C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk memahami dan mengetahui Green Banking dalam kebijakan perkreditan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui peran dan tanggung jawab perbankan dalam penegakan Green Banking mengenai kebijakan kredit.
3. Untuk mengetahui dan memahami instrumen Green Banking dalam perjanjian kredit.
D. Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau informasi di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang perbankan, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat
menjadi bahan studi lanjutan untuk melengkapi materi hukum ekonomi.
2. Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sebagai kontribusi yuridis kepada pengambil keputusan dalam bidang
perbankan, bagi kalangan praktisi, pemerintah, DPR, peminat dunia industri Perbankan, serta masyarakat penyimpan dana pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti dan tenaga administrasi di Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara bahwa tidak terdapat tesis yang menganalisa topik yang terkait dengan kebijakan perbankan dalam konteks perkreditan yang berwawasan
lingkungan. Oleh karena itu penelitian ini adalah “asli”, karena sesuai dengan asas- asas keilmuan yakni: jujur, rasional, objektif dan terbukatransparan. Sehingga
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan kritikan, serta saran-saran yang bersifat membangun.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori
Kelangsungan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh
teori.
7
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,
8
dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.
9
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta :UI-Press, 1986, hal. 6
8
J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta:Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hal. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan
Penelitian, Bandung : CV. Mandar Maju, 1994, hal. 27. Menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan
suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek
yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
9
Ibid, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan cara merumuskan konsep.
10
Sedangkan Snelbecker yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti
aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.
11
Dari pengertian tersebut di atas, maka dapat diambil suatu pengertian perihal Kerangka Teori, yaitu bahwa kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-
butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
12
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.
13
Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam permasalahan penelitian, yakni mengenai sinkronisasi
dan harmonisasi peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang green banking secara vertikal, maka teori yang hendak digunakan untuk hal tersebut adalah teori
Hans Kelsen mengenai keabsahan norma dasar dari peraturan perundang-undangan terhadap tingkatan yang lebih tinggi.
10
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1996, hal. 19
11
Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 103.
12
M. Solly Lubis, Op. Cit, hal. 80
13
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kelsen, pernyataan bahwa norma yang mengacu kepada perilaku manusia adalah “absah” berarti bahwa ia bersifat mengikat, bahwa seorang individu
mesti berperilaku dengan cara yang ditetapkan oleh norma itu.
14
Keabsahan atau keberlakuan dari suatu norma bukanlah fakta, tapi karena dia merupakan harapan out
to be, sebab sesuatu yang out to be tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berlaku is. Dengan kata lain, dari keadaan bahwa sesuatu itu ada tidak bisa
disimpulkan bahwa sesuatu itu seharusnya terjadi, dan bahwa sesuatu yang seharusnya ada, tidak bisa menjadi alasan bahwa sesuatu itu ada. Yang bisa menjadi
alasan keberlakuan sebuah norma hanyalah keberlakuan norma lain. Sebuah norma yang mempresentasikan alasan bagi keberlakuan norma lain secara kiasan dikatakan
sebagai norma yang lebih tinggi dalam kaitannya dengan norma yang lebih rendah.. Oleh sebab itu pula untuk mengukur keabsahan suatu norma hanya dapat
dilaksanakan dengan cara melihat hubungan antara norma-norma hukum yang diatur oleh peraturan yang lebih tinggi dengan norma-norma hukum yang diatur oleh
norma-norma hukum yang lebih rendah tingkatannya, yang kedua-duanya diundang oleh otoritas.
