Aktivitas Perbankan dalam Pemberian Kredit

Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk menggariskan kebijaksanaan lingkungan dan menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan.

B. Aktivitas Perbankan dalam Pemberian Kredit

Bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 36 Dalam menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank, kepercayaan masyarakat tersebut wajib dilindungi dan dipelihara. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 29 ayat 3 Undang-undang Perbankan yang menetapkan antara lain bahwa bank dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya, wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang dipercayakan dananya kepada bank. Dalam kehidupan sehari-hari, istilah kredit bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat. Ini menandakan bahwa istilah kredit telah dikenal dan jauh melanda kehidupan ekonomi kita. Dilihat dari asal katanya kata kredit berasal dari bahasa Latin, yaitu credere, yang artinya kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan dalam penundaan pembayaran, baik penundaan utang-piutang maupun penundaan jual beli. Debitur tidak wajib membayar utangnya secara langsung atau tunai, melainkan ia diberikan kepercayaan oleh undang-undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil. Karena utang tersebut dibayar dengan cara 36 Hermansyah, Op.Cit. hal. 8 Universitas Sumatera Utara dicicil, maka resiko selama utang tersebut belum dilunasi harus ditanggung oleh si pemberi kredit. 37 Secara umum kredit diartikan sebagai “the ability to borrow on the opinion cenceived by the lender that he will be repaid.” 38 Levy merumuskan arti hukum dari kredit adalah sebagai berikut: “Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak menggunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman tersebut di belakang hari.” 39 Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud kredit adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam maminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa di dalamnya terkandung kewajiban untuk mengembalikan pinjaman. Dari adanya kewajiban ini dapat ditafsirkan bahwa kredit hanya akan diberikan pada pihak yang dipercaya yang mampu mengembalikan kreditnya di kemudian hari sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati sebelumnya. 37 Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Solusi Hukum Legal Action dan Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hal. 2 38 Bouviers Law Dictionary, A-K West Publishing Company, 1914, hal. 725, dikutip dari: Mariam D. Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni, 1989, hal. 21 39 Levy, Rekening Courant, 1873, hal. 192, dikutip dari: Mariam D. Badrulzaman, Ibid, hal.22 Universitas Sumatera Utara Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang ada dalam kredit adalah sebagai berikut, yaitu: 40 a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang akan diberikan dalam bentuk uang, barang, ataupun jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa datang; b. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam waktu itu tergantung pengertian nilai agio dari uang yaitu uang yang ada sekarang nilainya lebih tinggi dari nilai uang yang akan diterima pada masa yang akan datang; c. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang akan memisahkan antar pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko. Dengan adanya resiko inilah maka timbul jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang, atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan. Dari uraian di atas cukup jelas bahwa kredit merupakan hubungan yang berdasarkan atas kepercayaan terhadap penundaan pembayaran yang membutuhkan jangka waktu tertentu. Sebagai akibat penundaan pembayaran tersebut, maka timbul suatu resiko. Untuk itu dalam pelaksanaan pemberian kredit bank selalu berupaya melakukan kehati-hatian prudent banking. Setiap perjanjian tentu mengandung adanya prestasi dan kontraprestasi. Oleh karena itu, dalam perjanjian kredit sejak saat adanya kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak bank dan nasabah debitur telah menimbulkan hubungan hukum atau menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang telah mereka sepakati. 