Karakteristik dan Keunikan Bahasa Arab

A. Karakteristik dan Keunikan Bahasa Arab

Setiap bahasa mempunyai ciri khas (al-Khashâ’ish) dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. 1 Keunikan ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem

pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya. 2 Kalau setiap bahasa mempunyai keunikan, sudah dapat dipastikan bahasa Arab tentu

memiliki keunikan dan ciri khas yang lebih dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. 3 Sebab selain sebagai bahasa tertua, bahasa Arab juga terpilih menjadi bahasa

pengantar wahyu (al-Qur’an). Ibnu Fâris (329 – 395 H) 4 dalam kitab al-Shâhibi

1 Lihat Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khashâ’ish al-‘Arabîyah wa Th arâ`iqu Tadrîsi h a, Beirut: Dâr al- Nafâis, Cet. 5, 1998, hal. 40.

2 Abdul Chaer, Linguistk Umum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet, II, 2003, hal. 51. Lihat juga Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab, Malang,:Misykat, cet. 1, 2004, hal. 13.

3 Ketika berbicara tentang ciri khas (al-Khashâ’ish) disini, tidak berarti bahwa hanya bahasa Arab saja satu-satunya bahasa yang mempunyai ciri khas/keunikan tersebut, tetapi yang dimaksud

disini bahwa ciri khas/keunikan tersebut lebih tampak terlihat/dominan di dalam bahasa Arab dibandingkan pada bahasa-bahasa lain. Lihat Rusydi Ahmad Thu’aimah, Ta’lîm al-‘Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîn Bihâ, Mesir: ISISCO, 1989. Hal. 35.

4 Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Fâris ibn Zakâriya’ ibn Muhammad ibn Habîb al-Râzî al-Lughawi. Ibn Fâris (Lahir 329 - Wafat 395 H) dikenal sebagai leksekolog Arab, 3 diantara 37 hasil

karyanya Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lugha ṯ , al-Mujmal fî al-Lugha ṯ dan al- Ṣ âhibî fî Fiqh al-Lugha ṯ , dikutip dibeberapa tempat pada al-Muz ḥ ir. Beberapa hasil karya pendahulu Ibn Fâris yang sering dia karyanya Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lugha ṯ , al-Mujmal fî al-Lugha ṯ dan al- Ṣ âhibî fî Fiqh al-Lugha ṯ , dikutip dibeberapa tempat pada al-Muz ḥ ir. Beberapa hasil karya pendahulu Ibn Fâris yang sering dia

karena majas dalam bahasa lain tidak seluas majas yang dimiliki bahasa Arab. 5 Diturunkannya al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab bukanlah suatu yang

kebetulan, namun justru karena kekayaan dan keseksamaannya. 6

7 Hal senada juga dinyatakan oleh Ahmad Amin (1878-1954 M) dalam bukunya Dhoha al-Islâm. Menurut dia, bahasa arab telah terbukti mampu untuk

menjadi media untuk mentransper barbagai macam bidang ilmu pengetahuan yang berasal dari Persia, India, dan Yunani. 8 Sementara itu seorang linguis terkemuka di

Inggris yaitu Tahiyya Abdul Aziz yang menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk mengkaji beberapa dokumentasi ilmiah, literatur, manuskrip, ensiklopedi, dan lain sebagainya untuk mencapai hasil yang memuaskan. Ia mengarang buku

jadikan rujukan dalam penyusunan bukunya Kamus al-‘Ain, karya Khalil Ibn Ahmad al-Farahidi, Garib al-Hadits, karya Abu ‘Ubaidi al-Qasim Ibn Salam, Garib al-Mushnaf, karya Abu ‘Ubaidi al- Qasim Ibn Salam, Ishlâh al-Manthiq, karya Ibn al-Sukait, dan Jamhara ṯ al-Lugha ṯ , karya Ibn Duraid. Lihat: Ramaḍan Abd al-Tawwab, Fu ṣ ûl fî Fiqh al-‘Arabîya ṯ , (Kairo: Dâr al-Kutub al-Ilmîyah, 1989),

h. 279 dan Abu al-Abbas Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Khalkan, Wafyat al- A’yân Wa Anbah Abnâ` al-Zaman, (Beirut: Dâr al-Ṣadr, Cet. I, 1994), h. 118.

5 Lihat Ahmad ibn Fâris, al-Shâhibi Fî Fiqh al-Lughah al-Arabiyyah Wa Masâ’iliha, Bairut, Maktabah al-Ma’ârif, cet. 1, 1993, hal. 44. Lihat juga Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, al-Muzhir Fî Ulûm al-

Lughah Wa Anwâ’ihâ, Kairo, Maktabah Dâr al-Turâst, t.th. , cet. 3, hal. 322. 6 Lihat, S. I. Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), Cet. 3, hal. 113.

7 Nama lengkapnya adalah Ahmad Amîn Ibrâhîm al-Thabbâkh, lahir di Kairo pada tahun 1878. Ia pernah menjadi Guru Besar Univrsitas Kairo pada tahun 1934-1941 M. Dia dikenal sebagai

sejarawan Isalam. Dia menulis lebih dari 600 artikel. Di antara karya-karyanya adalah: Dhohâ al- Islâm, Fajr al-Islâm, Zhuhru al-Islâm, Zu’amâ’ al-Ishlâh fî al-‘Ashr al-Hadîts, Faidh al-Khâthir, Yaum al-Islâm, Qishshah al-Falsafah, ilâ Waladî, dan lain-lain. Lihat, http://www.answers.com, diakses tanggal 20 Mei 2009. Lihat juga, http://www.diwanalarab.com, diakses tanggal 20 Mei 2009

8 Ahmad Amin, Dhohâ al-Islâm, (Kairo: Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Âmmah, t. th), jilid.1, hal. 289.

berbahasa Inggris yang berjudul “Arabic Language the Origin of Language”, dia menyatakan bahasa Arab merupakan asal-usul dari semua bahasa di dunia. 9

Demikianlah sekilas tentang kesaksian para linguis muslim atas keunikan dan keistimewaan bahasa Arab. Kemudian di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut

tentang ciri khas (al-Khashâ’ish) bahasa Arab tersebut.

a. Ciri Khas Fonem (al-Khashâ’ish al-Shautiyyah) Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat

membedakan makna kata. 10 Jumlah fonem yang dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan yang dimiliki bahasa lain. Penduduk asli di Pulau Hawaii

mempunyai jumlah fonem yang paling sedikit yaitu hanya 13 buah, sedangkan bahasa yang jumlah fonemnya terbanyak adalah sebuah bahasa di Kaukasus Utara, yaitu 75

buah. Al-Qalqasyandi (765-821 H) 11 dalam “Shubhu al-‘A’syâ” mengatakan bahwa bahasa Arab memiliki huruf-huruf yang lengkap dan lafazh-lafazh sempurna. Bahasa