Norma dasar yang terkandung dalam peraturan perundangan-undangan lebih tinggi merupakan premis mayor out to be, sedangkan yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan premis minor is. Namun hanya premis mayor, yang berupa pernyataan seharusnya out to
14
Hans Kelsen, Alih bahasa oleh Raisul Muttaqien, Pure Theory of Law, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung : Nusamedia Nuansa, 2007, hal. 216
Universitas Sumatera Utara
be, yang merupakan conditio per quam dalam kaitannya dengan simpulan, yang juga berupa pernyataan seharusnya out to be, yakni norma yang keabsahannya
dinyatakan dalam premis mayor merupakan alasan bagi keabsahan norma yang keabsahannya dinyatakan dalam kesimpulan. Sedangkan pernyataan adalah is yang
berfungsi sebagai premis minor hanya merupakan conditio sine quanon dalam kaitannya dengan simpulan. Artinya fakta yang terdapat atau keberadaannya
dinyatakan sebagai is dalam premis minor pada tingkatan peraturan perundang- undangan yang lebih rendah derajatnya bukan merupakan ukuran mengenai
keabsahan norma yang keabsahannya ditegaskan dalam simpulan. Kelsen berpendapat bahwa hanya otoritas yang berkompeten saja yang dapat
menciptakan norma-norma hukum yang valid dan kompetensi itu hanyalah berdasarkan kepada norma-norma hukum yang diciptakannya. Penguasa atau
pemerintah mempunyai otorisasi untuk menciptakan norma-norma dan dia merupakan subyek hukum dalam norma-norma hukum yang diciptakannya tersebut
sebagaimana yang berlaku bagi individu. Keabsahan dari norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya
hanyalah dapat diukur dengan jalan menelusurinya kembali melalui norma-norma dasar dari suatu sistem norma. Norma-norma dasar merupakan sumber-sumber yang
sifatnya umum untuk melihat dan atau mengukur tentang keabsahan dari semua norma-norma hukum dari peraturan yang sama. Suatu norma hukum dapat dikatakan
absah apabila ia diciptakan berdasarkan norma-norma dasar yang lebih tinggi. Karena itu, suatu norma hukum harus merupakan bagian dari suatu peraturan perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan yang penciptaannya berdasarkan norma-norma dasar. Oleh karena itu pula norma-norma hukum dari suatu peraturan perundang-undangan harus diciptakan
melalui proses yang tertentu. Dapat disimpulkan dari uraian di atas bahwa norma-norma hukum dari suatu
peraturan perundang-undangan keabsahan norma-normanya hanya dapat diukur melalui tingkatan-tingkatan peraturan perundang-undangan itu sendiri, yang secara
teoritis harus terkoordinasi tingkatan demi tingkatan melalui tingkatan perundang- undangan itu.
Dengan demikian keabsahan norma-norma hukum dari suatu peraturan perundang-undangan tingkat keberlakuannya hanya dapat diakhiri berdasarkan
aturan-aturan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dengan menggunakan teori dari Kelsen mengenai sinkronisasi dan harmonisasi
hukum melalui kajian terhadap keabsahan norma-norma hukum berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, diharapkan dapat mengungkapkan data tentang
kelemahan-kelemahan yang ada dari norma-norma hukum mengenai pengaturan Green Banking dan implikasi-implikasi yuridis yang timbul dari kondisi tersebut
terhadap penerapan hukumnya. Teori dan konsep mengenai disiplin hukum merupakan bagian dari ilmu
hukum teori hukum terutama kaidah hukum normwissenscahf atau das Sollen. Setiap kaidah hukum pada umumnya berisikan satu atau lebih fakta positif mengenai
pola-pola perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kajian terhadap ilmu kaidah dimaksudkan untuk menganalisis sampai sejauh manakah kaidah-kaidah
Universitas Sumatera Utara
hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum negara yang mengatur tentang green banking telah dipersiapkan sedemikian rupa sehingga
dapat memperkirakan das Sein-nya yang pada akhirnya dapat pula diperkirakan mengenai derajat penegakannya.
Dalam konsep perlindungan lingkungan, manusia dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan keberadaannya dalam lingkungan kehidupannya dengan
unsur-unsur lingkungan lainnya, sumber daya alam dan sumber daya buatan. Lingkungan merupakan suatu kesatuan yang sedemikian komplek isi muatannya.
Kompleksitas tersebut tidak hanya menggambarkan tentang isi dari lingkungannya, tetapi juga menggambarkan pula tentang adanya hubungan yang berkaitan antara
unsur-unsur dari lingkungan, sebagai gambaran akan adanya hubungan timbal balik. Konsep-konsep hukum pada mulanya hanya mengatur tentang bagaimana
manusia mendapatkan landasan hak untuk dapat menguasai suatu hak kebendaan yang berhubungan erat dengan sumber-sumber daya alam. Dalam perkembangannya
konsep hukum telah memuat pula asas-asas atau dasar-dasar filosofi tentang bagaimana sumber daya alam dan sumber daya buatan sebagai unsur yang sangat
penting dalam menjaga kelestarian dan daya dukungmanfaat lingkungan tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban
bukan saja kepada manusia pada generasi yang sama, tetapi bagaimana tingkat kelestarian dan manfaat lingkungan tersebut masih dapat dinikmati oleh generasi-
generasi yang akan datang “generation unborn”.
