Parliamentary Trashold PT Membangun Kemitraan Global bagi Pembangunan.
K a j i a n S t r a t e g i s B E M K M U G M 2 0 1 3
| 141
Sumber : Sukmajati 2012 Fromula penghitungan suara dengan menggunakan metode
quota atau yang lebih dikenal dengan suara sisa terbesar dengan hadirnya Bilangan Pembagi Pemilih BPP yang tidak tetap atau
tergantung pada besaran pemilih Pamungkas 2009, h. 32. Dapat menjamin proposionalitas suara dengan hadirnya penghitungan jumlah
suara sampai habis untuk dikonvensi menjadi kursi parlemen. Metode ini sangat ramah dengan partai
– partai kecil yang dapat menjanjikan keberlangsungan hidupnya. Sehingga alih
– alih berusaha untuk menjamin proposionalitas suara, partai politik kecil yang mengusung
metode quota sedang berusaha untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Sedangkan formula penghitungan suara dengan menggunakan metode
divisor melalui perhitungan rata
– rata suara tertinggi dan adanya BPP yang tetap. Akan sangat memudahkan partai politik besar untuk
mejamin kekuasaanya dengan menyingkirkan partai – partai kecil yang
memperoleh suara kecil, akibat adanya metode penghitungan suara yang lebih melihat perolehan rata
– rata tertinggi dan dengan adanya BPP yang sudah ditentukan tanpa melihat besaran jumlah suara pemilih.
142 |
K a j i a n S t r a t e g i s B E M K M U G M 2 0 1 3
Tidak Ada Yang Berbeda Dari UU No. 8 Tahun 2012
Setelah menuai perdebatan yang berkepanjangan dalam pembahasan mengenai revisi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Legislatif, April 2012 kemarin telah berhasil disahkan UU No. 8 Tahun 2012 yang akan digunakan pada pemilu 2014. Akan tetapi sangat
disayangkan produk kebijakan yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya, dan kurang mampu menjawab persoalan
fragmantasi politik yang berujung pada ketidakstabilan pemerintahan dari Undang
– Undang sebelumnya. Hal ini dikarenakan pasal – pasal krusial yang diperdebatkan dalam formulasi kebijakan tidak lebih dari
sebagai barang lelangan yang didalamnya terdapat tawar menawar antar partai politik demi merealisasikan kepentinganya, tanpa
memikirkan jawaban dan tujuan dari adaya revisi Undang
– Undang pemilu tersebut. Mulai dari besaran alokasi kursi perdaerah pemilihan
yang tidak berubah dengan UU sebelumnya dengan besaran 3 sampai 10 kursi, seperti yang tertuang dalam Undang
– Undang Pemilu baru ini dalam pasal 22 :
Pasal 22 Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit
3tiga kursi dan paling banyak 10 sepuluh kursi.
Padahal jika memang ingin melakukan penyederhanaan partai politik tentunya dapat memperkecil kembali besaran dapil tersebut.
Tidak hanya cukup disitu dalam penentuan besaran alokasi kursi per- daerah pemilihan, pemerintah tidak mempertimbangkan besaran
sebaran penduduk di Indonesia. Sehingga besaran dapil ini akan menciderai prinsip kedailan dalam keterwakilan yakni one person one
vote one value.
Hal yang serupa juga terjadi pada parliamentary threshold dan formula penghitungan suara yang lagi
– lagi tidak jauh berbeda dengan UU Pemilu seblumnya seperti yang tertuang dalam pasal 208 mengenai
besaran PT, dan pasal 211 dan 212 dalam UU No. 8 Tahun 2012 berikut :
Pasal 208 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5 tiga koma lima persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan