TINJAUAN PUSTAKA Tingkah laku, reproduksi, dan karakteristik daging tikus ekor putih (Maxomys hellwandii)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Umum Tikus hutan ekor putih Maxomys hellwandii hanya terdapat di Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi. Tikus ini dikenal dengan nama lokal Turean, dan mempunyai 14 spesies tikus ekor putih lainnya. Sampai saat ini habitatnya belum diketahui Corbet dan Hill, 1992. Di Provinsi Sulawesi Utara nama lokal hewan nokturnal tersebut beragam macam sesuai dengan wilayah penyebarannya. Tikus ini berwarna krem kecokelatan dengan ciri-ciri khusus bagian dada berwarna agak putih dengan ekor yang panjang dan sebagian ujungnya berwarna putih sehingga dikenal dengan nama tikus ekor putih Van der Zon, 1979. Petani Delta Mekong yang dulu selalu dibuat pusing oleh serangan tikus, kini malah menangguk untung dari bisnis tikus. Mereka mulanya tidak ada niat untuk mengekspor binatang hama sawah, bahkan berupaya memusnahkan tikus- tikus tersebut. Tikus menjadi bisnis serius setelah adanya permintaan dari restoran-restoran di negara tetangga Kamboja. Tikus-tikus ini dikonsumsi di restoran untuk sajian makan malam. Di Provinsi Bac Lieu kini diperkirakan ada sekitar 2000 peternak yang mata pencaharian utamanya adalah budidaya tikus Kompas, 17 April 2002. Pusat distribusi tikus di delta Sungai Mekong, Vietnam terdapat di enam propinsi yaitu : Ca Mau, Bac Lieu, Soc Trang, Can Tho, An Giang, dan Dong Thap yang menghasilkan produksi daging tikus tahunan untuk konsumsi manusia sebesar 3300 sampai 3600 ton dengan nilai harga pasar sekitar 25 sampai 30 milyar VND Vietnam Dong US 2 juta. Bisnis tikus melibatkan 2000 penangkap tikus, 50 distributor sangat menolong sebagai sumber pendapatan petani miskin dan juga sumber protein Nguyen Tri Khiem et al., 2003. 5 Klasifikasi Menurut Corbet dan Hill 1992, klasifikasi tikus ekor putih adalah sebagai berikut: kingdom : Animal filum : Chordata subfilum : Vertebrata Craniata kelas : Mamalia subkelas : Theria infrakelas : Eutheria ordo : Rodentia subordo : Myomorpha superfamili : Muroidea famili : Muridae subfamili : Murinae genus : Murinae spesies : Maxomys hellwandii Habitat Habitat adalah suatu tempat organisme atau individu biasanya ditemukan. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas air, tanah, topografi dan iklim makro dan mikro serta komponen biologis yang terdiri atas manusia, vegetasi, dan satwa Smiet, 1986. Naungan cover adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat berlindung terhadap panas matahari, predator dan gangguan lain, beristirahat atau berkembang biak bagi beberapa jenis satwa. Naungan dapat berfungsi sebagai tempat mencari makan dan minum. Secara fisik naungan dapat berupa vegetasi, gua atau bentukan alam lainnya Direktorat Jenderal PHPA, 1986. Satwa liar adalah binatang yang hidup di dalam ekosistem alam Bailey, 1984 diacu dalam Alikodra, 1997. Penangkaran satwa liar adalah perkembangbiakan dan pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai sasaran tertentu Helvoort, 1986. Penangkaran dengan sistem kandang merupakan upaya pengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang dilakukan secara intensif dalam kandang. Thohari 1987 menyatakan bahwa dalam usaha penangkaran suatu jenis satwa liar, proses adaptasi berlangsung dalam jangka waktu cukup panjang, mulai saat individu ditangkap dari habitat asli sampai pada tahap 6 individu tersebut mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lokasi penangkaran dan lingkungannya serta perlakuan-perlakuan yang diterimanya. Demikian pula proses adaptasi masih berlanjut sampai individu tersebut mampu berasosiasi dengan individu-individu lainnya baik sesama jenis ataupun berlainan jenis kelamin Tomaszew dan Putu, 1993. Pertimbangan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu ditangkarkan atau dibudidayakan apabila 1 secara alami populasinya mengalami penurunan tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah, dan 2 mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya bagi manusia terus bertambah sehingga kelestariannya terancam Thohari, 1987. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam proses budidaya, teknologi yang diperlukan mencakup aspek perkandangan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan pascapanen. Teknik yang diterapkan harus mampu mempercepat proses adaptasi satwa. Penangkaran dinilai berhasil bila teknologi reproduksi satwa tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran telah berhasil mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan. Tingkah Laku Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam tubuh hewan itu sendiri endogenous maupun faktor dari luar exogenous Suratmo, 1979. Menurut Lehner 1979 tingkah laku yang dipelajari tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, di mana, bagaimana dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan pengalaman hewan dari waktu ke waktu pada masa lalu, yang sangat mempengaruhi respon hewan Suratmo, 1979. Selanjutnya rangsangan yang sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau pada spesies yang berbeda Huntingford, 1984. Rangsangan berupa suara, pandangan, tenaga mekanis, dan kimia yang berasal dari luar diterima dan disaring oleh indera. Rangsangan eksternal akan berinteraksi dengan rangsangan internal, dan secara bersama-sama akan menentukan respon hewan, sehingga tingkah laku suatu spesies merupakan fungsi dari faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi. Dengan