Universitas Sumatera Utara
Sejak tahun 1968 dengan adanya The Biosphere Conference, muncul istilah- istilah “Suistanable Development”, “Suistanable Use”, dan seterusnya. Suistanable
Development adalah konsep nilai yang terdeskripsi dari formula Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio sebagai upaya kompromi antara kalangan developmentalis dan
environmentalis. Namun tampaknya environmentalis belum puas dengan konsep pembangunan berkelanjutan karena bila mencermati konsep demikian yang ditilik
dari segi manapun selalu lebih aksentual kepada pembangunan.
15
Gerakan kesadaran lingkungan telah mampu meyakinkan para politisi dan pengambil keputusan tentang pentingnya masalah lingkungan terintegrasi dalam
konsep-konsep pembangunan. Komitmen mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan pun
menjadi titik tolak atau orientasi pembangunan nasional pascakonferensi Stockholm 1972. Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan berdasarkan Deklarasi Stockholm 1972
diaktualisasikan ke dalam perundang-undangan nasional UULH-82 dan disempurnakan pada tahun 1997 UUPLH-97 berdasarkan perkembangan baru
dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992. Deklarasi Rio yang menyoroti aspek lingkungan dan pembangunan itu merupakan refleksi dari komitmen terhadap
berbagai prinsip yang menunjang konsep pembangunan berkelanjutan suistainable development.
Menurut Daud
Silalahi, pembangunan
berkelanjutan suistainable
development merupakan konsep baru yang terkait dengan konsep pembangunan. Arti keterkaitan ini dapat dihubungkan dengan masalah efisien dan keadilan. Melakukan
15
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, jakarta: Pancuran Alam, 2008, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
efisien untuk memperbesar kue pembangunan dan keadilan equity untuk pembagian yang layak dan menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.
16
Konsep-konsep hukum yang baru yang dikandung dalam konsep-konsep di atas telah mencoba mengharmonisasikan antara kedua kepentingan yang satu dengan
lainnya yang saling mempengaruhi, yakni antara eksploitasi dan konservasi, antara eksplorasi dan pelestarian, antara “development” dan “conservation” dan antara
pemanfaatan dan pengelolaan, sebagai pasangan nilai-nilai suatu sistem pengelolaan yang harus dibakukan dalam setiap produk hukum yang mengaturnya.
Selanjutnya muncul pula istilah-istilah tentang perusakan dan pencemaran lingkungan, yang kemudian diatur oleh peraturan-peraturan hukum tentang cara
pencegahan dan penanggulangannya. Di negara-negara yang telah maju seperti di negara di Eropa, Amerika dan Kanada, hal-hal semacam itu telah membudaya dalam
kehidupan sehari-hari. Peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pemanfaatan sumber-sumber daya alam telah memuat unsur-unsur dan kaidah-kaidah
hukum tentang pencegahan dan penanggulangan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pemuatan konsep-konsep ekologi ke dalam konsep hukum dimaksudkan
untuk menjaga tingkat keberlanjutan fungsi alam bagi kehidupan manusia, baik generasi yang sekarang maupun yang akan datang.
16
Daud Silalahi, Perangkat Hukum Nasional, Regional dan Internasional dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, Artikel pada Jurnal Hukum Lingkungan Tahun I Nomor I,
diterbitkan oleh ICEL, Jakarta, 1994, hal. 37. Dikutip dari : Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, Sebuah Upaya
Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Bandung: P.T. Alumni, 2008, hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
Konsep Green Banking sebenarnya bukan seluruhnya hal yang baru. Sering orang memperkirakan apakah konsekuensi tindakan yang akan dilakukannya, dan
memikirkan apakah konsekuensi tindakan yang akan dilakukannya, dan memikirkan tindak lanjut apa yang diperlukan untuk memperbesar atau memperkecil konsekuensi
tindakannya itu. Konsep Green Banking mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap pembangunan yang didasarkan pada
konsep ekologi. Ilmu ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik atau interaksi antara pembangunan dan lingkungan.
2. Konsepsi