Formula Pengihitungan Suara Membangun Kemitraan Global bagi Pembangunan.
K a j i a n S t r a t e g i s B E M K M U G M 2 0 1 3
| 143
dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota.
Pasal 211 1 Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupatenkota Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 209 di daerah pemilihan yang bersangkutan.
2 Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan angka BPP DPR, BPP DPRD
provinsi, dan BPP DPRD kabupatenkota.
Pasal 212 Setelah ditetapkan angka BPP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 211 ayat 2, ditetapkan perolehan jumlah kursi tiap Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan
ketentuan:
a apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta
Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah
kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua;
b apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta
Pemilu lebih kecil daripada BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan
jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap
kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan;
c penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan
apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara
membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-
turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak.
144 |
K a j i a n S t r a t e g i s B E M K M U G M 2 0 1 3
Semestinya jika memang semangat yang dibawa oleh sembilan partai politik untuk menanggulangi stabilitas pemerintahan dengan
meredam fragmantasi politik di Parlemen besaran PT dapat lebih ditingkatkan dengan konsekwensi disproposionalitas meningkat, dan
menggunakan formulasi penghitungan suara dengan metode divisor yang melihat the highest average sehingga mampu mendorong
penyederhanaan partai politik. Dilain sisi ada salah satu aspek yang diabaikan oleh anggota DPR ketika pembahasan mengenai RUU Pemilu
ini, yakni electoral threshold ET yang besarannya tidak berubah 3 seperti pada tahun 2009 lalu. Padahal pasal ini memiliki pengaruh yang
signfikan untuk membatasi jumlah partai politik pada pemilu berikutnya. Kesimpulan
Undang – Undang pemilu yang didalamnya megatur sistem
pemilu proposional di
Indonesia, ternyata menuai berbagai
probelamtika terutama efektifitas dan stabilitas pemerintahan. Adanya Undang
– Undang pemilu yang selalu mengahasilkan banyak partai politik di parlemen telah berhasil membawa fragmantasi politik yang
cukup tinggi di parlemen, yang berakibat pada instablitas pemerintahan di Indonesia. Berkaca dari Undang
– Undang Pemilu Legislatif sebelum – sebelumnya, mulai dari UU No. 3 Tahun 1999 yang digunakan pada
pemilu 1999, UU No. 12 Tahun 2003 yang digunakan pada pemilu 2004, dan UU No. 10 Tahun 2008 yang digunakan pada pemilu 2009. Yang
selalu mendorong hadirnya banyak partai politik, menjelang pemilu 2014 terjadi revisi kembali terhadap UU No. 10 Tahun 2008 untuk
mengantisipasi dan menjawab persoalan
– persoalan yang sudah terjadi sebelumnya.
Besar kecilnya partai politik di parlemen memang dapat ditentukan dari UU Pemilu yang didalamnya mengatur mengenai pasal
– pasal yang berisi mengenai unsur
– unsur dari sistem pemilu. Mulai dari Parliamentary Treshold, Electoral Threshold, District Magnitude, dan
formula penghitungan suara. Unsur – unsur dari sistem pemilu inilah
yang kemudian muncul menjadi pasal – pasal krusial dalam pembahasan
mengenai RUU Pemilu pada tahun 2012. Hal ini dikarenakan adanya dua kubu partai politik parlemen yang memiliki kepentingan berebeda,
mengingat proses perumusan kebijakan publik bukan hanya sekedar berbicara
aspek teknokratis
semata. Melainkan
pertarungan kepentingan antar policy maker dalam meralisasikan tujuannya. Kubu
K a j i a n S t r a t e g i s B E M K M U G M 2 0 1 3
| 145
pertama terdiri dari partai – partai politik besar yang pro
penyederhanaan partai politik, yang sebenarnya tujuannya bukan hanya sekedar untuk menciptakan stabilitas pollitik semata. Tetapi untuk
menyingkirkan lawan politiknya pada pemilu 2014. Sedangkan kubu kedua terdiri dari partai
– partai politik kecil yang tidak sepakat dengan penyederhanaan partai politik karena demi terciptanya proposionalitas
suara dalam pemilu. Alih – alih menjamin proposionalitas dalam pemilu,
partai politik kecil sebenarnya sedang berusaha untuk menyelamatkan dirinya pada pemilu 2014.
Dari perdebatan panjang tersebut, akhirnya disahkan UU No. 8 Tahun 2012 sebagai UU Pemilu Legislatif yang akan digunakan pada
pemilu 2014. Akan tetapi sangat disayangkan UU ini tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya yang masih dapat memicu fragmantasi politik
diparlemen yang berimplikasi pada ketidastabilan pemerintahan. Padahal, seperti kita ketahui bersama hadirnya sebuah kebijakan publik
yang dilakukan oleh pemerintah, merupakan suatu cara untuk menjawab sebuah persoalan yang terjadi didalam suatu negara. Akan
tetapi UU Pemilu yang dihasilkan justru akan tetapi memicu hadirnya persoalaan tersebut. Adanya hal ini sebenarnya tidak terlepas dari para
policy maker seperti partai politik yang masih belum tuntas dengan dirinya, atau lebih mengedepankan syahwat politiknya dibandingkan
untuk menjawab persoalan yang terjadi. Alhasil dengan alih
– alih membawa kepentingan masyarakat banyak, sebenarnya partai politik
sedanga berupaya untuk meralisasikan kepentinganya sendiri. Sehingga kebijakan publik hanya dijadikan sebuah mainan oleh partai politik yang
dapat dengan mudah dibongkar pasang demi tujuan partai politik semata.