Arab mempunyai tempat artikulasi huruf (al-Madraj al-Shauti) yang lebih luas, yang mana tempat keluar hurufnya (al-Makhârij) tersebar secara merata mulai dari pangkal

kedua bibir sampai ke tanggorokan. 12 Al-Khalîl ibn Ahmad al-Farâhidî (100 – 175

H) 13 menyusun kamus yang diberi nama kitab al-‘Ain sesuai dengan kata pertama

9 http://sigitwahyu. net, diakses 24 maret 2009. 10 Abdul Chaer, Linguistk Umum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet, II, 2003, hal. 137. 11 Nama lengkapnya adalah Abû al-‘Abbâs Syihâb al-Dîn Ahmad ibn ‘Alî ibn Ahmad al-

Qalqasyandî, ia dilahirkan di desa Qalqasyandah pada tahun 765 H. Di antara karya-karyanya adalah Shubhu al-A’syâ, Nihâyah al-Arab fî Ma’rifah Qabâ’il al-‘Arab, Qalâ’id al-Jimân fî Ma’rifah al- ‘Arbân, al-Ghuyûts al-Hawâmi’ fî Syarh Jâmi’ al-Mukhtasharât. Lihat, Jarîdah al-Akhbâr, edisi 17212, tahun ke 56 (20-06-2007), dalam sebuah makalah yang berjudul: “Mishr al-Qadîmah al- Qalqasyandî Shâhib Akbar al-Mausû’ât al-Mishriyyah”.

12 http://www. Islammemo.cc. diakses pada tanggal. 18 maret 2009. Lihat juga Mahmûd Fahmi Hijâzi, al-Bahts al-Lughawi, (Kairo: Maktabah Gharîb, 1993), hal. 10.

13 Nama lengkap al-Khalil, Abû ‘Abd al-Rahmân al-Khalîl bin Ahmad al-Farahidî al-Azdî. al- Khalîl adalah orang pertama menulis kamus dalam bahasa Arab dengan bukunya “al-‘Ain”, yang

dicetak pertama tahun 1985 di Bagdad. Ia juga peletak ilm ‘Arûḍ dan Qawafî, ia wafat di Baṣraḥ 175 H. al-Khalîl bin Ahmad al-Farâḥidî, Kitâb al-‘Ain, Tahqîq: Maḥdî al-Mahzumî dan Ibrâḥîm al- Sâmirâ`î, pengantar oleh Ahmad ‘Abd al-Gafûr ‘Aththâr, (Bagdad: Dar Mauqi’al-Warrâq, Cet. 1, 1985), hal. 5 – 11.

dari urutan intrinya yang disusun berdasarkan urutan makhraj bunyi dari halq

14 (teggorokan) sampai kebibir tersebut, dengan urutan sebagai berikut:

Pada bahasa-bahasa lain, terkadang hurufnya lebih banyak dari bahasa Arab, tetapi tempat keluar hurufnya terbatas pada tempat yang sempit. Dalam hal ini ‘Abbas

Mahmûd al-‘Aqqâd dalam Rusydi Ahmad Thu’aimah 15 menyatakan bahwa jumlah abjad bahasa Arab tidak sebanyak jumlah abjad bahasa India, Jerman, dan Semit.

Bahasa Rusia misalnya, jumlah hurufnya mencapai 35 buah, dan terkadang ditambah lagi dengan bebarapa huruf dari bahasa Asing, tetapi jumlahnya yang banyak tersebut tidak dapat menandingi bahasa Arab dalam hal makhraj-nya.

Kemudian juga tiap huruf dalam bahasa Arab mempunyai simbol, tanda, dan arti tersendiri. Contohnya adalah huruf ha, di mana ia mengandung arti yang berkonotasi kepada sesuatu tajam dan panas, seperti: al-Hummâ (demam/panyakit panas), al-Harârah (panas), al-Hurr (bebas dan merdeka), al-Hubb (kecintaan), al- Harîq (kebakaran), al-Hiqd (kedengkian), al-Hirrîf (yang pedas), al-Hâdd (yang tajam). Contoh lain adalah huruf kha yang mengandung konotasi kepada sesuatu yang tidak disukai atau dihindari, seperti: al-Khauf (ketakutan), al-Khizyu (kehinaan), al- Khajal (malu), al-Khiyânah (pengkhiyanatan), al-Khizlân (kekecewaan), al-Khubuts (kejelekan), al-Khud’ah (tipu daya), al-Kharâb (kehancuran), al-Khasârah (kerugian), dan lain sebagainya.

b. Bahasa Arab bahasa yang kaya kosakata Kamus bahasa Arab merupakan kamus yang kaya dari segi kosakata (mufradât) dan sinonimnya, yang mana kamus bahasa Arab yang besar mengandung

14 Lihat, Ahmad Muhammad Qaddûr, Mabâdi’ al-Lisâniyyât, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1999), cet. 2, hal. 60.

15 Lihat Lihat Rusydi Ahmad Ṭu’aimat, Ta’l ȋ m al-Lughat al-‘Arabiyat Lighair al-N ȃṭ iq ȋ n bi ḥȃ , Mesir: ISISCO, 1989. Hal. 36. Lihat juga Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Kha ṣ âi ṣ al-‘Arabîyah wa

Ṭ arâ`iqu Tadrîsi ḥ a, Beirut Ṭ arâ`iqu Tadrîsi ḥ a, Beirut

entri د و ع misalnya bisa dipecah menjadi ،َدﺎﻌﺘﺳاو ،َدﱠﻮﻌَﺗو ،َدﺎﺘْﻋاو ،َدوﺎﻋو ،َدﱠﻮﻋو ،َدﺎﻋأو ،دﺎﻋ : ،ةَدﺎَﻌِﺘْﺳاو ،دﱡﻮَﻌَﺗو ،دﺎﻴِﺘﻋاو ،ﺪﻳِﻮْﻌَﺗو ،ةدﺎﻋإو ،ةَدَوﺎﻌُﻣ و ،ةدﺎﻋو ،ةَدﺎﻴِﻋو ،دﺎَﻌَﻣو ،ﺪﻴِﻋو ،ةدْﻮَﻋو ،دﻮُﻋو ،دْﻮَﻋو ّيِدﺎَﻋو, kemudian ditambah lagi dengan kata benda-kata benda yang dihasilkan dari proses derivasi tersebut (al-Asmâ al-Musytaqqah). Setiap kata dari kata-kata tersebut mempunyai arti yang berbeda dari yang lainnya.

