Peristiwa 1992

1. Peristiwa 1992

Di Yogyakarta, terdapat sebuah pagelaran seni yang diadakan setiap

2 tahun sekali oleh pemerintahan kota Yogya, yakni Biennale Seni Lukis Yogyakarta (BSLY). Acara yang digawangi oleh Taman Budaya Yogyakarta ini, pertama kali diselenggarakan pada tahun 1988 dengan judul Biennale Seni Lukis Yogyakarta I, kemudian hadir kembali pada tahun 1990 dengan Biennale Seni Lukis Yogyakarta II, selanjutnya di tahun 1992 hadir dengan Biennale Seni Lukis Yogyakarta III. Pada tahun 1992, pada saat diselenggarakan BSLY III, terjadi peristiwa

ngèyèl, yakni hadirnya peristiwa Binal Eksperimental Art (1992). Tanpa tedheng aling-aling, Binal Eksperimental Art mengusung

konsep yang sangat berlawanan dengan konsep yang diusung oleh BLSY III, ke-ngèyèl-an yang dibawanya tidaklah diam dan sembunyi- sembunyi, bahkan tampil terbuka di depan masyarakat Yogyakarta secara langsung. Dari segi penamaan pun sudah jelas terlihat, kata “Biennale” diplesetkan menjadi kata “Binal”, kata yang berkonotasi negatif. Wacana mainstream Biennale Yogya, yang telah 4 tahun kokoh berdiri, termasuk juga BLSY III dianggap sebagai bentuk dari kemonotonan dunia seni rupa Yogya. Biennale dan secara umum dunia

seni rupa Indonesia, dirasa telah terjebak dalam karya seni yang patuh dan normatif, kreatiitas hanya mandeg di karya seni tinggi saja (lukisan dengan media cat dan kanvas), dan kurang mengeksplorasi material

seni rupa yang lainnya. Hal tersebut tergambarkan dalam persyaratan seleksi karya dalam BLSY III, yakni : (1) Para peserta harus lolos

dua tahap seleksi dari panitia Biennale, (2) Peserta adalah pelukis– pelukis profesional, yang berumur minimal genap 35 tahun pada 1 Juli 1992, (3) Peserta menyerahkan karya lukisan (dua dimensi) dan bukan media batik. Persyaratan – persyaratan ini menunjukan adanya kecenderungan untuk menjaring “seni resmi” dan “seni tidak resmi”

yang hanya ditentukan oleh selera artistik penyelenggara Biennale, terlihat dari persyaratan bahwa batik tidak diperbolehkan masuk dalam seleksi BLSY III.

Seni sebagai sebuah hasil karya yang otentik, tidak dapat terus menerus ditentukan oleh “estetika yang melembaga”, dengan melahirkan karya–karya patuh atau menghasilkan karya–karya stereotipe. Dunia seni rupa Yogyakarta, dipandang makin cenderung menjadi mapan dan seremonial, serta kehilangan dinamikanya, (Proposal Kegiatan Binal Eksperimental Art 1992 : 1).

Untuk itu “BINAL” dihadirkan untuk menggerakkan kembali roda yang mandeg tersebut, dengan menampilkan karya instalasi dan

Daerah Istimewa Seni Rupa Ngèyèl Yogyakarta

performance, yang jelas-jelas tidak masuk dalam kategori Biennale Seni Lukis Yogyakarta III. Binal Eksperimental Art (yang juga mengingatkan

kita akan peristiwa “kepribadian apa”) ini diselenggarakan secara besar–besaran, diikuti oleh 130 peserta, di 9 lokasi berbeda di Yogyakarta: Boulevard UGM, Alun–Alun Utara, dsb. Karya–karya yang ditampilkan, sifatnya memang benar–benar binal, seperti Dadang