40 Thomas Yatno, Dasar-dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia: 2003, hal. 14 Universitas Sumatera Utara Bank sebagai kreditor berkewajiban untuk memberikan kredit sesuai dengan jumlah yang disetujui, dan atas prestasinya tersebut bank berhak memperoleh pelunasan kredit dan bunga dari debitur sebagai kontraprestasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam perjanjian kredit terdapat perjanjian yang menentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima oleh nasabah. Setelah diketahui secara jelas penggunaan uang itu, maka bank akan memasukkan tujuan tersebut ke dalam jenis kredit yang akan diberikannya. Tujuan penggolongan kredit tersebut tidak lain adalah untuk memudahkan sistem manajemen administrasi perbankan serta pelaporan kepada bank sentral. Menurut Badriyah Harun, jenis-jenis kredit perbankan adalah sebagai berikut: 41 1. Berdasarkan Penggunaannya a. Kredit Modal Kerja Yaitu kredit jangka pendek yang diberikan untuk membiayai kebutuhan modal kerja dari suatu perusahaan. Umumnya disediakan dalam bentuk rekening koran. Agunannya lebih ditekankan pada barang yang lebih mudah dicairkan dalam waktu singkat, persyaratan kredit memerhatikan perkembangan usaha agar jangan sampai penarikan total kredit mematikan usaha yang bersangkutan. Contohnya: KUPEDES, KUT Kredit Usaha Tani, KUR Kredit Usaha Rakyat, Kredit Ekspor, Kredit Perkebunan Swasta Nasional, KUD Koperasi Unit Desa dan sebagainya. 41 Badriyah Harun, Op.Cit., hal. 4 Universitas Sumatera Utara b. Kredit Investasi Yaitu kredit jangka menengah dan jangka panjang dalam rangka membiayai pengadaan aktiva tetap suatu perusahaan. Umumnya berjangka menengah atau panjang. Kebutuhan kredit dihitung dari barang modal yang diperlukan, rehabilitasi, dan juga modernisasi barang. Penetapan jangka waktu disesuaikan dengan jadwal ketika investasi tersebut telah menghasilkan. Plafon yang disediakan untuk usaha berskala kecil sampai dengan Rp.500 juta sedangkan untuk usaha berskala menengah di atas Rp.5 miliar. Contohnya: KIK Kredit Inkubasi Kecil, Perkebunan Inti Rakyat PIR, PIR Transmigrasi dan sebagainya. c. Kredit konsumsi Yaitu kredit pengembaliannya tidak berdasarkan pada barang yang dibeli, melainkan pada penghasilan nasabah debiturnya. Contohnya KPR, Kredit Profesi Guru, Kredit Laptop Mahasiswa, dan lain-lain. 2. Berdasarkan Jangka Waktunya a. Jangka pendek short term loan Yaitu kredit yang jangka waktunya paling lama 1 tahun, bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembelia, dan kredit wesel, juga dapat berupa kredit modal kerja. b. Jangka Menengah medium term loan Yaitu kredit yang jangka waktunya antara 1 sampai 3 tahun. Bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah. Universitas Sumatera Utara c. Jangka Panjang Yaitu kredit yang jangka waktunya lebih dari 3 tahun. Biasanya berupa kredit investasi yang bertujuan untuk menambah modal perusahaan dalam rangka melakukan rehabilitasi, ekspansi, dan pendirian proyek baru. 3. Berdasarkan Sektor Perekonomian a. Kredit Pertanian Yaitu kredit yang diberikan kepada petani persawahan, perkebunan, dan perikanan. b. Kredit Perindustrian Yaitu kredit yang diberikan kepada industri kecil maupun menengah. c. Kredit Pertambangan Yaitu kredit yang disalurkan untuk aneka tambang. d. Kredit Ekspor Impor Yaitu kredit yang diberikan kepada eksportir maupun importir barang. e. Kredit koperasi Yaitu kredit yang diberikan khusus kepada koperasi. f. Kredit Profesi Yaitu kredit yang diberikan kepada beraneka macam profesi, seperti guru dan dosen. Universitas Sumatera Utara 4. Berdasarkan Jaminan a. Kredit Jaminan Orang Yaitu kredit yang diberikan berdasarkan jaminan orang ketiga sebagai pihak penjamin. b. Kredit Jaminan Efek Yaitu kredit yang diberikan dengan agunan efek-efek dan surat-surat berharga lainnya. c. Kredit Jaminan Barang Yaitu kredit yang diberikan dengan jaminan barang tetap, barang bergerak, dan logam mulia. d. Kredit Jaminan Dokumen Yaitu kredit yang diberikan dengan jaminan dokumen transaksi, seperti Letter of Credit LC. e. Kredit Tanpa Jaminan Materiil Kredit Blanko Yaitu kredit yang diberikan tanpa jaminan materiil agunan fisik, melainkan berdasarkan kepercayaan pada nasabah kredit yang telah teruji kebonafiditas, kejujuran, dan ketaatannya, baik dalam usaha perbankan maupun dalam usaha lain. Kredit tanpa jaminan ini memiliki resiko yang besar bagi bank. Dengan demikian, seluruh harta debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan pembayaran utang. Universitas Sumatera Utara 5. Berdasarkan Golongan Ekonomi a. Kredit Golongan Ekonomi Lemah Yaitu kredit yang disalurkan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah seperti KUT, KUK Kredit Usaha Kecil, dan sebagainya. b. Kredit Golongan Ekonomi Menengah dan Konglomerat Yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha besar dan menengah. 