Jadi, tidak aneh kalau bahasa Arab mempunyai jumlah kosakata yang banyak. Dalam Kitâb al-‘Ain karya Khalîl ibn Ahmad, disebutkan bahwa jumlah kata-kata Arabnya baik yang dipakai (al-Musta’mal) maupun yang tidak dipakai (al-Muhmal) mencapai sekitar 12.305.412 kata yang meliputi tsunâ’î, tsulâtsî, rubâ’i dan khumâsi

tanpa ada pengulangan. 16 Bahasa Arab merupakan bahasa yang banyak mempunyai sinonim (al-Tarâduf),

di mana beberapa kata (lafazd) digunakan untuk menunjukkan kepada satu makna atau makna yang hampir sama. Sebagaimana dikatakan oleh para ahli, bahwa bahasa Arab itu sangat kaya maknanya, bahkan makna dari suatu kata kadang terus mengalami perkembangan. Oleh karenanya, mereka menyebutnya sebagai Arqâ al- Lughah al-Sâmiyah (bahasa Semit yang tertinggi). Dalam bahasa Arab hampir tidak ditemukan satu kata pun yang hanya mempunyai satu arti atau pengertian saja. Di samping itu, kadang-kadang suatu kata itu dapat berarti majazi dan hakiki. Itulah salah satu keunikan bahasa Arab yang boleh jadi tidak dimiliki oleh bahasa-bahasa yang lain. Istilah-istilah yang merujuk kepada makna onta, kuda, kurma, pedang, kambing, biri-biri, kibas dan lain-lain diungkapkan dengan beberapa kata yang

memberi makna hampir sama. 17 Contohnya, kata yang menunjukkan kepada berbagai

16 Lihat Shubhî al-Shâlih, Dirâsât Fî Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Bairut: 1962), hal. 180. 17 Lihat Ibrâhîm Muhammad Najâ, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Kairo: Dâr al-‘Ahdi al-

Jadîd, 1975), hal. 112.

jenis kuda diungkapkan dengan beberapa kata (lafadz) berikut: ﻞﻴﺧ (sekawanan kuda), سﺮﻓ (seekor kuda jantan atau betina), نﺎﺼﺣ (kuda jantan), ﺮﺠﺣ (kuda betina), ﺮﻬﻣ (anak kuda jantan), ةﺮﻬﻣ (anak kuda betina), ﻮﻠﻓ (anak kuda yang baru berhanti menyusu dari ibunya), ﻞﻜﻴه (kuda yang besar dan bertubuh tegap), ﻢﻬﻄﻣ (kuda yang sangat bagus).

c. Derivasi (al-Isytiqâq) Isytiqâq merupakan salah satu khashâ’ish bahasa Arab yang banyak dibicarakan oleh linguis-linguis Arab. Term isytiqâq menurut Nayef Mahmud Ma’ruf adalah pembentukan kata baru dengan tetap menjaga kedekatan dari segi lafazh dan makna

18 kata baru tersebut dengan kata dasarnya. 19 Kemudian al-Suyûthî dalam kitab al- Muzhîr menyatakan, bahwa al-Isytiqâq adalah; “proses perubahan bentuk kata

dengan tidak merubah dasar makna serta susunan dan materi huruf kata dasar, dengan diwarnai penambahan makna pada bentuk baru”. 20 Hal senada juga

dikemukakan oleh Ahmad Mukhtâr ‘Umar (1933-2003 M), Muhammad Hammâsah dan Muṣhthafâ al-Nuhhâs dalam Nahw al-Asâsi, 21 yang menyatakan

bahwa derivasi merupakan proses perubahan morfem secara berjenjang yang terjadi pada suatu akar kata, yang dapat diketahui dari kedekatan bentuk dan

a, hal. 43. Lihat juga Lihat juga Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, al-Muzhir Fî Ulûm al-Lughah Wa Anwâ’ihâ, hal. 347.

18 Lihat Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Kha ṣ âi ṣ al-‘Arabîyah wa Ṭ arâ`iqu Tadrîsi ḥ

19 Nama lengkapnya adalah Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr ibn Muhammad al- Suyuthi, lahir di Asyûth (Mesir) pada tahun 849 H, ibunya berasal dari Turki, sedangkan ayahnya dari

Mesir. Ia tumbuh besar dalam keadaan yatim sebab ayahnya meninggal dunia ketika dia berumur lima tahun Sembilan bulan. Dia orang yang cerdik, hapal al-Quran sebelum berusia 8 tahun, ia juga hapal alfiyah ibn Mâlik dan Matan ilmu-ilmu yang laint semenjak ia masik kecil. Di antara karyanya adalah: al-Itqân Fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Bugyah al-Wi’ât Fî Thabaqât al-Lughawiyyîn, wa al-Nuhât, al-Muzhir Fî ‘Ulûm al-Lughah wa Anwâ’ihâ, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, al-Iqtirâh, Luma’ al-Adillah, al-Igrâb Fî Jadal al-I’râb, al-Fath al-Qarîb ‘Alâ Mugnî al-Labîb, al-Tausyîh ‘Alâ al-îh, Jam’u al-Jawâmi’, Huma’ al-Hawâmi’, Hâsyiyah ‘Alâ Syarh al-Syudzur. Ia meninggal dunia di Kairo pada tahun 911 H setelah menderita sakit bengkak pada siku kirinya selama tujuh hari.

20 Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Muzhîr, Jilid.1, hal. 346. 21 Lihat, Mukhtâr ‘Umar, Muhammad Hammâsah ‘Abdu al-Lathif dan Muṣtafâ al-Nuhhâs

Zahrân, al-Nahwu al-Asâsî, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî), h. 96 – 109.

makna kata. Sedangkan Menurut Ibnu Usfûr al-Isybilî 22 isytiqâq merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang perubahan bentuk, kelas dan fungsi kata yang

didasarkan pada adanya ziyâdah atau hadzf dari bentuk asalnya yang masih memiliki hubungan makna. Faiz Dâyah melihat bahwa isytiqâq merupakan proses perubahan atau pembentukan kata yang disebabkan oleh adanya awalan (sawâbiq), sisipan

(dawâkhil) dan akhiran (lawâhiq) dari bentuk asalnya. 23 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa isytiqâq adalah

perpecahan dan pembentukan kata baru dengan penambahan (al-Ziyâdah) atau pembuangan (al-Hadzf) dari kata dasar.

