Perkembangan Pemikiran Islam:

1. Perkembangan Pemikiran Islam:

Penulis mulai berkenalan dengan beliau ketika penulis menjadi peserta Studi Purnasarjana Angkatan VI Dosen-Dosen IAIN se Indonesia di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1979-1980 yaitu lembaga pendidikan yang dipersiapkan sebagai embrio berdirinya Angkatan I (1982) Fakultas Pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Angkatan I (1983) Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta. Beliau diserahi memegang dua mata kuliah yaitu Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam yang mencakup Trilogi Pemikiran yaitu Akidah, Falsafat dan Tasawuf. Mata kuliah kedua adalah Perkembangan Pemikiran Moderen Dalam Islam mencakup telaah kesejarahan mulai klasik (Abad 7 s.d. 13 Masehi), kemunduran Islam I (Abad 13 s.d. 15 Masehi), Kemunduran Islam II (Abad 15 s.d.

18 Masehi), dan fase Kebangkitan Islam (Abad 19 sampai sekarang). 2 Dalam perkuliahan Pemikiran Islam dan Pemikiran Moderen dalam Islam beliau sangat intens mengingatkan mahasiwanya akan perlunya analisa kesejarahan perkembangan peradaban Islam yang dirujuk kepada hukum biologi yaitu pertumbuhan, perkembangan, penikmatan, kemunduran dan kehancuran. Pada pembicaraan analisasi kesejarahan tersebut, beliau sering mengutip siklus pertumbuhan sebuah imperium dengan merujuk kepada konsep Ibn Khaldun tentang sosiologi sejarah.

Pada mata kuliah yang pertama, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam (SPPDI) mengurai beberapa cabang pemikiran keislaman yang terhimpun dalam akidah, ibadat dan tasawuf. Sekalipun makna akidah itu adalah tauhid yaitu pengesaan Allah SWT dan itulah yang menjadi kata kunci ajaran Islam akan tetapi begitu memasuki fase interpretasi maka terjadi wacana pemikiran yang bermacam ragam yang kemudian disebut dengan mazhab. Beliau mengajak mahasiswa untuk melakukan penelusuran historitas dan sosial-politis sehingga terjadi keragaman pemikiran. Munculnya friksi dalam pemahaman akidah menurut beliau, tidak sepenuhnya berakar dari wacana keilmuan akan tetapi terjadinya kontestasi politik yang berawal ketika penunjukan khalifah sepeninggal Rasulullah SAW. Beliau ingin menunjukkan kepada mahasiswa bahwa keragaman pemikiran sebagai suatu kenicayaan yang tidak dapat dihindari akibat dari adanya perbedaan pemahaman terhadap sejarah umat manusia demikian juga dengan lingkungan sosio-politis dan sosio-ekonomis umat Islam. Bagi masyarakat yang berdiam di bawah bayang-bayang kultur agraris-nomaden maka cara berpikir mereka cenderung dibentuk oleh tradisi tekstualis karena ingin mencari pemahaman yang lebih pasti dan aman. Dan atas dasar

2 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2014, Cetakan XIV, hal.

itu, maka muncul kecenderungan bersikap fatalistik karena sedikitnya kemampuan manusia dalam melakukan rekayasa terhadap kondisi lingkungan. Akibatnya, maka tentulah mereka lebih cenderung berpaham fatalistik yang kemudian disebut jabariyah. Sebaliknya, bagi masyarakat urban yang banyak bergaul dengan berbagai suku bangsa maka mereka dibentuk oleh kecenderungan dengan sikap dinamis, kreatif dan inovatif. Oleh karena itu, pola pendekatan mereka terhadap persoalan akidah lebih banyak merujuk pada pendekatan kontekstual dengan melihat fakta kedudukan manusia sebagai pembuat sejarah. Pada tataran realitas maka setiap prestasi ditentukan oleh manusia itu sendiri oleh karena Allah telah membekali manusia dengan dua potensi yaitu kemauan (masyi-ah) dan kemampuan (istitha’ah). Apabila pemikiran teologi pola pertama lebih menekankan pada dimensi kemahakuasaan Tuhan karena manusia pada hakikatnya adalah laksana bulu yang tergantung di awang-awang (ka risyatin mu’allaqatin fi al sama’) yang akan terbang ke mana akan diterbangkan angin. Maka dalam pandangan yang kedua, Qadariyah, lebih menekankan dimensi humanistik yang berbekal konep sunnatullah dalam kehidupan umat manusia.

