Pemikiran Moderen Dalam Islam

2. Pemikiran Moderen Dalam Islam

Ketika mendiskusikan mengenai pemikiran modern beliau dengan tegas mengingatkan mahasiswa bahwa inti dari konsep gagasan itu adalah pemikiran modern dalam Islam. Hal ini menurut beliau perlu diingatkan agar mahasiswa mengetahui bahwa sejarah Islam tidak boleh mengulangi keruwetan dari sejarah agama-agama pada masa lalu yang kurang memperhatikan pentingnya orisinalitas ajaran. Pemikiran modern dalam Islam adalah upaya memahami dengan sungguh-sungguh dengan melakukan pengkajian ulang terhadap penafsiran terdahulu terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu, pengertian pemikiran modern dalam Islam adalah studi terhadap berbagai corak pemikiran tentang Islam sebagai hasil pergumulan intelektual yang disebut ijtihad. Sebagai dorongan dari berbagai ayat Al Quran untuk menggunakan pikiran maka dalam sejarahnya terjadi kompromi antara mutakallimin dengan filosof muslim. Mutakallimin berpandangan bahwa wahyu berfungsi sebagai pemberi tahu (i’lam) sedang akal berfungsi sebagai penjelasan (bayan) terhadap informasi yang diberikan wahyu. Sebaliknya dalam pandangan filosof, fungsi akal adalah memberi tahu (i’lam) sedang wahyu adalah memberikan penjelasan atau konfirmasi (bayan) terhadap hasil dari akal itu.

4 Q.S. Al Tin [95]: 4.

Sekalipun dalam penjelasan yang berbeda akan tetapi antara wahyu dan akal saling mendukung untuk memperkuat keyakinan terhadap Islam.

Munculnya pemikiran modern dalam Islam adalah suatu kemestian kesejarahan guna mendukung terwujudnya cita-cita bahwa Islam itu sesuai pada segala ruang dan waktu (al islam shalihun li kulli zaman wa makan). Sebagai langkah awal dalam merumuskan pemikiran kemoderenan itu adalah selayaknya dibedakan antara agama sebagai budaya dan agama sebagai substansi. Agama sebagai budaya adalah merupakan hasil dari artikulasi agama terhadap keragaman dan lokalitas budaya sehingga tampillah Islam menjadi unik pada setiap wilayah kawasan. Akan tetapi betapapun bentuk eksistensi sebuah budaya, ia tetap menjadi sesuatu yang relatif kebenarannya karena dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebaliknya agama sebagai substansi tidak pernah berubah dan tidak akan berubah karena muatan ajarannya adalah bersifat kesemestaan. Oleh karena itu agama sebagai substansi bersifat absolut kebenarannya sedang sebagai budaya, agama adalah relatif kebenarannya. Menurut Prof. Harun Nasution, polemik gerakan pembaruan dengan tradisional adalah dalam memahami aspek universalitas Islam dan lokalitas Islam yang didasari sikap mereka dalam memahami wujud toleransi dan respon terhadap budaya lokal.

Universalitas Islam adalah suatu prinsip yang tidak bisa berubah sebagaimana yang termanifestasi dalam akidah dan ibadah. Namun pernik-pernik aktualisasi dari akidah dan ibadah memberi peluang terhadap sentuhan manusiawi. Dilihat dari segi antropologi, sesuatu ajaran akan bisa bertahan kuat dalam sebuah masyarakat manakala masyarakat memperoleh kesempatan melakukan interpretasi mereka terhadap ajaran agama itu sesuai dengan kondisi budaya mereka. Islam datang dalam kondisi ajaran yang steril dari budaya asalnya sehingga tidak bisa dihindari terjadinya persinggungan dengan budaya mayarakat lokal. Kalangan pembaru sulit bisa menerima kerangka berpikir yang melihat urgensi interaksi Islam dengan budaya lokal Universalitas Islam adalah suatu prinsip yang tidak bisa berubah sebagaimana yang termanifestasi dalam akidah dan ibadah. Namun pernik-pernik aktualisasi dari akidah dan ibadah memberi peluang terhadap sentuhan manusiawi. Dilihat dari segi antropologi, sesuatu ajaran akan bisa bertahan kuat dalam sebuah masyarakat manakala masyarakat memperoleh kesempatan melakukan interpretasi mereka terhadap ajaran agama itu sesuai dengan kondisi budaya mereka. Islam datang dalam kondisi ajaran yang steril dari budaya asalnya sehingga tidak bisa dihindari terjadinya persinggungan dengan budaya mayarakat lokal. Kalangan pembaru sulit bisa menerima kerangka berpikir yang melihat urgensi interaksi Islam dengan budaya lokal

Selanjutnya, Prof Harun Nasution melancarkan kritik terhadap kelompok umat yang beraliran tradisional. Beliau mengatakan bahwa pola pemikiran kalangan ulama yang dinamis, kreatif dan inovatif pada masa lalu menunjukkan bahwa Islam itu terus bergerak laksana karet. Hal itu menunjukkan fleksibilitas Islam ketika bersinggungan dengan segala ruang dan waktu. Dalam pada itu, para ulama masa lalu telah merumuskan kaidah pemikiran berdasarkan keyakinan terhadap pesan-pesan kewahyuan yang kemudian dipadukan dengan logika sebagai cabang filsafat. Maka akhirnya lahirlah bidang studi keilmuan yang memuat kaidah-kaidah fiqhiyyah yang disebut ushul fiqh. Dari hasil penalaran yang bersifat logis dan filosofis inilah kemudian lahir berbagai ragam corpus ilmu-ilmu keislaman terutama dalam penjabaran yang disebut fiqh.