Kata dasar ‘amila ( ﻞﻤﻋ ) misalnya, dapat dipecahkan kepada beberapa bentuk (variasi) kata lain seperti: ‘âmilun, ma’mûlun, ‘amalun, ma’malun ( ﻞﻣﺎﻋ – لﻮﻤﻌﻣ – ﻞﻤﻋ – ﻞﻤﻌﻣ) dan lain-lain. 24 Sistem derivasi ini banyak digunakan dalam kamus-

kamus bahasa Arab untuk mencari makana kata yang mana setiap kata perlu dirujuk kepada asal kata tersebut terlebih dahulu sebelum dapat mencari kata dan makna yang dicari.

Menurut ‘Abd al-Qâdir Abû Syarîfah 25 dalam ‘Ilm al-Dilâlah wa al-Mu’jam al- ‘Arabi, isytiqâq merupakan salah satu media penting dalam pengembangan kosakata

(al-Mufradât) bahasa Arab.

22 Nama aslinya Abu al-Hasan 'Ali Ibn Mukmin Ibn Muhammad Ibn 'Ali Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Umar Ibn Abdullah Ibn Mansh ūr al-Hadami al-Isybilī. Ia lahir di Isybelia

tahun 597 H. ia menjadi penasehat pribadi khalifah di Tunisia dan ia meninggal di sana tahun 669 H. didekat makam Syekh Ibn Nafis. Ia banyak menimba ilmu kepada para ulama besar di Andalusia (Spanyol sekarang). Di antara gurunya yang masyhur adalah Syekh Umar Ibn Muhammad Ibn Umar al-Azadi wafat tahun 654 H, dan Abdul Hasan al-Dabbaj Ali Ibn Jabir Ibn Ali Ibn Ahmad al-Lukhami, imam besar J āmi' al-Udais wafat tahun 646 H. Untuk lebih mengenal Ibnu Ushfūr baca, Ikhtishār al- Qadah al-Mu'alla, h. 152-154; Syadzar āat al-Dzahab Jilid 5, h. 232-233; dan Bugyah al-Wi'āt, h. 79-

80, 223, 255, 331, dan 378. 23 Lihat dan baca, Faiz Dâyah, 'Ilm al-Dalâlah al-'Arabi; al-Nazhariyah wa al-Thathbiq,

(Damaskus: D 24 Ini penulis sebutkan hanya beberapa contoh saja, sebenarnya isim-isim musytaqq (al- ār al-Fikr: 1996 M), hal. 242. Musytaqqât) dalam bahasa Arab ada tujuh yaitu: isim fâ’il, isim maf’ûl, shifah musyabbahah, isim

tafdhîl, isim zamân, isim makân, dan isim âlat. Isim-isim tersebut dapat dipecah lagi ke dalam beberapa bagian.

25 Lihat ‘Abd al-Qâdir Abû Syarîfah, ‘Ilm al-Dilâlah wa al-Mu’jam al-‘Arabi, Amman: Dâr al-Fikr, 1989, hal. 99.

I’râb merupakan salah satu dari karakteristik (al-Khashâ’ish) dan keunikan yang dimiliki oleh bahasa Arab. Ia menempati posisi penting dalam bahasa Arab dibendingkan dengan karakter-karakter lainnya yang dimiliki oleh bahsa Arab, sebab ia merupakan bagian yang diilfiltrasi oleh al-Lahn yang membuat para linguis Arab tergugah untuk merumuskan dan mengkodifikasikan ilmu nahwu yang dapat menjauhkan lahn tersebut sehingga dengan demikian keorisinilan bahasa Arab akan dapat terjaga dan terpelihara.

1. Pengertian I’râb

Kata i’râb merupakan bentuk mashdar (infinitive) dari “ ﺎﺑ ﺍ ﺮ ﻋﺇ ﺏﺮ ﻌ ﻳ ﺏﺮ ﻋﺃ “.

Kemudian kalau dilihat di kamus-kamus bahasa Arab dan pendapat-pendapat para linguis Arab tentang makna I’râb tersebut, maka kata i’râb tersebut mempunyai makna-makna yang banyak, di antaranya i’râb berarti menjelaskan ( ﻥﺎﺑ ﺃ ),

menyingkap ( ﻒﺸﻛ ), dan menampakkan ( ﺮ ﻬﻇﺃ ) sebagaimana dikatakan: ” ﻞﺟﺮﻟا بﺮﻋأ

ﻪﺘﺟﺎﺣ ﻦﻋ” (seseorang menjelaskan keinginannya), i’râb juga berarti membaguskan atau memperindah (al-Tahsîn), seperti dikatakan: “ ﺊﻴﺸﻟا بﺮﻋأ” (membaguskan dan memperindah sesuatu), dan i’râb juga berarti berubah (al-Taghyîr), seperti dikatakan:

“ 26 ﺮﻴﻌﺒﻟا ةﺪﻌﻣ ﺖﺑﺮﻋ” (perut onta betina berubah), kemudian i’râb juga bisa berarti menghilangkan kerusakan (Izâlah al-Fasâd), seperti dikatakan: “ ﺊﻴﺸﻟا ﺖﺑﺮﻋأ” yang

berarti: “ 27 ﻪﺑﺮﻋ ﺖﻟزأ” (saya menghilangkan kerusakannya). Sedangkan menurut Ibnu Jinnî (321-392 H) 28 , kata i’râb berakar dari kata:

ﺊﻴ ﺸﻟ ﺍ ﻦﻋ ﺏﺮ ﻋﺃ yang berarti

26 Lihat, Ibn ‘Ushfûr al-Isybilî, Syarh Jumal al-Zujâjî, tahqîq Shâhib Abû Janâh, t. th, jilid. 1, hal. 102.

27 Lihat, Ahmad ‘Abd al-Ghaffâr, Dirâsât fî al-Nahwi al-‘Arabî, (Kairo: al-Islâm li al- Thibâ’ah, 1993), jil.1, hal. 86.

28 Abû al-Fath Utsmân ibn Jinnî lahir di Mosul tahun 321 H. Asal keturunan Ibn Jinnî tidak diketehui dengan jelas. Ayahnya keturunan Roma dan Yunani, budak Sulaiman ibn Ahmad al-Azdî.