6. Berdasarkan Penarikan dan Pelunasan a. Rekening Koran Yaitu kredit yang dapat ditarik dan dilunasi setiap saat, besarnya sesuai dengan kebutuhan. Penarikan dapat dilakukan dengan cek, bilyet giro atau pembukuan, sedangkan pelunasannya dapat dilakukan dengan setoran-setoran. Bunga dihitung dari besaran kredit. Kredit rekening koran dapat ditarik setelah besaran kredit disetujui. b. Kredit berjangka Yaitu kredit yang sekaligus sebesar plafonnya. Pelunasannya dilakukan setelah jangka waktunya habis. Pelunasannya dapat dilakukan secara cicilan atau sekaligus, tergantung pada perjanjian yang dibuat para pihak. 7. Berdasarkan Kelembagaannya a. Kredit Perbankan Yaitu kredit yang diberikan oleh bank milik pemerintah maupun swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi. Universitas Sumatera Utara b. Kredit likuiditas Yaitu kredit yang diberikan oleh bank sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, untuk digunakan sebagai dana membiayai perkreditannya. Dana likuiditas ini dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan bank karena adanya ketidaksesuaian antara dana masuk dengan dana keluar. Biasanya dana masuk lebih kecil dari dana keluar mismatch yang diperkirakan akan dapat menyebabkan saldo negatif. Kredit likuiditas ini hanya tertuju pada bank yang memenuhi persyaratan, misalnya secara nyata berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek, memiliki agunan yang cukup, apabila diperlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi bank tersebut. c. Kredit langsung atau Kredit Program Yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada pemerintah maupun lembaga semi pemerintah, misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan pengadaan pangan. d. Kredit Pinjaman antar Bank Yaitu kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana. 8. Berdasarkan Objek yang Ditransfer a. Kredit Uang Yaitu kredit yang ditransfer oleh bank dalam bentuk uang dan pengembaliannya dalam bentuk uang pula. Universitas Sumatera Utara b. Kredit bukan Uang Yaitu kredit yang ditransfer bukan dalam bentuk uang yang melainkan barang atau jasa dan pengembaliannya dalam bentuk uang. 9. Kredit Berdasarkan Waktu Pencairannya a. Kredit Tunai Pencairan kredit dilakukan dengan tunai atau pemindahbukuan ke dalam rekening bank debitur. b. Kredit Non-Tunai Pencairan kredit tidak dibayar secara tunai, melainkan menunggu suatu peristiwa atau keadaan sebagaimana ditunjuk dalam perjanjian kredit. Misalnya, pembayaran Letter of Credit yang merupakan jaminan kepada penjual atau pengirim barang di mana bank akan membayar sejumlah uang jika dokumen-dokumen tertentu telah dipenuhi oleh penjual atau pengirim barang. 10. Berdasarkan Cara Penarikannya a. Kredit Sekali Jadi Yakni kredit yang pencairan dalam dilakukan sekaligus misalnya secara tunai ataupun pemindahbukuan. b. Kredit Rekening Koran Yakni kredit yang dilakukan berulang-ulang sesuai dengan batas maksimum plafon kredit yang disediakan. Universitas Sumatera Utara c. Kredit Bertahap Yaitu kredit yang pencairan dananya dilakukan secara bertahap. d. Kredit Tiap Transaksi Yaitu penarikan kredit yang diberikan untuk transaksi tertentu. 11. Berdasarkan Negara Asal Kreditur a. Domestik Yaitu kredit yang debitur atau kreditur utamanya berasal dari dalam negeri. b. Luar Negeri Yaitu kredit yang debitur atau kreditur utamanya berasal dari luar negeri. 12. Berdasarkan Jumlah Krediturnya a. Tunggal Yaitu kredit yang krediturnya hanya satu orang atau satu badan hukum saja. b. Sindikasi Yaitu kredit yang krediturnya terdiri dari beberapa orang atau badan hukum. Bank selalu melakukan penilaian berdasarkan prinsip=prinsip yang disebut formula 8 P. Formula 8 P tersebut dijabarkan sebagai berikut: 42 1. Party atau para pihak yang mengadakan perjanjian saling mengenal karakter satu dengan lainnya. Tidak hanya bank yang harus mengenal nasabah yang akan mengajukan kredit, tetapi calon nasabah debitur juga harus memerhatikan kondisi kesehatan perbankan. Baik berdasarkan berita dari media, surat pembaca, ataupun sengaja mencari informasi tentang kondisi kesehatan bank yang dituju. 2. Personality, yaitu suatu usaha pihak bank untuk mencari data tentang kepribadian peminjam seperti riwayat hidup kelahiran, pendidikan, pengalaman, usaha atau pekerjaan dan sebagainya, hobinya, keadaan keluarga istri, anak, social standing 42 Badriyah Harun, Ibid. hal. 13 Universitas Sumatera Utara pergaulan dalam masyarakat tentang diri si peminjam, serta hal-hal lain yang erat hubungannya dengan kepribadiaan si peminjam. 3. Purpose atau tujuan yang hendak dicapai dalam rangka peminjaman kredit. Tujuan menjadi pembeda yang tegas antara kredit dan utang, sebab dalam kredit, bank memiliki kewajiban yang harus mengawasi nasabahnya dalam menggunakan kreditnya agar jangan sampai kredit yang diberikan menimbulkan masalah di kemudian hari. 4. Payment atau pembayaran yang akan dikembalikan oleh nasabah. Bank harus melihat pendapatan nadabahnya, bagaimana nasabah tersebut dapat membayar kredit dengan lancar, tentu juga dipengaruhi oleh pendapatannya. 5. Profitability atau perolehan laba yang akan diperoleh oleh bank. Kredit merupakan salah satu cara bank untuk memperoleh laba atau keuntungan yang diambil dari bunga maupun bagi hasil atau yang sejenisnya. Dengan demikian, bank harus mempertimbangkan perolehan laba yang hendak diperoleh. 6. Protection atau perlindungan yang berupa jaminan nasabah apabila terjadi sesuatu hal di luar yang telah direncanakan dan diperjanjikan oleh para pihak. 7. Personality atau kepribadian nasabah berdasarkan tingkah laku dan kepribadian nasabah pada kegiatan sehari-hari maupun masa lalunya. Termasuk juga emosi, sikap, dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah. 8. Prospect atau nilai usaha nasabah di masa yang akan datang, menguntungkan atau tidak. Bila bank tidak mampu melihat prospek ini, di kemudian hari apabila tidak terdapat prospek usaha pada usaha yang dibiayai dengan kredit, maka bukan hanya bank yang akan menghadapi resiko kesulitan mengadakan tagihan, tetapi juga nasabah yang menjalankan usahanya akan kesulitan dalam membayar tagihannya. Selain itu untuk menilai kemampuan dan kesanggupan debitur dalam melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 43 a. Watak character, yang dimaksud watak disini adalah kepribadian moral dan kejujuran pemohon kredit. Apakah ia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik, yang timbul dari persetujuan kredit yang akan diadakan. Dalam hal ini termasuk juga menyelidiki asal-usul kehidupan pribadi, dan latar belakang, serta kredibilitas pemohon. b. Kemampuan capacity, adalah kemampuan mengendalikan, memimpin, menguasai bidang usahanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon berjalan dengan baik dan memberikan untung. c. Modal capital, pemohon diisyaratkan wajib memiliki modal sendiri. Kredit dari bank berfungsi sebagai tambahan. Adanya modal sendiri menunjukkan bahwa 43 Mariam D. Badrulzaman, Op.Cit., hal. 71-72 Universitas Sumatera Utara pemohon adalah pengusaha, yang untuk mengembangkan usahanya perlu mendapat bantuan dari pihak bank. d. Jaminan colleteral, jaminan disini berarti kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan, kalau penerima kredit tidak melunasi utangnya. Faktor jaminan ini adalah security factor atas kredit yang diberikan. e. Kondisi ekonomi condition economy, yang dimaksud adalah situasi ekonomi pada waktu tertentu, dimana kredit itu diberikan oleh bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi tersebut memungkinkan pemohon mendapat keuntungan dengan mempergunakan kredit tersebut. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, analisis kredit seperti tersebut di atas mengandung tiga faktor pokok, yaitu: 44 a. Faktor subjektif moral; b. Faktor objektif yang berkenaan dengan organisasi administrasi, modal dan keadaan ekonomi; c. Faktor yuridis yang berkenaan dengan struktur yuridis dari badan usaha penerima kredit. Prinsip kehati-hatian lainnya pada bank ada yang dikenal dengan prinsip 3 R, yaitu: 45 1. Returns atau hasil yang diperoleh debitur ketika kredit itu dimanfaatkan. Bank harus mempertimbangkan apakah kredit yang diajukan akan membawa manfaat sehingga debitur mampu mengembalikan kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, dan sebagainya. 