Riwayat Hidup

A. Riwayat Hidup

Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada hari Selasa, 23 September 1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara. Yang tertua di antara saudaranya itu adalah Mohammad Ayyub yang kemudian disusul oleh Khalil, Sa'idah dan adik perempuannya Hafshah. Ayahnya bernama

Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Karena kemampuannya dalam bidang ekonomi ia berkesempatan pergi ke Makkah untuk melaksanakan haji

pada saat masih muda. 2 Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putri ulama asal Mandailing, dan masa gadisnya pernah bermukim di Mekkah dan pandai Bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan:

Suasana keagamaan yang ditanamkan ibuku di rumah benar-benar membekas dalam hatiku. Ibuku menetapkan disiplin keras. Di rumah aku belajar mengaji sejak pukul empat hingga lima sore. Selesai shalat maghrib, aku mengaji Alquran dengan suara keras sampai tiba waktu Isya'. Kalau bulan puasa, bertadarus di masjid hingga pukul

12 malam. Setiap pagi aku bangun subuh untuk shalat berjama'ah. 3

2 Sebagai seorang pemimpin dan pejabat keagamaan, ayah Harun Nasution memiliki kemampuan membaca kitab-kitab Jawi serta kitab-kitab

kuning berbahasa Melayu. Dengan demikian ia memiliki pengetahuan yang luas tentang hukum Islam (fiqih). Di samping tugas pokoknya sebagai qadli, ayahnya juga seorang pedagang yang sukses sehingga ia mampu mengimpor barang-barang dari Singapura, suatu kemampuan yang pada masa itu masih jarang dimiliki pedagang lainnya. Sedangkan ibunya adalah semarga dengan ayahnya yang menurut aturan adat setempat melarang perkawinan dalam satu marga. Peraturan adat setempat itu telah dilanggar oleh ayahnya dengan pertimbangan bahwa agama membolehkan adanya perkawinan dalam semarga. Lihat Tim Penulis; Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 4-5.

3 ibid, him. 6

Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh oleh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Hollandsch Inlandsch School (HIS) yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia sudah berusia 14 tahun. Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasution berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum. Setelah itu ia meneruskan studinya ke Moderne Islamietische

Kweekschool (MIK) selama tiga tahun. 4 Nasution walaupun semula enggan belajar di sekolah ini, karena ingin masuk MULO, tapi akhirnya ia tertarik juga belajar di sekolah ini. Nasution mengaku tertarik mempelajari Islam, karena Islam tampak sangat modern di tangan pengajar MIK. Disinilah buat pertama kali Harun Nasution berhubungan dengan pemikiran modern Islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarjana Islam yang terkemuka seperti Hamka, Zainal Abidin, dan Jamil Jambek. Lebih lanjut Harun Nasution berkomentar terhadap MIK sebagai berikut:

"Di sana aku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok. Kupikir, mengapa harus berat-berat mengambil wudlu dahulu hanya untuk mengangkat Alquran. Terpikir pula, apa beda Alquran dengan kertas biasa. Alquran yang ku pegang itu adalah kertas, bukan wahyu. Wahyunya tidak disitu. Apa salahnya memegang kertas tanpa berwudu lebih dahulu. Begitu pula soal shalat, memakai ushali atau tidak bagiku sama saja. Di Bukittinggi, aku mulai mengenal pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Hamka, Zainal Abidin Ahmad dan Jamil Jambek melalui

4 Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar Belanda, HIS, Harun Nasution berkeinginan melanjutkan studinya ke MULO, Sekolah

Lanjutan milik Pemerintah Belanda. Namun ayahnya bersikeras merninta Harun studi sekolah Islam. Karena tidak berani menentang kehendak ayahnya, ia melanjutkan studinya di MIK Lanjutan milik Pemerintah Belanda. Namun ayahnya bersikeras merninta Harun studi sekolah Islam. Karena tidak berani menentang kehendak ayahnya, ia melanjutkan studinya di MIK

Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah berbalik melarangnya, dan meminta anaknya itu keluar dari sekolah tersebut dan melanjutkan di sebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi ke Solo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di tanah suci itu. Upaya ini dilakukan, karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari Sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami agama Islam di Mekkah agar lebih lurus pemikirannya. Akan tetapi, setelah lebih kurang satu tahun lamanya berada di Mekkah ia pada tahun 1938 memutuskan untuk pergi ke Mesir. Mekkah tampaknya tidak cocok dengan jiwa Harun Nasution yang Modern. Menurutnya Mekkah adalah “Kota abad pertengahan di era modern”. Ia tertarik untuk belajar di Mesir, karena sejumlah pemikir muslim progresif yang ia temukan pada saat di Bukittinggi merupakan lulusan universitas di Mesir. Ia menerima banyak informasi mengenai perkembangan pemikiran Islam modern di Mesir dari Mukhtar Yahya. Sebagai seorang modernis, Yahya pernah berkata kepada Harun Nasution: “Seorang modernis seperti kamu (Nasution) lebih baik belajar Islam di Mesir.”

Senada dengan itu sumber lain menginformasikan, bahwa pilihan Harun Nasution untuk meneruskan studi di Mesir karena sebelumnya ketika di Indonesia ia sudah mengenal dan membawa pemikiran cendekiawan Muslim Indonesia tamatan Mesir seperti Mahmud Yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A. Ghani, dan lain-lainnya yang telah kembali ke tanah air dan cukup dikenal sebagai tokoh agama terkemuka.

Dengan pertimbangan untuk mencari tempat belajar yang lebih sesuai dengan sifat modernisnya itulah akhirnya orang tuanya

merelakan ia pergi ke Mesir. Di Mesir ia kuliah di Fakultas Ushuluddin pada Universitas Al-Azhar. Di negeri bersejarah itu, Harun mulai mencoba mendalami Islam. Namun ia belum juga menemui kepuasan. Dengan alasan ketidakpuasan inilah, Harun Nasution memutuskan pindah studi ke Universitas Amerika di Kairo. Di Universitas ini, Harun tidak lagi mendalami studi Islam, melainkan ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Dari American University Kairo ini, Harun memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang Social Studies pada tahun 1952 dengan nilai sangat memuaskan, yaitu Rata-Rata B+ atau A. makalah ujian akhir BA di American University yang tertulis Harun Nasution berbicara tentang masalah perburuhan di Indonesia. Menurut Harun Nasution pemerintahan Republik Indonesia yang masih muda memberi perhatian cukup besar terhadap masalah perburuhan. Jika buruh dan majikan terlibat konflik, pemerintah cenderung membela buruh. Namun hal tersebut hanya mengubah sedikit saja keadaan para buruh. Mengingat problem matika yang dihadapi oleh Indonesia setelah di jajah lebih dari 350 tahun oleh Belanda sangat komplek, dan mutu sumber daya manusia yang dimilikinya sangat rendah. Keperihatinan Harun Nasution terhadap masalah perburuhan ini antara lain di pengaruhi oleh American University yang merupakan lembaga pendidikan modern, di mana masalah perburuhan termasuk masyarakat modern. Selain itu, aktivitas Harun Nasution di Perhimpunan Pelajar Indonesia dan Malaysia (PERPINDOM) yang ada di Kairo, juga mendorong Harun Nasution memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap permasalahan sosial politik yang terjadi di Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya.

Dengan bekal gelar BA dari American University serta ditambah dengan pengalaman sebagai aktivis di PERPINDOM, serta didukung oleh kemampuan berbahasa Arab, Inggris dan Belanda, Harun Nasution untuk sementara waktu tidak melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia memilih bekerja di sebuah perusahaan swasta di Mesir. Dalam kesempatan ini pula ia menikah dengan Dengan bekal gelar BA dari American University serta ditambah dengan pengalaman sebagai aktivis di PERPINDOM, serta didukung oleh kemampuan berbahasa Arab, Inggris dan Belanda, Harun Nasution untuk sementara waktu tidak melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia memilih bekerja di sebuah perusahaan swasta di Mesir. Dalam kesempatan ini pula ia menikah dengan

