sistem pembuktian terhadap informasi teror melalui website, serta agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peran serta wewenang kejaksaan sebagai
penuntut umum dalam perkara terorisme.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan pemeriksaan di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, perpustakaan fakultas pascasarjana USU, perpustakaan fakultas hukum USU. Namun penulis tidak ada menemukan judul tesis yang memiliki
kemiripan dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dinyatakan masih asli dan jauh dari
sifat plagiat terhadap karya tulis orang lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Beberapa teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian rekaman elektronik ini, peneliti mendasarkan pada teori-teori pembuktian yakni Conviction in
Time,
17
Conviction-Raisonee ,
18
17
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP Jilid II
. Jakarta: Pustaka Kartini, 1988, hal. 278, sistem pembuktian conviction-in time
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa.
Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara
Universitas Sumatera Utara
Positif,
19
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif Negatief Wettelijk Stelsel
,
20
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa
semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan
terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa
sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa
dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah,
sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud
kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.
gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang
18
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor
keyakinan hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran ”keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem convic-tion-raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan ”alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem
conviction-raisonee,
harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus ”reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-
dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
19
Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut
undang-undang secara positif, ”keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau
tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata
”digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah ”robot pelaksana” undang-undang yang tak memiliki
hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib
mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara,
hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuraduk hasil pembuktian yang diperoleh di
persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi
menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Bagaimana kalau sistem ini dibandingkan dengan sistem pembuktian keyakinan atau conviction-in time? bahwa sistem
Universitas Sumatera Utara
diatur dalam KUHAP. Teori pembuktian lain yang digunakan peneliti adalah, peneliti juga menggunakan sistem pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian
dimana si terdakwa diperbolehkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya.
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa alat bukti rekaman elektronik dalam tindak pidana pencucian uang tidak termasuk ke dalam bukti pendukung atau alat
bukti petunjuk sebagaimana alat-alat bukti yang disebutkan di dalam KUH Pidana dan KUHAP akan tetapi merupakan alat bukti tersendiri atau berdiri sendiri.
21
Sebenarnya bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa exstra ordinary crime, oleh sebab itu, maka untuk membuktikan kesalahan
pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, lebih
dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan
undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
20
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif ”menggabungkan” ke dalam
dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak
belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Rumusannya berbunyi adalah ”salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.”
21
Ibid, hal. 317, Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Sebagaimana dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi,
keterangan ahli dan alat bukti surat, hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian ”yang bebas”. 1.
Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang dieujudkan oleh petunjuk oleh karena itu, Hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian;
2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesahan terdakwa, dia tetap
terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat
bukti yang lain.
Universitas Sumatera Utara
terdakwa dalam tindak pidana terorisme, diperlukan hukum acara yang dikecualikan dari KUHAP karena akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana teorisme ini
menyangkut banyak korban nyawa selain itu dengan banyaknya aksi teror di suatu negara, menjadikan eksistensi negara tersebut jatuh di mata dunia sehingga investor
pun enggan untuk menanamkan modalnya di negara yang terkena teror tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam
pembuktian alat-alat bukti tindak pidana terorisme, di samping teori pembuktian yang dianut di dalam KUHAP yaitu pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif
Negatief Wettelijk Stelsel yang merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time , juga digunakan teori pembuktian dengan asas pembalikan beban
pembuktian atau pembuktian terbalik yang dikenal di beberapa tindak pidana tertentu termasuk tindak pidana terorisme.
22
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari
keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yakni “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut
keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah
suatu ”sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Sehingga
22
Yunus Husein., ”Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”, Makalah disampaikan dalam ceramah Program Pascasarjana S-2 Bidang Kajian Utama
Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Jakarta, tanggal 8 Mei 2004, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
rumusannya berbunyi, ”salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang”. Oleh sebab itu, salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan
keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan terdakwa dibarengi dengan keyakinan hakim.
Bertitik tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat
dua komponen:
23
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang. b.
Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur ”objektif” dan ”subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di
antara kedua unsur tersebut. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara
23
M. Yahya Harahap., Op. cit, hal. 279.
Universitas Sumatera Utara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim ”tidak yakin” akan
kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan
kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.