Christanto yang memamerkan karya instalasinya “Onggokan Pasir”, Heri Dono yang menampilkan performance “Kuda Binal” di pojok timur Alun-Alun Utara Yogyakarta, bentuknya adalah sebuah pertunjukan kuda lumping, dengan 10 penunggang kuda yang kesemuanya bermata

juling, gelaran ini berlangsung saat malam hari, dengan diterangi tungku api. Ada juga Didi Wibisono, yang membuat karya eksperimental “rumah iklan”, di rumah kontrakannya di Gampingan Baru 4 Kuncen,

seluruh bagian rumah, genteng, lantai hingga pohonnya dipenuhi dengan iklan dari berbagai produk. Iklan tidak lagi puas dengan hanya sekedar menyapa kita di jalan-jalan, di toko-toko atau di pasar-pasar, melainkan telah dengan sangat aktif bertandang ke rumah–rumah. Rumah telah menjadi belantara produk, rumah kita diubah menjadi pasar raya, tulis Didi di dalam katalognya (Kompas, 1 Agustus 1992). Di dalam proposal kegiatannya, Binal benar–benar membenturkan dirinya vis a vis dengan Biennale Seni Lukis Yogya: “Pembatasan pada karya dua dimensional, hal ini menunjukkan Biennale tidak tanggap terhadap gejala seni rupa yang berkembang di Yogya. Dan penolakan terhadap media batik, untuk masuk dalam jajaran seni lukis (baca media cat), menunjukan pemilahan mana seni papan atas (seni murni) mana seni papan bawah (kerajinan).

Kami menamakan pameran kami: ”BINAL”, sebuah sajian seni yang “binal”. Di bawah ini kami cantumkan perbedaan antara BIENNALE (seni resmi) dan BINAL (di luar seni resmi).

BIE ALE

BI AL

Memakai tempat yang resmi/umum seperti Dapat di mana saja: di jalan, di pasar, pusat pusat kesenian

kampung, rumah keluarga atau alam terbuka Tempat pameran terpusat di satu Menyebar di berbagai tempat tempat/gedung Pameran indoor – di dalam ruang tertutup

Dapat di ruangan tertutup atau terbuka Karya yang dipamerkan adalah kerja individual Kerja individual maupun kerja team Terbatas pada bidang dua dimensional

Tidak terbatas pada bidang dua dimensional Terbatas pada disiplin seni rupa (seni lukis)

Interdisipliner/multimedia: seni rupa, musik, teater, gerak, audio visual dll

enderung mapan Menempatkan diri pada proses dan mempunyai semangat eksperimental

Akibat event tandingan ini, Biennale Seni Lukis Yogyakarta mengadakan evaluasi dan perubahan-

Rakai Badrika

Didi Wibisono

Heri Dono

Dadang Christanto

Akibat event tandingan ini, Biennale Seni Lukis Yogyakarta mengadakan evaluasi dan perubahan-perubahan. Termasuk terjadinya pergeseran nama, “Biennale Seni Lukis” berganti menjadi “Biennale Seni Rupa” , dalam lingkup pengertian yang lebih luas. Terlihat pada Biennale IV “Rupa Rupa Seni Rupa” (14–21 Desember 1994) yang menghadirkan tak hanya karya lukisan, namun juga memamerkan karya intalasi, secara outdoor: meluas tidak hanya di dalam ruang pamer. Ada

68 seniman lukis, 21 seniman instalasi, 32 seniman kriya. Pesertanya berasal dari Jogja, Solo dan Bandung, antara lain adalah : Arahmaiani, Tisna Sanjaya, Agus Suwage, FX Harsono, Anusapati dll. Pameran ini, merupakan dampak langsung dari peristiwa Biennale vs Binal di

tahun 1992, menjadi bukti bahwa Yogyakarta adalah ajang yang sangat penting untuk percaturan seni rupa kontemporer Indonesia (Outlet, Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia: 43), efek ke- ngèyèl-annya juga dirasakan di seantero dunia seni rupa Indonesia.

Daerah Istimewa Seni Rupa Ngèyèl Yogyakarta

Sakit Berlanjut (1999)