2. Repayment atau pembayaran kembali. Bank harus memerhatikan kemampuan membayar kredit debitur sesuai dengan waktu yang disediakan. 3. Risk bearing ability atau kemampuan debitur menanggung apabila terjadi hal-hal di luar dugaan kedua belah pihak sehingga menyebabkan kredit menjadi macet. Jika dari hasil analisa yang dilakukan petugas bank debitur dianggap telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sehingga dimungkinkan untuk memperoleh 44 Ibid, hal. 72 45 Badriyah Harun, Op.Cit., hal. 14 Universitas Sumatera Utara fasilitas kredit, maka pemberian fasilitas kredit itu dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis antara pihak bank sebagai kreditur dan pihak pemohon kredit sebagai debitur yang dinamakan perjanjian kredit bank atau biasanya disingkat dengan sebutan perjanjian kredit. Menurut Prof. Subekti, S.H., suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 46 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. 47 Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sebagai dasar hukum perjanjian kredit dapat dilihat pada perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUH Perdata, karena substansi pasal tersebut menyebutkan bahwa: “Perjanjian pinjam mengganti ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengambil sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” Isi pasal tersebut di atas dapat dikaitkan dengan isi Pasal 1 Angka 11 Undang- undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa kredit 46 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta:Intermasa, 1979, hal. 1 47 Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur atau si berhutang; lihat Subekti, Ibid. Universitas Sumatera Utara adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam di dalam definisi atau pengertian kredit sebagaimana Pasal 1 Angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tersebut di atas, dapat mempunyai beberapa maksud sebagai berikut: 48 1. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam-meminjam. Dengan demikian bagi hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga tentang perikatan pada umumnya dan Bab ketiga belas tentang pinjam-meminjam KUH Perdata khususnya. 2. Maksud yang lain dari pembentuk undang-undang yang dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 1 Angka 11 Undang-undang Perbankan itu ialah bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Walaupun para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian, khusus dalam perjanjian kredit substansi lebih didominasi oleh salah satu pihak dalam hal ini bank. Perjanjian kredit pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku standard contract. Berkaitan dengan itu, memang dalam prakteknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku, dimana dalam perjanjian tersebut pihak debitur 48 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 199 Universitas Sumatera Utara hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar. Karena dalam Standard Contract bentuk dan isi perjanjian ditentukan secara sepihak, maka penggunaan perjanjian kredit ini tidak mengikuti asas konsensualisme, yaitu asas kesepakatan, dimana asas ini menetapkan terjadinya suatu perjanjian setelah tercapainya kata sepakat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, sebagaimana telah diketahui, kata sepakat diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Dengan tercapainya kata sepakat, telah menunjukkan pada saat itu suatu perjanjian mulai berlaku dan mengikat para pihak. Dengan demikian syarat sahnya perjanjian pada pasal 1320 KUH Perdata dipandang tidak ada. Akibat tidakdipenuhi syarat tertentu, perjanjian tidak sah, dan dapat dibatalkan, tetapi dalam praktek perbankan belum pernah terjadi perjanjian kredit maupun perjanjian-perjanjian lainnya yang menggunakan standard contract yang dibatalkan dengan putusan pengadilan. Meskipun secara teori perjanjian tidak sah, karena perjanjian tidak dibatalkan, maka perjanjian menjadi tetap dan mengikat kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan. Menurut Gatot Supramono, perjanjian kredit terjadi pada saat pemohon kredit menyatakan persetujuannya setelah ia mempelajari isi perjanjian sebagaimana standard contract yang disodorkan kepadanya. Di sinilah bank dan pemohon kredit telah tercapai kata sepakat baik berdasarkan teori kepercayaan vertrouwentheori maupun teori penerimaan ontvangstheori. Sejak saat itu kedua belah pihak sudah terikat, walaupun perjanjian kredit secara tertulis belum ditandatangani. Perjanjian kredit secara tertulis sebenarnya hanya merupakan formalitas, berfungsi untuk kepentingan pembuktian dan kepentingan administrasi. 