Jika diperhatikan kepada pembuktian menurut undang-undang secara negatif, menempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan
salah atau tidaknya terdakwa, pembuktian semacam ini pernah dianut di Indonesia yakni pada pengadilan distrik dan kabupaten.
24
24
Andi Hamzah I., Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 260.
Umpamanya, walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah,
pembuktian itu dapat ditiadakan dengan adanya keyakinan hakim. Apalagi jika pada diri hakim terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan
suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
Terdakwa memang cukup terbukti secara sah. Namun, sekalipun terbukti secara sah, hakim tidak yakin akan kesalahan yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu,
terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum. Barangkali di sinilah letak
Universitas Sumatera Utara
kelemahan sistem ini. Sekalipun secara teoretis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tetapi dalam praktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim
yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang
tangguh benteng iman dan moralnya, mudah sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.
25
Pembuktian menurut R. Subekti disebutkan bahwa, ”Proses meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam
suatu perkara. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan”.
26
Menurut R. Supomo, pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum, yaitu
misalnya apabila Hakim mengabulkan tuntutan, maka pengabulan ini mengandung arti bahwa, hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang didakwakan adalah benar.
Untuk membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat yang sah. Dalam arti yang terbatas terdapat pembuktian yang
hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya dibantah oleh terdakwa dan apa yang tidak dibantah tidak perlu
dibuktikan. Dalam arti yang terbatas inilah orang mempersoalkan hal pembagian
25
Ibid, hal. 279-280.
26
R. Subekti., Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
beban pembuktian.
27
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai beberapa pengertian, yaitu pengertian secara logis, secara konvensional, dan secara yiridis.
28
Dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif, yaitu hakim berkewajiban untuk memperoleh bukti yang cukup mampu membuktikan tentang apa yang dituduhkan
kepada terdakwa.
29
Pembuktian dalam ilmu hukum diatur secara komprehensif dan lugas. Meskipun telah diatur secara komprehensif dan lugas, namun nilai pembuktiannya
tidak dapat secara mutlak dan lebih bersifat subyektif. Jadi, kebenaran yang dicapai merupakan kebenaran yang relatif. Hal ini disebabkan karena pembuktian dalam
27
R. Supomo., Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hal. 62-63.
28
Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti, 1988, hal. 103-104, membuktikan dalam dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena
berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Contohnya berdasarkan aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mengkin bersilang. Pembuktian dalam arti konvensional
adalah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan yaitu, Pertama, Kepastian yang didasarkan atas atas perasaan belaka, karena didasarkan atas perasaan maka, kepastian
ini bersifat intuitif conviction in time; dan Kedua, Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee. Membuktikan dalam arti yuridis ialah memberikan
dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku
bagi pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka, dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinannya bahwa
pengakuan, kesaksian atau bukti tertulis itu tidak benar atau dipalsukan, maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan secara yuridis dalam hukum acara pidana tidak sama
dengan hukum acara perdata, terdapat ciri-ciri khusus, Pertaman, dalam hukum acara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari pada pihak yang
berperkara. Sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materil, yaitu kebenaran sejati, yang harus diusakahan tercapai, Kedua, dalam hukum acara perdata, hakim bersifat
passif yaitu hakim memutuskan perkara semata-mata berdasrkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak-pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa mereka itu dalam sidang
pengadilan. Jadi, hakim tidak mencampuri hak-hak induividu yang dilanggar, selama orang yang dirugikan tidak melakukan penuntutan di pengadilan.
29
Teguh Samudera., Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992, hal. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
ilmu hukum hanyalah sebagai upaya memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta yang dikemukakan agar masuk akal, yaitu apa yang dikemukakan dengan fakta-
fakta itu harus selaras dengan kebenaran. Sehingga, keyakinan tentang sesuatu hal memang benar-benar telah terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh
pihak lainnya, karena apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti dengan dapat diterimanya oleh pihak lain, maka akan tidak memunyai arti. Tidak mempunyai arti
dimaksud karena bukti dalam ilmu hukum itu hanya menetapkan kebenaran terhadap pihak-pihak yang berperkara saja. Jadi, tidak seperti bukti dalam ilmu pasti
yakni berlaku umum, yang berarti menetapkan kebenaran untuk setiap orang dan mutlak sifatnya.