demikian, tingkah laku merupakan hasil dari perubahan yang terjadi terus 7 menerus pada hewan yang merupakan konsekuensi hubungan antara hewan dan lingkungannya Suratmo, 1979; Huntingford, 1984. Respon hewan terhadap semua faktor rangsangan, pada prinsipnya berasal dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup survive dengan melakukan semua usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya memperoleh pakan, melakukan reproduksi dan regenerasi, kehadiran predator, pasangan kawin, serta individu muda anak yang memerlukan pengasuhan serta adaptasi terhadap tekanan faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik. Dorongan dasar ini akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan Suratmo, 1979. Tingkah laku hewan dapat merupakan hasil proses belajar learned atau hanya merupakan instinct innate yang dimulai sejak lahir sampai mati terhadap segala sesuatu yang dialaminya, sehingga respon yang diperlihatkan individu dewasa merupakan hasil adaptasinya terhadap rangsangan yang terjadi. Oleh karena itu bila rangsangan yang terjadi belum pernah dialami sebelumnya maka respon yang diperlihatkan individu spesies merupakan respon spontan yang bersifat naluriah insting Huntingford, 1984. Respon yang bersifat naluriah, jarang ditemukan pada hewan-hewan tingkat tinggi dibandingkan pada hewan- hewan dengan tingkat rendah Huntingford, 1984. Dengan demikian pada tikus ekor putih, tingkah laku yang bersifat bukan naluriah lebih dominan dibandingkan dengan pada golongan hewan lainnya. Tomaszewska et al. 1989 menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh macam yaitu: 1. Tingkah laku makan dan minum dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan hal tersebut ingestive. 2. Tingkah laku pencarian tempat berteduh shelter seeking. 3. Tingkah laku penyidikan investigatory. 4. Tingkah laku kecenderungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu allelomimetic. 5. Tingkah laku berselisih, bertengkar, dan menghindar agonistic. 6. Tingkah laku membuang kotoran, dan kencing eliminative. 7. Tingkah laku memberi perhatian dari induk ke anak epimeletic care giving. 8. Tingkah laku minta perhatian dari anak ke induk epimeletic care soliciting. 9. Tingkah laku seksual atau reproduksi sexual or reproduction. 10. Tingkah laku bermain play. 8 Menurut Scott 1969, pola tingkah laku satwa dikelompokkan ke dalam sistem tingkah laku yaitu kumpulan tingkah laku yang memiliki satu fungsi umum antara lain meliputi tingkah laku makan dan minum, tingkah laku sosial agonistik, tingkah laku membersihkan rambut, tingkah laku istirahat, tingkah laku berkelompok, dan tingkah laku melahirkan. Tingkah Laku Makan dan Minum Ingestif Tingkah laku makan meliputi semua aktivitas makan dan minum. Tingkah laku makan secara umum meliputi menangkap, makan, mengunyah dan menelan Frazer, 1980. Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja 1985, tingkah laku makan mencakup konsumsi bahan-bahan yang bermanfaat bagi tubuh satwa dalam wujud padat maupun dalam wujud cair. Tingkah laku makan berhubungan erat dengan anatomi dan fisiologis tiap jenis hewan dan sifat makanannya yang khas. Milton 1981 menyatakan strategi makan berhubungan erat dengan ukuran tubuh, kepala, dan panjang rahang. Makanan dan air merupakan faktor pembatas bagi hidupnya margasatwa, di samping dari segi kuantitas dan kualitas makanan dan air juga harus diperhatikan. Tingkah Laku Sosial Agonistik Tingkah laku sosial merupakan tingkah laku yang melibatkan lebih dari satu individu, yakni pengekspresian diri terhadap individu lain, di antaranya adalah tingkah laku agonistik yang menyangkut tingkah laku mengancam dan mengalah yang khas pada hewan. Tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa dan dikategorikan dalam beberapa tingkatan konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman, menyerang, dan tingkah laku patuh Hart, 1985. Tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang sangat penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan-subordinat antartingkatan sosial spesies. Tingkah Laku Membersihkan Rambut Grooming Menurut Sellevs 2001, grooming atau membersihkan rambut merupakan suatu aktivitas primata yang bersifat umum. Aktivitas ini dilakukan untuk mempererat hubungan kekeluargaan di antara mereka, dan hewan yang 9 dominan seperti jantan akan membersihkan rambut betina dalam rangka kegiatan seksual, Hal ini sejalan dengan pernyataan Kyes 1991 bahwa grooming juga merupakan bentuk tingkah laku seksual. Kebiasaan induk adalah membersihkan rambut anaknya agar bersih dari kotoran yang melekat pada kulitnya. Kegiatan seperti ini sudah dilakukan secara turun temurun untuk memperat hubungan kekeluargaan dan mempertahankan struktur sosial secara bersama-sama. Menurut Chalmers 1979, tingkah laku membersihkan rambut dilakukan dengan tujuan mencari kotoran atau ektoparasit pada tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya. Tingkah laku ini tidak hanya sekedar membersihkan badan tetapi juga merupakan sarana menjalin hubungan sosial antarkelompok, meredakan ketegangan, dan berbagai tujuan lainnya. Grooming bukan hanya sebagai sarana membersihkan tubuh tetapi juga berfungsi sosial dan menunjukkan status sosial. Bermain, biasa dilakukan satwa remaja dan anak-anak, dan juga proses dari tingkah laku seks setelah terjadi kopulasi biasanya dilanjutkan dengan grooming oleh betina atau jantan Eimerl dan De Vore, 1978; Walters dan Seyfarth, 1987; Kinnaird dan Brien, 1995 Tingkah Laku Istirahat Kegiatan istirahat adalah periode tidak aktif dari satwa dalam bentuk apapun makan, berpindah, dan bersuara. Di dalam periode istirahat terjadi interaksi sosial antara anggota kelompoknya Chivers, 1977 Dalam tingkah laku istirahat kadang-kadang terdapat tingkah laku merawat diri grooming. Pada waktu istirahat satwa relatif tidak melakukan banyak gerakan, aktivitas ini meliputi duduk-duduk dan tiduran. Tingkah Laku Berkelompok allelomimetic Tingkah laku berkelompok adalah kecenderungan untuk bergerombol dan mempengaruhi untuk bertingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu. Ini merupakan ciri hewan yang tingkat sosialnya tinggi. Tomaszewska dan Putu,1989. Pola hidup sosial dapat digolongkan menjadi empat kategori berdasarkan sistem kelompok sosialnya yaitu sistem kelompok banyak jantan multi-male group, sistem kelompok satu jantan uni-maleone-malegroup, sistem kelompok keluarga family group, dan sistem hidup sendiri, kecuali saat musim 10 kawinmengasuh anak semi soliter Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985; Sterck, 1995. Hidup dalam sistem kelompok sosial, selain karena daya tarik seks juga disebabkan prinsip kekuasaan bersama bahwa hidup dalam kelompok adalah menguntungkan, seperti kewaspadaan terhadap ancaman predator, memperluas kontak dengan lingkungan, meningkatkan sukses reproduksi dan keamanan terhadap individu muda serta penguasaan atas pakan berkualitas yang dibutuhkan individu Napier dan Napier, 1985. Individu anggota kelompok akan berinteraksi satu dengan yang lain yang mencerminkan adanya hubungan saling memperhatikan ataupun persaingan untuk memperoleh sesuatu. Menurut Seyfarth dan Cheney 1994 hubungan antarindividu di dalam kelompok umumnya terjadi dalam bentuk hubungan induk dan anak, hubungan sesama pasangan, atau antarindividu yang merupakan saingan. Komunikasi antarindividu anggota kelompok sangat berperan dalam segala aktivitas. Komunikasi antarindividu dapat terjadi melalui baupenciuman olfactory, sentuhankontak tactile, penglihatan visual dan suara vocal. Komunikasi secara visual umumnya yang paling utama, tetapi di hutan hujan tropis karena terbatasnya pandangan oleh lingkungan hutan komunikasi dengan suara adalah yang terpenting Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985. Tingkah Laku Melahirkan Tingkah laku melahirkan merupakan tabiat dari suatu rangkaian kejadian yang saling berhubungan meliputi tahap sebelum melahirkan, saat melahirkan dan setelah melahirkan Fraser, 1980. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa proses melahirkan dibagi atas tiga fase. Fase pertama yaitu dilatasi cervix dan tingkah laku yang menyertainya. Fase kedua adalah saat terjadinya dorongan fetus dari uterus ke saluran kelahiran. Fase ketiga adalah lepasnya plasenta setelah proses kelahiran. Tingkah laku menjelang melahirkan. Menurut Fraser 1980 periode menjelang melahirkan saat fetus masih berada di uterus sampai dengan awal terjadinya fase pertama dari proses kelahiran. Ensminger 1962 dan Gillespie 1983 menyatakan bahwa 12 sampai 14 jam menjelang kelahiran, lilin yang melapisi ujung-ujung puting akan mencair dan jatuh yang diikuti dengan menetesnya air susu. Tertutupnya ujung-ujung puting oleh lapisan zat lilin dan mencairnya zat lilin tersebut dapat terjadi 2 sampai 3 kali pada 10 hari sebelum 11 melahirkan. Pada saat yang sama otot vulva akan terlihat membengkak dan relaksasi. Blakely dan Bade 1991 melaporkan bahwa semakin dekat ke proses kelahiran urinasi akan sering terjadi yang akan diikuti dengan sikap gelisah. Tingkah laku saat melahirkan. Periode ini ditandai dengan pecahnya allantochorion yang diikuti dengan keluarnya keseluruhan bagian tubuh fetus dan diakhiri dengan keluarnya plasenta Kilgour dan Dalton, 1984. Pada umumnya proses kelahiran terjadi pada malam hari hingga dini hari Blakely dan Bade, 1991 Tingkah laku setelah melahirkan. Salah satu ciri yang spesifik dari hewan mamalia adalah turut keluarnya plasenta beberapa saat setelah anak dilahirkan. Pada beberapa jenis hewan seperti pada babi dan sapi yang bersifat plasentophagic, ada kecenderungan untuk memakan plasenta yang telah keluar. Sifat ini adalah salah satu bentuk proteksi induk terhadap anak dari serangan predator, karena apabila tidak dimakan, bau plasenta dan darah akan mengundang predator karnivora untuk mendekat Hart, 1985. Frazer 1980 menyatakan bahwa beberapa saat setelah dilahirkan tubuh anak akan dijilati oleh induknya hingga menjadi bersih dari lendir yang menempel. Rangsangan jilatan serta kontak fisik yang terjadi mendorong anak untuk mencari puting induk. Kilgour dan Dalton 1984 melaporkan bahwa 30 menit setelah dilahirkan anak akan mulai menyusu ke induknya. Sifat-Sifat Tikus Tikus dapat dikandangkan bersama dalam satu kelompok besar yang terdiri atas jantan dan betina dari berbagai tingkat tanpa terjadinya perkelahian yang berarti. Tikus yang lepas dari kandang umumnya akan kembali ke kandangnya. Tikus dapat produktif untuk berbiak selama lebih dari sembilan bulan atau sampai usia satu tahun. Selama waktu tersebut tikus sudah menghasilkan 7 sampai 10 kali beranak dengan 6 sampai 14 anak pada masing-masing kelahiran. Keterangan lain yang lebih lengkap tentang data biologis tikus dapat dilihat pada Tabel 1. Sesudah satu tahun jumlah anak yang dilahirkan berkurang dan jarak kelahiran semakin jauh sampai tidak berproduksi lagi pada usia 450 sampai 500 hari Malole dan Pramono, 1989. 12 Siklus Reproduksi Tikus Siklus reproduksi biasanya dimulai sekitar umur 77 hari, dimulai antara umur 45 dan 147 hari. Tabel 1 Data biologis Rattus norvegicus Karakteristik biologis Keterangan 1. Lama hidup 2. Lama produksi ekonomis 3. Lama bunting 4. Kawin sesudah beranak 5. Umur disapih 6. Umur dewasa 7. Umur dikawinkan 8. Siklus kelamin 9. Siklus estrus berahi 10. Lama estrus 11. Perkawinan 12. Ovulasi 13. Fertilisasi 14. Implantasi 15. Berat dewasa 16. Berat lahir 17. Jumlah anak 2 - 3 tahun dapat sampai 4 tahun 1 tahun 0 ā€“ 22 hari 1 - 24 jam 21 hari 40 - 60 hari 10 minggu jantan Betina Poliestrus 4 - 5 hari 9 - 20 jam Pada saat estrus 8 - 11 jam sesudah estrus, spontan 7 - 10 jam 5 - 6 hari sesudah fertilisasi 300 - 400 g jantan; 250 -300 g betina 5 - 6 g Rata-rata 9 dapat 20 ekor Sumber : Baker et al. 1979 Siklus Berahi Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50 sampai 60 hari. Vagina mulai terbuka pada umur 35 sampai 90 hari dan testes turun keluar pada umur 20 sampai 50 hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus mulai dikawinkan pada umur 65 sampai 110 hari yaitu pada saat betina mencapai bobot badan 250 g dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut bergantung pada galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Perubahan vagina pada tikus erat hubungannya dengan siklus estrus, dan berbagai penelitian dari cairan sel dan vagina memberikan metode yang dapat diandalkan untuk menentukan estrus McDonald, 1989 ; Baker et al., 1979 Selama fase estrus, dinding vagina terlihat kering, putih dan buram, tetapi berubah lembab dan berwarna merah muda selama metestrus . Perubahan ini berhubungan dengan proses pertandukan lapisan permukaan vagina selama estrus Baker et al., 1979. Siklus berahi berlangsung 4 sampai 5 hari dengan lama berahi 12 jam. Setiap siklus mulai pada malam hari. Berahi pada tikus betina tidak banyak dipengaruhi oleh bau pejantan. Seperti pada hewan lain, siklus berahi pada tikus secara kasar dapat dibagi menjadi 4 stadium yaitu proestrus, estrus, metestrus , dan diestrus. 13 Proestrus. Stadium ini menandakan datangnya berahi. Fase ini berlangsung sekitar 12 jam. Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Folikel tumbuh di bawah pengaruh FSH McDonald, 1989. Proestrus merupakan periode terjadinya involusi fungsional corpus luteum serta pembengkakan folikel praovulasi. Pada tahap ini terjadi peningkatan vaskularisasi epitel vagina dan penandukan yang terjadi pada beberapa spesies. Peningkatan vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen yang semakin tinggi. Pada preparat ulas vagina terlihat adanya dominasi sel-sel epitel berinti Toelihere, 1984. Tabel 2 Gambaran sel yang ditemukan pada ulasan vagina tikus ekor putih selama siklus etrus Hasil usapan vagina Fase Lama Fase Nalbandov 1990 Turner dan Bagnara 1976 Smith dan Mangkoewidjoyo 1988 Proestrus 12 jam Sel epitel berinti Sel epitel berinti Sel-sel kecil dengan inti bulat Estrus 12 jam Sel berkornifikasi Sel-sel menanduk Sel epitel mengalami penandukan dan intinya piknotik Metestrus 12 jam Leukosit di antara sel berkornifikasi Banyak leukosit dengan sedikit sel- sel menanduk Sel-sel berkornifikasi dan tampak leukosit Diestrus 65 jam Epitel bernukleus dan leukosit Leukosit bermigrasi Sel-sel epitel dan leukosit Estrus. Pada stadium ini kopulasi dimungkinkan terjadi. Fase ini berlangsung 12 jam Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988; Ballenger, 2000. Ciri yang khas adalah adanya aktivitas berlari-lari yang sangat tinggi di bawah pengaruh estrogen. Estrus merupakan periode sekresi estrogen yang tinggi. Estrogen dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan berbagai perubahan pada saluran reproduksi antara lain uterus tegang, mukosa vagina tumbuh cepat, serta adanya sekresi lendir. Banyak mitosis terjadi di dalam mukosa vagina, dan sel-sel baru menumpuk, sementara lapisan permukaan menjadi skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini berkelupas ke dalam lumen vagina. Terdapatnya sel-sel ini bisa dilihat dalam preparat ulas vagina yang digunakan sebagai indikator fase estrus. Metestrus. Metestrus adalah fase segera setelah estrus di mana corpus luteum mulai tumbuh. Corpus luteum merupakan perubahan bentuk dari folikel de Graaf pada tahap akhir yang berubah fungsi setelah mengalami ovulasi. 14 Metestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan corpus luteum Guyton, 1994 Stadium ini terjadi kira-kira 10 sampai 14 jam setelah ovulasi berlangsung Wijono, 1998. Pada preparat ulas vagina terlihat banyak leukosit muncul di dalam lumen vagina bersama sedikit sel-sel bertanduk. Diestrus. Diestrus merupakan periode terakhir dan terlama yaitu 60 sampai 70 jam. Pada periode ini corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata. Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar Toelihere, 1984. Pada preparat ulas vagina terlihat leukosit dalam jumlah tinggi dan sel-sel epitel berinti Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988; Nalbandov, 1990. Penentuan Jenis Kelamin Pada hewan yang masih muda antara hewan jantan dan hewan betina dapat dibedakan. Testes mudah terlihat terutama bila tikusnya diangkat sehingga testesnya berpindah dari saluran inguinal ke scrotum. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari pada betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari sedangkan yang betina hanya 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8 sampai 15 hari. Cara yang tepat untuk membedakan jenis kelamin tikus adalah dengan cara mengangkat tikus-tikus dari litter yang sama lalu membandingkan ukuran-ukuran tersebut Malole dan Pramono, 1989. Sistem Perkawinan Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Berhubung perkawinan tikus terjadi di malam hari, untuk memastikan perkawinan dapat diamati kehadiran suatu massa putih yang menyumbat vagina, massa putih tersebut sudah jatuh di lantai di pagi hari, atau memeriksa spermatozoa dalam usapan vagina. Masa kebuntingan tikus berlangsung 21 sampai 23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar mamae. Tikus jarang menunjukkan bunting semu. Dalam satu litter terdapat 6 sampai 12 anak yang baru dapat melihat dan merambat sesudah berumur satu minggu Arrington, 1972. Perlakuan kasar, kekurangan bahan untuk pembuatan sarang, dan kandang yang terlalu bising dapat menyebabkan induk makan anak-anaknya. Anak tikus disapih umur 21 hari yaitu kira-kira bobot anak sudah mencapai 40 15 sampai 50 g. Bila estrus postpartum tidak dimanfaatkan, tikus betina akan kembali berahi antara 2 dan 4 hari sesudah penyapihan Arrington,1972. Sistem Pencernaan dan Konsumsi Tikus merupakan hewan pengerat yang mempunyai gigi seri 11 dan geraham 33 dan hanya gigi seri yang terus tumbuh. Secara umum sistem pencernaan pada tikus hampir sama dengan pada hewan mamalia lainnya. Alat pencernaan dimulai dari mulut, esofagus, usus halus dan terakhir di usus besar. Esofagus memasuki lambung pada bagian curvatura minor bersambung ke lipatan dari bagian peninggian yang membagi lambung menjadi lambung bagian depan dan lambung kelenjar. Lipatan tadi yang membuat tikus tidak dapat muntah. Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum dan ileum. Panjang usus halus kira-kira lima kali usus besar. Fungsi penyerapan pada masing-masing usus halus bergantung pada jenis zat makanan yang akan diserap. Glukosa maksimum diserap di jejunum, dan bagian atas ileum, galaktosa di pertengahan dari ketiga usus halus, protein utuh dan albumin diserap di segmen paling ujung dari usus halus, sedangkan lemak diserap di jejunum. Usus besar terdiri atas sekum, kolon dan rektum Bivin et al., 1979; Olds dan Olds, 1979. Tikus tidak mempunyai kantung empedu. Saluran empedu tiap lobus hati akan berkumpul, menyatu membentuk ductus koledokus, tetapi duktus koledokus ini juga tidak mampu menampung cairan empedu seperti fungsi kantong empedu pada rodensia lainnya Olds dan Olds, 1979. Jumlah dan jenis bahan pakan yang dikonsumsi satwa berhubungan dengan adaptasi anatomis sistem alat pencernaannya, kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan energi Black, 1983. Tipe dan kualitas bahan pakan dapat mempengaruhi pola tingkah laku makan hewan. Jika makanan yang dikonsumsi lebih banyak mengandung kosentrat waktu makan akan berkurang. Hewan yang lebih banyak menerima makanan yang mudah dicerna, konsumsi pakan akan meningkat, sebab proses digesti berlangsung lebih cepat Dulphy et al., 1980. Karbohidrat yang terdapat pada buah-buahan, kacang-kacangan, dan sereal sebagian besar terdiri atas gula-gula sederhana dan polisakarida. Kandungan gula dalam buah-buahan sangat bervariasi, mulai yang paling rendah seperti alpukat hingga mencapai lebih dari 20 seperti pisang masak. Sebagian besar gula-gula tersebut terdapat dalam bentuk sukrosa, glukosa dan fruktosa Haard, 1985. 16 Jenis bahan pakan yang mudah larut antara lain adalah gula mono-, di- dan trisakarida dan pati pati, dekstrin dan glikogen. Bahan tersebut mudah dicerna dan selanjutnya akan diubah menjadi glukosa Moen, 1973. Sebagian besar pati terdapat dalam biji-bijian dan umbi-umbian, pati kira-kira mengandung 25 amilosa Whistler et al., 1987. Rasa lapar ditimbulkan oleh kebutuhan fisiologis. Selera makan berhubungan dengan kondisi internal yaitu fisiologis dan psikologis yang akan merangsang atau menghambat rasa lapar pada seekor hewan. Jadi rasa lapar dan selera makan adalah hal yang berhubungan dengan pengaruh tingkat konsumsi pakan dari hewan. Pada saat kadar gula rendah, kondisi ini akan menyebabkan rasa lapar dan merangsang keinginan hewan untuk makan Arrington, 1972. Sejak diketahui kehidupan satwa harus mendapatkan makanan untuk mempertahankan dirinya dan membantu reproduksi, maka pencaharian makanan merupakan suatu yang penting terutama satwa liar. Satwa liar membutuhkan energi, asam amino, mineral, vitamin, air, dan beberapa asam lemak, tetapi dalam jumlah yang bervariasi antarspesies, kondisi fisiologis dan anatomi yang berbeda Smuth et al., 1987. Pada prinsipnya sumber makanan satwa liar berasal dari tiga tipe Sailer, 1985, yaitu: Struktural, bagian tumbuhan termasuk daun, batang, cabang dan materi tumbuhan lainya yang mengandung struktur karbohidrat selulosa; Bagian reproduksi, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan buah matangmentah kandungan karbohidrat lebih sedikit dan mudah dicerna; Materi dan hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun invertebrata. Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur kandungan protein 17, karena sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan tikus yang hanya memerlukan 12 protein. Seekor tikus dewasa membutuhkan 5 g makanan dan 10 ml air minum per hari per 100 g berat badan. Tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri. Sebagai hewan nokturnal, tikus aktif makan di malam hari Malole dan Pramono, 1989. Banyak makanan tikus tersusun dari bahan alami yang mudah diperoleh dari sumber komersil. Namun demikian, pakan yang diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat. Protein pakan 17 harus mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan tikus. Pakan juga harus mengandung vitamin seperti vitamin A, D, B 12 , alfatokoferol, asam linoleat, thiamine, riboflavin, phantotenat, biotin, piridoksin dan kolin Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988. Ada dua jenis pakan yang umum diberikan kepadas tikus laboratorium. Pertama, makanan untuk perkembangbiakan yang mengandung protein dan energi yang cukup untuk fetus selama kebuntingan dan untuk produksi susu selama laktasi. Kedua, pakan untuk pemeliharaan yaitu diet yang distandardisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tikus. Kebutuhan hewan akan nutrisi dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya kebutuhan pakan pada masa pertumbuhan berbeda dengan pada masa kebuntingan dan menyusui. Seekor tikus dewasa rata-rata mengkonsumsi sekitar 5 g pakan dan 10 ml air per 100 g berat badan Malole dan Pramono, 1989 atau 12 sampai 20 gekorhari dan 20 sampai 40 ml airekorhari Smith dan Mangkoewidjojo, 1988. Secara spesifik disebutkan bahwa pada suhu 21 C tikus jantan yang berumur 6 bulan akan mengkonsumsi pakan sebanyak 11,8 100 g BBhari dan tikus betina berumur 1 tahun mengkonsumsi 5,3 100 g BBhari. Menurut National Research Council 1978 bahwa rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15 sampai 20 g untuk jantan dan 10 sampai 15 g untuk betina. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa umur, jenis kelamin, dan suhu lingkungan berpengaruh pada konsumsi pakan. Pakan tikus umumya diberikan secara ad libitum dan tikus akan mengatur pola makan untuk menjaga keseimbangan energi. Pembatasan pemberian pakan pada tikus laboratorium akan memperlama umur hidup, walaupun pertumbuhannya sedikit lebih lambat dibandingkan tikus yang diberi pakan ad libitum. Mekanisme biologis dari proses ini pada rodensia belum diketahui dengan pasti. Bila tikus laboratorium mengalami kekurangan nutrien maka tikus dengan sendirinya memilih nutrien yang dibutuhkan jika diberi hubungan atau akses ke pakan yang tersedia. Pada kondisi ketika pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas, tikus dapat mengurangi konsumsi energinya, tetapi jika palatabilitas pakan berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Pembatasan jumlah pakan yang diberikan pada tikus bunting akan menyebabkan perubahan pada konsumsi dan pertumbuhan anak Malole dan Pramono, 1989. 18 Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Ternak Taylor 1984 mendefinisikan pertumbuhan sebagai peningkatan bobot badan hingga mencapai ukuran dewasa atau bertambahnya unit biokimia baru karena terjadi proses pembelahan sel. Sementara itu Maynard et al., 1983 menyatakan bahwa pertumbuhan adalah peningkatan bobot badan yang berhubungan dengan interval waktu. Selanjutnya Hammond et al., 1984 menyatakan bahwa dalam pertumbuhan ada dua hal yang terjadi yakni kenaikan bobot badan atau komponen tubuh sampai mencapai ukuran dewasa yang disebut pertumbuhan, dan adanya perubahan bentuk konformasi yang disebabkan perbedaan laju pertumbuhan jaringan atau bagian tubuh yang berbeda yang disebut perkembangan. Tiga proses utama yang terjadi selama berlangsungnya pertumbuhan adalah 1 proses dasar pertumbuhan sel yang meliputi perbanyakan sel hiperplasia atau produksi sel-sel baru, pembesaran sel hipertropi dan pertambahan akresi material struktural nonsel non protoplasmic seperti deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago, 2 diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm, yang selanjutnya akan menghasilkan sel-sel khusus seperti sel-sel syaraf dan epidermal dari ektoderm, sel-sel penyusun saluran pencernaan gastro intestinal, kelenjar-kelenjar atau glandula sekresinya dari endoderm, dan 3 kontrol pertumbuhan dan diferensiasi yang melibatkan berbagai proses Williams, 1982. Kurva pertumbuhan yang normal berbentuk sigmoid Huruf ā€œSā€. Dari kurva tersebut diketahui pola pertumbuhan hewan sejak periode kelahiran sampai dewasa. Pada tahap awal, pertumbuhan berlangsung lambat, yang kemudian diikuti tahap pertumbuhan yang cepat hingga umur pubertas, dan selanjutnya kecepatan pertumbuhan secara gradual mulai menurun sampai berhenti bila bobot dewasa telah tercapai Aberle et al., 2001. Menurut Aberle et al., 2001, pada saat kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, slope kurve pertumbuhan hampir tidak berubah. Dalam hal ini pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting lainnya mulai berhenti sementara pertumbuhan lemak mulai dipercepat. Pertumbuhan berlangsung lebih cepat pada waktu muda, pada masa tersebut hewan mampu mengkonsumsi pakan dan menyimpan energi yang banyak, tetapi setelah itu kapasitas energi yang disimpan menjadi terbatas karena kebutuhan untuk pemeliharaan meningkat, mengganti jaringan sel-sel 19 yang rusak dan perubahan energi ke arah reproduksi. Setelah berkembang secara penuh otot dan serabut otot mengalami peningkatan ataupun penurunan. Jumlah serat otot yang mengalami penuaan akan berkurang dan ukuran otot menjadi besar Aberle et al., 2001 Pada hewan besar, pematangan dicapai pada waktu yang lama dibandingkan hewan kecil. Kenaikan ukuran otot terbesar terjadi setelah lahir dan kecepatan peningkatan ukuran akan menurun setelah mendekati dewasa. Hammond et al., 1976 menyatakan bahwa pada saat lahir proporsi bagian kepala, kaki depan, dan kaki belakang sangat besar. Pada perkembangan setelah lahir, proporsi kepala dan kaki depan semakin menurun kemudian diikuti oleh penurunan proporsi leher dan kaki belakang sehingga bagian tubuh yang sangat penting banyak mengalami perkembangan setelah