16
berkeputusan untuk melakukan pembelian terhadap produk tersebut. jika sebaliknya maka konsumen akan menghindarinya.
Persepsi konsumen timbul setelah konsumen sudah merasakan sesuatu yang sudah diterima dan sudah mengambil suatu kesimpulan dalam
pikirannya sudah menilai sesuatu yang dialami. Persepsi konsumen mencerminkan kinerja perusahaan penyedia jasa. Citra kualitas yang baik
bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia jasa melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi konsumen. Hal ini dapat terjadi
karena pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan, sehingga konsumenlah yang seharusnya menentukan kualitas layanan jasa
yang diterimanya.
2.4.2. Peranan Konsumen
Sebagai produsen tidak selayaknya menganggap konsumen sebagai pihak yang pasif. Pembeli dianggap akan menerima begitu saja semua pesan
yang disampaikan oleh penjual melalui media iklan, tanpa pernah memberikan komentar, mengeluh, menolak dan sebagainya Padahal apabila
ini dijalankan maka akan mengakibatkan kegiatan iklan menjadi tidak efektif dan tidak memenuhi sasaran. Dasar pemikiran yang harus dipegang oleh
penjual dalam menawarkan barangnya melalui iklan adalah bahwa sasaran iklan
adalah manusia
sebagai makhluk
hidup, yang
selalu mempertimbangkan
segala keputusannya
dengan hati-hati, meskipun
kadang-kadang unsur emosi tidak dapat ditinggalkan. Manusia akan mudah terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, temasuk pesan yang disampaikan iklan
kepadanya. Mengingat bahwa peranan pembeli tidak dapat ditinggalkan atau
dilupakan begitu saja dalam memilih media advertensi, maka advertensi sering diartikan sebagai : “kegiatan mengartikan keinginan wants dan
17
kebutuhan needs konsumen, memenuhi kebutuhan tersebut dengan menawarkan barang atau jasa yang sesuai”.
Pengertian ini mengingatkan bahwa fungsi bisnis adalah semata- mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pembeli. Disamping itu juga
menekankan bahwa advertensi yang berhasil adalah advertensi yang berorientasi
kepada kebutuhan
konsumen. Pengusaha
harus dapat
menunjukkan kepada calon konsumen bahwa produk yang ditawarkannya bermanfaat bagi mereka. Dengan demikian untuk membuat suatu advertensi
yang balk seseorang selayaknya mempelajari dulu psikologi pembeli potensionalnya, paling tidak secara umum. Pandangan umum yang banyak
ditemukan ialah bahwa konsumen adalah audience yang tidak tau banyak tentang produk, dan mereka memerlukan bantuan. Karena itu mereka akan
segera mencari “bantuan” tersebut, dengan membuka surat kabar, majalah, atau mendengarkan radio. Jarang terpikir bahwa ruang advertensi bukan
hanya sampingan acara radio atau lembar “anak tiri” dari media cetak. Iklan yang menarik justru akan dicari konsumen, terlepas dari keinginannya untuk
membeli barang yang ditawarkan atau tidak. Iklan mereka jadikan alat yang diperlukan untuk mencari sesuatu yang dapat dipakai untuk memuaskan
kebutuhannya. Selain itu iklan dapat menjadi alat “penghemat waktu” bagi konsumen. Bila seseorang membutuhkan suatu barang tertentu arloji
misalnya ia masih harus mencari informasi dahulu dimana toko arloji terdekat, dan arloji tersebut dapat diperolehnya melalui iklan yang dipasang
di media cetak maupun media lainnya. Diluar negeri iklan yang dipasang pada lembar khusus yang
diantarkan setiap pagi bersama surat kabar, merupakan “sarapan lezat” bagi kebanyakan ibuibu, sebelum mereka memutuskan ke supermarket mana
mereka akan berbelanja hari itu, ketidakhadiran lembaran itu beberapa hari saja akan menjadikan meraka bertanya-tanya, karena merasa kehilangan
18
sumber informasi yang dapat dijadikan bahan pertirnbangan kegiatan mereka.
Iklan juga dipakai oleh sebagian besar konsumen sebagai pedoman untuk mengetahui kualitas suatu produk. Bila produsen atau penjual telah
bersedia untuk mengeluarkan uang yang besar untuk iklan, masuk akal bila barang yang ditawarkan itu berkualitas tinggi. Tentu saja dengan anggapan
bahwa kode etik periklanan masih tetap dipegang teguh. Apabila pengiklanan yang dilakukan oleh penjual mengenai sasaran maka diri
pembeli akan terjadi proses psikologis yang merubah sikapnya secara perlahan-lahan. Wright dan Warner berpendapat, bahwa sebelum seseorang
menyukai suatu barang ia akan mengalami dua tahap kejiwaan yaitu : l. Awareness
Ada tahap awal ini seseorang disadarkan tentang adanya suatu produk yang dapat memuaskan kebutuhan tertentu. Pada tahap ini la belum
menetukan merek barang mana yang akan dipilihnya sebagai pemuas kebutuhannya.
2. Aceptance Bila seseorang, telah berkali-kali membeli merek tertentu dan ia
memberikan kepuasan kepadanya maka seterusnya la akan memilih merek tersebut. Ia telah memiliki sesuatu kesetiaan kepada merek
tersebut. Setiap orang memerlukan waktu yang berbeda dengan orang lain
untuk melalui tiga tahap A mungkin membutuhkan waktu yang singkat daripada B untuk menyukai barang yang sama. Selain itu panjangnya waktu
yang diperlukan ditentukan juga oleh jenis barang yang bersangkutan. Bila barang dibutuhkan setiap hari, sehingga frekwensi pembelian tinggi, maka
orang akan cepat memiliki merek kesukaan. Sebaliknya bila frekwensi
19
pembelian rendah, maka dibutuhkan waktu lama untuk terbentuknya kesetiaan pada suatu merek tertentu Kotler, 1997.
2.4.3. Minat atau Selera Konsumen