Selanjutnya, ketika ditanyakan tentang kedudukan aliran sunni yang dipelopori oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah terhadap konsep usaha (al kasb) dan pilihan (al ikhtiyar) menurut Prof. Harun Nasution keberadaan aliran Sunni pada dasarnya lebih dekat kepada Jabariyah dari pada Qadariyah. Karena pada akhirnya, aliran Sunni menurut beliau juga berpendapat bahwa potensi manusia hanya ada secara metaforis (majazi) sedang secara hakikat hanya Allah yang menentukan. Argumen ini beliau lanjutkan dengan fakta historis keadaan dunia Islam yang mengalami kemunduran sejak fase kedua yaitu abad 13 s.d 15 yang menjadi penyebab utamanya adalah terjadinya pergeseran berpikir umat Islam dalam menangkap pengertian kemahakuasaan Allah yang menafikan potensi umat dalam menggerakkan kemauan dan kemampuannya dengan berdalih bahwa Allah sudah menentukan segala sesuatu.

Sampai di sini, beliau kelihatannya mengeritik cara pandang umat Islam ketika melihat perkembangan pemikiran dalam bidang akidah yang terkesan memiliki kecenderungan pemihakan umat Islam terhadap Jabariyah dan menolak Qadariyah. Keteguhan umat Islam berpegang terhadap aliran Jabariyah menurut beliau, menjadi penyebab terjadinya kemandekan melanjutkan membangun peradaban di dunia Islam. Sekalipun sebelumnya umat Islam telah berhasil membangun peradaban dan kemampuan mereka melakukan pengembangan dan perluasan Islam (futuhat) ke tiga benua yang dikenal waktu itu sehingga membentuk peta hemispheric akan tetapi karena terjadi kelambanan orientasi pemahaman teologi akhirnya melemahkan etos kerja dan akhirnya umat Islam menjadi bangsa terjajah. Sekalipun umat Islam masih terus melakukan pengembangan melalui dakwah secara damai (penetration pacifique) akan tetapi yang dihasilkan dari perkembangan kislaman pada masa kemudian bukan lagi peradaban (tamaddun) akan tetapi hanya kebudayaan (tsaqafah). 3

Dalam pemikiran teologi, Prof Harun Nasution melakukan penelusuran terhadap benang merah menghubungkan Islam dengan kemajuan peradaban. Terdapat perbedaan fenomena kesejarahan antara Islam dari agama-agama sebelumnya. Apabila umat dari agama-agama sebelumnya memperoleh kemajuan maka hal itu terjadi jauh setelah ditinggal oleh tokoh pembawa agama yang bersangkutan. Akan tetapi Islam mengalami kejayaan langsung bersambung setelah masa wafatnya Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan khulafa al rasyidin dan Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Hal itu bisa terjadi karena kandungan ajaran Islam yang sangat menekankan

3 Perhatian beliau yang demikian kuat terhadap aspek pemikiran dan pembaruan dalam Islam ini bisa dimengerti ketika menelaah pusat perhatian

pengamatan beliau khususnya ketika beliau memilih judul disertasi Ph.D di McGill University Canada yang berjudul: The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views (Kedudukan Akal dalam Teologi Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem dan Pendapat- Pendapat Teologinya). Diterbitkan UI-Press, 2006.

rasionalitas yaitu penggunaan akal pikiran. Dengan penggunaan rasionalitas maka umat Islam dapat menelusuri hakikat keberadaan manusia bahwa manusia adalah makhluk Allah dalam bentuknya yang

paripurna (ahsan taqwim). 4 Adanya keparipurnaan didasarkan pada penggunaan akal pikiran sehingga penerimaan terhadap ajaran Islam tidak berhenti sekedar sebagai kemestian doktrinal akan tetapi karena rasio telah dapat menangkap makna fungsional dari ajaran Islam. Hal inilah kemudian yang mendorong terjadinya pergumulan pemikiran (intellectual exercise) yang menjadi pilar utama terjadinya kecermelangan Islam (‘ashr al tanwir).