Oleh karena itu Ibn Jinnî sering menggunakan nama majikannya di belakang namanya, yaitu Abû al- Fath ibn Ahmad al-Azdî. Ibn Jinnî termasuk penulis yang produktif, dia banyak mengarang kitab yaitun hampir mencapai 50 judul. Di antara karyanya adalah al-Khashâ’ish, Sirru al-Shinâ’ah, al- Muhtasab, al-Luma’fî al-‘Arabiyyah, al-Muntashif, Kitâb al-Mudzakkar wa al-Mu’annats, al-Wuqûf

(mengungkapkan sesuatu), 29 sebagaimana dikatakan: “

(seseorang mengungkapkan/menjelaskan apa yang ada pada dirinya). 30 Hal senada juga dinyatakan oleh al-Zajjâjî (w. 329 H) 31 yang mengatakan bahwa i’râb maknanya

adalah penjelasan (al-Bayân) karena harakat i’râb tersebut berfungsi untuk menjelaskan makna yang dimaksud dalam suatu kalimat. Kemudian Ibnu al-Anbâri

(513-577 H) 32 menyatakan ada tiga alasan mengapa i’râb itu dinamakan i’râb: 1. karena ia berfungsi untuk menjelaskan makna, 2. karena ia merubah harakat akhir

kata pada suatu kalimat 3. karena orang yang meng-i’râb-kan perkataannya membuat pendengar suka kepadanya. 33 Jadi ketika orang Arab menamakan harakat akhir pada

suatu kalimat dengan harakat i’râb (al-Harakât al-I’râbiyyah) maksud mereka adalah bahwa harakat tersebutlah yang mengungkapkan makna, dan mendekatkan makna tersebut kepada pamahaman, seakan-akan suatu makna terkunci/tertutup dan harakat i’râb-lah yang berfungsi untuk membuka dan menghilang penutup makna tersebut sehingga ia menjadi jelas.

wa al-Ibdâl, al-Mahâsin fî al-‘Arabiyyah al-Muqtadhab,dan lain-lain. Lihat, Syeikh Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahwi wa Târîkh Asyhar al-Nuhât hal. 202. Syauqî Dhif, al-Madâris al- Nahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif: 1976), cet. 3, hal. 265-276.

29 Ibn Jinniy, al-Khashâ’ish, (Tahqîq Muhammad Ali al-Najjâr), Bairut: Dâr al-Kitâb al- ‘Arabi, 1952, jilid 2, hal.35.

30 Lihat Abu Muhammad al-Qâsim ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Harîry, Syarah Mulhatu al- I’râb, Tahqîq Kâmil Mushthafa al-Handâwi, Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, cet. 2, hal. 22.

31 Lihat Mâzin al-Mubârak, al-Zujâjî Hayâtuhu wa Âtsâruhu wa Mazhabuhu al-Nzhwî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1984, cet. 2, hal. 66.

32 Nama lengkapnya adalah Abu al-Barakât ‘Abd al-Rahman ibn Abî al-Wafâ’ Muhammad ibn ‘Ubaid Allah ibn Abî Sa’îd al-Anbari yang diberi gelar Kamâl al-Dîn, lahir di distrik Anbar yaitu

sebuah kota di tepi sebelah timur sungai Ifrat, dekat Baghdâd Ibu kota Irak. Ia pernah belajar pada Madrasah al-Nizhâmiyyah di Baghdâd. Belajar fiqh dari al-Imâm Abî Manshûr Sa’îd Muhammad yang dikenal dengan ibn al-Razzâz yaitu seorang guru fiqh mazhab Syafi’i di madrasah al-Nizhâmiyyah. Sedangkan ilmu bahasa dan sastra dia belajar dari al-Imâm Abî Manshûr al-Jawâlîq Mauhûb ibn Ahmad. Kemudian ilmu nahwu ia pelajari dari al-Imâm Abî al-Sa’âdât Hibat Allah ibn al-Syajarîk (w. 542 H) dan al-Jawâlîqî (466-540 H). Di antara karyanya adalah al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf baina al- Bashriyyîn wa al-Kufiyyîn, Asrâr al-‘Arabiyyah, dan Nuzhat al-Alibbâ’ fî Thabaqât al-Udabâ’, dan lain-lain. Lihat, Lihat ‘Abd al-Rahmân Uthbah, Ma’a al-Maktabah al-‘Arabiyyah: Dirâsah fi Ummahât al-Mashâdir wa al-Marâji’ al-Muttashilah bi al-Turâts, (Bairut: Dâr al-Awzâ’î, 1986), cet.

III, hal. 292. 33 Lihat, Abû al-Barakât Abd al-Rahmân Ibn Muhammad al-Anbârî, Asrâr al-Arabiyyah,

Tahqîq Muhammad Bahjat al-Baithâr, (Damaskus: al-Majma’ al-Ilmi al-Arabi, t.th), hal. 18-19.

Sedangkan pengertian i’râb secara terminologi, para ahli nahwu (al-Nuhât) - baik yang klasik maupun kontemporer- mereka memberikan beberapa definisi:

1) Ibn al-Anbâri (513-577 H) dalam kitab (Asrâr al-Arabiyyah), 34 mengatakan:

ﺍ ﺮ ﻳ ﺪﻘ ﺗ ﻭﺃ ﺎﻈﻔ ﻟ ﻞﻣ ﺍ ﻮﻌ ﻟ ﺍ ﻑﻼﺘ ﺧﺎﺑ ﻢﻠ ﻜﻟ ﺍ ﺮ ﺧﺍ ﻭﺃ ﻑﻼﺘ ﺧﺍ ( Perubahan akhir kata yang

disebabkan perubahan ‘âmil, 35 secara lafazh (eksplisit) atau taqdîr (implisit).

2) Ibn Hisyâm (708–761 H) 37 dalam kitab (Syarah Syudzûr al-Dzahab),

mengatakan: ﻞﻌ ﻔ ﻟ ﺍ ﻭ ﻦﻜﻤﺘ ﳌ ﺍ ﻢﺳﻻﺍ ﺮ ﺧﺍ ﰲ ﻞﻣ ﺎﻌ ﻟ ﺍ ﻪ ﺒ ﻠ ﳚ ﺭ ﺪﻘ ﻣ ﻭﺃ ﺮ ﻫﺎﻇ ﺮ ﺛ ﺃ ﺏﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﻉﺭ ﺎﻀﳌ ﺍ (I’râb adalah pengaruh yang tampak atau tersembunyi pada akhir al-Isim al-Mutamkkin dan Fi’il Mudhâri yang ditimbulkan oleh ‘Âmil).