30
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu communis opinio. Secara tidak langsung bagi hakim
karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa mengkualifisirnya dan kemudian mengkonstituir maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas
pembuktian tersebut.
31
Menurut A. Mukti Arto, tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi
guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang
diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya
30
Ibid, hal. 10-11.
31
Sudikno Mertokusumo., Op. cit, hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
hubungan antara para pihak.
32
Sekalipun kebenaran pembuktian dalam ilmu hukum bersifat relatif, akan tetapi mempunyai nilai yang cukup signifikan bagi para hakim. Karena fungsi
pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok perkara bagi hakim.
33
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli hukum tentang arti pembuktian sebagaimana disebutkan di atas, dapat dimengerti bahwa pembuktian
adalah suatu proses mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan alat- alat bukti di muka persidangan sesuai dengan hukum acara yang berlaku dalam hal
tindak pidana pencucian uang berlaku hukum acara pidana sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dari alat-alat bukti yang menjadi dasar
tuntutan, atau alat-alat bukti yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran alat-alat bukti yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
Karena itu, hakim akan selalu berpedoman dalam menjatuhkan putusannya dari hasil pembuktian. Oleh karena itu,
acara pembuktian menempati posisi penting dari jalannya persidangan di pengadilan.
Dalam kaitannya terhadap KUHAP, yang perlu dibuktikan adalah perbuatan yang memiliki unsur kesalahan schuld. Menurut Pompe, yang perlu dibuktikan
adalah kesalahan si terdakwa, yang mengandung ciri-ciri atau unsur-unsur sebagai
32
A. Mukti Arto., Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 140.
33
Bachtiar Effendi, dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
berikut:
34
1. Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
2. Dolus kesengajaan atau Culpa kealpaan; dan
3. Kemampuan bertanggung jawab pelaku.
Sehubungan dengan itu, pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan perkara perdata. Biasanya pembuktian dalam perkara pidana lebih ketat
dibandingkan dengan pembuktian dalam perkara perdata. Karena dalam praktek pidana yang mencari kebenaran materiil, dianut pembuktian dengan stelsel
negative , artinya untuk menjatuhkan putusan dalam perkara pidana tidak cukup
berdasarkan alat bukti saja, tetapi juga diperlukan adanya keyakinan hakim, apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah, dan pembuktian ini dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum.
35
Pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang menyatakan atau menuntut atau mengklaim suatu hak. Beban pembuktian seperti ini, berlaku di
negara-negara yang menganut sistem civil law continental, seperti di Indonesia. Dimana pembuktian terbalik dilakukan oleh terdakwa pada waktu membacakan
pembelaannya dan dapat diulangi lagi pada memori banding dan memori kasasi.
36
Teori Negatif dalam hukum pidana mengatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang
34
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 163.
35
Adrian Sutedi., Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 288.
36
Ibid, hal. 290.
Universitas Sumatera Utara
sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini dianut dalam HIR, sebagaimana terdapat dalam Pasal 294 HIR Ayat 1, yang pada
dasarnya ialah:
37
a. Keharusan adanya keyakinan Hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada;
b. Alat-alat bukti yang sah.
Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana terkandung dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP, meyebutkan sebagai berikut;
38
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”.
Meneliti Pasal 183 menyatakan, ”Sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah”, ”bukan satu alat bukti”, maka seorang terdakwa telah memenuhi
unsur batas minimum pembuktian. Namun menurut hukum posistif unsur sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah harus ditambah dengan unsur keyakinan hakim
sebagai unsur complimentary pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formal dalam model putusan.
39
Teori bebas adalah teori yang tidak mengikat hakim kepada aturan hukum yang dijadikan pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa yang
didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh
37
Ibid, hal. 279.
38
KUHAP, Op. cit, Pasal 183.
39
M. Yahya Harahap., Op. cit, hal. 282-283.
Universitas Sumatera Utara
pengalaman.
