan wajib pajak tidak dapat melakukan Peninjauan kembali terhadap putusan yang memberatkan
dirinya. Secara otomatis, agar terciptanya kesetaraan maka konsep reformatio in peius sangat tepat apabila dimasukkan ke dalam alasan permohonan Peninjauan
Kembali untuk mewujudkan keadilan substantif.
15
Faisal. 2014. Memahami Hukum Progresif, Yogyakarta: Penerbit Thafa Media, hal: 89.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan