Desa Padang Bujur Masyarakat Suku Angkola

dikenal dengan Bunga raksasa Rafflesia sp juga tercatat ada pada kawasan ini. Sedangkan faunanya adalah harimau loreng Panthera tigris sumatrae, tapircipan Tapirus indicus, rusa Cervusa unicolor, kancilpelanduk Tragulus napu, kijang Muntiacus muntjak, trenggiling Manis javanica, beruang madu Helarctos sp, landak Hystrix branhyura, kucing batu Felis marmorata. owa Hylobates sp., imbo Hylobates sp., siamang Symphalangus syndactylus, ungko Hylobates agilis, poksai jambul putih Garrulax leucophus, julang Rhyticeros undulatus, celepuk Otus sp, burung matahari ekor panjang Heterophasia picaides.

4.2 Desa Padang Bujur

Kawasan CA. Dolok Sibual-buali yang letaknya berada di tiga kecamatan Kec. Sipirok, Kec. Padang Sidimpuan Timur, dan Kec. Batang Toru menjadikan kawasan ini dikelilingi lebih kurang oleh 33 desa. Dari total desa di Kecamatan Sipirok sebanyak 100 desa 8 desa berada dekat dengan kawasan CA Dolok Sibual-buali, yaitu desa Padang Bujur, desa Sosopan, desa Huta Barum, desa Bulu Mario, desa Mandurana, desa Gunung Tua Baringin, desa Ri Nabolak, dan desa Siala Julu. Desa Padang Bujur merupakan salah satu desa yang dekat dengan kawasan CA Dolok Sibual-buali, dimana masyarakatnya memiliki tingkat interaksi yang cukup tinggi dengan kawasan tersebut BPS 2009. Desa Padang Bujur adalah desa yang hampir seluruh penduduknya merupakan suku Angkola asli yang hidup secara tradisional dan berinteraksi langsung dengan hutan di sekitar kawasan cagar alam. Masyarakat Padang Bujur terdiri dari 131 KK. Masyarakat desa Padang Bujur sebagian besar beragama Islam dan sebagian lagi beragama Kristen Protestan. Kehidupan antar umat beragaman di desa tersebut berjalan secara rukun dan damai, karena toleransi beragama di desa tersebut sangat tinggi, sehingga tidak ada konflik yang terjadi. Masyarakat Padang Bujur umumnya bermata pencaharian sebagai petani, peternak, penyadap aren dan penenun ulos.

4.3 Masyarakat Suku Angkola

Suku Angkola adalah salah satu suku yang ada di Sumatera Utara. Suku Angkola tersebar di daerah Sumatera Utara Bagian Selatan atau yang disebut masyarakat setempat sebagai Luat Angkola, yang meliputi daerah Padang Sidimpuan, Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. Sebelah utara berbatasan dengan daerah domisili suku Batak Toba, sebelah selatan dengan suku Mandailing, dan sebelah timur serta sebelah barat dengan suku Melayu Pesisir Diapari 1987. Penduduk Tapanuli bagian Selatan sebagian besar adalah suku Angkola, walaupun ada beberapa suku yang tinggal di daerah tersebut, seperti suku Batak Toba, suku Batak Simalungun, maupun suku Mandailing. Masyarakat suku Angkola umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Angkola adalah bahasa Batak Angkola. Bahasa yang digunakan di daerah Luat Angkola hanya memiliki perbedaan pada intonasi pengucapannya. Masyarakat suku Angkola sebagian besar beragama Islam dan ada sebagian lagi beragama Kristen Protestan. Penyebaran masyarakat suku Angkola umumnya bertempat tinggal di daerah pengunungan, karena sebagian besar kawasan Tapanuli bagian Selatan merupakan pegunungan yang merupakan hutan yang bertipe hutan hujan tropik, sehingga masyarakat suku Angkola sangat dekat hidupnya dengan hutan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari Masyarakat suku Angkola di Tapanuli Selatan, marga adalah unsur penting dalam mengatur dan menjalankan adat-istiadat. Sebagai masyarakat yang mempunyai susunan kekeluargaan patrilineal, marga ditentukan menurut garis keturunan laki-laki ayah. Artinya, marga pihak laki-laki yang sudah berkeluarga akan diturunkan kepada anak, baik anak laki-laki yang disebut bayo, maupun anak perempuan yang disebut boru Fitrah 2008. Pernikahan masyarakat suku Angkola adalah exogam dan unilateral yang berarti seseorang tidak boleh menikah dengan marga yang sama, tetapi harus keluarga dekat. Apabila seseorang menikah semarga, maka akan menerima hukuman adat, yaitu keluar dari desa tersebut atau mengadakan upacara adat yang disebut Horja Panulak Bala. Upacara adat ini dilakukan dengan menyembelih seekor kerbau yang akan dimasak untuk dihidangkan pada masyarakat, melepas ayam putih keluar kampung, kemudian dilaksanakan upacara pergantian marga pengantin wanita dengan marga ibu dari pengantin pria Ichwan 1979. Upacara adat masyarakat suku Angkola lainnya adalah upacara pernikahan Margondang, upacara kematian Kanduri, upacara kelahiran Mangayun, dan syukuran Mangupa-upa. Organisasi sosial masyarakat suku Angkola terdiri atas Harajaon, Hatobangon, dan Dalihan Natolu. Harajaon adalah suku Angkola yang merupakan keturunan langsung dari raja di setiap luat asal dari marga. Hatobangon adalah suku Angkola yang telah memiliki umur lebih dari 60 tahun dan pemuka agama. Dalihan Natolu terdiri dari Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Setelah pasangan suku Angkola telah menikah, pihak keluarga laki-laki akan menyebut keluarga pihak perempuan sebagai Mora, sedangkan keluarga perempuan menyebut keluarga laki-laki sebagai Anak Boru. Upacara adat yang berlangsung disetiap keluarga, akan dikerjakan oleh Anak Boru. Kahanggi adalah sebutan bagi masyarakat suku Angkola yang memiliki marga yang sama.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN