Jumlah kumulatif kegunaan spesies Kearifan Tradisional dalam Konservasi Sumberdaya Alam

5.6 Jumlah kumulatif kegunaan spesies

Dari hasil wawancara kepada masyarakat, diperoleh 10 spesies tumbuhan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Jumlah kumulatif kegunaan spesies tumbuhan yang dimanfaatkan tersebut diperoleh berdasarkan jumlah kegunaan dari spesies tumbuhan oleh responden Tabel 14. Tabel 14 Jumlah kumulatif kegunaan spesies No. Nama spesies Kegunaan Jumlah kumulatif kegunaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Aren Kelapa Kunyit Padi Jeruk nipis Singkong Suren Takokak Sirih Kayu manis Pangan, kayu bakar, obat, adat, hias, pewarna, pestisida nabati, anyaman, dan bangunan Pangan, kayu bakar, obat, adat, dan bangunan Pangan, obat, adat, pewarna, dan aromatik Pangan, pakan ternak, adat, dan anyaman Pangan, obat, adat, aromatik Pangan, obat, pakan ternak, dan pewarna Kayu bakar, adat, anyaman dan bangunan Pangan, obat dan adat Pangan, obat, dan adat Pangan, obat dan aromatik 8 5 5 4 4 4 4 3 3 3 Hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa aren Arenga pinnata memiliki jumlah kumulatif kegunaan tertinggi oleh responden. Aren memiliki 8 jumlah kegunaan dari 11 jumlah kegunaan yang ada, yaitu tumbuhan untuk menghasilkan bahan pangan, penghasil energi kayu bakar, sebagai obat, kegiatan adat, zat pewarna, pestisida nabati, bahan anyaman, kerajinan, dan bahan bangunan. Aren merupakan tumbuhan yang banyak gunanya atau Multi Purpose Tree Spesies, semua bagian pohon tersebut dapat dipakai dan tidak terbuang Atjung 1990. Di desa Padang Bujur aren merupakan spesies tumbuhan yang cukup penting, karena merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat setempat yaitu sebagai penyadap aren mangaragat, sehingga pohon aren ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat. Pemanfaatan aren dapat menjadi salah satu spesies tumbuhan yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian agar masyarakat sejahtera.

5.7 Kearifan Tradisional dalam Konservasi Sumberdaya Alam

Pengetahuan tentang pemanfatan tumbuhan berguna oleh masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur berasal dari interaksi yang kuat dan lama antara manusia dengan lingkungannya. Interaksi tersebut menciptakan budaya lokal yang selaras dengan lingkungannya. Bentuk kearifan tradisional oleh masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur dalam konservasi sumberdaya hutan disertai dengan kesadaran untuk tetap menjaga kuantitas dan kualitas pemanfaatan tumbuhan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kegiatan tersebut dapat terlihat dalam upaya perlindungan hutan, tradisi masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur, pemanfaatan pohon aren Arenga pinnata dan budidaya spesies tumbuhan berguna.

5.7.1 Perlindungan hutan

Hutan harangan menurut masyarakat suku Angkola adalah suatu areal yang ditumbuhi oleh pepohonan yang besar, lebat dan rindang. Masyarakat suku Angkola mempunyai aturan adat yang melarang masyarakatnya untuk memasuki harangan bolak, yaitu hutan tua yang sangat lebat dan sunyi, serta tidak pernah dimasuki oleh manusia. Hutan tersebut tidak boleh dimasuki oleh manusia karena masyarakat suku Angkola memiliki keyakinan bahwa seluruh areal harangan bolak tersebut adalah milik begu rohhantu, termasuk tumbuhan, satwa, tanah, dan air. Masyarakat hanya boleh memasuki hutan tersebut jika dalam keadaan terdesak, seperti membutuhkan jenis tumbuhan tertentu yang hanya ada di harangan bolak untuk mengobati suatu penyakit, dan harus mendapat izin dari datu dukun. Begu-begu penguasa hutan tersebut akan menempati pohon-pohon tua yang besar dan dekat dengan mata air. Pohon-pohon tersebut tidak boleh didekati oleh manusia apalagi untuk merusak dan menebangnya, karena akan mengganggu ketenangan begu yang menempatinya. Masyarakat suku Angkola yang melanggar aturan adat tersebut, seperti memasuki harangan bolak tanpa seijin harajaon pemuka adat dan datu dukun, menebang pohon, dan kegiatan lainnya yang dapat merusak hutan akan mendapatkan bala hukuman. Bala dapat secara langsung yang akan dialami di dalam hutan maupun setelah keluar dari hutan. Bala di dalam hutan adalah kesurupan, muka merah seperti ditampar, hilang di dalam hutan, digigit ular, dililit ular yang besar, dan serangan satwa lainnya yang merupakan jelmaan dari para begu. Sedangkan bala setelah keluar dari hutan adalah sakit berkepanjangan yang susah untuk disembuhkan dan kehilangan kesadaran secara berkepanjangan. Sebagian bala tersebut dapat disembuhkan dengan bantuan dukun datu dan pemuka agama oji, sedangkan sebagian bala juga dapat menyebabkan kematian. Ompu ni begu adalah sebutan untuk raja begu penguasa di harangan bolak. Jika pelanggaran terhadap harangan bolak sudah sangat berat hingga merusak keadaan ekosistem hutan, maka ompu ni begu akan menjelma ke dalam harimau sumatera Panthera tigris sumatrae yang disebut masyarakat setempat dengan nama oppui. Kemarahan raja begu penguasa di harangan bolak akan ditandai dengan penampakan oppui di sekitar hutan, kebun bahkan dapat memasuki areal sekitar pemukiman penduduk. Jika hal tersebut terjadi akan menandakan bala besar akan terjadi, seperti tanah longsor dan kekeringan berkepanjangan walaupun desa tersebut merupakan daerah pegunungan.

