Harun Nasution Antara Risalah Ilmiah d

© Hak Cipta milik para penulis, 2016

Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim.

Artikel yang ada di dalam buku ini boleh dikutif dengan mencantumkan sumber secara lengkap.

Young Progressive Muslim http://www.ypm-publishing.com http://ypm-publishing.com/index.php/terbitan/29-pengembang-islam- dan-budaya-moderat

SAMBUTAN REKTOR

Pak Harun merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan UIN Syarif Hidayatllah, Jakarta. Betapa tidak, beliau adalah guru besar yang sekaligus menjabat Rektor untuk waktu yang sangat panjang sejak 1973 sampai 1984, dan banyak melakukan reformasi akademik, tidak hanya kurikulum dan pembelajaran, tetapi juga melakukan perubahan paradigma kajian keagamaan normatif menjadi empirik, dan kajian tariqah ahlu al hadis menjadi tariqah ahlu al-Ra’yi bahkan tariqah al jam’an (aliran konvergensi yang mencoba memadukan antara dua aliran ahlu al-hadis dan ahlu al- ra’yi), dengan pendekatan komprehensif mengkaji seluruh aliran dan pemikiran, dianalisis dan disimpulkan. Dengan demikian, para mahasiswa memiliki kesempatan yang sangat besar untuk melakukan kritik terhadap berbagai pemikiran dan implementasi keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga mereka terhantarkan untuk menjadi orang-orang terbuka dengan perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam keragaman, dengan tetap memiliki satu keyakinan akan kebenaran yang dianut mereka.

Sosok Pak Harun sangat fenomenal, dan gerakan reformasi akademiknya sangat dirasakan oleh para mahasiswanya, sehingga kemudian, para penerus beliau menyebut kampus UIN Jakarta sebagai kampus pembaharuan, yang semua mahasiswanya harus berpandangan terbuka untuk melakukan pembaharuan, tidak saja dalam pemikiran dan sikap keberagamaan, tapi juga dalam sikap sosial dan professional mereka. Sikap reformis akhirnya menjadi identitas untuk semua alumni UIN Syarif Hidayataaullah, Jakarta, sehingga mereka bisa diterima dalam berbagai profesi, baik inline dengan keahlian program studinya maupun tidak. Ciri keberagamaan yang inklusif tersebut, telah mampu menghantarkan para alumni untuk bisa diterima dalam berbagai kelompok sosial, etnik dan agama yang berbeda, serta mampu beradaptasi dengan siapapun di dunia. Disadari atau tidak, itu merupakan salah satu jasa besar dari

Pak Harun yang mengubah paradigma kajian keilmuan keagamaan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Reformasi lain yang beliau lakukan selama menjadi Rektor IAIN adalah melakukan pengiriman para alumni dan dosen muda untuk kuliah jenjang Magister dan Doktor di berbagai universitas di Amerika dan Eropa (khususnya di negara-negara yang memiliki tradisi studi Islam dengan baik), suplementasi terhadap tradisi pengiriman para mahasiswa ke berbagai universitas di Timur Tengah. Beliau selalu mengatakan, bahwa kekuatan kajian di berbagai universitas di negara-negara Barat adalah metodologi, walaupun dalam aspek konten keilmuannya lemah dibanding dengan program magister dan doktor di berbagai universitas di Timur Tengah. Dan kini UIN memiliki banyak doktor studi Islam, dan bahkan dalam bidang sosial serta humaniora, keluaran berbagai perguruan tinggi ternama di negara-negara Barat. Interaksi mereka dengan para magister dan doktor dari Timur tengah, dan berbagai universitas dalam negeri, telah mengangkat citra kampus UIN sebagai kampus yang memiliki dinamika akademis tinggi, apalagi dengan publikasinya yang telah mengejutkan masyarakat akademis, khususnya di Indonesia.

Secara personal, beliau sangat yakin bahwa teologi rasional akan bisa membawa perubahan sosial masyarakat Indonesia, karena perubahan itu akan terjadi jika manusianya memiliki keinginan untuk berubah, dan melakukan usaha untuk memenuhi keinginannya itu. Beliau sangat yakin, bahwa Tuhan tidak akan mengubah masyarakat hanya dengan pendekatan do’a. Oleh sebab itu, umat Islam Indonesia, harus meyakini, bahwa perubahan menuju masyarakat ideal, harus diupayakan dengan langkah-langkah sistematik dan terukur, sehingga bisa divaluasi pencapaiannya. Inilah keyakinan beliau yang selalu ditekankan pada para mahasiswanya, kendati beliau sangat hormat pada para ulama salaf, abad pertengahan, dan bahkan para cendikiawan modern. Bahkan beliaupun sendiri termasuk cendikiawan muslim dengan komitmen ubudiah yang Secara personal, beliau sangat yakin bahwa teologi rasional akan bisa membawa perubahan sosial masyarakat Indonesia, karena perubahan itu akan terjadi jika manusianya memiliki keinginan untuk berubah, dan melakukan usaha untuk memenuhi keinginannya itu. Beliau sangat yakin, bahwa Tuhan tidak akan mengubah masyarakat hanya dengan pendekatan do’a. Oleh sebab itu, umat Islam Indonesia, harus meyakini, bahwa perubahan menuju masyarakat ideal, harus diupayakan dengan langkah-langkah sistematik dan terukur, sehingga bisa divaluasi pencapaiannya. Inilah keyakinan beliau yang selalu ditekankan pada para mahasiswanya, kendati beliau sangat hormat pada para ulama salaf, abad pertengahan, dan bahkan para cendikiawan modern. Bahkan beliaupun sendiri termasuk cendikiawan muslim dengan komitmen ubudiah yang

Pada tahun 1982, beliau memulai mendirikan Program Pascasarjana, sebagai kelanjutan dari program pendidikan Purna Sarjana yang menjadi kebanggaan PTAIN pada dekade 1970-an. Program Pascasarjana berjenjang pendidikan Magister dan Doktor tersebut menerima para dosen yang sudah diangkat IAIN dengan bekal pendidikan sarjana, para dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, serta dosen-dosen Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Memang kesempatan pendidikan luar negeri sudah terbuka, dan akses kesempatan terbuka bagi banyak orang. Tapi tidak semua dosen berkesempatan baik, karena informasi yang masih susah terakses, basis kemampuan Bahasa (Arab dan Inggris) yang belum merata dan sistem serta mekanismenya masih agak rumit, sehingga pada dekade 1980-an, arus pendidikan luar negeri masih sangat terbatas. Dengan demikian, para dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memilih untuk mengambil pendidikan magister dan doktor di dalam negeri yang pada tahap awal hanya diselenggarakan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Keduanya kini sudah bertransformasi menjadi UIN sejak tahun 2002 dan 2004, bahkan sudah diikuti oleh sembilan IAIN lainnya). Kedua Program Pascasarjana (PPs) tersebut sangat dipengaruhi oleh cara berfikir beliau, dan bahkan beliau sendiri mengajar di dua institusi tersebut. Dengan demikian, sampai dekade awal abad ke-21 ini, hampir seluruh UIN dan IAIN, dan bahkan STAIN, sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir keagamaan yang dibangun oleh beliau.

