Fungsi Sunat dan Sifon
5. Fungsi Sunat dan Sifon
Ritus sunat dan sifon dalam masyarakat Dawan tentu saja masih memiliki fungsi yang sangat besar dalam masyarakatnya karena ritual-ritual tersebut masih hidup dan
18 Studi kasus menggunakan metode Life History terhadap seorang tokoh muda berpendidikan tinggi, yang saat ini menjad i dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Kefa, bernama Mart in (35 tahun). Agency adalah
istilah di dala m sosiologi yang mengacu kepada ke ma mpuan individu bertindak secara independent dan me mbuat pilihannya sendiri secara bebas.
19 Structure adalah faktor-fa ktor seperti kelas sosial, aga ma, gender, etnik, adat istiadat yang me mbatasi
atau me mpengaruhi tindakan individu.
Ada indikasi yang menunjukkan bahwa se makin banyak generasi muda Da wan yang me laksanakan sunat di puskesmas-puskesmas, yang dilakukan oleh mantri atau dokter. Akan tetapi, sifon pada umumnya tetap dila ksanakan „agar orang tidak menjadi impoten‟ (lihat Swandari, 2007).
dipertahankan sampai saat ini. Lake (1999: 100) menyebutkan bahwa praktek sunat tradisional ini bukan saja masih marak dipraktekkan dalam masyarakat Dawan, baik masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan, tetapi juga semakin berkembang luas dengan terlibatnya para pemuda dari suku-suku di luar Dawan.
Berdasarkan uraian- uraian di atas dan wawasan teoretis yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa ritus sunat dan sifon dalam masyarakat Dawan benar-benar memiliki fungsi yang strategis dalam masyarakatnya. Karena itulah tradisi ini tetap dipelihara dan dilestarikan. Fungsi ritus ini bagaimana pun telah mengalami pergeseran dan perkembangan. Berikut ini diulas fungsi- fungsi sunat dan sifon dalam masyarakat Dawan.
5.1 Fungsi Kesuburan (Religius)
Masyarakat Dawan merupakan masyarakat petani yang sangat tergantung pada kesuburan alam semesta, sementara alam Pulau Timor adalah alam yang kering dan gersang. Berbagai strategi dilaksanakan oleh para petani untuk mendatangkan kesuburan bagi tanah dan bagi alam semesta. Salah satu cara yang paling purba adalah memberikan korban persembahan berupa manusia. Pengorbanan darah anak manusia menunjukkan kesungguhan hati para pembawa korban akan niat mereka memohon kesuburan bagi alam, bagi panenan yang melimpah. Dalam perkembangannya, korban darah manusia dan kematian dialihkan menjadi korban darah yang keluar dari penis anak laki- laki, berupa sunat. Penis disadari sebagai alat vital yang penting sebagai pencipta kehidupan.
Fungsi pertama dan utama pelaksanaan sunat dan sifon adalah korban persembahan yang diabdikan bagi kesuburan alam semesta. Darah yang dicurahka n dari luka sunat seorang anak laki- laki merupakan korban persembahan bagi dewa-dewa dan leluhur sebagai
permohonan agar dunia ini „disucikan‟ sebagaimana pertama kali diciptakan. Tindakan sunat tradisional yang berlumuran darah segar dengan resiko kematia n merupakan sebuah tindakan sakral yang secara simbolis menjadi persembahan yang dipandang layak bagi Dewa dan leluhur dengan imbalan kesuburan bagi alam. Pelaksanaan kegiatan sunat pada musim panen jagung merupakan ucapan syukur atas panenan yang melimpah.
Tindakan sifon (pelaksanan hubungan seks ritual) dengan tujuan „mendinginkan panas‟ akibat luka sunat merupakan simbol “mendinginkan bumi yang dipanasi” akibat musim panen yang hampir berlalu. Perempuan pasangan sifon dihargai sebagai sumber kesuburan. Di sini perempuan dikorbankan (karena seringkali mendapat penyakit kelamin) demi tujuan kesuburan. Perempuan dikorbankan dengan penuh kesadaran tanpa penyesalan (Sawu, 2004: 82), suatu tindakan yang dipandang mulia karena harus mengorbankan yang melindungi dan membuahi serta menyuburkan kehidupan itu sendiri.