49 49 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit. Jakarta: Djambatan, 1995, hal. 46 Universitas Sumatera Utara Sutan Remy Sjahdeini juga menyatakan bahwa “Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.” 50 Oleh karena itu, dalam praktek perjanjian kredit ini diklasifikasikan sebagai Perjanjian Baku atau Perjanjian Standar standard contract atau contract of adhesion uang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya oleh bank. Dengan demikian, maka nasabah sebagai calon debitur hanya mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi atau klausul-klausul itu baik sebagian atau seluruhnya, yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut. Meskipun bank diwajibkan untuk membuat perjanjian kredit apabila akan memberikan kredit, tapi saat sekarang belum ada ketentuan khusus yang menyangkut isi atau substansi perjanjian kredit, hal tersebut diserahkan kepada praktek perbankan. Dalam praktek perbankan, baik perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan ataupun secara notariil dengan akta notaris. Pada intinya yaitu untuk menegaskan dan melindungi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kredit tersebut. Pada praktek perbankan, perjanjian yang dibuat secara tertulis dibedakan menjadi dua bentuk perjanjian, yaitu: a. Akta di Bawah Tangan Akta di bawah tangan artinya bahwa akta atau perjanjian tersebut dibuat tanpa peran pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta. Biasanya telah berbentuk draft 50 Ibid. hal. 74 Universitas Sumatera Utara yang lebih dahulu disiapkan sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada calon nasabah debitur untuk disepakati. Perjanjian yang telah dibakukan memuat segala macam persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan, biasanya berbentuk formulir yang tidak pernah diperbincangkan atau dinegosiasikan terlebih dahulu kepada calon nasabah. Bila calon nasabah debitur tidak berkenan terhadap klausul yang terdapat di dalamnya, maka tidak terdapat kesempatan untuk melakukan protes atas klausul yang tidak diperkenankan oleh nasabah tersebut, karena perjanjian tersebut telah dibakukan oleh lembaga perbankan yang bersangkutan dan bukan oleh petugas perbankan yang berhadapan langsung dengan calon nasabah debitur, sehingga seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mau tidak mau, calon nasabah yang hendak mengajukan kredit harus menyetujui segala syarat dan ketentuan yang telah diajukan oleh bank sebagai kreditur. Beberapa pakar hukum menolak keberadaan perjanjian baku ini karena dinilai: 51 1. Kedudukan pengusaha bank dalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang. Dengan demikian perjanjian baku bukanlah merupakan perjanjian, melainkan undang-undang yang dibuat oleh swasta; 2. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa; 3. Pada negara yang menganut sistem hukum kebiasaan tidak tertulis sebagai sumber hukumnya, perjanjian baku dianggap bertentangan dengan hati nurani. Oleh karena itu, perjanjian baku dianggap meniadakan pengadilan. Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena: 52 51 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 265 Universitas Sumatera Utara 1. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan fictie van wil en vetrouwen yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu; 2. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yan membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya. 3. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan gebruk yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Dengan demikian, keabsahan perjanjian baku terletak pada persetujuan kedua belah pihak guna menunjang dan menjamin keberlangsungan usaha. Meskipun pada umumnya di dalam perjanjian baku terdapat syarat-syarat yang tidak setara antara pihak yang telah mempersiapkan bank dengan pihak yang disodorkan nasabah debitur, biasanya nasabah debitur menerimanya dengan segala konsekuensi yang dapat timbul di kemudian hari. Dengan sendirinya pihak yang telah mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan dirinya dan membebani pihak lain dengan kewajiban-kewajiban yang tidak setara. b. Akta Autentik Akta autentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak untuk dijadikan sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, akta autentik berupa akta yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuat. Dengan kata lain, undang-undang mengatakan bahwa bentuk akta sudah ditentukan 52 Ibid., hal. 266 Universitas Sumatera Utara oleh undang-undang, dibuat oleh danatau pegawai umum, yang biasanya disebut notaris. Perjanjian kredit yang berbentuk akta autentik pada umumnya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang. Biasanya dikhususkan kepada kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit sindikasi. Dalam prakteknya, meskipun akta tersebut dibuat oleh danatau dihadapan notaris, namun segala syarat dan ketentuan yang terdapat dalam akta sudah dibuat oleh bank, kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan ke dalam akta. Menurut Robert Burges, perjanjian kredit yang baik seyogianya sekurang- kurangnya berisi klausul-klausul seperti berikut: 53 1. Klausul-klausul tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit, dan batas izin kredit; 2. Klausul-klausul tentang bunga, commitment fee, dan denda kelebihan tarik; 3. Klausul tentang kuasa bank untuk melakukan pembenahan atas rekening giro dan rekening pinjaman nasabah debitur; 4. Klausul tentang representations and warranties, yaitu klausul yang berisi pernyataan nasabah-nasabah debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan, dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut; 5. Klausul tentang conditions presedent, yaitu klausul tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah debitur berhak untuk pertama kalinya untuk menggunakan kredit tersebut; 6. Klausul tentang agunan kredit dan asuransi barang-barnag agunan; 7. Klausul tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hubungan rekening koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan; 53 Robert Burges, Law of Loans and Borrowing, London: Sweet and Maxwel, 1989, hal. 6006. Dikutip dari: Sutan Remy Sjahdeini, Ibid. hal. 197 Universitas Sumatera Utara 8. Klausul tentang affirmative covenants, yaitu klausul yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku; 9. Klausul tentang negative convenants, yaitu klausul yang berisi janji nasabah debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku; 10. Klausul tentang financial covenants, yaitu klausul yang berisi janji nasabah untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu; 11. Klausul tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan, dan penyelesaian kredit; 12. Klausul tentang events of default, yaitu klausul yang menentukan suatu peristiwa-peristiwa yang apabila terjadi, memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh outstanding kredit; 13. Klausul tentang arbitrase, yaitu klausul yang mengatur penyelesaian perbedaan pendapat dan perselisihan diantara para pihak melalui suatu badan arbitrase, baik badan arbitrase ad hoc atau badan arbitrase institusional; 14. Klausul-klausul bunga rampai atau miscelleneous provisions atau boiler plate provisions, yaitu klausul-klausul yang berisi syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan secara khusus di dalam klausul-klausul lain. Termasuk di dalam klausul-klausul ini adalah yang disebut pasar tambahan, yaitu klausul yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tambahan yang belum diatur di dalam pasal-pasal lain atau berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan khusus yang dimaksudkan sebagai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku. Mengenai isi atau klausula perjanjian kredit atau pengakuan hutang ini ada suatu hal yang benar-benar harus diperhatikan dan dilakukan setiap akan diadakan akad kredit, yaitu “review isi perjanjian” yang akan ditandatangani. Pentingnya Review atas isi perjanjian tersebut, mengingat bahwa : a. Dalam setiap pembuatan draft perjanjian kredit atau pengakuan hutang baik di bawah tangan maupun oleh notaris, akan selalu terdapat kemungkinan adanya kesalahan. Universitas Sumatera Utara b. Bahwa apabila terdapat kesalahan terhadap isi perjanjian tersebut, baik kesalahan tulisan maupun mateirnya, oleh debitur dapat saja dijadikan alasan dalam perselisihan nantinya. Dari paparan seperti