Seniman Perempuan sebagai Liyan

1. Seniman Perempuan sebagai Liyan

Dalam pengantar The Second Sex, Simone de Beauvoir mengatakan bahwa perempuan itu liyan. Perempuan tak pernah dianggap manusia layaknya laki-laki mendeinisikan dirinya sebagai manusia yang utuh.

Ketika seorang perempuan harus menunjukkan dirinya, ia harus mengatakan “aku seorang perempuan” tetapi laki-laki tak pernah mendeinisikan diri sebagai, “aku seorang laki-laki”.

Umi Lestari

A man would never set out to write a book on the peculiar situation of the human male. But if I wish to deine myself, I must irst of all say: ‘I am a woman’; on this truth must be based all further discussion. A man never begins by presenting himself as an individual of a certain sex; it goes without saying that he is a man. (Beauvoir, 1989: xxi)

Seorang pria tidak akan pernah menulis sebuah buku tentang keadaannya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Tetapi jika

saya ingin mendeinisikan diri, saya pertama-tama harus mengatakan: “Saya seorang perempuan”; kebenaran ini harus berdasarkan pada diskusi yang lebih jauh. Seorang pria tidak akan pernah menampilkan dirinya sebagai individu dari jenis kelamin tertentu, tak usah dikatakan bahwa ia adalah seorang laki-laki. (Beauvoir, 1989: xxi)

Sama halnya ketika seorang perupa atau seniman perempuan ingin menunjukkan dirinya. Jarang sekali ia disebut sebagai seorang seniman atau perupa saja di media. Selalu ada kata ‘perempuan’ saat dia direpresentasikan. Istilah ‘seniman perempuan’, ‘pelukis perempuan’, dan ‘perupa perempuan’ menurut saya sangat bisa untuk digugat. Dalam Bahasa Indonesia, kita sedikit sekali mengenal kata yang bergender, apalagi untuk kata yang merujuk pada suatu profesi atau jabatan. Namun, kata-kata yang tanpa bias gender ini sekarang seakan

bergender. Entah mengapa yang menjadi tren sekarang ini adalah manambah akhiran –wati untuk menerangkan suatu profesi yang mana subjeknya adalah perempuan. Saya menemukan sebuah artikel pada tahun 1991 yang ditulis oleh Agus Dermawan T. “Wanita Seni Rupa Indonesia”. Ia menyebut perupa perempuan dengan ‘senirupawati’.

Alamak! Apu pula itu senirupawati! Mengapa ini bermasalah? Karena kata-kata Bahasa Indonesia

yang umumnya tidak bias gender menjadi bergender. Sama halnya dengan ‘seniman perempuan’. Saya tidak masalah bila kata ini hanya muncul sekali atau dua kali dalam sebuah artikel ketika memang seks

dan gender seseorang memang dibutuhkan. Tetapi kalau ‘seniman perempuan’ diucapkan berkali-kali ketika berbicara mengenai seseorang yang dari namanya dan fotonya jelas-jelas dia perempuan, maka ini patut dipertanyakan. Seperti yang ditanyakan oleh Katrin

Bandel dalam esainya “Apakah Bahasa Indonesia “Seksis”?” 2 Mengapa perempuan mesti terus-menerus disebut secara khusus, seakan-akan

2. Dalam esai ini Katrin mempertanyakan penyematan kata ‘perempuan’ setelah kata ‘penulis’ dan juga ‘sastrawati’ dalam tulisan-tulisan mengenai karya sastra yang ditulis oleh perempuan. Menurut Katrin, bahasa Indonesia yang tidak mengenal bias gender menjadi bias setelah ada penyematan ini. Ia mengutarakan seharusnya feminis-feminis di Indonesia mempertahankan ciri khas bahasa Indonesia yang tidak bias gender, bukan malah membuatnya semakin bergender.

Jaring Perempuan

kalau tidak disebut, perempuan akan dikecualikan? (Bandel, 2012: http://boemipoetra.wordpress.com/2012/07/24/285/)

Penyebutan ‘seniman perempuan’ atau ‘perupa perempuan’ yang diulang-ulang di media seolah-olah menegaskan memang ada ideologi yang bermain-main dengan kata-kata ini. Perempuan yang berkarya di seni rupa dianggap lain dan harus dikategorisasikan tersendiri. Walaupun dia berkarya dengan jam terbang yang sama seperti kawannya yang laki-laki, bias gender itu masih ada. Ini seperti

mengamini pertanyaan Griselda Pollock, sejarawan dan kurator feminis dari Inggris:

“If we use the term women for artists, we differentiate the history of art by proposing artists and ‘women artists’. We invite ourselves to assume

a difference, which all too easily makes us presume that we know what it is. Furthermore, art becomes its deposit and expressive vehicle...” (Pollock, 1999: 33)

“Apabila kita menggunakan istilah perempuan untuk perupa, kita akan membedakan sejarah seni dengan menawarkan [istilah] perupa dan ‘perupa perempuan’. Kita mengundang diri kita sendiri untuk mengasumsi adanya perbedaan, sehingga dengan sangat mudah kita kemudian menganggap bahwa kita mengetahui apa [perbedaan] itu. Selanjutnya, seni menjadi endapan dan kendaraan yang ekspresif bagi pemikiran-pemikiran tersebut..” (Pollock, 1999: 33)