Inilah sosok guru besar yang telah meninggalkan jejak sejarah reformasi paradigm akademik Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dengan mengusung pemikiran Islam rasional, baik dalam teologi, hukum Islam, filsafat maupun tasawuf, gerakan modernisasi dalam pengelolaan lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga Inilah sosok guru besar yang telah meninggalkan jejak sejarah reformasi paradigm akademik Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dengan mengusung pemikiran Islam rasional, baik dalam teologi, hukum Islam, filsafat maupun tasawuf, gerakan modernisasi dalam pengelolaan lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri sangat berbangga memiliki sosok tokoh besar Pak Harun. Maka wajar kalau auditorium terbesar tempat seminar, international conference, pengukuhan guru besar, penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa, dan venue di mana para ilmuwan dalam dan luar negeri memaparkan hasil-hasil penelitiannya, dinamai Auditorium Harun Nasution. Sekedar untuk mengenang kebesaran peran sejarah beliau untuk kemajuan akademik dan keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami sendiri menyadari bahwa Pak Harun bukan hanya milik UIN Jakarta, tapi miliki semua PTAI N/S dengan karya-karyanya yang sampai sekarang masih tetap setia untuk digunakan sebagai buku teks keagamaan. Tetapi para murid beliau memang lebih banyak berada di UIN Jakarta, dan wajar pulalah, jika kini UIN sedang memperkuat eksposing Islam moderat, inklusif dan toleran, mengenang kembali kehadiran sosok Pak Harun dengan berbagai peran intelektualisme dan gerakan kulturalnya.

Atas nama Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kami menyambut baik terbitnya buku “Pengembang Islam dan Budaya Moderat”, yang merupakan kelanjutan dari sebuah seminar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengapresiasi penganugerahan bintang kelas budaya Parama Dharma, terhadap Pak Harun, dan mengenang wafatnya guru kita semua hampir dua dekade yang lalu. Buku ini merupakan bunga rampai tulisan para murid Pak Harun, yang kini Atas nama Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kami menyambut baik terbitnya buku “Pengembang Islam dan Budaya Moderat”, yang merupakan kelanjutan dari sebuah seminar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengapresiasi penganugerahan bintang kelas budaya Parama Dharma, terhadap Pak Harun, dan mengenang wafatnya guru kita semua hampir dua dekade yang lalu. Buku ini merupakan bunga rampai tulisan para murid Pak Harun, yang kini

Kepada para penggagas, para penulis dan editor, dan seluruh yang terlibat dalam penerbitan buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih, mudah-mudahan menjadi legacy dan sumber informasi berharga bagi para akademisi generasi ketiga dari Pak Harun, yang sampai sekarang masih secara konsisten memahami, serta menggunakan paradigma akademik Islam rasional dan gerakan modernisme, dalam mengusung Islam moderat yang menghargai keragaman aliran dan pandangan keagamaan. Inilah hasil nyata sebuah pendekatan kajian Islam empirik yang dilakukan Pak Harun. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 26 September 2016. Rektor,

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM DAN BUDAYA MODERAT

Pengantar Penerbitan

Bagi orang yang tidak pernah menjadi murid atau mendengar pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (selanjutnya ditulis Pak Harun), atau kurang mantap membaca komentar para penulis tentang dia maka sebaiknya membaca langsung karya-karyanya. Karya-karya Pak Harun enak dibaca dan perlu, meminjam istilah Tempo. Enak dibaca karena buku karya Pak Harun menggunakan bahasa Indonesia yang fasih dan simpel sehingga pada setiap buku, jumlah halamannya tidak banyak dan tidak tebal. Perlu, karena isi bukunya mengenai nilai-nilai dasar Islam. Selain ada dalil-dalil al-Quran dan Hadis, karya Pak Harun banyak menyajikan tentang Islam yang terjadi, baik yang ada dalam pemikiran para tokoh maupun yang terjadi dalam sejarah.

Buku karya Pak Harun antara lain sebagai berikut:

1. Falsafat Agama. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh penerbit Bulan Bintang. Buku ini terdiri atas 5 Bagian. Bagian 1 tentang Falsafat Agama, Epistemologi, dan Wahyu. Bagian 2 tentang Ketuhanan. Bagian 3 Argumen-argumen Adanya Tuhan. Bagian 4 tentang Roh. Bagian 5 tentang Soal Kejahatan dan Kemutlakan Tuhan.

2. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku ini terdiri atas 2 jilid. Jilid I mulai terbit tahun 1974 yang terdiri atas 6 Bab. Bab 1

tentang Agama dan Pengertian dalam Berbagai Bentuknya. Bab

2 tentang Islam dalam Pengertian yang Sebenarnya. Bab 3 tentang Aspek Ibadat, Latihan Spiritual dan Ajaran Moral. Bab 4 tentang Aspek Sejarah dan Kebudayaan yang terdiri atas Periode Klasik (650-1250), Periode Pertengahan (1250-1800), dan Periode Modern (1800). Bab 5 Aspek Politik, dan Bab 6 tentang Lembaga-lembaga Kemasyarakatan.

Buku jilid II terbit pertama kali tahun 1974 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku Jilid II ini terdiri atas 5 Bab disertai dengan Penutup. Buku yang dimulai dari Bab VII ini berisi Aspek Hukum, Bab VIII Aspek Teologi, Bab IX Aspek Filsafat, Bab X Aspek Misticisme, Bab XI Aspek Pembaharuan Dalam Islam, Penutup, dan disertasi Daftar Nama- nama Istilah, sebanyak 120 halaman. Pak Harun dalam kata penutup pada buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ini memberikan catatan bahwa ruang lingkup Islam tidaklah sempit malahan luas sekali. Ia antara lain menyebutkan bahwa kalau disebut Islam maka yang dimaksud bukan hanya ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan akhlak. Islam lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, falsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan politik. Selanjutnya, Pak Harun juga menyatakan bahwa penafsiran- penafsiran yang ada dalam Islam lahir sesuai dengan suasana masyarakat yang ada di tempat dan zaman itu muncul. Zaman terus menerus membawa perobahan pada suasana masyarakat. Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran di zaman tertentu, belum tentu sesuai untuk zaman lain.

3. Akal dan Wahyu dalam Islam. Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1982. Buku ini terdiri atas 6 Bab dan Penutup. Bab I Akal,

Bab II Wahyu, Bab III Al-Quran dan Kandungannya, Bab IV Kedudukan Akal dalam Al-Quran dan Hadis, Bab V Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam atas Pengaruh Ajaran Pemakaian Akal, Bab VI Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Keagamaan dalam Islam, dan Penutup. Buku ini terbit pertama kali tahun 1982 oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press). Total halaman buku ini adalah 109 termasuk Daftar Pustaka.

Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini sebagai berikut. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh al-Quran sendiri. Pak Harun pada akhir buku ini menyatakan bahwa pemakaian akal diperintahkan al-Quran seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kawniah mendorong manusia untuk meneliti alam sekitarnya dan memperkembang ilmu pengetahuan. Dengan pemakaian akal yang ada dalam dirinya inilah yang membuat manusia menjadi khalifah di bumi.

4. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Buku ini terbit pertama kali tahun 1975 oleh Penerbit Bulan Bintang, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku ini terdiri atas Pengantar yang terbagi lagi ke dalam: Pengertian Pembaharuan, Maju Mundurnya Umat Islam dalam Sejarah, Pemikiran dan Usaha Pembaharuan Sebelum Periode Modern, Kerajaan Usmani, India, dan Arabia. Bagian Pertama: Mesir. Terdiri atas pembahasan Pendudukan Napoleon dan Pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Murid dan Pengikut Muhammad Abduh: Muhammad Farid Wajdi, syaikh Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaglul, Ahmad Luthfi al-Sayyid, Ali Abd Raziq, dan Taha Husain. Bagian Kedua: Turki. Terdiri atas pembahasan Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, Tiga Aliran Pembaharuan: Barat, Islam, dan Nasionalis, serta Mustafa Kemal. Bagian Ketiga: India-Pakistan. Terdiri atas pembahasan Gerakan Mujahidin: Syah Abdul Aziz, Sayyid Ahmad Syahid, Darul Ulum Deoband, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah, dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India, serta

Penutup, Daftar Pustaka, dan Indeks. Total halaman buku ini 213. Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini antara lain dengan menyatakan bahwa para tokoh muslim baru sadar akan kelemahan dan kemunduran umat Islam timbul setelah adanya kontak dengan Barat di abad 18 dan 19. Adanya kontak tersebut membuat para pemimpin mengadakan perbandingan antara dunia Islam yang sedang menurun dan dunia Barat yang sedang menaik. Kesadaran bertambah besar lagi setelah beberapa Negara Islam dapat ditundukkan Barat. Pak Harun juga menyatakan bahwa orientasi keakhiratan umat Islam harus diimbangi dengan orientasi keduniaan sehingga umat Islam juga mementingkan hidup kemasyarakatan dan berusaha mencapai kemajuan dalam bidang kehidupan duniawi sebagai halnya dengan umat-umat lain. Pendidikan tradisional harus diubah dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengatahuan modern ke dalam kurikulum madrasah. Akhirnya, Pak Harun menyatakan bahwa Islam tidak menghalangi pembaharuan yang tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang dibawa wahyu.

5. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam: Falsafat Islam, Mistisisme Islam, dan Tasawuf. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh Penerbit Bulan Bintang, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku ini terdiri atas 2 Bagian, yaitu Bagian Pertama Falsafat Islam dan Bagian Kedua Mistisisme Islam – Tasawuf. Bagian Pertama terdiri atas: Kontak Pertama antara Islam dan Ilmu Pengetahuan, serta Falsafat Yunani, Ya’kub ibnu Ishaq al-Kindi: Falsafat Ketuhanan dan Falsafat Jiwa, Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria al-Razi: Falsafat Lima Kekal, Roh dan Materi, dan Rasio dan Agama, Abu Nasr Muhammad al-Farabi: Falsafat Emanasi/Pancaran, Falsafat Kenabian, Teori Politi, Abu Ali Husein ibn Abdillah ibnu Sina: Falsafat jiwa, Falsafat Wahyu dan Nabi, Falsafat Wujud, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali:

Krtitik terhadap Filosof-filosof, Tiga Golongan Manusia, Abu al- Walid Muhammad ibnu Muhammad ibn Rusyd: Falsafat Tidak Bertentangan dengan Islam, dan Pembelaan terhadap Filosof- filosof. Bagian Kedua Mistisisme dalam Islam – Tasawuf. Terdiri atas: Asal Usul Tasawuf: Hakikat Tasawuf, Asal Kata Sufi, Asal Usul Aliran Sufisme, Jalan untuk Dekat kepada Tuhan, Al-Azuhd dan Stasiun-stasiun lain, Al-Mahabbah, Al- Ma’rifah, Al-Fana’ dan Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul, dan Wahdatul Wujud, dilengkapi dengan Bibliografi dan indeks. Jumlah halaman buku ini adalah 85.

6. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1972 dan Cetakan II nya diterbitkan oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Buku ini diberi Kata Sambutan oleh Dr. Mulyanto Sumardi, Direktur Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama tanggal 30 November 1972. Buku ini diberikan Kata Pengantar oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Guru Besar Hukum dan Institusi Islam UI dan Ketua Islam Studi Club Indonesia tanggal 27 Oktober 1972. Buku ini terdiri atas 2 bagian. Bagian Pertama berisi kajian tentang Aliran-aliran dan Sejarah yang terdiri atas 6 Bab. Bab I Sejarah Timbulnya Persoalan-persoalan Teologi dalam Islam, Bab II Kaum Khawarij, Bab III Kaum Murjiah, Bab IV Qadariah dan jabariah, Bab V Kaum Mu’tazilah, dan Bab VI Ahli Sunna dan Jamaah.Bagian Kedua analisa dan Perbandingan, terdiri atas Bab VII sampai dengan Bab XV. Bab VII Akal dan Wahyu, Bab

VIII Fungsi Wahyu, Bab IX Free Will dan Predestination, Bab X Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan, Bab XI Keadilan Tuhan, Bab XII Perbuatan-perbuatan Tuhan, Bab XIII Sifat-sifat Tuhan, Bab XIV Konsep Iman, dan Bab XV Kesimpulan. Pak Harun dalam buku ini memberikan catatan bahwa semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariy, Maturidiah, apalagi Mu’tazilah

sama-sama mempergunakan akal dalam sama-sama mempergunakan akal dalam

7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Buku ini terbit pertama kali tahun 2006 oleh Penerbit Universitas

Indonesia (UI Press). Buku ini merupakan tesis Ph.D yang diselesaikan pada bulan Maret 1968 di Universitas Mc.Gill, Montreal Canada. Tesis ini judul aslinya adalah The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views (Kedudukan Akal dan Teologi Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem Pendapat-pendapat Teologinya). Buku ini diterbitkan 14 tahun sejak dihasilkan. Tentang alasan mengapa hal ini terjadi dapat dibaca langsung pada Pengantar buku ini. Pak Harun memberikan catatan hasil penelitiannya ini dengan menyatakan bahwa pemikiran Muhammad Abduh sangat berpengaruh di Mesir sehingga menimbulkan para tokoh seperti Mustafa al-Maraghi, Mustafa Abd al-Raziq, Rasyid Rida, dan lainnya tetapi di Indonesia kurang berpengaruh. Pengaruhnya di Indonesia tidak menimbulkan para pemikir ulung dalam bidang agama Islam sebagaimana halnya di Mesir.

Itulah sedikit kutipan isi buku Pak Harun. Tentu masih banyak hal yang tidak tercantum dalam tulisan ini. Pemahaman dan pemikiran Pak Harun yang tertuang dalam buku-buku tersebut memberikan pemahaman Islam dan budaya yang moderat. Pak Harun menginformasikan Islam secara historis baik menurut pemahaman para tokoh masa lalu atau kejadian masa lalu dalam Itulah sedikit kutipan isi buku Pak Harun. Tentu masih banyak hal yang tidak tercantum dalam tulisan ini. Pemahaman dan pemikiran Pak Harun yang tertuang dalam buku-buku tersebut memberikan pemahaman Islam dan budaya yang moderat. Pak Harun menginformasikan Islam secara historis baik menurut pemahaman para tokoh masa lalu atau kejadian masa lalu dalam

Selanjutnya, dalam buku ini berisi komentar dari para murid langsung dan tidak langsung dari Pak Harun. Gagasan awal penulisan buku ini adalah adanya seminar yang diberi judul Refleksi Pemikiran dan Kontribusi Harun Nasution di Indonesia yang diselenggrakan di Ruang Diorama, pada hari Jumat 21 Agustus 2015). Sebelum itu Suwito mengusulkan kepada Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah untuk mengadakan kegiatan seminar dan sekaligus mensponsori biayanya. Usulan ini ia terima yang kemudian disetujui juga oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menyelenggarakan seminar yang bertempat di Diorama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada waktu itu, yang menjadi narasumber adalah Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya MA, Prof. Dr. Yusron Razak, M.A, (moderator), Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, M.A., Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A., Dr. Arief Subhan, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., dan Dr. Fachry Ali. Seminar tersebut digelar menyusul pemberian Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI Ir H. Joko Widodo kepada Almarhum Prof Harun sebagai tokoh Pengembang Budaya Moderat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/Tahun 2015. Ketika itu para peserta yang notabene mayoritas para mahasiswa Prof. Dr. Harun Nasution sepakat untuk menerbitkan buku tentang Pak Harun, dan akhirnya terbitlah buku ini. Penerbitan buku ini kebetulan tepat

18 tahun wafat Pak Harun (18 September 1998 sampai dengan 18

September 2016). Oleh sebab itu, disampaikan ucapan banyak terima kasih kepada kawan-kawan yang sempat memberikan komentarnya dalam buku ini. Mereka adalah:

1. Salman Harun (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),

2. Jamali Sahrodi (Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon),

3. Nyimas Anisah Muhammad (Dosen dan pernah menjadi Direktur Program Pascasarjana UIN Raden Fatah

Palembang),

4. Fauzul Iman (Guru Besar dan Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten),

5. Rusjdi Ali Muhammad (Guru Besar dan pernah menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh serta Direktur Program

Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh),

6. Amsal Bakhtiar (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI),

7. Iskandar Usman (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Adminsitrasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh),

8. Nabilah Lubis (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta),

9. Yunasril Ali (Guru Besar dan Ketua Senat Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah

menjadi Ketua STAIN Kerinci),

10. Jalaluddin (Guru Besar dan pernah menjadi Rektor IAIN Raden Fatah Palembang),

11. Yusuf Rahman (Dosen dan pernah menjadi Wakil Direktur Bidang Administrasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),

12. Achmad Syahid (Dosen dan pernah menjadi Ketua Lembaga Penjaminan Mutu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

13. M. Ridwan Lubis (Guru Besar dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta pernah

menjadi Kapuslitbang Kehidupan Beragama Balitbang Departemen Agama RI),

14. M. Qasim Mathar (Guru Besar dan pernah menjadi pimpinan Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar),

15. Abdul Khamid (Pernah menjadi staf di Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Kementerian Agama RI dan

dosen dpk. STAI al-Hamidiyah Depok),

16. Abuddin Nata (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta ,

17. Suwito (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan

18. Abdul Gani Abdullah (Guru Besar/Dosen pada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

pernah menjadi Hakim Agung Mahkamah Agung RI).

Semoga upaya ini bermanfaat bagi para pembaca. Dengan terbitnya buku ini, secara khusus, ucapan terima kasih diberikan kepada Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, murid Prof. Harun Nasution dan pensiunan Hakim Agung RI yang telah mensponsori biaya penerbitan buku ini. Semoga Allah SWT memberikan berkah yang berlimpah atas kebaikannya. Amin.