5.7.2 Pemanfaatan pohon aren Arenga pinnata

Masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur memanfaatkan pohon aren sudah berlangsung sejak lama. Pohon aren merupakan tumbuhan yang banyak digunakan oleh masyarakat pada semua bagian pohon. Akar aren dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati kencing batu. Akar dan daun sendok Plantago mayor direbus dengan air, kemudian airnya diminum. Pengobatan ini sudah jarang dilakukan, karena dapat merusak pohon aren tersebut. Akar pohon aren dapat diambil jika ada pohon yang tumbang atau akar yang keluar dari tanah. Tangkai daun atau pelepah untuk mengobati cacar air, daun yang telah dibakar, dihaluskan dan dioleskan pada bagian kulit yang terkena cacar air. Pucuk daun aren yang masih muda dikeringkan, tembakau dimasukkan dan digulung dengan daun yang dikeringkan tadi, dan dijadikan rokok. Ijuk dijadikan sebagai sapu dan atap rumah. Buah aren yang telah dijadikan kolang kaling di konsumsi langsung setelah dicampur dengan madu untuk mengobati sakit kepala, sariawan, dan untuk memulihkan keletihan. Atap rumah suku Angkola di desa Padang Bujur terbuat dari ijuk aren, karena desa Padang Bujur merupakan daerah yang dingin, dengan pemberian ijuk sebagai atap kondisi rumah akan hangat pada malam hari dan tetap sejuk pada siang hari Gambar 11. Gambar 11 Atap rumah penduduk dari ijuk. Penyadapan pohon aren yang menghasilkan nira merupakan bentuk pemanfaatan yang paling penting bagi masyarakat desa Padang Bujur, karena merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat setempat. Pohon aren yang disadap berasal dari kebun masyarakat, hutan di sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali, bahkan pohon aren yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali.Pengelola Cagar Alam Dolok Sibual-buali tidak sepenuhnya melarang pemanfaatan hasil hutan di kawasan tersebut, masyarakat boleh menyadap aren di dalam kawasan tersebut. Pohon aren yang disadap oleh masyarakat adalah pohon aren yang berada pinggir kawasan. Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1990 pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan. Hubungan dan interaksi masyarakat sekitar hutan dengan kawasan dalam pemanfaatan pohon aren tidak akan merusak keutuhan kawasan. Hal tersebut dibuktikan dengan masih utuhnya bagian pinggir kawasan CA Dolok Sibual-buali walaupun terdapat pemukiman masyarakat di sekitar kawasan. Masyarakat sekitar kawasan dapat memafaatkan pohon aren secara lestari di pinggir dalam kawasan tersebut yang dilakukan secara tradisional, tanpa merusak keutuhan kawasan cagar alam. Dengan hal tersebut, pihak pengelola berharap masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pengamanan kawasan hutan, sehingga pemanfaatan secara lestari dapat tetap berjalan. Para penyadap pohon aren yang masuk ke dalam kawasan Cagar Alam tetap menjaga keberadaan pohon aren dan beserta keutuhan lingkungannya. Manfaat kawasan bagi masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan menjadi salah satu pertimbangan oleh pihak pengelola CA Dolok Sibual-buali dalam menetapkan kebijakan tersebut. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 tahun 1998 pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa rencana pengelolaan kawasan cagar alam dan kawasan suaka margasatwa disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi teknis dan sosial budaya. Dengan pertimbangan sosial budaya, pengelolaan cagar alam dapat selaras dengan sosial budaya masyarakat sekitar untuk menjaga kelestarian kawasan. Gambar 12 Penyadapan nira pada pohon aren. Penyadap pohon aren memanjat pohon aren menggunakan tangga berasal dari bambu buluh Gambar 13a. Penyadapan pohon aren dilakukan dengan cara, tandan bunga yang umurnya kira-kira satu bulan diikat dengan daun aren lalu dipotong. Tandan bunga yang diikat tersebut dimiringkan ke bawah dan diberi penampung dari bambu buluh Schizostachyum brachycladum di bawahnya. Tandan bunga yang diikat tersebut dipukul-pukul setiap hari hingga air nira keluar. Setiap hari penyadap pangaragat mengambil air nira yang ditampung di bambu buluh Gambar 13b. Gambar 13 Pemanfaatan bambu buluh Schizostachyum brachycladum dalam penyadapan aren a tangga b penampung nira. B A Nira yang baru diambil dapat diminum langsung, dengan diminum langsung dapat mengobati penyakit seperti disentri, asam urat, sembelit dan haid yang tidak teratur. Nira yang dibiarkan selama 3 hari akan menjadi cuka manis. Cuka manis ini digunakan warga untuk adonan roti dan untuk diminum. Masyarakat meminum cuka manis ini untuk mengobati penyakit diabetes atau sering disebut masyarakat setempat sebagai sakit gula. Jika nira difermentasikan akan menjadi minuman tuak. Upacara pernikahan Margondang yang dilakukan selama 3 hari 3 malam membutuhkan stamina yang kuat, sehingga masyarakat yang mengadakan upacara adat tersebut meminum tuak untuk menambah stamina. Nira merupakan bahan baku utama dalam pembuatan gula aren yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai gula mera. Nira dimasak dikulai berukuran besar Gambar 14a dan menggunakan tungku dengan kayu bakar dari kayu jamuju dan suren Gambar 14b. Nira yang telah menjadi gula aren dibungkus dengan menggunakan pandan Pandanus furcatus. Gambar 14 Alat memasak gula aren a Kuali b Tungku.

5.7.3 Budidaya spesies tumbuhan berguna

Masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur yang hidup di sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali mulai membudidayakan beberapa jenis tumbuhan berguna di kebun maupun di pekarangan rumahnya. Pada mulanya masyarakat banyak mengambil tumbuhan dari hutan untuk dimanfaatkan langsung, namun setelah terjadi perubahan status mejadi cagar alam, masyarakat yang tergantung pada beberapa jenis tumbuhan membudidayakannya. Salah satu budidaya yang pernah dilakukan oleh masyarakatt adalah murbey. Kegiatan ini bekerja sama dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. Murbey yang dibudidayakan digunakan sebagai pakan peternakan ulat sutra Gambar 15. B A Gambar 15 Ulat penghasil sutra. Peternakan ulat sutra tersebut milik Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Gambar 16. Lahan yang digunakan untuk budidaya murbey ini adalah kebun masyakat yang berada di hutan Sibual-buali. Namun saat ini kondisi perkebunan murbey hasil budidaya masyarakat setempat semakin terbengkalai, karena pihak pemerintah daerah yang membeli hasil budidaya ini semakin lama malah semakin murah, sehingga masyarakat mengalami kerugian. Gambar 16 Peternakan Ulat Sutra Pemerintah Daerah Tapanuli Selatan.