Nasution. 10 sebagai seorang aktivis, Harun Nasution dituduh sebagai pendukung atau simpatisan bagi kelompok yang mengadakan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Repolusionere Republik Indonesia). Selain itu sikap politik Harun Nasution sebagai seorang yang anti PKKI dan anti Soekarno menyebabkan ia berhenti dari karier diplomatik. Ia masuk daftar hitam, dicekal memasuki wilayah Indonesia dan Negara-Negara lain yang punya hubungan diplomatik dengan Indonesia seperti Mesir. Hal ini membuat ia tidak bisa kembali ke Jakarta karena PKI pada saat itu tengah berkuasa. Untunglah seorang diplomat berkebangsaan Mesir yang tidak tahu bahwa Harun dicekal, memberikan visa kepada Harun Nasution dan istrinya untuk

masuk ke Mesir. Setelah sampai di Mesir, Harun Nasution kembali ke bangku kuliah. Ia masuk di Sekolah Tinggi Studi Islam (Dirasah Islamiyah) di bawah bimbingan salah seorang ulama berkebangsaan Mesir yang terkemuka, Muhammad bin Abi Zahrah. Pada saat belajar di Mesir putaran kedua inilah Harun Nasution memperoleh tawaran Studi Islam di McGill University, Montreal, Kanada. Tawaran ini tentu saja sangat menyenangkan hatinya karena merupakan sesuatu yang selama ini menjadi tujuan dan cita-citanya. Kali ini lebih lanjut di ungkapkan oleh Harun Nasution:

Aku mendapat tawaran dari Institut of Islamic Studies McGill University yang membuka kesempatan bagi Aku mendapat tawaran dari Institut of Islamic Studies McGill University yang membuka kesempatan bagi

bener-benar merasakan manfaatnya.

Aku

Selama studi di McGill mengambil konsentrasi kajian tentang "Modernisme dalam Islam". Ketika mengisi formulir pendaftarannya, ia menegaskan bahwa ia tertarik untuk menyelidiki hubungan Islam dan negara. Karena itu ia menulis tesis M A-nya mengenai The Islamic State in Indonesia: the Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of Masyumi. Dalam tesisnya ini, ia membahas gagasan tentang negara Islam yang berkembang di kalangan partai-partai Islam di Indonesia" Nahdatul Ulama (NU) dan Masjumi, atau paling tidak pemikiran para pemimpinnya tentang negara Islam.

Melalui kajiannya itu, Nasution menyimpulkan bahwa di kalangan Masjumi terdapat konsep tentang negara Islam, khususnya di kalangan pemimpinnya seperti M. Natsir, Zaenal Abidin Ahmad, Isa Anshari, Osman Raliby, dan Kasman Singodimedjo. Konsep Melalui kajiannya itu, Nasution menyimpulkan bahwa di kalangan Masjumi terdapat konsep tentang negara Islam, khususnya di kalangan pemimpinnya seperti M. Natsir, Zaenal Abidin Ahmad, Isa Anshari, Osman Raliby, dan Kasman Singodimedjo. Konsep

Setelah itu, Harun Nasution melanjutkan studinya selama dua setengah tahun untuk memperoleh gelar Ph.D, dengan menyelesaikan disertasi di bidang Ilmu Kalam (Teologi) dengan judul "The Place of Reason in Abduhs, Its Impact on His Theological System and Views" (Kedudukan Akal dalam Teologi Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem dan Pendapat-pendapat Teologinya) pada tahun 1968. Setelah meraih gelar Doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam di Indonesia melalui Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar negeri ia terus mengikuti perkembangan di Indonesia. Ia berpendapat bahwa masyarakat Muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis. Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash'ariyah harus bertanggung jawab atas kemandegan ini. Kaum Muslimin berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan umat. Inilah alasan mengapa ia ingin mengubah pandangan yang fatalistik dan tradisional ini dengan pandangan yang lebih dinamis, rasional dan modern. Untuk mengimplementasikan tujuannya ini, Harun Nasution memilih pendidikan, terutama pendidikan tinggi.

Setelah ia mempertimbangkan antara bergabung dengan Universitas Indonesia yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan IAIN (sekarang UIN) yang berada di bawah Departemen Agama, akhirnya Nasution memilih bertugas sebagai dosen di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bergabungnya Harun Nasution didasarkan pada keinginannya untuk memperbaiki kondisi umat dengan cara memperbaiki mutu pendidikannya yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hubungan ini Nasution mengatakan:

..... sejak di luar negeri saya telah mendengar kondisi IAIN. Pemikiran yang dikembangkan sangat sempit. Para mahasiswa tidak diizinkan untuk membaca karya-karya Abduh. Saya tahu masalah ini secara khusus karena mendengar 1angsung dari lulusan IAIN yang ada di Mesir. Mereka memberi tahu pengajaran yang dikembangkan di IAIN sangat tradisioni1 dan sangat fiqih oriented.