Jakarta, 18 September 2016 Wassalam, Suwito

PAK HARUN DAN GERAKAN PASCASARJANA M. Qasim Mathar .......................................................................... 171

KIPRAH GURU BESAR PEMIKIRAN ISLAM PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM MENGEMBANGKAN PROGRAM PASCA SARJANA DAN PENINGKATAN KUALITAS PTAI DI INDONESIA Abdul Khamid .............................................................................. 175

PEMIKIRAN PENDIDIKAN HARUN NASUTION Abuddin Nata................................................................................ 187

BINTANG MAHAPUTRA UTAMA BUAT PROF. DR. HARUN NASUTION Suwito ........................................................................................... 209

REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP HUKUM Abdul Gani Abdullah ................................................................... 215

INDEKS ....................................................................................... 217

BAGIAN I BAPAK DAN GURU SEJATI

HARUN NASUTION GURU SEJATI

Salman Harun

Saya merasakan Pak Harun Nasution seorang yang paling mempengaruhi jalan hidup saya. Saya mulai mengenal beliau ketika saya masuk tingkat doktoral Jurusan bahasa Arab IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1969. Beliau baru kembali dari Kanada, dan kami, bila tidak salah, adalah murid pertama yang diajar beliau. Pada waktu itulah saya mengenal diskusi sebagai metode pendidikan dan pengajaran. Beliau memberikan pengantar perkuliahan selama lebih kurang lima belas menit, kemudian didiskusikan (tidak sistem makalah seperti yang diterapkan sekarang di S-1, makalah baru diterapkan di S-2 dan S-3).

Diskusi diisi dengan tanya jawab. Beliau memberikan kesempataan yang seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk bertanya, yang kemudian dijawab oleh beliau. Jawaban yang beliau berikan sangat memuaskan. Pertama, karena argumen yang beliau sampaikan sangat kuat. Kedua, cara beliau menjawab sangat memikat. Ketiga, penampilan beliau yang betul-betul mencirikan a real professor, dengan kepala botaknya itu (pada waktu itu dosen yang bergelar professor baru Prof. Bustami Abdul Ghani, yang merupakan dosen langsung saya, Prof. Sunarjo, dan Prof. Thaha Yahya Umar, semuanya tidak berkepala botak mengkilat seperti Pak Harun). Semuanya itu setidaknya merupakan di antara banyak faktor yang membuat kuliah Pak Harun sangat mengesankan. Itu saya rasakan mempengaruhi sekali sikap hidup saya dalam mencinta ilmu dan berdaya kritis dan obyektif dalam taraf tertentu. Ketiga faktor itu saya rasakan telah menentukan jalan hidup saya selanjutnya.

Semua sikap yang diambil Pak Harun dimaksudkannya dalam rangka memajukan ilmu pengetahuan. Beliau sangat ingin mahasiswanya maju. Pada tahun 1973 saya menyelesaikan program sarjana lengkap, dan diangkat langsung menjadi tenaga pengajar di

IAIN ini (dekan: Drs. Muhsin Idham, alm.). Diangkatnya saya langsung menjadi dosen itu saya nilai tidak terlepas kaitannya dengan kedekatan saya dengan beliau dalam diskusi-diskusi ilmiah. Kemudian saya terpilih di antara dosen-dosen perguruan tinggi di lingkungan Departemen Pendidikan dan Departemen Agama untuk mengikuti Penataran Penterjemah pada tahun 1978, beliau senang. Apalagi ketika saya diterima mengikuti Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tahun 1983, tempat kedua yang saya rasakan telah menanamkan cinta ilmu dan daya kritis dan obyektif yang lebih dalam dalam diri saya. Kembali dari latihan penelitian itu beliau membentuk Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, dan mengangkat saya sebagai Sekretaris (Ketua: Prof. Mastuhu, alm.). Dengan demikian beliau bermaksud agar bawahan/muridnya lebih maju lagi dalam dunia ilmiah.

Dengan modal cinta ilmu dan daya kritis dan obyektif yang telah beliau tanamkan itu saya dapat meniti karir akademik berikutnya. Pada tahun 1983 saya diterima untuk mengikuti pendidikan dan penelitian dalam rangka pembibitan kandidat doktor di Universitas Leiden Belanda. Pulangnya setahun kemudian saya diterima pada program doktor itu. Dalam rangka mendekatkan saya dengan iklim dan semangat ilmiah, untuk membantu saya dalam menyelesaikan program doktor itu, Pak Harun mengangkat saya sebagai sekretaris Fakultas Pascasarjana (1984-1986). Hemat saya itulah maksud yang ada di balik kebijakan beliau mengangkat tenaga-tenaga muda menjadi sekretaris beliau, yaitu untuk membantu penyelesaian studi yang bersangkutan.

Empat tahun kemudian saya menyelesaikan program doktor (tahun 1988). Pada tahun 1994 saya diangkat menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah almamater saya. Pada tahun itu pula saya menjadi guru besar, dan naik haji. Masih dalam jabatan saya sebagai dekan itu saya diminta oleh Menteri Agama pada waktu itu (Dr. Tarmizi Taher, alm.) untuk menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sumatera Barat. Setelah itu saya menduduki beberapa jabatan eselon dua di

Depag. Pada tahun 2000 saya pulang kandang. Tahun 2001 saya dipilih lagi oleh Senat menjadi dekan Fakultas Tarbiyah untuk kedua kali. Semua prestasi akademik dan karir itu saya rasakan tidak terlepas hubungannya dengan semangat cinta ilmu dan sikap kritis dan obyektif yang ditanamkan Pak Harun dalam diri saya.

Karena faktor nama saya dan terkesan saya banyak mendapat perhatian dari Pak Harun itu, banyak orang menyangka bahwa saya adalah anak beliau. Setelah saya jelaskan mereka pun mengerti. Namun yang jelas adalah bahwa saya mengakui dalam pidato pengukuhan saya sebagai guru besar, bahwa saya adalah “anak spiritual” beliau. Pak Harun telah berjasa besar dalam membentuk saya menjadi seorang ilmuwan, bagaimana pun kecilnya, yang telah menjadi landasan bagi saya dalam meniti karir selanjutnya dalam hidup saya.

Di samping ilmuwan sejati Pak Harun adalah juga seorang yang bersih, tidak hanya pisiknya, tetapi juga batinnya. Beliau begitu necis. Beliau tulus dalam mengabdi ilmu dan lembaga yang dipimpinnya. Beliau juga terlihat apik dalam hal keuangan. Di samping itu beliau juga seorang yang taat beribadah. Pada hari Jumat, beliau adalah orang pertama yang datang ke masjid. Memang beliau tidak duduk di baris pertama dalam masjid, tetapi di saf pertama di bagian luar masjid. Tindakan beliau itu belakangan saya pahami ada maksudnya. Yaitu supaya khatib tidak kikuk bila melihat beliau ada di saf pertama, karena beliau tahu bahwa yang akan berkhutbah adalah murid atau koleganya.