5.7.4 Tradisi pemanfaatan tumbuhan

Masyarakat suku Angkola memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sumberdaya alam di sekitarnya, hal tersebut terlihat dari kehidupan sehari-hari, hari besar keagamaan, serta dalam pelaksanaan upacara adat sepeti pernikahan Margondang, kematian Kanduri, kelahiran Mangayun, dan syukuran Mangupa-upa. Tumbuhan selalu dimanfaatkan baik sebagai bahan baku masakan maupun kegunaan lainnya. Masyarakat suku Angkola memanfaatkan berbagai macam tumbuhan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun. Tumbuhan yang dimanfaatkan mempunyai arti dan nilai leluhur penting bagi suku Angkola yang tercermin dalam simbolisme berdasarkan ciri khas dari tumbuhan tersebut, yang dijadikan sebagai bahan baku masakan adat bagi masyarakat suku Angkola maupun sebagai atribut pada saat upacara adat. Berbagai spesies tumbuhan yang memiliki makna penting bagi masyarakat suku Angkola adalah: 1. Aren Arenga pinnata yang memiiki nama daerah yaitu bargot dimanfaatkan masyarakat melalui air nira dari sadapan pohon aren dicampurkan pada masakan pada saat upacara adat sebagai pewangi dan penambah rasa manis. Rasa manis melambangkan harapan untuk memperoleh hidup yang lebih layak dan mendapat pekerjaan yang baik. Ijuk dijadikan pengikat pada ujung kain ulos, yang melambangkan hubungan tali persaudaraan yang erat. 2. Asam gelugur Gacinia macrophyllla yang memiiki nama daerah yaitu asam potong dimanfaatkan masyarakat melalui buah asam gelugur dipotong dan dicampurkan pada masakan agar wangi dan memberikan rasa asam. Rasa asam diartikan sebagai penambah kekuatan dan semangat dalam menjalani kehidupan. 3. Bawang merah Allium cepa yang memiiki nama daerah yaitu bawang narara dimanfaatkan masyarakat melalui umbi yang dijadikan sebagai rempah atau bahan baku masakan. Diartikan agar kita tidak sombong dan berbicara bohong, agar tetap dipercaya masyarakat. 4. Bawang daun Allelium odorum yang memiiki nama daerah yaitu bawang batak dimanfaatkan masyarakat melalui Daun digunakan sebagai bahan pewangi masakan, menyimbolkan umur yang panjang. 5. Cabe merah Capsicum annuum yang memiiki nama daerah yaitu lasiak godang dimanfaatkan masyarakat melalui buah digiling halus dan menjadi penambah rasa pedas pada masakan. Rasa pedas berarti siap untuk menghadapi berbagai cobaan. Buah digiling dan dijadikan sebagai pewarna masakan, yang menyimbolkan keberanian. 6. Cabe rawit Capsicum frutescens yang memiiki nama daerah yaitu lasiak lamot dimanfaatkan masyarakat melalui buah menjadi bahan baku masakan. Rasa pedas melambangkan duka yang sangat mendalam jika ditinggalkan orangtua selagi masih anak-anak. 7. Jagung Zea mays merupakan tanaman budidaya yang memiiki nama daerah yaitu jaung dimanfaatkan masyarakat melalui buah dijadikan sayuran atau dikonsumsi langsung. Melambangkan orang yang masih muda belum memiliki banyak pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat. 8. Jahe Zingiberis officinale yang memiiki nama daerah yaitu pege dimanfaatkan masyarakat melalui rimpang digunakan untuk memberi rasa wangi dan menghilangkan bau tidak sedap pada masakan. Rimpang jahe menjadi salah satu atribut untuk tumbuhan yang digunakan dalam mangupa- upa setelah mengalami sakit parah. Melambangkan orang yang sudah tua tapi tetap semangat dalam menjalankan kehidupannya. 9. Jeruk nipis Citrus aurantifolia yang memiiki nama daerah yaitu unte asom dimanfaatkan masyarakat melalui buahnya untuk menghilangkan bau tidak sedap pada masakan dan memberi rasa asam. Buah dan daun sebagai pewangi masakan. Daun menjadi salah satu atribut untuk tumbuhan yang digunakan dalam mangupa-upa setelah mengalami musibah atau mendapatkan rezeki. Digunakan dalam atribut dalam beberapa sesi acara margondan. Melambangkan kekuatan dan semangat. 