Referensi Literatur
Ambardi, K 2009, Mengungkap Politik Kartel, KPG, Jakarta. Amal, I Pangabean, S 2012, Reformasi Sistem Multi-Partai dan
Peningkatan Peran DPR dalam Proses Legislatif, didalam Amal, I hlasul ed.
, Teori-teori Mutakhir Partai Politik , Triawacana, Yogyakarta.
Dardias, Bayu, Isu – Isu Krusial UU Pemilu dan Perubahan Politik
Indonesia, Materi “e i ar Nasio al Me bedah UU Pe ilu da
I plikasi ya Terhadap “iste Politik di I do esia di U i ersitas
146 |
K a j i a n S t r a t e g i s B E M K M U G M 2 0 1 3
Jember 22
Mei 2012,
diunduh dari
http:bayudardias.staff.ugm.ac.id Pada Tanggal 21 Maret 2013, pkl 15.32
Grumm, Jhon 1969, Beberapa Teori Tentang Sistem Pemilihan, didalam A al, I hlasul ed.
, Teori-teori Mutakhir Partai Politik , Triawacana, Yogyakarta.
Pamungkas, S 2009, Perihal Pemilu, Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM, Yogyakarta.
Prihatmoko, J 2008, Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem Sampai
Elemen Teknis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Santoso, Purowo 2010, Analisa Kebijakan Publik, Jurusan Politik dan
Pemerintahan UGM, Yogyakarta. Sukmajati, Mada, Menyikapi Bebarapa Pasal Krusial Dalam RUU Pemilu :
Melalu Pendekatan Teknokratis, Materi Seminar Nasional ‘efor asi UU Pe ilu Ko ap UGM Maret
. Mainwering, S 1993, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The
Difficult Combination, Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2.
Mietzner 2009, I do esia s 2009 Ele tio s: Populis , D asties a d the
Consolidation of the Party System, LOWY Institute. Yudha, H 2010, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke
Kompromi, Gramedia, Jakarta Undang-Undang
Undang
– undang Nomor 10 Tahun 2008, Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Provinis, Kota dan Kabupaten
Undang – undang Nomor 8 Tahun 2012, Tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD, Provinis, Kota dan Kabupaten. Undang
– Undang Nomor 3 Tahun 1999, Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Provinis, Kota dan Kabupaten,
Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR dan DPRD Provinis, Kota dan Kabupaten.
K a j i a n S t r a t e g i s B E M K M U G M 2 0 1 3
| 147
MENOLAK UU
NOMOR 12
TAHUN 2012
TENTANG PENDIDIKAN
TINGGI YANG
TIDAK BERTANGGUNGJAWAB
K
EMENTERIAN
K
AJIAN
S
TRATEGIS
BEM KM
UGM 2013
Masalah pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi isu yang strategis untuk dikawal dan dibahas oleh rekan-rekan mahasiswa.
Termasuk juga oleh BEM SE-UGM sebagai gerakan politik mahasiswa di Yogyakarta yang memiliki kepedulian terhadap wacana neoliberalisme
pendidikan di Indonesia.
Idealnya apabila kita merujuk kepada amanat konstitusi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, maka tugas Negara adalah
Me erdaska Kehidupa Ba gsa . Adalah ke ajiba bagi Negara untuk memenuhi tugas mulianya dalam proses memerdekakan
rakyatnya dengan cara mencerdaskan lewat jalur pendidikan. Sehingga proses pendidikan haruslah terbebas dari intervensi pasar dan
kapitalisme yang mengejar laba sebesar-besarnya. Pendidikan bukanlah
148 |
K a j i a n S t r a t e g i s B E M K M U G M 2 0 1 3
lahan strategis untuk mengeruk untung, karena pendidikan adalah jalan untuk merdeka dari segala bentuk intervensi yang membodohkan.
Mahkamah Konstitusi telah menegaskan peran Negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan warga Negara Indonesia serta
penolakan terhadap bentuk swastanisasi pendidikan melalui putusan MK dalam Uji Materi UU BHP yang lalu putusan Nomor 11-14-21-126
DAN 136PUU-VII2009. Adapun MK berpendapat sebagai berikut:
1. Otonomi pengelolaan Pendidikan Tinggi bukan merupakan
sebuah keharusan dalam mencapai tujuan Negara untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa,
bahkan dapat
menggagalkannya; 2.
Konsep kekayaan Negara yang dipisahkan akan mengganggu kegiatan pendidikan;
3. Kewenangan Institusi Pendidikan untuk mencari dana secara
otonom berpotensi melanggar hak atas pendidikan peserta didik; 4.
Institusi pendidikan yang tidak dilindungi sebagai Objek Kepailitan melanggar Undang-Undang Dasar 1945;
5. Tidak adanya kejelasan pihak yang berwenang dalam penentuan
serta penjatuhan sanksi menoleransi pelanggaran. Paska pembatalan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan BHP oleh Mahkamah Konstitusi RI pada 31 Maret 2010. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia kembali diregulasi oleh DPR
RI. Sedari awal proses legislasi tersebut BEM SE-UGM selalu kritis terhadap sistem pendidikan tinggi yang sedang dirancang itu. Memang
sudah sejak menjadi rancangan kami kawal dan kritisi karena terindikasi banyak pasal yang sarat akan konsep neoliberalisme pendidikan, tetapi
pada akhirnya UU ini berhasil disahkan oleh DPR menjadi UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam menyikapi UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, BEM SE-UGM menyatakan sikap untuk menolak keberadaan UU
ini. Penolakan tersebut didasarkan atas empat argumen berikut: