PEMBAHASAN UMUM Tingkah laku, reproduksi, dan karakteristik daging tikus ekor putih (Maxomys hellwandii)

7. PEMBAHASAN UMUM

Alam tropis Indonesia sangat kaya akan sumber daya hayati, flora dan fauna, namun penelitian mengenai fauna ini masih kurang sehingga informasinyapun masih terbatas. Informasi-informasi yang berkaitan dengan biologi dasar yakni kebiasaan tikus hidup di hutan, makanan yang dikonsumsi, tempat tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan, ketersediaan jumlah makanan di habitat dan semua informasi dari masyarakat tentang tikus ekor putih tersebut harus kita pelajari. Kekurangan pengetahuan dasar tentang proses biologis yang mengendalikan proses produksi pada tikus ekor putih telah membatasi usaha meningkatkan daya reproduksi sehingga proses pembudidayaan tidak dapat berjalan seperti yang kita harapkan. Berdasarkan hasil eksplorasi terhadap habitat dan tikus hutan ekor putih yang hidup di Provinsi Sulawesi Utara ditemukan bahwa tikus hutan ekor putih Maxomys hellwandii tersebar dan hidup di hutan-hutan di Kabupaten Minahasa dan sekitar hutan Manado. Nama sebutan pada tikus tersebut berbeda-beda sesuai lokasi tikus berada. Tingkah laku kehidupan tikus dan aktivitas kegiatan mencari makan, kawin dan bermain dilakukan pada malam hari. Jenis pakan yang dikonsumsi tikus ekor putih adalah daun-daunan, umbi-umbian, buah- buahan, dan insekta. Untuk insekta, hanya dagingnya yang dimakan, kulit dan cangkangnya dibiarkan di sekitar tempat makannya. Tingkat konsumsi sangat bergantung pada lingkungan di mana seekor hewan itu hidup. Malole dan Pramono 1989 menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri dan sebagai hewan nokturnal, tikus aktif makan di malam hari Tikus ekor putih umumnya bermain pada ranting, batang pohon yang besar dan rindang, serta banyak ditemukan pada pohon sirih hutan, pohon bambu dan beberapa jenis pohon buah-buahan lainnya, yang sekaligus merupakan sumber makanannya. Menjelang pagi hari sampai siang hari, umumnya tikus ekor putih masuk ke dalam liang di bawah tanah, di semak-semak, akar pohon atau di gua batu kecil dan berhenti melakukan aktivitasnya sambil beristirahat secara berkelompok, tidur bersama pasangan dan anak-anaknya. Manajemen pemeliharaan sangat menentukan produksi ternak yang dihasilkan, untuk mendapatkan manajemen tikus yang baik perlu mengetahui kondisi-kondisi yang disenangi dan diperlukan oleh tikus hutan agar tidak stres sehingga diharapkan produktivitasnya maksimal. Salah satu cara untuk mengetahui kondisi tersebut adalah dengan mempelajari tingkah lakunya. Sehingga dapat disimpulkan kondisi yang diperlukan oleh tikus seperti kondisi tempat yang baik untuk bertahan hidup, dan bereproduksi. Tingkah laku makan tikus ekor putih berbeda dengan jenis tikus lainnya, pertama-tama makanan didekati, dicium dan diambil dengan kedua kaki depan sambil duduk, kemudian menyuapkan ke mulutnya dengan kedua kaki depan. Makanan yang berukuran besar, dipotong-potong terlebih dahulu dengan menggunakan mulut. Tikus ekor putih sangat lincah untuk menangkap belalang, kupu-kupu, cecak, kecoa dan kumbang sebagai makanannya. Umumnya tikus ekor putih lebih menyukai buah-buahan seperti : buah beringin, buah sirih hutan, jambu biji, pepaya, pisang, mangga, kelapa dan lain-lain. Hal ini berhubungan dengan aktivitasnya yang sangat tinggi sehingga membutuhkan energi yang cukup untuk hidup pokok maintenance. Buah-buahan mengandung komponen karbohidrat sederhana yang mudah dicerna dan mudah larut seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Ketersediaan komponen tersebut pada buah-buahan sangat memungkinkan dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi oleh tikus ekor putih. selain itu buah-buahan mengandung berbagai vitamin yang penting untuk produksi dan reproduksi tikus ekor putih. Sering terjadi perselisihan pada individu jantan dengan jantan, jantan dengan betina dewasa, betina dewasa dengan betina dewasa, serta betina dewasa dengan anak tikus. Perselisihan bisa terjadi saat berebut makanan, saat kawin, dan saat induk memiliki bayi. Agonistic terjadi antara individu jantan dengan betina saat jantan ingin kawin dan betina menolak. Lama perkelahian tikus ekor putih pada malam hari sekitar 4 menit. Untuk menjaga kebersihan tubuh dan rambutnya tikus ekor putih melakukan grooming dengan cara menjilat kedua kaki depan lalu mengusap mukanya, menjilati perut, puting, tubuh, kaki, alat kelamin, ekor dan seluruh tubuh. Organ tubuh yang jauh dari jangkauan grooming dapat juga dilakukan dengan menjilat tangan, dan tangan yang basah itu kemudian diusapkan ke tubuh yang akan dibersihkan. Aktivitas grooming dilakukan antar individu secara berbalasan maupun sendiri. Waktu grooming tikus ekor putih lebih lama pada siang hari dibanding malam hari, hal ini disebabkan karena tikus melakukan grooming sambil beristirahat. Pada umumnya tikus ekor putih melahirkan pagi hari, waktu yang dibutuhkan untuk proses kelahiran sekitar 20 menit. Setelah lahir, induk memakan plasenta yang keluar bersama anaknya, selanjutnya membaringkan anaknya mendekati puting susu agar segera menyusui. Karakteristik morfologi tikus ekor putih Maxomys hellwandii yang baru lahir berwarna merah jambu merata di seluruh tubuh tanpa rambut setelah berumur tiga hari berubah menjadi kehitaman tanpa rambut, dengan 23 bagian ujung ekor sudah jelas berwarna putih, selanjutnya umur 7 hari rambut halus mulai tumbuh. Selang waktu siklus reproduksi untuk fase proestrus dan fase estrus pada tikus ekor putih sama dengan tikus lainnya 12 jam. Selang waktu fase metestrus tikus ekor putih lebih 15 sampai 21 jam lama dibanding tikus lainnnya, sedang selang waktu fase diestrus 45 sampai 54 jam sedikit lebih cepat dibanding tikus lainnya. Bervariasinya selang waktu fase-fase tersebut di atas diduga karena adanya perbedaan genetik tikus ekor putih dan Rattus norvegicus, sedangkan secara keseluruhan waktu siklus reproduksi tikus ekor putih hampir sama dengan Rattus norvegicus. Pertambahan bobot badan tikus ekor putih jantan 1,83 gekorhari dan betina 1,36 gekorhari, lebih rendah dibanding tikus Rattus norvegicus jantan 3,46 gekorhari dan betina 3,03 gekorhari. Sehubungan dengan telah dibudidayakannya tikus ekor putih perlu diketahui tingkat kesukaan masyarakat terhadap daging tikus ekor putih dibandingkan dengan daging lain, sebab kualitas daging selain ditentukan oleh beberapa faktor antara lain persentase berat karkas, kandungan nilai gizinya antara lain kadar protein, kadar lemak, asam lemak, pH, daya mengikat air daging, dan nilai glikogen juga ditentukan oleh tingkat kesukaan preferensi masyarakat. Perbandingan persentase karkas tikus ekor putih yang hidup pada habitat aslinya di hutan lebih rendah dibanding tikus yang dibudidaya. Jika ditinjau dari komposisi kimia daging, tikus yang ditangkap dari hutan mempunyai persentase protein, konsentrasi Ca, dan konsentrasi P lebih tinggi dari pada tikus yang budidaya. Hal ini diduga tikus yang hidup di hutan bebas berburu mangsa berupa serangga yang mengandung sumber protein tinggi, sedangkan rendahnya persentase karkas tikus yang hidup di hutan disebabkan karena melakukan aktivitas hidup lebih tinggi sehingga menggunakan banyak energi yang mengakibatkan terjadi penurunan persentase karkas. Menurut Aberle et al. 2001 ternak yang beraktivitas tinggi mengakibatkan cadangan glikogen terbatas. Bila dalam keadaan kekurangan glikogen terus-menerus ternak akan memanfaatkan cadangan energi tubuhnya sehingga terjadi penurunan bobot badan. Sebaliknya pada tikus budidaya aktivitasnya rendah karena ruang geraknya dibatasi dalam kandang dan membutuhkan sedikit energi, sehingga terjadi peningkatan bobot badan yang berpengaruh pada meningkatnya persentase