Fungsi kesuburan dari tradisi sunat dan sifon ini menunjukkan bahwa tradisi ini sesungguhnya memiliki akar yang kuat dalam religiositas lokal masyarakat Dawan. Ritus ini
dapat dipandang sebagai sebuah ritus intensifikasi, yang mengarah pada pembaharuan dan mengintensifkan kesuburan, serta ketersediaan buruan dan panenan (Dhavamony, 1995: 179- 180). Orang Dawan purba yang melaksanakan ritus sunat dan sifon menginginkan agar leluhur memberikan musim tumbuh yang baik dan panenan yang berhasil.
5.2 Fungsi Sosial Budaya (Rites of Passage)
Fungsi sunat dan sifon mengalami pergeseran dari fungsi awalnya sebagai sebuah ritus kesuburan alam (motif religious) menjadi sebuah ritus peralihan (motif upacara antroposentris): peralihan anak laki- laki remaja menuju alam kedewasaan. Apabila anak peremp uan melewati fase remajanya dengan ritus „mengasah gigi” (supaya tampil lebih cantik), maka anak laki- laki mengikuti ritus sunat dan sifon (supaya tampil lebih perkasa). Ritus yang dulunya „religius‟ karena meliputi tindakan dan keyakinan yang ditujukan kepada makhluk- makhluk adikodrati untuk kepentingan kesuburan alam, maka kini sunat dan sifon Fungsi sunat dan sifon mengalami pergeseran dari fungsi awalnya sebagai sebuah ritus kesuburan alam (motif religious) menjadi sebuah ritus peralihan (motif upacara antroposentris): peralihan anak laki- laki remaja menuju alam kedewasaan. Apabila anak peremp uan melewati fase remajanya dengan ritus „mengasah gigi” (supaya tampil lebih cantik), maka anak laki- laki mengikuti ritus sunat dan sifon (supaya tampil lebih perkasa). Ritus yang dulunya „religius‟ karena meliputi tindakan dan keyakinan yang ditujukan kepada makhluk- makhluk adikodrati untuk kepentingan kesuburan alam, maka kini sunat dan sifon
Sebagai sebuah ritus peralihan, tampak je las adanya pentahapan ritual yang meliputi: tahap pemisahan, tahap peralihan atau liminalitas, dan tahap reintegrasi yang masih cukup lengkap dipraktikkan dalam masyarakat dawan. Anak yang dipandang masih remaja pertama- tama dipisahkan dari lingkungan pergaulannya dan memasuki hutan tempat pelaksanaan sunat. Dalam fase pelaksanaan sunat ini, yang merupakan fase liminal, anak-anak harus tinggal di kebun selama minimal delapan hari untuk mengobati dan menyembuhkan luka sunat. Setelah lukanya hampir sembuh, anak tersebut memasuki fase reintegrasi dengan masyarakatnya setelah melakukan sifon, ritus hubungan seks wajib sebagai „pendinginan‟.
Fungsi sunat sebagai sebuah proses maskulinitas ini mirip dengan tradisi sunat dalam masyarakat Dogon di wilayah Sanga Afrika Selatan (Beek, 1991). Bagi mereka, sunat merupakan sebuah ritus peralihan di mana peserta sunat dipindahkan ke pinggir desa dan dilindungi dari pandangan kaum perempuan. Mereka pun dipisahkan dari keluarga dan orang tuanya. Kulup bagi mereka merupakan sebuah unsur feminin yang harus dipotong agar anak itu dapat menjadi benar-benar laki- laki.