kelahiran seperti bagian pinggang loin kemudian pelvis dada dan leher. Pada tingkat awal pertumbuhan embrio, bagian kepala tumbuh cepat yang mengakibatkan ukuran kepala menjadi tidak seimbang dibandingkan dengan ukuran tubuh. Selama tingkat kehidupan fetus selanjutnya, laju pertumbuhan kepala menjadi berkurang dan bagian tubuh lainnya semakin berkembang. Wallace 1948 menyatakan bahwa ada dua gelombang pertumbuhan pada ternak. Gelombang pertumbuhan utama dimulai pada daerah tengkorak Cranium dan bergerak ke depan ke daerah muka, kepala dan ke belakang ke daerah pinggang. Gelombang pertumbuhan kedua bergerak dari daerah bawah bagian kaki metacarpal dan metatarsal bergerak ke jari-jari dan ke atas sepanjang kaki serta batang tubuh ke daerah pinggang. Daerah pinggang merupakan bagian tubuh yang paling akhir mencapai pertumbuhan maksimal. Palsson 1955 menyatakan bahwa untuk melihat tumbuh kembang tubuh hewan, dapat dilakukan dengan pengukuran tubuh pada berbagai umur atau mengambil gambar dengan pembesaran yang tetap. Cara lain adalah penguraian tubuh ternak secara anatomis menjadi komponennya. Komposisi Kimiawi dan Sifat-sifat Daging Secara umum komposisi kimia daging hewan mamalia domestik terdiri atas air 75,0, protein 19,0, lemak 2,5, karbohidrat 1,2, substansi nonprotein soluble 2,3, dan sedikit vitamin Lawrie, 1995. 20 Protein Protein merupakan komponen kimia dalam tubuh yang sangat penting. Protein dibuat dari banyak asam amino yang dirangkai menjadi rantai-rantai oleh ikatan peptida yang menghubungkan gugus amino dengan gugus karboksil pada asam amino berikutnya. Di samping itu protein mengandung karbohidrat glikoprotein dan lipid lipoprotein, rantai asam amino yang lebih kecil disebut peptida atau polipeptida, dan batas antara peptida, polipeptida dan protein tidak jelas Ganong, 1995. Protein dan beberapa peptida diserap dalam jumlah kecil di saluran pencernaan. Kebanyakan protein yang dimakan dicerna, dan kandungan asam aminonya diserap lebih banyak pada mukosa usus. Protein tubuh dihidrolisis menjadi asam amino dan disintesis ulang. Kecepatan perputaran turnover protein endogen rata-rata 80 sampai100 g per hari. Asam amino yang dibentuk dari pemecahan protein endogen identik dengan protein yang berasal dari makanan. Protein ini membentuk suatu depot asam amino umum yang memasok kebutuhan tubuh. Di ginjal, kebanyakan asam amino merupakan asam amino yang difiltrasi yang akan diserap kembali. Selama pertumbuhan keseimbangan antara asam amino dan protein tubuh bergeser ke arah protein tubuh sehingga sintesis lebih besar dari pada pemecahan Ganong, 1995. Pada semua usia sejumlah kecil protein hilang sebagai rambut, beberapa hilang dalam urine, dan ada sekresi protein yang tidak direabsorbsi di saluran pencernaan sehingga hilang ikut tinja. Kehilangan ini digantikan dengan sintesis dari depot asam amino. Lemak Lemak merupakan salah satu jenis makanan yang banyak digunakan untuk makanan sehari-hari. Hal ini disebabkan fungsinya untuk meningkatkan cita rasa, memperbaiki tekstur, pelarut vitamin, mensintesis hormon, menyusun sel-sel membran dan pembawa flavor, di samping fungsi fisiologis dan sebagai sumber energi Djojosoebagio dan Piliang, 2002. Asam Lemak Asam Lemak terdiri atas asam lemak jenuh saturated fatty acid, SFA dan asam lemak tak jenuh unsaturated fatty acid, UFA. Asam lemak tak jenuh terdiri atas mono-unsaturated fatty acid MUFA dan poly-unsaturated fatty acid PUFA atau high unsaturated fatty acid. 21 Asam lemak tak jenuh terdiri atas 3 kelompok besar yaitu omega 3, omega 6, dan, omega 9 tabel 3. Asam linolenat 18:3 ?3, asam eikosapentaenoat 20:5 ? 3, dan dokosaeksaenoat 22:6 ?3 mengandung asam lemak omega 3 yang banyak diperoleh dari makanan. Kelompok asam lemak yang kedua yaitu omega 6 yang tediri atas asam linolenat 18:2 ?6, dan asam arakidonat 20:4 ?6, sedangkan omega 9 terdiri atas asam oleat 18:1 ?9 Nettleton, 1994. Asam linoleat dan asam linolenat merupakan asam lemak essensial karena tubuh tidak dapat mensintesis kedua asam lemak tersebut. Selain itu kedua asam lemak tersebut dapat dipakai sebagai bahan untuk mensintesis prostaglandin yang mempunyai sifat-sifat hormon serta terlibat dalam banyak fungsi tubuh Murray et al., 1999 dan Montgomery et al., 1993. Asam oleat bukan asam lemak esensial karena tubuh dapat mensintesis asam tersebut Murray et al., 1999. Tabel 3 Pengelompokan asam lemak tak jenuh Kelompok Asam lemak Struktur ? 3 ? 6 ? 9 Asam linolenat Asam eikosanpetaenoat Asam dokosaheksaenoat Asam linoleat Asam arakidonat Asam oleat 18:3 ?3 20:5 ?3 22:6 ?3 18:2 ?6 20:4 ?6 18:1 ?9 Asam lemak omega 3 sangat penting karena bila tidak terdapat dalam diet menimbulkan gejala defisiensi perkembangan dan pertumbuhan, karena tidak dapat disintesis dari asam lemak lain. Asam lemak omega 6 dapat dipakai untuk mensintesis asam arakhidonat suatu intermediat dalam sintesis eikosanoid, suatu kelompok susbtansi regulator dan asam lemak omega 6 juga memperlihatkan kemampuan menyerap air lewat kulit dan integritas kelenjar pituitari. Akan tetapi menurut Muchtadi 2000 mengkonsumsi omega 6 secara berlebihan tanpa diimbangi konsumsi omega 3 dapat menurunkan LDL kolesterol, akan tetapi HDL kolesterol juga dilaporkan ikut mengalami penurunan, keseimbangan antara omega 3 dan omega 6 terganggu, menyebabkan darah mudah menggumpal. Kedua hal ini tidak menguntungkan karena rasio LDLHDL Indeks penyakit jantung koroner yang menurun dan mudahnya darah menggumpal tidak dapat mencegah bahkan dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner. 