Pada tahun pertama di IAIN, kehadiran Harun Nasution belum dapat diterima sepenuhnya. Namun didukung penuh oleh para pimpinan dan pejabat di lingkungan Departemen Agama, khususnya ketika Mukti Ali, lulusan McGill, diangkat menjadi Menteri Agama. Nasution sendiri diangkat menjadi rektor beberapa tahun kemudian. Kedudukan ini membuatnya leluasa menyebarkan ide-ide yang modern secara lebih luas. Selanjutnya setelah selesai dari tugasnya sebagai rektor (1973-1984) Harun Nasution dipercaya sebagai Direktur Pacsasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga akhir hayatnya. Berkat ketekunannya mengelola Pascasarjana ini telah lahir ratusan doktor dalam bidang ilmu agama Islam yang kini telah banyak yang menjadi orang nomor satu di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.

Namun di tengah-tengah kesibukannya memberi kuliah dan memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Harun Nasution juga tercatat sebagai ilmuwan yang produktif dalam bidang karya ilmiah. Di antara karya ilmiah yang dihasilkannya adalah:

Pertama, Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Dalam bukunya yang terdiri dari dua jilid ini Harun Nasution

memperkenalkan Islam secara umum dan komprehensif. Di dalam buku tersebut selain memberikan pengantar umum tentang ilmu kalam, filsafat dan tasawuf, Harun Nasution juga berbicara tentang hukum Islam, pranata sosial, sumber ajaran Islam, ibadah, sejarah dan peradaban Islam, dan politik. Dengan buku tersebut Harun Nasution ingin memperkenalkan Islam dalam sosoknya yang utuh dan komprehensif, bukan Islam yang selama ini hanya dipahami satu aspek saja. Menurut Harun Nasution pandangan umat terhadap ajaran Islam terlampau sempit. Dalam bidang teologi misalnya mereka hanya mengenal teologi Ash'ariyah dengan sifat dua puluhnya, dan dalam bidang fiqih hanya mengenal fiqih Syafi'i saja. Demikian seterusnya

dalam bidang lainnya. 13

Kehadiran buku tersebut telah mengundang kritik yang tajam dari kalangan Islam tradisionalis normatif. Menurut kelompok ini, Harun Nasution telah memperkenalkan Islam yang berbelat-belit dan sulit. Buku tersebut mengesankan bahwa di dalam ajaran Islam terdapat banyak sekali perpecahan. Hal ini amat berlawanan dengan isu persatuan yang tengah digulirkan pemerintah.

Kritik atas buku tersebut lebih lanjut datang dari H.M.Rasyidi. Menurutnya, Harun Nasution, dengan bukunya itu telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang berpikir orientalis yang merugikan umat Islam. Menanggapi kritik yang demikian itu, Harun Nasution mengatakan:

Berbagai mazhab dan aliran itu, baik dalam bidang tauhid maupun bidang ibadah, hukum, tasawuf, filosafat, politik, pembaruan, dan sebagainya masih Berbagai mazhab dan aliran itu, baik dalam bidang tauhid maupun bidang ibadah, hukum, tasawuf, filosafat, politik, pembaruan, dan sebagainya masih

Adanya kritik yang demikian itu tidak menyebabkan Harun Nasution mundur dari misinya. Buku tersebut malah menjadi buku teks wajib dalam mata kuliah Pengantar Agama Islam.

Kedua, Buku Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta diterbitkan pertama kali tahun 1975 oleh penerbit Bulan Bintang ini membahas tentang pemikiran dan pembaruan dalam Islam yang timbul dalam periode modern. Pembahasannya mencakup pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam: Mesir, Turki dan India-Pakistan, dengan menampilkan tokoh-tokoh pembaru dari ketiga kawasan tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaruan yang terjadi di negara lain. Melalui buku ini Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha- usaha pembaruan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar keterbelakangannya dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, ekonomi, dan lain sebagainya. umat Islam ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada abad klasik. Upaya upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Alquran dan Al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh bid'ah, khurafat dan takhayul, menghargai penggunaan akal pikiran, menyatukan umat Islam serta mempercayai hukum alam (sunnatullah) dalam mencapai cita-cita.