Dalam masyarakat Dawan, perlakukan sosial-budaya terhadap anak-anak yang belum disunat berbeda dengan anak-anak yang telah disunat. Anak-anak yang belum disunat dipandang sebelah mata, baik dari kaum pria maupun kaum wanita. Sindiran-sindiran seringkali harus mereka terima. Sebaliknya mereka yang telah disunat dipandang sebagai laki- laki „meo‟, laki-laki perkasa yang siap menikah. Mereka lebih dihargai dan dipandang sebagai orang dewasa. Ritus sunat dan sifon pun memiliki fungsi sosial-budaya sebagai sebuah tindakan prestisius
5.3 Fungsi Seksualitas (Maskulinitas)
Studi lapangan membuktikan bahwa fungsi seksualitas (khususnya maskulinitas) merupakan fungsi yang hampir-hampir mutlak dalam kesadaran historis masyarakat Dawan saat ini. Sunat dan sifon dipercaya memiliki fungsi membuat daya tahan penetrasi pria dalam hubungan seksual lebih lama. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap kenikmatan seksual yang dirasakan pihak istri. Inilah sebabnya banyak perempuan Dawan yang menolak lamaran seorang pria jika sang pria belum melaksanakan sunat dan sifon. Dengan terus terang mereka menyindir sang pria yang belum disunat itu sebagai “orang yang masih pakai topi”, “orang
yang badannya bau”, dan bahwa mereka “tidak mau makan pisang dengan kulitnya”. Oleh karena sunat bagi orang Dawan dilaksanakan bagi laki- laki dewasa, salah satu
fungsi sunat adalah mempersiapkan laki- laki purba untuk melakukan coitus (hubungan seks). Kulup yang menutupi ujung penis membuat penis menjadi sensitive sehingga pria mudah ejakulasi. Dalam masyarakat tropis, seperti diungkapkan Weiss (1966: 73-74), kulup yang tidak disunat mengandung berbagai
Secara khusus tindakan ritual „sifon‟ dipandang juga sebagai sarana pendidikan seks bagi anak-anak muda. Perempuan pasangan sifon biasanya orang yang sudah sering melakukan hubungan seks sehingga berpengalaman dalam memberikan kepuasan seks kepada anak-anak ini. Dalam masyarakat lama, sifon benar-benar merupakan pengalaman
seks pertama bagi anak-anak laki- laki.
5.4 Fungsi Kesehatan
Sunat atau pembuangan kulit kulup pada penis dalam masyarakat Dawan juga dipandang sebagai sebuah tindakan medis. Dalam masyarakat Dawan, terdapat anggapan dan
kepercayaan yang sangat kuat bahwa kulit kulup menyimpan kotoran-kotoran (putih dan berbau), yang potensial membawa penyakit bagi laki- laki itu sendiri, istrinya, dan anak-anak kepercayaan yang sangat kuat bahwa kulit kulup menyimpan kotoran-kotoran (putih dan berbau), yang potensial membawa penyakit bagi laki- laki itu sendiri, istrinya, dan anak-anak
Dalam rangka fungsi kesehatan ini perlu diberi catatan bahwa perempuan pasangan sifon justru „dipercaya‟ akan mendapat „hawa panas‟ berupa penyakit kelamin dan penyakit
kuning. Hampir semua perempuan yang pernah menjadi pasangan sifon menderita penyakit kelamin (lihat Utari, 2008). Beberapa kesaksian menunjukkan betapa mengenaskannya nasib perempuan pasangan sifon yang sama sekali tidak mendapat perhatian sesamanya, termasuk dari laki- laki yang pernah dilayaninya dan mendapatkan kesehatan dan keperkasaan darinya (Anonim, 2007). Oleh karena itu, fungsi ini pun terlihat kontradiktif. Ada harga yang harus dibayar oleh segolongan kaum wanita untuk kepentingan laki- laki yang ingin memperoleh kejantanan dan kesehatan.
Sebagaimana dikemukakan dalam kajian pustaka di atas, fungsi kesehatan sunat merupakan sebuah hasil perkembangan baru dala m abad ke-19, ketika ilmu kedokteran mulai berkembang. Fungsi kesehatan tentu bukanlah sebuah fungsi arkhais dari pelaksanaan sunat dan sifon.