3) Syekh Mushthafâ al-Ghalâyainî (1885-1944 M) dalam kitab (Jami’ al-Durûs al-

Arabiyyah), 38 mendefinisikan: ﻭﺃ ﺎﻋﻮﻓ ﺮ ﻣ ﺎﻫﺮ ﺧﺍ ﻥﻮﻜﻴ ﻓ ﺔ ﻤﻠ ﻜﻟ ﺍ ﺮ ﺧﺍ ﰲ ﻞﻣ ﺎﻌ ﻟ ﺍ ﻪ ﺛ ﺪﳛ ﺮ ﺛ ﺃ

34 Lihat, Abû al-Barakât Abd al-Rahmân Ibn Muhammad al-Anbârî, Asrâr al-Arabiyyah, Tahqîq Muhammad Bahjat al-Baithâr, hal. 19.

35 ‘Âmil adalah faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan harakat pada akhir kata dalam suatu kalimat, sehingga akhir kata tersebut berubah menjadi rafa’, nashab, jar, atau jazam. Menurut

riwayat Muhammad ibn Salâm al-Jumhî, ‘Abd Allah ibn Abî Ishâq al-Hadhramî (w. 117 H) adalah orang pertama yang menciptakan teori ‘âmil ini pada ilmu nahwu, kemudian diikuti oleh ‘Îsâ ibn ‘Umar (w. 149 H), dan berkembang melalui Khalîl ibn Ahmad al-Farâhîdî (w. 179 H). Lihat ‘Abbâs Hasan, al-Nahwu al-Wafî, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th, cet. 3, hal. 75. Lihat juga,’Abd Allah Ahmad Jâd al-Karîm, al-Ma’na wa al-Nahwu, (Maktabah al-Âdâb, 2002), cet. 1, hal. 43. Lihat juga Thalâl ‘Alâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabi, Bairut: Dâr al-Fikr al-Lubnâni, 1993, cet. 1, hal. 37. Lihat juga, ‘Abd al-Qâhir al-Jujânî, al-‘Awâmil al-Mi’ah fi Ushûl ‘Ilm al-‘Arabiyyah, Tahqîq Zahrân al- Badrâwî, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1988), cet. 2, hal. 73.

36 Nama lengkapnya adalah Jamâl al-Dîn Abû Muhammad ‘Abd Allah ibn Yûsuf ibn Ahmad ibn ‘Abd Allah ibn Hisyâm al-Anshârî. Dia merupakan ahli nahwu yang termasyhur pada masa al-

Mamâlîk, lahir di Kairo pada tahun 708 H. Ia pernah mendengarkan Dîwân Zuhair ibn Abî Sulmâ dari Abû Hayyân, ia pernah juga belajar dengan Tâj al-Dîn al-Tabrîzî. Ia pernah belajar fiqh dengan Imâm al-Syâfi’i, kemudian pindah menjadi panganut mazhab Hanbali. Di antara karyanya adalah Qathr al- Nadâ wa Ballu al-Shadâ, Syudzûr al-Dzahab fi Ma’rifah Kalâm al-‘Arab, Audhahu al-Masâlik ilâ alfiyah ibn Mâlik, Syarah al-Tashîl ibn Mâlik, al-Jâmi’ al-Shaghîr, al-Jâmi’ al-Kabîr, al-I’râb ‘an Qawâ’id al-I’râb, ‘Umdah al-Thalib fi al-Tahqîq Tashrîf ibn al-Hâjib. Lihat ‘Abd al-Karîm Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, Riyadh: Dâr al-Syawâf, 1992, cet. 1, hal. 210. Lihat juga, Syauqî Dhif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif: 1976), cet. 3, hal. 346- 348.

37 Ibn Hisyâm, Syarah Syudzûr al-Dzahab Fî Ma’rifah Kalâm al-‘Arab, Kairo: Maktabah al- Kulliyyât al-Azhariyyah, t.th, hal. 42.

38 Mushtafa al-Ghalâyîni, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Bairut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1984, cet. 17, jilid. 1, hal. 16.

ﻞﻣ ﺎﻌ ﻟ ﺍ ﻚﻟ ﺫ ﻪ ﻴ ﻀﺘ ﻘ ﻳ ﺎﻣ ﺐﺴﺣ ﺎﻣ ﻭﺰ ﳎ ﻭﺃ ﺍ ﺭ ﻭﺮ ﳎ ﻭﺃ ﺎﺑ ﻮﺼﻨ ﻣ (Pengaruh yang ditimbulkan

oleh ‘âmil pada akhir sebuah kata, sehingga ia berubah menjadi marfû’, manshûb, majrûr, atau majzûm sesuai apa yang dituntut oleh ‘âmil tersebut).

4) Sedangkan ‘Abbâs Hasan (1900-1978 M) dalam buku (al-Nahwu al-Wâfî), 39

menyebutkan: ﻞﻛ ﻪ ﻴ ﻀﺘ ﻘ ﻳ ﺎﻣ ﻭ ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﺔ ﻠ ﺧﺍ ﺪﻟ ﺍ ﻞﻣ ﺍ ﻮﻌ ﻟ ﺍ ﲑﻐ ﺗ ﺐﺒ ﺴﺑ ﻆ ﻔ ﻠ ﻟ ﺍ ﺮ ﺧﺍ ﰲ ﱵﻟ ﺍ ﺔ ﻣ ﻼﻌ ﻟ ﺍ ﲑﻐ ﺗ ﻞﻣ ﺎﻋ (Perubahan tanda pada akhir kata karena adanya perubahan ‘âmil-‘âmil

yang memasukinya dan apa yang dituntut dari setiap ‘âmil tersebut).

Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa i’râb adalah

perubahan baris (harakat) 40 secara jelas atau tersembunyi yang terjadi pada setiap akhir kata dalam suatu kalimat yang disebabkan oleh perbedaan ‘âmil yang masuk

pada kalimat tersebut. Agar lebih jelas tentang definisi i’râb ini mari kita lihat kata

( ﻲﻠ ﻋ ) pada kalimat-kalimat berikut ini: 1.  ﻲﻠ ﻋ ﺐﻫﺫ 2. ﹰ ﺎﻴ ﻠ ﻋﺖﻳ ﺃ ﺭ 3. ﹴ ﻲﻠ ﻋ ﻊﻣ ﺖﺒ ﻫﺫ , dari harakat akhir kata ( ﻲﻠ ﻋ ) pada kalimat-kalimat tersebut berubah dari dhommah ke fathah kemudian ke kasrah. Perubahan harakat (baris) tersebut disebabkan

perbedaan faktor-faktor (al-‘Awâmil) yang masuk pada kata tersebut, yaitu: ﺐﻫﺫ , ﺖﻳ ﺃ ﺭ dan ﻊﻣ . Sedangkan perubahan harakat huruf akhir pada kalimat ( ﻲﻠ ﻋ ) tersebut

dinamakan i’râb.