Sebagaimana buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, buku ini pun mendapatkan kritik dari kalangan ulama tradisional. Mereka takut tradisi Islam yang selama ini dipraktikkan dalam kehidupan umat Islam ditinggalkan.

Ketiga, Buku Filsafat Agama. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1973 oleh Bulan Bintang Jakarta ini, berisi kumpulan kuliah dan ceramah yang ia sampaikan dalam berbagai kesempatan di beberapa perguruan tinggi. Buku ini selain membahas Ketiga, Buku Filsafat Agama. Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1973 oleh Bulan Bintang Jakarta ini, berisi kumpulan kuliah dan ceramah yang ia sampaikan dalam berbagai kesempatan di beberapa perguruan tinggi. Buku ini selain membahas

Keempat, Buku Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Buku yang pertama kali diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1973 ini membahas filsafat Islam dan Tasawuf secara singkat. Sebagaimana buku-buku yang sebelumnya, buku ini pun berasal dari kumpulan ceramah yang pernah ia sampaikan pada kelompok diskusi kajian agama Islam di Institut llmu Keguruan dan Pendidikan (IKIP) Jakarta, Universitas Nasional serta bahan-bahan perkuliahan yang ia sampaikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Isi yang terkandung dalam buku ini tentang pemikiran filsafat yang berasal dari al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Razi, al-Ghazali dan Ibn Rusyd, serta pemikiran para sufi seperti Rabi'ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bustami, al- Hallaj, Ibn Arabi, dan al-Ghazali.

Kelima, Buku Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1972 oleh UI Press. Di dalam buku ini selain dapat dijumpai uraian tentang pengertian teologi, juga dibahas tentang latar belakang lahirnya teologi dalam Islam yang dihubungkan dengan peristiwa politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Bashrah Mu'awiyah. Dari sebab-sebab masalah politik tersebut lahir lah aliran teologi

Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy'ariyah, Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand. Selain itu, buku ini juga membahas tentang berbagai masalah teologi yang diperdebatkan, seperti masalah perbuatan manusia dalam. hubungannya dengan kekuasaan Tuhan, posisi orang yang berdosa besar di akhirat nanti, hubungan iman dengan perbuatan, yakni apakah iman itu bertambah atau berkurang disebabkan perbuatan, atau tidak bertambah dan tidak berkurang disebabkan karena perbuatan, serta apakah Alquran itu qadim atau hadis. Buku ini telah mendorong pembacanya untuk berpikir logis dan sekaligus memiliki sikap menghargai perbedaan pendapat.

Keenam, Buku Muhammad Abduh dan Teologi Rasional. Buku yang berasal dari disertasi Harun Nasution ketika mengambil program doktor di McGill University, Montreal, Canada ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1987 oleh UI Press. Di dalamnya dapat dijumpai pembahasan tentang kedudukan akal dalam teologi Muhammad Abduh, serta pengaruhnya terhadap sistem clan pandangan teologinya. Melalui kajian yang amat mendalam terhadap teologi Muhammad Abduh ini, Harun Nasution berkesimpulan bahwa teologi Muhammad Abduh bercorak rasional Mu'tazilah. Hal ini menolak anggapan sebagian orang yang menilai teologi Muhammad Abduh sebagai bercorak Ahl Sunnah wa al-Jama' ah. Melalui buku ini, Harun Nasution ingin mengatakan bahwa Mu'tazilah tidakkeluar dari Islam, bahkan Mu'tazilah memiliki andil yang besar untuk mendorong kemajuan dunia Islam.