40
Teori bebas dimungkinkan terjadi karena globalisasi menimbulkan teori baru yang relevan dengan situasi saat ini dan akhir-akhir ini berkembang suatu teori baru
yakni teori modern. Teori ini tidak dianut dalam sistem HIR maupun sistem KUHAP. Berdasarkan teori-teori pembuktian yang telah dikemukakan, dan sistem
pembalikan beban pembuktian di atas, secara khusus bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, UUPTPT ditentukan bahwa,
alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: a.
Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b.
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada: 1
Tulisan, suara, atau gambar; 2
Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; 3
Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pada Pasal 27 huruf a, mencakup alat bukti yang disebutkan di dalam KUHAP. Sedangkan pada huruf b, dan c inilah yang dimaksud dengan alat bukti lain
yang dikenal di dalam UUPTPT selain itu juga dikenal di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UUPTPPU, Undang-Undang
40
Martiman Prodjohamidjojo., Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999
, Jakarta: C.V. Mandar Maju, 2001, hal.101.
Universitas Sumatera Utara
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UUITE. Dimana dalam undang-undang terkait ini dikenal dengan alat bukti elektronik yang dijadikan
sebagai alat bukti di dalam pembuktian tindak pidana terorisme. Sedangkan dalam pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang, yakni
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaanya. Kata-kata ”bersifat terbatas” dimaksudkan bahwa apabila terdakwa secara
yakin dapat membuktikan bahwa dakwaan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti atau tidak benar, hal ini bukan berarti terdakwa tidak melakukan tindak pidana sesuai
dengan apa yang didakwakan oleh JPU. Sebab JPU, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
41
Dipandang dari sisi tersangka atau terdakwa, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan tersangka atau terdakwa untuk dapat
meyakinkan hakim di muka persidangan. Sedangkan jika dipandang dari pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan
oleh hakim untuk menjatuhkan putusan.
42
Jadi, alat-alat bukti sangat diperlukan oleh para pencari keadilan maupun pengadilan.
43
Dalam KUHAP, perihal alat-alat bukti tercantum dalam Pasal 184 dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa alat-alat bukti yang sah terdiri dari, keterangan saksi,
41
Ibid, hal. 108.
42
Nashr Farid Washil., Nazhoriyah ad Da’wa wa al-Istbat fii al-Fiqhi al-Islamiyyi ma’a al- Muqoronati bi al-Qoonunniyyi al- Wad’iyyi,
Kairo: Daaru Asy Syuruq, 2002, hal. 23.
43
Roihan A. Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
keterangan ahli, surat, petunjuk; dan keterangan terdakwa. Jika alat-alat bukti dalam KUHAP yang dijadikan dasar sebagai alat bukti dalam tindak pidana
terorisme mengenai alat bukti wibe site tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan kuat, dengan kata lain alat bukti tersebut merupakan alat
bukti yang lemah, karena wibe site menurut KUHAP dimasukkan ke dalam alat bukti petunjuk.
44
Hal tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam Pasal 189 Ayat 4 KUHAP bahwa, ”Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”.
Ketentuan itu, ketentuan tersebut sama halnya dengan pengaturan di dalam Pasal 308 HIR yang menegaskan bahwa, ”Untuk dapat menghukum terdakwa, selain daripada
pengakuannya harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti yang lain”. Jadi, jelaslah Dikatakan lemah karena ”sekurang-kurangnya harus ada
dua alat bukti” barulah putusan dapat dijatuhkan kepada terdakwa. Dengan demikian rekaman elektronik menurut KUHAP bukan alat bukti yang dapat
berdiri sendiri.
44
Andi Hamzah I., Op. cit., hal. 245. Petunjuk adalah “perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa. Tetapi, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik electronic data interchange, surat elektronik email, telegram, teleks, faksimili, dan dari
dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Universitas Sumatera Utara
bahwa jika hakim menerapkan macam-macam alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP, harus didukung oleh alat bukti lain untuk menjatuhkan sebuah putusan.
Oleh karena adanya pengecualian alat bukti dalam UUPTPT tersebut, disebabkan karena alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP sudah tidak mampu
sebagai lex generalis dalam hal merangkum alat-alat bukti, sehingg muncullah pengaturan yang bersifat lex specialist.
