Selalu Saja Menjadi Sebuah Perayaan

2. Selalu Saja Menjadi Sebuah Perayaan

Kehadiran perempuan di ranah seni rupa Indonesia bisa dilihat jejaknya sejak sebelum kemerdekaan. Saya menjumpai nama-nama seperti Emiria Soenassa, Tridjoto Abdullah dan Saptarita Latif yang dikenal sebagai anggota kelompok Persagi yang notabene menentukan wacana seni rupa modern Indonesia. Tetapi nama-nama tersebut seolah seperti sedang bermain petak umpet yang kadang muncul dan sering hilang. Jarang sekali karya-karya ketiga perempuan ini ditulis dalam artikel maupun karya ilmiah tentang seni rupa. Sudjojono pun sempat menulis mengenai hilangnya nama-nama perempuan ini, terutama untuk Emiria Soenassa. Menurut Sudjojono, Emiria Soenassa itu meskipun perempuan, tapi lebih jantan dari yang lain. Sayangnya namanya tenggelam dalam serangan arus seni lukis pria yang datang belakangan. 3

3. Dalam artikel “Wanita Seni Rupa Indonesia” yang terbit pada Juni 1991, Minggu Pertama, di Suara Karya, Agus Dermawan T. mengutip tulisan Sudjojono di surat kabar Jepang mengenai Emiria Soenassa . sumber: http://archive.ivaa-online.org/iles/uploads/texts/ Wanita%20Seni%20Rupa%20Indonesia_Suara%20Karya_Minggu%20I%201991.pdf

Umi Lestari

Saat terjadi boom seni rupa pada tahun 1980an, nama-nama perempuan pun hadir kembali. Kali ini dibawah payung Ikatan Pelukis Wanita Indonesia (IPWI) mereka menyemarakkan seni rupa Indonesia.

IPWI sendiri merupakan wadah bagi para perempuan yang berminat pada seni lukis. Kehadiran perempuan-perempuan ini menjadi sebuah perayaan yang dielu-elukan di media. Dalam salah satu artikel mengenai IPWI tertulis “Lukisan dengan benang warna-warni di Indonesia masih tergolong langka, terlebih pelukisnya seorang wanita”. Sayangnya perayaan ini tak berlangsung lama. Bisa jadi karena IPWI hanya dianggap sebagai ajang memanfaatkan waktu senggang oleh para ibu rumah tangga karena anggota IPWI sendiri kebanyakan para

ibu rumah tangga yang memiliki banyak waktu luang untuk melukis. 4 . Kajian tentang karya mereka hampir tidak ditemukan. Bahkan kehadiran IPWI pun tidak masuk dalam linimasa Politik dan Seni Rupa Indonesia yang dibuat oleh Enin Supriyanto.

Pertengahan era 1990-an, nama-nama perupa dan seniman bermunculan kembali. Era ini diwakili oleh nama-nama seperti Mella Jaarsma, Arahmaiani, Astari, Bunga Jeruk, Marintan Sirait, I Gak Muniarsih, dan lain-lain. Anehnya, bukannya menganggap sebagai lanjutan dari kehadiran perupa perempuan sebelumnya, media lagi- lagi malah merayakan kehadiran nama-nama perempuan ini. Nada kegembiraan akan kemunculan nama-nama perempuan bisa dilihat dalam artikel Harian Kompas pada Juni 1997 yang berjudul “Mereka telah hadir: bukan lagi dengan bunga, melainkan dengan gugatan”.

Seharusnya bila memang sudah mengetahui sejarah perempuan dalam seni rupa di Indonesia, media akan menggai ‘telah hadir’ dengan ‘hadir kembali’, sehingga pembaca pun mengerti adanya perjalanan perempuan dalam ranah seni rupa Indonesia.

Lalu bagaimana pada tahun 2000-an hingga sekarang? Peristiwa jatuhnya rejim Orde Baru pada 1998 membawa perubahan besar di Indonesia. Praktik-praktik kesenian juga ikut berubah. Ruang- ruang alternatif, komunitas seni, praktik kerja inisiatif-seniman atau kolektif-seniman tumbuh subur. Perempuan-perempuan banyak yang bergabung dengan praktik-praktik berkesenian tersebut. Pameran- pameran yang diikuti oleh seniman perempuan pun makin banyak dan

beragam. Selain kehadiran seniman perempuan, penulisan tentang seniman- seniman perempuan makin marak. Saya harus berterima kasih pada hadirnya buku Indonesian Women Artist: the curtain opens yang membawa saya menemui nama-nama perempuan yang terkadang

4. Artikel “ 20 Pelukis Wanita Indonesia Pameran” yang terbit pada harian Kompas tanggal 16 Juni 1987. Dalam artikel ini tertulis siapa ketua IPWI dan anggota-anggotanya yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga yang memiliki waktu luang untuk melukis.

Jaring Perempuan

Cover buku Indonesian Women Artists yang ditulis oleh Carla Bianpoen, Farah Wardani dan Wulan Dirgantoro. Sumber: www.archive.cemetiarthouse.com

hanya disebutkan sekali-dua kali dalam artikel-artikel di media massa. Walaupun saya bertanya mengapa buku ini hanya diterbitkan dalam bahasa Inggris—mengapa tidak dalam bahasa Indonesia supaya masyarakat Indonesia dapat meraihnya tanpa harus membuka kamus atau les Bahasa Inggris terlebih dahulu—saya harus mengakui bahwa buku ini menjadi angin segar. Buku ini bisa dibilang buku pertama yang

mencantumkan nama-nama perempuan dalam kancah seni rupa di Indonesia.

Penulisan artikel-artikel yang berkaitan dengan gender juga meriah. Saya bertemu dengan tulisan Farah Wardani dan Dolorosa Sinaga yang

Umi Lestari

selalu memperbincangkan perempuan dan gender dalam seni rupa. Penulisan ilmiah berkaitan dengan seniman perempuan pun akhirnya

ada. Karya tulis Heidy Arbuckle Performing Emiria Soenassa menjadi karya tulis yang menurut saya wajib untuk dibaca dan dipresentasikan di institusi pendidikan, terutama pendidikan seni.

Tetapi kerja para penulis untuk mengartikulasikan permasalahan gender dalam seni rupa tersebut ternyata dipatahkan oleh media. Saya merasa

tulisan-tulisan di media massa seperti terputus ketika membicarakan seniman perempuan. Bila saja, sejarah perempuan dalam seni rupa tidak terputus, saya kira tidak akan ada tulisan seperti ini di media massa:

Dan, kebangkitan—katakanlah begitu—kaum perempuan dalam dunia seni juga ditandai dengan maraknya kegiatan kursus melukis yang didominasi kaum perempuan terutama kalangan eksekutif muda, di samping ibu-ibu rumah tangga yang memang memiliki banyak waktu luang. (Seni bukan Lagi Dominasi Laki-laki, Eri Anugerah dan Doddi, Image (Edisi II - Februari 2004))

Saya menggarisbawahi kata ‘kebangkitan’ yang menurut saya lagi-lagi bernada sebuah perayaan. Selain itu saya juga menggarisbawahi,

‘perempuan eksekutif muda’ dan ‘ibu rumah tangga’. Saya rasa artikel bernada seperti ini lebih tepat ditulis pada tahun 1980-an saat IPWI baru muncul.