Ketujuh, Akal dan Wahyu dalam Islam. Buku ini diterbitkan pada tahun 1978 oleh Yayasan Idayu dan selanjutnya oleh UI Press. Di dalamnya terdapat uraian tentang pengertian akal, kedudukan akal di dalam Alquran, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam serta peranan akal dalam pemikiran keagamaan. Dengan buku ini Harun Nasution menginginkan agar umat Islam. tidak takut menggunakan akal melalui ijtihad dalam berbagai bidang: teologi, fiqih, tafsir, dan Ketujuh, Akal dan Wahyu dalam Islam. Buku ini diterbitkan pada tahun 1978 oleh Yayasan Idayu dan selanjutnya oleh UI Press. Di dalamnya terdapat uraian tentang pengertian akal, kedudukan akal di dalam Alquran, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam serta peranan akal dalam pemikiran keagamaan. Dengan buku ini Harun Nasution menginginkan agar umat Islam. tidak takut menggunakan akal melalui ijtihad dalam berbagai bidang: teologi, fiqih, tafsir, dan

Kedelapan, Islam Rasional. Buku yang berasal cari kumpulan makalah yang disunting oleh Saiful Muzani dan pertama kali diterbitkan oleh Mizan, pada tahun 1995 ini berbicara tentang corak pemikiran rasional agamis pada abad kesembilan belas. Selain itu buku ini juga membahas tentang Islam rasional yang pernah muncul di abad klasik yang dalam hal ini Mu'tazilah. Dengan kata lain, Harun Nasution ingin mengatakan bahwa pemikiran Mu'tazilah di abad klasik telah pula dipraktikkan oleh para ilmuwan di abad kesembilan belas. Dengan demikian telah terjadi apa yang disebut sebagai neo- Mu'tazilah. Melalui buku ini ia ingin mengatakan bahwa pemikiran Mu'tazilah ternyata telah dianut dan dipraktikkan oleh kalangan ilmuwan di berbagai negara. Timbulnya gerakan pembaruan yang terjadi di berbagai negara: Mesir, India, Turki, dan sebagainya antara lain karena pengaruh pemikiran Mu'tazilah yang dianut oleh para tokoh pembaru tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut ada beberapa catatan yang menarik sebagai berikut. Pertama, lahirnya Harun Nasution sebagai ilmuwan Muslim yang berpengaruh dan disegani terjadi selain karena faktor bakat, minat dan kecerdasan yang tinggi, juga karena faktor kecil keluarganya yang secara ekonomi mampu membiayai pendidikannya serta memiliki latar belakang ilmu agama dan pengalaman keagamaan yang memadai.

Kedua, tampilnya Harun Nasution sebagai tokoh kontroversial, anti-kemapanan dan kejumudan serta bercorak rasional, adalah karena pengaruh dari sifat dan karakter ayahnya yang juga demikian. Ayahnya misalnya menikahi ibunya yang berasal dari satu marga yang oleh adat termasuk yang dilarang. Ayah Harun Nasution dengan penuh kesadaran melanggar aturan adat tersebut, karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Ketiga, dari seluruh karya tulisnya, Harun Nasution pada intinya sebagai seorang ahli ilmu agama Islam yang bercorak rasional dan cenderung liberal dalam batas-batas yang tidak keluar dari ajaran Alquran dan Al-Sunnah. Ia selain sebagai ahli dalam bidang teologi, juga ahli dalam bidang filsafat, tasawuf, sejarah pemikiran dan sejarah kebudayaan Islam.

Keempat, dari perjalanan dan kariernya yang dimulai sebagai pegawai pada kedutaan besar Indonesia di Belgia, hingga menjadi

seorang Guru Besar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada intinya Harun Nasution sebagai seorang yang membawa misi pembaruan yang dianggapnya sebagai salah satu syarat utama untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia. Berbagai buku yang ditulisnya itu mengandung pesan untuk mengubah pola pikir dan tingkah laku umat, yaitu dari pola pikir dan tingkah laku yang tradisional dan jumud kepada pola pikir yang rasional dan tingkah laku yang modern.

Kelima, dilihat dari segi tugas utamanya, Harun Nasution sebagai pembaru dan sekaligus pendidik. Dengan ungkapan lain, ia adalah

seorang pembaru yang menggunakan pendidikan sebagai sarana utamanya. Melalui kegiatan pendidikan yang ditekuninya ia ingin memperkenalkan sikap modem yang dapat menimbulkan kemajuan bagi umat Islam. Hal yang demikian sejalan dengan cita-cita Ibunya agar Harun Nasution menjadi ahli agama dan guru agama.