tersebut di atas nampak jelas bahwa terdapat beberapa prinsip yang harus dipegang oleh bank dalam rangka mempertimbangkan penilaian sampai dengan tahapan pemberian kredit terhadap para nasabah yang mengajukan permohonan kredit. Apabila dilihat dari pemberian kredit bank secara keseluruhan, terdapat beberapa tahap yang harus ditempuh, menurut Potan Arif Harahap tahapan-tahapan tersebut meliputi : 54 1. Tahap permohonan kredit; 2. Tahap pertimbanganpenilaian pemohon; 3. Tahap pemberian kredit; 4. Tahap pengawasan kredit; 5. Tahap pelunasan kredit. Tahap-tahap tersebut di atas dilakukan secara runtun dan dengan prinsip kehati-hatian agar kredit yang dikucurkan pada nasabah betul-betul sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, sehingga dapat terhindar dari resiko kegagalan atau kemacetan kredit. Tahap-tahap prosedur perkreditan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 55 54 Potan Arif Harahap, Aspek Hukum Peran Serta Bank dalam Pengelolaan Lingkungan, makalah yang diajukan sebagai persyaratan dalam mata kuliah Hukum Lingkungan, Fakultas Pasca Sarjana Bidang Ilmu Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, 1985, dikutip dari : Koesnadi Hardjasoemantri, Op.cit, hal. 363. Universitas Sumatera Utara 1. Tahap Permohonan Kredit Disamping pemohon mengemukakan alasan permohonan kredit, jumlah kredit yang dibutuhkan, cara pembayaran kembali dan jaminan yang harus diserahkan yang disertai dengan studi kelayakan serta neraca dan laporan tahunan, maka seyogianya juga menguraikan apakah usahanya baik sekarang atau yang akan datang akan mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan. Jika ya, apa usaha dan rencana untuk mengatasi hal tersebut dan apakah biaya untuk keperluan tersebut termasuk dalam jumlah kredit yang dimohon. 2. Tahap Pertimbangan Penilaian Pemohon Dalam melakukan penilaian tidak cukup hanya dengan mengandalkan analisis angka-angka yang disajikan oleh pemohon dan pemeriksaan lapangan mengenai barang-barang jaminan yang akan diserahkan. Bank juga harus mengecek kebenaran atas keterangan tentang ada atau tidaknya kemungkinan pencemaran atau perusakan lingkungan dengan meminta pendapat departemen, jawatan atau badan pemerintah yang bersangkutan, serta mengadakan pemeriksaan lapangan. Untuk melaksanakan semuanya itu tentunya pertimbangan atau penilaian akan tergantung kepada pengetahuan petugas bank mengenai dampak lingkungan. Dengan demikian mereka harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup. 3. Pemberian Kredit 55 Ibid., hal. 363-366. Universitas Sumatera Utara Bila permohonan disetujui, diadakan suatu akad kredit. Dalam perjanjian tersebut harus juga dicantumkan klausul yang mewajibkan debitur untuk mengelola lingkungan hidup. Dalam pencantuman jumlah kredit yang disediakan, jika perlu dipecah menjadi dua : a Jumlah yang diperlukan untuk usahanya; b Jumlah yang diperlukan untuk membiayai alat-alat untuk mengatasi pencemaran atau perusakan lingkungan. Jangka waktu pembayaran kembali kedua jumlah tersebut tidak perlu sama, syarat pembayaran kredit untuk membiayai alat-alat mengatasi pencemaran dapat ditetapkan lebih lunak. 4. Pengawasan kredit Sebagai konsekuensi dari ketentuan dalam perjanjian kredit yang membedakan kewajiban kepada debitur untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup, debitur selain mengirimkan laporan berkala tentang produksi, penjualan, dan keadaan barang jaminan, seyogyanya juga diharuskan membuat laporan tentang dampak lingkungan, yang kemudian dicek di lapangan oleh bank. 5. Perlunasan Kredit Masalah pelunasan kredit, tepat atau sebelum waktunya melunasi, jangan dijadikan sebagai ukuran untuk menilai debitur sebagai nasabah yang baik. Kalau ternyata ia tidak memenuhi kewajiban dalam pengelolaan lingkungan hidup, Universitas Sumatera Utara konditenya dalam administrasi bank harus dicatat sebagai kurang baik, sehingga harapannya untuk memperoleh kredit diwaktu yang akan datang akan berkurang. Dari uraian tentang tahap-tahap prosedur Sistem Perkreditan berwawasan lingkungan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tahap-tahap tersebut sama dengan tahapan kredit pada umumnya. Hanya saja di dalam prosedur sistem kredit berwawasan lingkungan mempunyai kekhususan tertentu yang tidak dimiliki oleh prosedur kredit pada umumnya.

C. Pengaturan Green Banking dalam Perkreditan