karkas. Lemak tikus budidaya hampir dua kali lebih tinggi dibanding dengan tikus dari hutan hal ini karena aktivitas tikus di hutan sangat tinggi sedangkan tikus budidaya aktivitasnya terbatas hanya dalam kandang saja. Kandungan omega 3 terdiri atas asam linolenat dan asam dokosaheksaenoat ; omega 6 daging tikus ekor putih terdiri atas asam linoleat dan asam arakidonat; Kandungan asam oleat omega 9, daging tikus ekor putih lebih tinggi dari pada daging babi, daging sapi dan daging napu. Kadar glikogen tikus budidaya lebih tinggi dari tikus yang hidup di hutan, hal ini berhubungan dengan tingkat aktivitas tikus disaat bermain dan mencari makan. Sedangkan nilai pH daging tikus hasil budidaya lebih rendah dari daging tikus yang hidup di hutan. Menurut Fernandez et al. 1996 ternak yang melakukan aktivitas mengalami pengurasan glikogen otot yang akan meningkatkan nilai pH, dan menurunkan persentase daya mengikat air daging. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Warriss et al. 1984 bahwa pH daging dipengaruhi oleh kadar glikogen dan kadar asam laktat daging, dimana jika kadar glikogen tinggi maka kadar asam laktat juga tinggi sehingga pH akhir daging rendah. Selanjutnya dinyatakan pula oleh Soeparno 1994 bahwa penurunan pH postmortem dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain dipengaruhi oleh spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas di antara ternak, sedangkan faktor ektrinsik antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif. Persentase air bebas daging tikus yang hidup di hutan lebih rendah dibandingkan dengan tikus hasil budidaya, hal ini menunjukkan bahwa daya mengikat air tikus yang hidup di hutan lebih baik dari pada yang dibudidaya. Babiker dan Bello 1986 menyatakan bahwa persentase air bebas yang rendah menunjukkan nilai daya mengikat air daging oleh protein daging yang tinggi, begitu pula sebaliknya apabila persentase air bebas yang tinggi menunjukkan bahwa nilai daya mengikat airnya rendah. Tingkat kesukaan masyarakat di kabupaten Minahasa untuk mengkonsumsi daging tikus cukup tinggi dibanding dengan daging sapi, ayam dan babi. Tingginya tingkat kesukaan daging tikus ekor putih ini, karena jenis makanan tersebut secara tradisional dan turun temurun sudah dikonsumsi oleh masyarakat. Beberapa faktor lain yang menyebabkan tingginya tingkat kesukaan daging tikus ekor putih adalah flavor dagingnya. Masyarakat umumnya membersihkan rambut tikus ekor putih dengan cara membakar. Hal ini yang menyebabkan terjadi peningkatan flavor daging. Mattram 1991 menyatakan bahwa flavor daging secara alami terbentuk melalui sistem prekursor dengan adanya pemanasan. Selama pemanasan terjadi reaksi kimia sehingga terbentuk berbagai senyawa sekunder dan tersier yang berinteraksi lebih lanjut sehingga terbentuk senyawa-senyawa volatil pembentuk flavor daging. Di kota Manado paling menyukai daging ayam yang mencapai nilai median dua, selanjutnya daging anjing, daging babi dan daging tikus pada posisi ke dua dan yang paling terakhir disukai adalah daging sapi. Prospek kedepan tikus ekor putih berpeluang sangat baik dilihat dari sosial budaya, ekonomi geografis dan alamnya. Berdasarkan geografis dan alam di daerah Manado dan Minahasa hutanya masih luas dan memungkinkan menjadi habitat tikus ekor putih ini. Tikus hutan di Minahasa, Sulawesi Utara, sudah sejak lama dikonsumsi masyarakat setempat sebagai makanan istimewa yang hanya disajikan pada acara-acara tertentu seperti pengucapan syukur panen, perkawinan, pembaptisan, dan acara syukuran lainnya. Berdasarkan hasil penelitian budidaya tikus cukup menguntungkan dimana biaya pakan dan pemeliharan lebih murah dibandingkan dengan nilai jual daging tikus, peluang pasar cukup terbuka dengan banyaknya rumah makan di kabupaten Minahasa, kota Manado bahkan di Jakarta yang menyajikan makanan daging tikus ini.

8. SIMPULAN DAN SARAN