10. Kelapa Cocos nucifera adalah salah satu tumbuhan yang penting bagi masyarakat suku Angkola, karena tingkat penggunaannya tinggi pada segi frekuensi penggunaan dan dari jumlah kegunaan. Masyarakat setempat menyebut kelapa dengan nama Harambir. Bagi masyarakat suku Angkola, kelapa ini memiliki manfaat untuk pangan, kayu bakar, obat, adat, dan bangunan. Kelapa bagi masyarakat suku Angkola melambangkan kesucian manusia di dunia dan di akhirat. Dalam tradisi masyarakat Angkola kelapa digunakan pada semua upacara adat, baik sebagai atribut dalam sesi upacara maupun sebagai bahan masakan dalam upacara adat. Daun kelapa yang masih muda dijadikan janur dalam upacara pernikahan, janur yang digunakan sebagian dianyam, sebagian lagi tidak. Janur yang dianyam melambangkan kekuatan tali persaudaraan dan daun yang tidak dianyam melambangkan keselarasan. Daun kelapa yang sudah tua dijadikan sebagai atribut pada galangga yaitu pelaminan pengantin yang berada di luar. Selain dengan daun kelapa, galanggang tersebut juga diberi atribut dan pohon beringin Ficus benjamina dan seluruh bagian padi Oryza sativa yang diikat secara bersamaan. Hal tersebut melambangkan kekuatan cinta dari pengantin yang tidak akan habis dimakan waktu dan akan menjadi keluarga yang sejahtera. 11. Kunyit Curcuma domestica juga merupakan salah satu tumbuhan penting bagi masyarakat suku Angkola, yng digunakan pada bagian daun dan rimpang. Kunyit atau yang disebut hunik oleh masyarakat setempat memiliki manfaat sebagai pangan, obat, adat, pewarna, dan aromatik. Dalam upacara adat pernikahan, rimpang kunyit digunakan oleh para pemudi bujing-bujing dan ibu-ibu uma-uma yang digosokkan ke bagian tangan agar menghasilkan warna kuning, yang melambangkan kegigihan dan semangat seorang wanita yang di dalam keluarga. Dalam upacara pernikahan, daun kunyit diberi air santan kelapa dan di percikkan pada pengantin. Kunyit digunakan juga sebagai pewarna dan aromatik dalam masakan di upacara adat masyarakat suku Angkola, yang melambangkan kemakmuran dan kejayaan. Dengan menggunakan warna kunyit yang kuning keemasan dalam masakan dan tangan diharapkan masyarakat yang selalu makmur dan harmonis. 12. Lengkuas Alpinia galangan atau yang disebut masyarakat setempat dengan nama halas, merupakan tumbuhan yang fungsinya sama dengan kunyit dalam pemanfaatannya dalam tradisi masyarakat suku Angkola. Dalam upacara pernikahan daun lengkuas diberi air santan kelapa dan di percikkan pada pengantin, hal tersebut dilakukan setelah pemercikan. Lengkuas juga ada pada masakan-masakan adat masyarakat suku angkola, karena menurut mereka, lengkuas dapat berfungsi sebagai pemberi rasa hangat dan sejuk pada masakan, yang melambangkan rasa kegembiraan. 13. Padi Oryza sativa adalah salah satu tumbuhan yang memiliki tingkat penggunaan yang tinggi. Masyarakat suku Angkola menyebut padi sebagai eme, yang artinya baik. Selain sebagai makanan pokok masyarakat, padi memiliki nilai leluhur yang sangat penting bagi masyarakat suku Angkola. Hal tersebut terlihat dari penggunaan padi pada setiap semua upacara adat. Salah satu penggunaan dalam upacara pernikahan adalah beras yang dihamburkan pada saat masyarakat manortor yaitu melakukan tarian tor-tor yang merupakan tarian tradisional masyarakat suku Angkola. Beras tersebut sebelumnya direndam dengan air kunyit, sehingga berasnya berwarna kuning, yang disebut dahanon pangabur Gambar 17. Penaburan beras tersebut dilambangkan harapan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Padi bagi masyarakat suku Angkola melambangkan kesejahteraan dan orang yang pintar namun tetap rendah hati, maka penggunaan padi dalam setiap tradisi yang melambangkan harapan masyarakat untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Gambar 17 Tarian tradisional suku Angkola tor-tor. 14. Serai Cymbopogon citratus yang memiliki nama daerah sanggar-sanggar adalah salah satu tumbuhan yang penting dalam setiap upacara adat masyarakat, yaitu pada saat upacara