Akan tetapi pada masa kini, gerakan intellectual exercise itu terasa seperti cenderung padam sehingga tidak muncul lagi berbagai gagasan pemikiran aktualisasi pemikiran Islam terhadap berbagai perkembangan kehidupan kontemporer. Tradisi pemikiran sebagaimana yang dialaminya sewaktu studi di Tmur Tengah lebih banyak mengulang-ulang hafalan terhadap prestasi keulamaan pada masa lalu dan sedikit sekali melakukan pengayaan pemikiran guna mendorong tumbuhnya kreativitas dan inovasi pemikiran keislaman. Menurut Prof. Harun Nasution dalam berbagai kuliahnya hal itu terjadi karena umat Islam mengabaikan tiga karakter Islam yaitu (1) tidak ada agama selain Islam yang sangat menekankan persamaan derajat (2) Islam itu rasional dan simplicity, dan (3) Islam adalah

kemajuan. 5

5 Tiga karakter Islam ini pernah penulis diskusikan dengan beliau ketika penulis berkonsultasi kepada beliau sebagai pembimbing disertasi adanya

pernyataan Sukarno yang dikutip Bernard Dahm dalam Sukarno, the Struggle for Indonesian Independence, Ithaca, London, Cornell University Press, 1969, translated Mary F. Somer Hiedues tentang tiga karakter Islam. Prof.

Sebagaimana disinggung di muka, ketika beliau berbicara tentang pemikiran modern dalam Islam, Prof Harun Nasution sering melakukan kilas balik sejarah. Apabila dibandingkan keadaan berpikir umat Islam pada zaman klasik Islam dengan masa kemunduran Islam

I maka kelihatan nyata bedanya. Bahwa kemajuan peradaban itu mereka peroleh dengan melakukan rekonstruksi pola berpikir yang memadukan berbagai metode keilmuan guna melakukan pengayaan terhadap Islam. Umat Islam membuka diri terhadap berbagai informasi keilmuan dari manapun datangnya asalkan bisa membantu untuk melakukan pemahaman yang seluas-luasnya terhadap ajaran sebagaimana yang terkandung dalam sumber utama ajaran Islam yaitu Al Quran dan Hadis. Dalam berbagai kuliahnya, beliau sering memulai dengan merancang pola berpikir tentang Islam yaitu membagi Islam pada dua sumber yaitu sumber utama (mashadir al tasyri’) yang tidak boleh berubah dan tidak akan berubah dan itulah Al Quran dan Hadis. Sumber kedua adalah pendukung komitmen terhadap sumber utama sebagai hasil dari eksplorasi yang dilakukan rasionalitas umat manusia yang tersimpul dalam sebuah terminologi ijtihad. Apabila sumber utama adalah merupakan kebenaran yang absolut maka sumber yang berikutnya adalah sebagai pendukung yang kebenarannya bersifar relatif. Rasionalitas untuk menuju kepada modernisasi pemikiran Islam adalah bertujuan untuk memperkuat tiga filosofi ajaran Islam yaitu keadilan (‘adalah), persamaan (musawah) dan persaudaraan (muakhkhah). Tiga nilai filosofi inilah yang akan dijadikan patokan dalam memahami berbagai perkembangan pranata sosial. Karena sekalipun secara akidah dan ibadah, Islam tidak boleh berubah akan tetapi dalam kaitan pranata sosial, maka formulasi keislaman dapat berubah sesuai dengan urgensi dan relevansinya karena pranata sosial sangat terkait dengan keadaan ruang dan waktu.

Harun Nasution menyetujui adanya tiga karakter tersebut akan tetapi kenyataannya sudah mulai tergerus pada masa kini dari khazanah kehidupan umat Islam.

Merujuk kepada pandangannya tentang jawaban Islam terhadap perkembangan pranata sosial maka beliau berpandangan tidak ada alasan untuk memandang Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena yang dipentingkan Islam pada waktu tertentu adalah bahwa Islam dapat dilepaskan dari simbol dan kemudian lebih mengutamakan substansi. Sepanjang substansi ajaran Islam telah terpenuhi dengan mengacu kepada tujuan syariat (maqashid al syari’at) maka dengan sendirinya dipandang islami. Cara pandang beliau yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai perubahan sikap beliau setelah keterkaitannya dengan aliran politik keislaman yang popular sekitar tahun 1950-an. Bahkan tesis Master beliau juga membahas tentang aliran poltik keislaman itu.