Mengenai elektronik disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UUITE, yang
dimaksud dengan informasi elektronik adalah, ”Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange EDI, surat elektronik electronic mail, telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah di dalam UUITE dan UUTPPU walaupun dalam hal pencarian pembuktiannya di perlukan keterangan ahli
dalam bidang elektronik tersebut untuk menguatkan suatu pembuktian yang menggunakan elektronik.
Ada beberapa cara untuk mengakui elektronik sebagai alat bukti yang sah di dalam persidangan pengadilan adalah sebagai berikut:
45
45
http:www.hukumonline.comberitabacahol5954data-elektronik-sebagai-alat-bukti- masih-dipertanyakan, diakses terakhir tanggal 7 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
1. Pada umumnya dalam praktek bisnis sudah banyak menggunakan perangkat
elektronik komputer dalam kegiatan bisnis, maka tidak ada satu alasan untuk menyetarakan dengan tulisan asli. Cakupannya begitu luas, seperti
persetujuan, elektronik, kompilasi data dalam berbagai bentuk. Termasuk undang-undang, opini dan hasil diagnosa yang dihasilkan pada waktu
transaksi itu dibuat atau yang dihasilkan melalui pertukaran informasi dengan menggunakan komputer. Begitu pula dalam kasus pidana jika terjadinya suatu
transfer dari antar bank terhadap niat pelaku untuk melakukan pencucian uang tentu setiap bank memiliki data-data di dalam komputernya, begitu juga
dengan kasus-kasus pidana lainnya seperti halnya pencabulan, pornografi, penghinaan nama baik dan sebagainya, sebatas bila kejahatan itu dilakukan
dengan menggunakan media computer. Semua bukti tersebut dapat diakui oleh hukum setelah mendengar pendapat keterangan seorang ahli. Data di
dalam komputer tersebut secara otomatis terekam secara elektronik juga bisa diakui tanpa adanya keterangan ahli, jika sebelumnya telah ada sertifikasi
terhadap metode bisnis tersebut. Cara ini disebut sebagai pengakuan yang didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data computer
storage
. Pengakuan tersebut sering digunakan dalam praktek bisnis maupun non-bisnis untuk menyetarakan dokumen elektronik dengan dokumen
konvensional. 2.
Dengan menyandarkan pada hasil akhir sistem komputer. Misalkan, dengan output
dari sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman log in internet, rekaman
telepon, dan transaksi ATM, gambar yang yang di-upload dalam suatu situs Artinya, dengan sendirinya rekaman elektronik tersebut diakui sebagai bukti
elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bisa dibuktikan lain.
3. Dengan memadukan dari dua cara di atas, yaitu beberapa rekaman elektronik
yang dihasilkan oleh output pada suatu sistem komputer yang selanjutnya ditambahi dengan keterangan ahli dalam bidang komputer.
Ada satu hal yang patut dipertimbangkan dalam pengakuan suatu elektronik, sejauh mana keamanan suatu sistem dan keterlibatan dari orang terhadap sistem
komputer tersebut. Karena biasanya, tindak pidana terorisme menggunakan komputer internet melibatkan orang yang ahli dalam membuat wibe site atau situs sehingga
data dapat dapat diinformasikan kepada seluruh dunia. Hampir semua negara di dunia menggunakan dan menerima suatu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan
komputer melalui internet ini kecuali ada juga data-data dan informasi yang tidak
Universitas Sumatera Utara
boleh diakses dengan sembarang orang karena dikunci oleh pemilik wibe site itu sendiri dan hanya bisa dikases oleh orang-orang tertentu. Menurut penulis wibe
site yang dikunci password inilah yang bisa kemungkinan digunakan oleh
para teroris dalam berkomunikasi sesama mereka. Berkenaan dengan itu, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sekarang sudah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 25 Ayat 1 menyebutkan bahwa, ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini”.
Selanjutnya Pasal 29 Ayat 1 menyebutkan bahwa, ”Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk
melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme danatau tindak pidana yang
berkaitan dengan terorisme”. Selanjutnya Pasal 30 Ayat 1 menyebutkan bahwa, ”Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang
diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme”.
Universitas Sumatera Utara
2. Landasan Konsepsional