Tidak lengkap rasanya bila saya tidak menyampaikan bahwa kadang-kadang timbul dalam diri saya perasaan berdosa pada Pak Harun. Hal itu karena cara bertanya saya yang sering terlalu vulgar dalam diskusi-diskusi. Hal itu kadang-kadang membuat beliau repot juga menjawabnya, dan seperti kurang senang.

Mohon maaf Pak Harun, terima kasih atas segala jasanya, semoga Engkau telah bahagia di sisi-Nya. Amin!

PROF. DR. HARUN NASUTION SOSOK PENDIDIK DAN BAPAK

Jalaluddin

Ketokohan Prof. Dr. Harun Nasution sebagai ilmuwan Muslim dan pembaharu pemikiran Islam di tanah air, sudah dikenal banyak pihak. Baik di Indonesia, maupun dunia. Buku- buku hasil karya, serta proses perwujudan Program Pascasarjana di Departemen Agama, sekaligus menjadi bukti akan ketokohan yang disandangkan kepada beliau. Seperti pernah beliau kemukakan, bahwa manakala gagasan untuk mendirikan pascasarjana, pada awalnya rata-rata kedutaan negara- negara Islam dan Timur Tengah menyambut baik. Mereka menyatakan bersedia membantu, termasuk pengadaan tenaga pengajar.

Sayangnya “janji setia” dimaksud tidak berlangsung mulus. Perjalanannya ibarat raut “ekor tikus”, seperti kata pepatah. Makin ke ujung makin mengecil. Satu per-satu mereka menarik dukungan tersebut. Hingga pada tahun akademik 1987, di pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, hanya tersisa seorang tenaga pengajar dalam mata kuliah bahasa Arab, yakni Dr. Muhammad Et-Tawwab El-Allah berkebangsaan Mesir.

Di tengah kerisauan itu pula tercetus kekecewaan Pak Harun Nasution. “Saya punya teman berkebangsaan Belgia yang non- Muslim. Saya kirim surat kepadanya untuk memberikan materi kuliah mengenai “Iran Kontemporer.” Saya jelaskan pula, bahwa biaya tiket tidak tersedia. Hanya selama di Jakarta akan disediakan tempat tinggal, serta biaya hidup sebesar Rp. 500.000 per- bulan. Saya minta kesediaannya untuk memberikan kuliah selama satu semester, “jelas Pak Harun di ruang kelas.

Selanjutnya Pak Harun Nasution menunjukkan bukti berupa selembar surat. Beliau bacakan langsung kepada kami selaku mahasiswanya. “Saudara Prof. Harun Nasution, saya masih punya Selanjutnya Pak Harun Nasution menunjukkan bukti berupa selembar surat. Beliau bacakan langsung kepada kami selaku mahasiswanya. “Saudara Prof. Harun Nasution, saya masih punya

Kali berikutnya Prof. Dr. Hasan Langgulung beliau hadirkan untuk memberikan kuliah. Selama satu semester, Pak Hasan Langgulung terkesan begitu kerasan berada di lingkungan Ciputat. Menempati rumah yang cukup sederhana dan sengaja disediakan untuk beliau. Selain menjalankan tugasnya sebagai dosen tamu, Guru Besar bidang pendidikan Islam ini ternyata juga merupakan penulis yang produktif. Tiga buku teks karya beliau sempat diterbitkan oleh penerbit Al-Husna, Jakarta.

Dari dalam negeri sendiri, Prof. Dr. Harun Nasution berhasil merangkul tenaga dosen kondang. Sebut saja antara lain Prof. Dr. H. M. Rasjidi (Menteri Agama RI, pertama), Prof. Dr. Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Deliar Noer, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. M.K. Tajudin Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan sederetan mana-nama lain ilmuwan kondang lainnya. Termasuk di dalamnya Pak Prof. H. Munawir Sjadzali, M. A., Menteri Agama yang sempat mengkhususkan studinya di Amerika Serikat dalam bidang ilmu politik.

Dalam penilaian Prof. Dr. Harun Nasution mata kuliah Al-Fiqh al-Siyasi atau Ilmu Tata Negara Islam perlu diampu oleh dosen khusus, sedangkan ketika itu mata kuliah ini belum pernah diberikan secara teratur. Sebagai seorang ilmuwan, ternyata Prof. Dr. Harun Nasution begitu selektif dalam pengadaan tenaga dosen. Begitu besar perhatian dan tanggungjawab terhadap kualitas dan prestasi institusi yang beliau pimpin.

Sosok Pendidik

“Sebenarnya saya sudah terlalu sibuk. Namun saya tak bisa menolak, ketika Pak Prof. Harun Nasution meminta saya untuk memberi kuliah di pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Saya mengagumi beliau, karena menurut saya Pak Harun Nasution mampu menampilkan sosok Muslim sesungguhnya. Semuanya itu terlihat dalam keseharian beliau. Hidup dalam kesederhanaan, rapi, bersih, jujur dan disiplin. Beliau telah menempatkan diri sebagai sosok teladan.” Begitu ungkapan polos dari Prof. Dr. Parsudi Suparlan tentang Prof. Dr. Harun Nasution.

Secara jujur, barangkali tidak sulit untuk menyepakati kebenaran pendapat Pak Parsudi Suparlan (almarhum). Dalam berbagai aktivitas keteladanan Pak Harun Nasution tertampil utuh secara apa adanya. Sama sekali jauh dari kesan dibuat- buat. Begitu sederhananya, hingga menurut pengakuan sang sopir, ia paling susah bila ada undangan dari istana. Mobil dinas yang sangat sederhana itu terpaksa harus diparkir menyendiri. Tidak bergabung dengan mobil- mobil mewah para pejabat lain yang tersusun di areal parkir. Dengan demikian untuk mencapai Istana Negara,Pak Harun harus berjalan kaki cukup jauh. “Sebenarnya kasihan. Tapi Bapak memang minta seperti itu, “ungkap si sopir secara polos.

Kehadiran Pak Harun Nasution di kampus selalu tepat waktu. Tepat jam 07.15, mobil dinas sudah memasuki areal kampus, dan sebelum jam 07.30 Pak Harun Nasution sudah berada di belakang meja kerjanya. Tak pernah terlambat. Kemudian, manakala pulang dari rapat di Departemen Agama, beliau senantiasa mampir ke kantor. Sesempit apapun waktu yang tersisa. Terkadang hanya tersisa waktu seperempat jam. Namun, Pak Harun Nasution tak pernah absen untuk menunaikan jam kerjanya secara penuh. Setelah berakhir jam dinas, yakni jam 14.00, barulah beliau meninggalkan kantor.

Masyarakat kampus sudah sangat kenal dengan sifat-sifat terpuji Pak Harun Nasution ini. Bila berada di Jakarta, setiap Jum’at beliau selalu shalat di masjid kampus. Para jema’ah sudah begitu paham akan Masyarakat kampus sudah sangat kenal dengan sifat-sifat terpuji Pak Harun Nasution ini. Bila berada di Jakarta, setiap Jum’at beliau selalu shalat di masjid kampus. Para jema’ah sudah begitu paham akan

Pada suatu Jum’at, seorang jema’ah yang baru pulang menunaikan haji, shalat sunnah tahiyyat al-masjid di tempat kosong peruntukan Pak Harun Nasution dimaksud. Ketika itu, hampir semua pasang mata yang hadir menatap tajam ke sosok jemaah yang mengenakan baju gamis lengkap dengan sorban putihnya itu.Sorotan mata mereka mengisyaratkan protes terhadap “kelancangan” Pak haji tadi. Mengetahui tempatnya sudah “diambil-alih, “saat hadir, Pak Harun Nasution harus menempati tempat kosong yang masih tersedia di shaf berikutnya.

Sifat terpuji Prof. Harun Nasution ini juga ikut meningkatkan citra dan wibawa beliau di kalangan ilmuwan, maupun para dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Begitu kuatnya pengaruh kharisma Pak Harun Nasution ini terekam langsung dari informasi mereka yang mengalaminya. Salah satu di antaranya, kasus yang dialami (seingat saya saudara Hamdani) dalam penyelesaian penulisan tesisnya. Dosen mata kuliah agama Islam di salah satu perguruan tinggi umum kota Malang terkendala oleh proses bimbingan yang berlarut-larut.

Menurut yang bersangkutan, ia telah menjalani bimbingan selama 32 kali. Bolak-balik dari Malang ke Jakarta, hingga cukup menguras “isi kantong.” Pada kali yang ke 33, kembali ia berhasil menghubungi Prof. Dr. Mochtar Buchori, pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sesuai dengan janji, saudara Hamdani sudah berada di ruang tunggu sejam sebelum waktunya. Sayangnya, saat itu Pak Mochtar Buchari sedang kedatangan tamu dari Amerika.

Selanjutnya diinformasikan, bahwa bimbingan dialihkan ke rumah dinas Pak Mochtar Buchari, setelah jam kerja.

Sebagai pihak yang berkepentingan, lagi-lagi saudara Hamdani mematuhi semua petunjuk Dosen Pembimbing yang disampaikan melalui Sekretarisnya itu. Tiba di tempat, dalam keadaan hujan lebat, kembali saudara Hamdani dihadapkan pada kegagalan lagi. Sang Dosen Pembimbing sedang dalam kelelapan tidur siang. Sama sekali tak boleh diganggu. Begitu isi pesan yang disampaikan oleh pembantu rumah tangga saat menemui tamu majikannya itu. Saudara Hamdani harus menerima apa adanya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, sebagai kata pepatah.

Terbawa oleh kekecewaan ini pula yang kemudian mendorong saudara Hamdani meberanikan diri menghadap Pak Harun Nasution. Keluhan mahasiswanya itu dicermati dengan penuh perhatian. Akhirnya Pak Harun Nasution menghubungi Dosen Pembimbing. Belum sampai dua jam setelah itu, Prof. Mochtar Buchari telah berada di ruang kerja Pak Harun Nasution. Secara bermuka-muka, Ketua LIPI ini menyatakan kesanggupannya untuk menuntaskan proses bimbingan tesis yang menjadi tanggungjawabnya itu. Setelah itu proses bimbingan berjalan lancar. Semuanya dapat diselenggarakan dengan cara seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya yang bersangkutan berhasil menuai sukses.

Di mata para mahasiswa pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Pak Harun Nasution, adalah sosok pendidik teladan yang disegani. Meminjam ungkapan Kohnstamm, Prof. Dr. Harun Nasution termasuk sosok “pendidik karena kata hati”. Senantiasa tekun dan telaten dalam menjalankan tugas profesionalnya dengan penuh keikhlasan. Setiap makalah mahasiswa beliau koreksi dengan begitu teliti. Halaman demi halaman dikoreksi. Segala bentuk kekeliruan hingga ke masalah yang sekecil- kecilnya. Termasuk pada kekeliruan dalam penggunaan tanda baca. Semuanya tak luput dari perhatian beliau. Semuanya dikoreksi. Lalu diperbaiki dan dilengkapi dengan komentar.

Selaku pendidik, Pak Harun Nasution tak pernah abai akan para mahasiswa beliau. Kebahagiaan Pak Harun Nasution ikut menyertai keberhasilan mahasiswa beliau. Kebahagiaan yang demikian itu terungkap nyata di rona keceriaan wajah Pak Harun Nasution, saat saudara Ridwan Lubis berhasil menyelesaikan ujiannya. Doktor Ridwan Lubis alumni pertama Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan puncak berikutnya yang sempat dirasakan oleh Pak Harun Nasution adalah saat kampus baru Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah ini diresmikan.

Sosok Bapak

Waktu istirahat, secara iseng saya menyempatkan diri mampir ke ruang administrasi. Saat itu para karyawan tengah berbagi kudapan berupa kue-kue yang masih asing bagi saya. Sekitar tahun 1988, kemasan makanan serupa itu belum dijumpai di Jakarta, hingga terkesan mewah. Menurut para karyawan tersebut, kue-kue tadi merupakan oleh-oleh dari Brunei Darusalam. Sengaja dibawa Pak Harun Nasution untuk mereka, dalam kesempatan beliau memberikan kuliah di negara tersebut. Mendengar ungkapan dari para karyawan itu, saya tertegun. Sulit membayangkan betapa besar perhatian dan kepedulian Pak Harun Nasution terhadap para karyawan. Anak buah, dan sekaligus bawahan beliau. Tergabung di dalamnya rentang golongan I, hingga golongan III.

Kali berikutnya, pada tahun yang sama, kami para mahasiswa didera oleh kesulitan finansial. Sudah selama tiga bulan, livingcost macet. Di rentang waktu yang cukup panjang itu, kiat untuk berhemat sudah sulit dilakukan. Diistilahkan sudah “mantab” (makan tabungan). Akhirnya, tanpa sepengetahuan rekan- rekan kuliah, kami bertiga (Ramayulis, Rafi’i Nazori, dan saya) memberanikan diri menghadap Pak Harun Nasution. Mengadu keluh kesah yang tak berujungpangkal itu.