pernikahan, kematian masyarakat keturunan raja, acara syukuran maupun kelahiran. Serai yang telah dipotong bagian daun pangkalnya ditumbuk hingga layu dan diikat, dimasukkan kedalam rendamanan air dan beras. Hal terbut melambangkan kemakmuran keluarga yang rukun dan sejahtera, dan dalam upacara pernikahan diharapkan mendapatkan keturunan yang baik. 15. Takokak Solanum torvum yang disebut rimbang oleh masyarakat setempat adalah bagian tumbuhan berguna yang selalu ada dalam masakan masyarakat suku Angkola, terutama untuk masakan gulai dan sayuran maupun sebagai lalapan yang langsung dimakan. Selain sebagai pewangi dan menambah rasa masakan, menurut masyarakat suku Angkola rimbang merupakan tumbuhan yang memiliki nilai luhur, yaitu sebagai lambang kelimpahan rezeki. Dalam upacara pernikahan, masyarakat suku Angkola memakai rimbang pada hampir seluruh masakan adat, dengan harapan pengantin dapat memperoleh ketururan banyak, cerdas, dan patuh terhadap orang tua. Dahanon pangabur Seluruh tumbuhan yang disebut di atas telah dibudidayakan oleh masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur, karena tingkat penggunaannya yang sangat tinggi dari tumbuhan lainnya, yaitu dari segi frekuensi penggunaan, jumlah kegunaan, maupun nilai adat yang terkandung didalamnya. Dengan perlakuan budidaya masyarakat berharap kualitas dan kuantitas dari tumbuhan-tumbuhan tersebut tetap terjaga. Masyarakat suku Angkola mempunyai beberapa jenis masakan adat yang bervariasi dan kaya akan akan rempah-rempah. Banyak orang di luar suku Batak beranggapan bahwa makanan adatnya terlalu banyak dibumbui dengan rempah- rempah. Satu jenis tumbuhan dapat dimanfaatkan dalam berbagai masakan. Menurut sejarahnya, masakan adat yang akan digunakan dalam upacara adat ditentukan dalam upacara adat Martahi yang merupakan acara musyawarah adat dalam menetapkan jenis makanan adat Baumi 1984. Berbagai masakan adat yang memiliki makna penting bagi masyarakat suku Angkola yang menggunakan berbagai spesies tumbuhan adalah: 1. Gule arsik adalah masakan adat suku Angkola yang digunakan dalam upacara duka dan orang yang telah sakit berkepanjangan. Dengan pemberian ikan arsik pada orang tertimpa musibah atau yang sakit tersebut, diharapkan dapat meningkatkan semangat hidupnya kembali. Gule arsik adalah gulai ikan mas yang dimasak dengan santan dan menggunakan berbagai jenis tumbuhan seperti bawang merah, bawang putih, tomat, cabe merah, jahe, daun salam, serai, lengkuas, kunyit, daun rosela, bawang daun, asam gelugur untuk memberikan rasa asam dan daun senduduk sebagai penawar rasa pahit dan asam. Gambar 18 Masakan adat suku Angkola Gule arsik. 2. Gule sibodak adalah gulai yang ada pada setiap upacara adat masyarakat suku Angkola. Masakan adat ini memiliki nilai adat bagi masyarakat suku Angkola, yaitu mengingatkan masyarakat suku Angkola untuk tidak membuat hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan upacara adat. Gule sibodak dimasak dengan bahan dasar buah nangka dengan berbagai jenis tumbuhan, seperti bawang merah, bawang putih, lengkuas, kunyit, jahe, daun salam, serai, dan lengkuas. 3. Gule simarata nadiduda adalah masakan adat dengan bahan dasar daun singkong Manihot esculenta, yang ditumbuk dengan berbagai jenis tumbuhan yaitu takokak, lengkuas, bawang merah, bawang putih, serai bawang daun dan daun salam, kemudian dimasak dengan santan kelapa. Tidak hanya pada saat upacara adat, masakan ini juga dikonsumsi masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Masakan simarata nadiduda ini memiliki nilai luhur masyaraat suku Angkola yaitu panjang umur dan banyak rezeki. Baumi 1984 menyatakan bahwa masakan adat ini mencerminkan watak masyarakat suku Angkola yang pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan bersatu dengan alam. Gambar 19 Masakan adat suku Angkola Gule simarata nadiduda.

5.8 Status Kearifan Tradisional