22 Menurut Osman et al., 2001, omega 3 dan omega 6 adalah asam lemak essensial yang berfungsi menyembuhkan dan mencegah penyakit kardiovaskuler, perkembangan saraf pada bayi, kanker dan kontrol glikemik lemak. Selain itu omega 6 dalam bentuk tunggal memiliki sifat negatif yang berkaitan dengan peningkatan produksi eicosanoids stimulan pertumbuhan tumor pada binatang percobaan. Akan tetapi dengan adanya omega 9 dan omega 3 dalam proporsi yang sesuai akan memiliki potensi memblokir produk senyawa eicosanoids tersebut, omega 9 dapat mencegah stimulasi negatif omega 6. Asam lemak omega 9 dapat mencegah penyakit jantung koroner, memiliki daya perlindungan yang mampu menurunkan LDL kolesterol darah, meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dibanding omega 3 dan omega 6, lebih stabil dibandingkan dengan PUFA, MUFA dan dapat menurunkan kolesterol LDL-kolesterol Mensink, 1987. Produksi Karkas Karkas adalah bagian tubuh ternak hasil dari suatu pemotongan setelah dikurangi bagian kepala, keempat kaki mulai dari carpus dan tarsus, kulit, darah, organ dalam hati, jantung paru-paru, limpa, saluran pencernaan beserta isinya dan saluran reproduksi Berg dan Butterfield, 1976; Lawrie, 1985. Ternak yang beraktivitas tinggi mengakibatkan cadangan glikogen terbatas. Bila dalam keadaan kekurangan glikogen terus-menerus ternak akan memanfaatkan cadangan energi tubuh sehingga terjadi penurunan bobot badan Lawrie, 1985; Ockerman, 1995; Fernandez et al., 1996; Aberle et al., 2001. Komposisi karkas memegang peranan penting karena berhubungan dengan jumlah daging, otot, tulang dan lemak yang dihasilkan Berg dan Butterfield, 1976. Produksi karkas berhubungan dengan bobot badan. Peningkatan bobot badan akan diikuti oleh peningkatan bobot karkas, dan persentase karkas meningkat dengan peningkatan bobot potong Aberle et al., 2001. Kualitas karkas dan daging akan dipengaruhi oleh bangsa ternak, umur, makanan, dan cara pemeliharaan. Oleh karena itu, untuk memperoleh ternak potong yang mempunyai nilai tinggi, diperlukan suatu penanganan yang baik dan benar, baik sebelum dipotong, saat pemotongan maupun setelah ternak dipotong Natasasmita, 1978. 23 Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Daging Metabolisme Glikogen Glikogen merupakan bentuk simpanan glukosa yang terdapat di dalam kebanyakan jaringan tubuh, tetapi sumber utamanya adalah hati dan otot rangka Ganong, 1995. Glikogen di dalam hati terdapat sekitar 6 dan dalam otot 1 Mayes, 1999. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan yang dapat atau pantas digunakan sebagai bahan makanan Aberle et al., 2001, termasuk di dalamnya jaringan otot, organ-organ seperti hati, limpa, ginjal dan otak, serta jaringan lain yang dapat dimakan Lawrie, 1995. Faktor yang menentukan kualitas daging segar menurut Soeparno 1994 terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa serta sari minyak daging juiceness. Di samping itu lemak intramuskular, susut masak cooking loss yaitu berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging. Lamanya aktivitas meningkatkan kehilangan bobot hidup, persentase karkas, dan bobot hati, potensi glikolitik meningkat juga menyebabkan pengurasan glikogen yang akan menentukan nilai akhir pH Fernandez et al., 1996. pH Daging Lawrie 1995 menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi laju penurunan pH post mortem dapat dibagi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak sebelum pemotongan dan suhu penyimpanan daging. Pada saat ternak masih hidup, pH daging berkisar antara 7,2 dan 7,4. Setelah proses pemotongan, pH daging akan menurun akibat proses glikolisis anaerob yang menghasilkan asam laktat glikogen Ć  asam laktat. Proses glikolisis anaerob ini merupakan proses dominan selama 24 sampai 36 jam setelah pemotongan Aberle et al., 2001. Daya Mengikat Air Daya mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat airnya selama aplikasi daya eksternal seperti pemotongan, pemanasan, atau pengepresan Aberle et al., 2001. 24 Air yang terikat di dalam otot dibagi menjadi tiga kompartemen, lapisan pertama adalah air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar empat sampai lima persen sebagai lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air, yang terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik. Sekitar empat persen dari lapisan kedua ini akan terikat oleh protein apabila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul air bebas di antara molekul protein, yang berjumlah kira-kira 10 Wismer- Pedersen, 1986. Daya mengikat air oleh protein dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Pada fase prerigor daya ikat air masih relatif tinggi, akan tetapi secara bertahap menurun seiring dengan penurunan pH dan jumlah ATP jaringan otot Bendall, 1960. Penurunan pH yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktin-miosin dan menurunkan daya mengikat air oleh protein. Menurut Aberle et al., 2001 daya mengikat air dipengaruhi oleh umur, spesies, fungsi otot, dan protein miofibril. Selanjutnya dinyatakan bahwa perubahan daya ikat air berhubungan dengan perubahan pH daging. Wismer-Pedersen 1986 menyatakan selain faktor pH, pelayuan, dan pemasakan, daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan perbedaan kemampuan mengikat air di antara otot seperti spesies, umur, fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan pengawetan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular.

3. PENGAMATAN BIOLOGI DASAR TIKUS EKOR PUTIH DI HABITAT ASLI