Seperti biasa, Pak Harun Nasution selalu mengawali dengan pertanyaan: “Ada masalah?” Kerenyahan kalimat dan kata-kata yang Seperti biasa, Pak Harun Nasution selalu mengawali dengan pertanyaan: “Ada masalah?” Kerenyahan kalimat dan kata-kata yang

Setelah mendengar apa yang kami sampaikan, beliau segera minta konfirmasi dari Bendaharawan. Setelah jelas, Pak Harun Nasution langsung menandatangi lembaran cek untuk diuangkan. Menjelang tengah hari, sepulangnya saudara Mursad dari Bank, 80 mahasiswa dari empat angkatan telah terselamatkan dari kesulitan biaya hidup, Masing- masing mendapat pinjaman sebesar Rp.100.000. Untuk waktu itu jumlah tersebut terhitung cukup lumayan. Namun yang paling mengesankan adalah kemurahan hati Pak Harun Nasution yang secara ikhlas mendonasikan uang pribadi beliau sebesar Rp. 8.000.000. Dengan kurs satu dolar = Rp. 800, berarti hari itu Pak Harun Nasution telah melepaskan uang beliau sebesar 10.000 dolar. Dalam perhitungan sekarang setara dengan Rp. 135.680.000 (1 dolar = Rp. 13.568).

Sebagai “penggagas” keikhlasan dan pengorbanan Pak Harun Nasution ini ikut membebani perasaan kami. Atas kesepakatan, malamnya kami harus mendatangi kediaman Pak Drs. H. A. Zaini Muchtarom M.A. bertamu malam Minggu ke rumah Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, yang mungkin mengganggu waktu istirahat beliau. Setelah mencermati penjelasan kami, dengan kearifan seorang pemimpin, beliau menyediakan diri untuk mengatasinya. Pernyataan Pak Zaini Muchtarom tersebut ikut melegakan hati kami. Tepat seperti yang dijanjikan, tiga hari sesudah itu, yakni Rabunya, Bendaharawan sudah bisa menyelesaikan pencairan dana livingcost yang sempat tersendat itu. Hari itu dua masalah yang tertuntaskan. Pertama, uang pinjaman dari Pak Harun Nasution terlunaskan. Kedua, para mahasiswa menerima pembayaran livingcost untuk tiga bulan.

Keakraban hubungan Bapak- anak ini kian terasa di saat program perkuliahan berakhir. Seperti biasanya, para mahasiswa sengaja diundang ke kediaman Pak Harun Nasution. Acaranya cukup sederhana, yaitu makan malam bersama sambil beramah tamah. Mahasiswa diajak bercengkerama secara terbuka. Suasana menjadi cair. Masing-masing merasakan layaknya dalam suasana kekeluargaan. Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan foto bersama. Dokumentasi visual yang diabadikan sebagai kenang-kenangan bagi setiap angkatan.

Sosok kebapakan dari Pak Harun Nasution, ternyata juga melintas batas kawasan geografis. Tidak terbatas pada kedekatan secara fisik, melainkan juga terenda indah dalam kedekatan hati. Selama di asrama, dalam kesempatan menjumpai Pak Harun Nasution, setidaknya dua kali saya menjumpai beliau sedang membaca surat di ruang kerjanya. Secara terbuka beliau ungkapan, bahwa surat tersebut dari saudara Azyumardi Azra. Salah seorang mahasiswa beliau yang sedang belajar di Columbia University, New York. Surat tulisan tangan tersebut berisi kabar tentang kondisi penulis, serta menanyakan seputar kondisi Pak Harun Nasution dan Ibu.

Ungkapan kata-kata dicarikan kertas yang sangat sederhana dan bersahaja. Namun semuanya menyimpulkan keutuhan dari bentuk kepedulian dan kedekatan batin. Curahan hati dari seorang mahasiswa kepada sosok pendidik yang “dibapakkan”. Di rangkaian hubungan batin ini pula, terlihat bagaimana usaha dan tekad Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam memperjuangkan Prof. Dr. Harun Nasution (almarhum) sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama. Bentuk pengakuan dari negara terhadap jasa, perjuangan, serta dharmabakti Prof. Dr. Harun Nasution kepada anak bangsa.

Ada peribahasa Cina yang menyatakan: “Jika Anda berencana untuk satu tahun, tanamlah biji-bijian. Bila Anda berencana sepuluh tahun, tanamlah pepohonan. Jika Anda berencana untuk seribu tahun, tanamlah manusia. Melalui pendidikan, manusia “ditanam” dan (dengannya) masa depan dibangun. Future time of a great happiness Ada peribahasa Cina yang menyatakan: “Jika Anda berencana untuk satu tahun, tanamlah biji-bijian. Bila Anda berencana sepuluh tahun, tanamlah pepohonan. Jika Anda berencana untuk seribu tahun, tanamlah manusia. Melalui pendidikan, manusia “ditanam” dan (dengannya) masa depan dibangun. Future time of a great happiness

Hingga kini, “tanaman” Pak Harun Nasution sudah terjalin berkelindan secara generatif. Bertumbuh-kembang di dan ke seluruh kawasan Nusantara. Setiap alumni, senantiasa berupaya untuk menyebarkan gagasan dan pemikiran bernas Prof. Dr. Harun Nasution. Berangkat dari proses dan fakta sejarah ini, diyakini bahwa apa yang telah dilakukan Pak Harun Nasution tersebut berada di jalur sabda Rasul Allah Swt.

ﻦــﻣ ﺮـــﺟاو ﺎــھﺮـــﺟا ﮫـــﻠـــﻓ ﺔــﻨــﺴــﺣ ﺔــﻨــﺳ مﻼــﺳﻻا ﻰﻓ ﻦــﺳ ﻦــﻣ ﻢــھرﻮــﺟا ﻦــﻣ ﺺـــﻘــﻨــﯾ نا ﺮـــﯿــﻏ ﻦــﻣ هﺪـــﻌــﺑ ﺎــﮭــﺑ ﻞــﻤــﻋ

. ﺊـﯿــﺷ

Semoga Allah Swt. menerima semua karya Prof. Dr. Harun Nasution sebagai bagian dari pengabdian tulus kepada-Nya. Amin.