2. Macam dan Jenis I’râb

a. Rafa’ ( ﻊﻓﺮﻟا) Rafa’ merupakan salah satu bentuk i’râb dalam bahasa Arab. Rafa’ mempunyai empat tanda (al-‘Alâmât), yaitu: 1. Dhommah ( ﺔﻤﻀﻟا), 2. al-Wâw (واﻮﻟا),

39 ‘Abbâs Hasan, al-Nahwu al-Wafî, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th, cet. 3, hal. 74. 40 Harakat merupakan bagian dari fonem, studi tentang harakat ini dipandang penting sebab ia

beruba-ubah, ia juga menentukan bentuk (shîghah) suatu kata dan memperjelas makna. Dalam bahasa Arab harakat ada tiga, yaitu: fathah, dhommah, dan kasrah, tetapi tingkatan harakat ini dari segi panjang dan pendeknya terbagi kepada enam bagian, yaitu: fathah dan fathah thawîlah, dhommah dan dhommah thawîlah, kasrah dan kasrah thawîlah. Lihat Riyadh Zaki Qâsim, Tiqaniyyât al-Ta’bîr al- ‘Arabi, (Bairut,: Dâr al-Ma’rifah, 2000), cet. 1, hal. 91.

3. al-Alif ( ﻒﻟﻷا), dan 3. al-Nûn (نﻮﻨﻟا). Dhommah merupakan alamat (tanda) rafa’ yang asli, sedangkan wâw, alif, dan nûn merupakan alamat (tanda) pengganti

(Niyâbah) bagi dhommah. 41 Adapun dhommah, maka ia merupakan alamat asli bagi rafa’ pada al-Isim al-Mufrad, Jama’ al-Taksîr, Jama’ al-Mu’annats al-Sâlim, dan al-

Fi’il al-Mudhâri’ yang akhir katanya tidak berhubungan dengan sesuatu, contohnya: ﻞﻀﻔﻟا تﻻوأو تﻼﻗﺎﻌﻟاو ءﺎﺑدﻷاو ﺪﻬﺘﺠﻤﻟا دﻮﺴﻳ . Sedangkan waw (واﻮﻟا) ia menjadi alamat pengganti bagi dhommah pada Jama’ Mudzakkar Sâlim dan al-Asmâ al-Khamsah,

contoh: كﻮﺧأو نﻮﻤﻠﺴﻤ ﻟا ﻰﻠﺻ . Adupun alif, maka ia menjadi alamat pengganti dhommah pada al-Ism al-Mutsannâ, contoh: ناﺪﻬﺘﺠﻤﻟا زﺎﻓ. kemudian nûn menjadi alamat pengganti dhommah pada al-Af’âl al-Khamsah.

b. Nashab ( ﺐﺼﻨﻟا) Nashab merupakan bentuk i’râb yang kedua. Nashab mempunyai lima tanda (al-‘Alâmât), yaitu: 1. Fathah ( ﺔﺤﺘﻔﻟا), 2. alif (ﻒﻟﻷا), 3. Kasrah (ةﺮﺴﻜﻟا), 4. yâ (ءﺎﻴﻟا), dan

5. Membuang huruf nûn ( نﻮﻨﻟا فﺬﺣ). Fathah merupakn tanda (‘alamat) asli dari nashab, sedangkan alif, kasrah, yâ, dan hazf al-nûn merupakan alamat pengganti (al- ‘Alâmât al-Far’iyyah) dari fathah.

Fathah merupakan alamat asli Nashab pada Isim Mufrad, Jama’ al-Taksîr, dan Fi’il Mudlâri’ yang dimasuki oleh salah huruf- huruf Nashab (al-Nawâshib), sedangkan ia (Fi’il Mudlâri) tersebut pada akhir katanya tidak dihubungi sesuatu, contohnya: ﻚﺳورد ﻆﻔﺤﺗو ﻚﻠﻤﻋ ﻢﻤﺘﺗ نأ ﺐﻏرأ , adapun Alif menjadi alamat pengganti bagi fathat pada al-Asmâ’ al-Sittah, contohnya: كﺎﺑأ مﺮآأ, kasrah menjadi alamat pengganti bagi fathah pada Jama’ Mu’annats Sâlim, contohnya: تاﻮﻤﺴﻟا ﷲا ﻖﻠﺧ, yâ merupakan alamat pengganti fathah pada Isim Mutsannâ dan Jama’ Mudzakkar Sâlim, contohnya: ( ﻦﻴﺤﻟﺎﺼﻟا ﺐﺤﺻاو ىذﻷا ﻦﻣ ﻚﻳﺪﻳ ﻦﺻ), dan Hadzaf al-Nun menjadi alamat

pengganti fathah pada al-Af’âl al-Khamsah, contohnya: 42 ةﻼﺼﻟا اﻮآﺮﺘﻳ ﻦﻟ نﻮﻨﻣﺆﻤﻟا.

41 Lihar, Ahmad ‘Abd al-Ghaffâr, Dirâsât fî al-Nahwi al-‘Arabî, (Kairo: Dâr al-Kutub al- Mishriyyah, 1993), cet. 1, jilid. 1, hal. 92.

42 Lihat, al-Sayyid Ahmad al-Hâsyimî, al-Qawâ’id al-Asâsiyyah li al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,t. th), hal. 49.

c. Khafadl ( ﺾﻔﺨﻟا) Khafadl mempunyai tiga tanda (‘Alâmah), yaitu: 1. Kasrah, yang mana ia merupakan alamat atau tanda khafadl yang asli , kasrah menjadi tanda asli dari Khafadl pada Isim Mufrad Munsharif, Jama’ Taksir Munsharif, dan Jama’

Mu’annast Sâlim, contohnya: تﻼﻣﺎﻌﻤﻟا ﻲﻓ قﺪﺼﻟا لﺎﺼﺨﻟا ﺪﻴﻤﺣ , 2. Yâ (ءﺎﻴﻟا) menjadi ﻦﻣ alamat Khafadl sebagai pengganti kasrah pada al-Asmâ al-Sittah, Mutsannaâ, dan Jama’ Mudzakkar Sâlim, contohnya: ﺔﺟﺎﺤﻟا يذو ﻦﻴﺑﺮﻗ ﻷاو ﻦﻳﺪﻟاﻮﻠﻟ نﺎآ ﺎﻣ ﺮﺒﻟا ﺮﻴﺧ 3. Fathah, ia merupakan alamat atau tanda khafadl sebagai pengganti dari kasrah pada Isim al-

Mamnû’ min al-Sharf, contohnya: 43 ﻞﻴﻋﺎﻤﺳإو ﻢﻴهاﺮﺑإ ﻰﻟإ ﺎﻨﻴﺣوأو.

d. Jazam ( مﺰﺠﻟا) Jazam adalah salah satu bentuk i’râb dalam bahasa Arab yang khusus masuk dalam fi’il mudhâri. Alamat jazam ada dua yaitu sukun dan hazdaf. Sukun merupakan alamat jazam yang asli pada fi’il mudhari’ yang tidak ada huruf ‘illatnya dan juga tidak berhubungan akhirnya dengan sesuatu, contohnya: ﺪﻟﻮﻳ ﻢﻟو ﺪﻠﻳ ﻢﻟ , sedangkan hadzaf mejadi alamat jazam sebaganti pengganti dari sukun pada fi’il mudhari’

mu’tall akhir, 44 contohnya: اﺮﻴﺧ اﻮﻟﺎﻨﻳ ﻢﻟ . Menurut al-Mubarrad (w. 285 H), penamaan i’râb dengan jazam ini didasarkan pada sebuah realitas bahwa orang Arab

mengucapkan bahasanya diputus pada akhir katanya dengan tidak meneruskan bunyi harakatnya atau tidak memanjangkan bunyi harakat baik dhommah, fathah ataupun

kasrah. Oleh karena itu, huruf yang majzûm tidak ada i’râbnya. 45 Untuk lebih jelasnya, keempat macam I’râb tersebut dapat dilihat pada tebel barikut

43 Lihat, al-Sayyid Ahmad al-Hâsyimî, al-Qawâ’id al-Asâsiyyah li al-Lughah al-‘Arabiyyah, hal. 50.

44 Yang dimaksud dengan Fi’il Mudhâri’ Mu’tall Âkhir adalah fi’il mudhâri’ yang pada akhirnya terdapat salah satu huruf ‘illat yang tiga, yaitu: alif, waw, dan ya, seperti: ﻲﻣﺮﻳ - ﻮﺟﺮﻳ –

ﻰﺸﺨﻳ Lihat, al-Mubarrad, al-Muqtadhab, hal. 9.

Tabel Maca-Macam I’râb dan Alamatnya

3. Bagian-Bagian I’râb ( باﺮﻋﻹا مﺎﺴﻗأ) I’râb merupakan suatu keharusan yang mesti ada dan selalu melekat pada struktur kalimat bahasa Arab, maka dalam kondisi apapun i’râb selalu ada. Hanya saja keberadaan i’râb tersebut dapat terlihat dengan jelas dan bisa juga hanya dalam bentuk perkiraan. Dalam kaitan tampak tidaknya sebuah i’râb pada akhir kata, maka i’râb dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Zhâhir, Muqaddar, dan Mahalli.

a. I’râb Zhâhir ( ﺮهﺎﻈﻟا باﺮﻋﻹا) I’râb Zhâhir dinamakan juga I’râb Lafzhî, yaitu perubahan harakat-harakat i’râb (al-Harakât al-I’râbiyyah) yang tampak dan jelas pada akhir kata yang di

sebabkan oleh suatu ‘âmil. 46 I’râb Zhâhir ini terdapat dalam kata-kata yang mu’rab yang tidak ada huruf ‘illat pada akhir kata tersebut, seperti: – ﺎﻤﻴﻠﺳ ﺖﻠﺑﺎﻗ – ﻢﻴﻠﺳ ﺮﻀﺣ

ﻢﻴﻠ ﺳ ﻊﻣ ﺖﻤﻠﻜﺗ , perubahan harakat pada kata ( ﻢﻴﻠﺳ) pada kalimat-kalimat tersebut terlihat dengan jelas.

b. I’râb Taqdîrî ( يﺮﻳﺪﻘﺘﻟا باﺮﻋﻹا) I’râb Taqdîrî adalah kebalikan dari I’râb Zhâhir, yaitu perubahan harakat- harakat i’râb yang tidak tampak pada akhir kata sehingga tidak dapat dilihat dengan jelas. Tidak tampaknya harakat tersebut karena disebab sesuatu yang menghalanginya

sehingga tidak tampak terlihat karena adanya huruf ‘illat, contohnya: ﺖﻳأر – ﻰﺘﻔﻟا ﺐهذ ﻰﺘﻔﻟا ﻊﻣ تﺮﻓﺎﺳ ﻰﺘﻔﻟا - , kata ( ﻰﺘﻔﻟا) pada kalimat-kalimat tersebut harakatnya tidak tampak terlihat dengan jelas walaupun posisinya berubah dari fâ’il menjadi maf’ûl kemudian dimasuki huruf jar.

c. I’râb al-Mahallî ( ﻲﻠﺤﻤﻟا باﺮﻋﻹا)

46 Lihat, Mushthafâ al-Ghalâyainî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, (Bairut: al-Maktabah al- ‘Ashriyyah, 1993), cet. 28. Jilid. 1, hal. 22.

I’râb Mahallî ini adalah i’râb yang terletak pada isim-isim yang mabnî (al- Mabniyyât), seperti: ﻚﻟﺬﺑ ﻖﺛو – كاذ قﺪﺻو – اﺬه قﺪﺻ , posisi ( ﻞﺤﻤﻟا) kata (اذ) pada kalimat pertama adalah rafa’ karena posisinya disini sebagai subjek (al-Fâ’il) , yang kedua nashab karena posisinya disini sebagai subjek (al-Maf’ûl), sedangkan yang ketiga jar

sebab ia dimasuki oleh huruf jar. 47

4. Perkembangan I’râb Dalam bukunya al-Îdhâh Fî ‘Ilal al-Nahwi al-Zajjâjî (w. 339 H) menyatakan bahwa orang Arab semanjak dari awal sudah menggunakan i’râb dalam percakapan mereka, bukannya mereka berbicara tanpa i’râb dalam waktu yang cukup lama kemudian setelah itu mereka memasukkan (menggunakan) i’râb tersebut dalam

bahasa mereka. 48 Jadi, boleh dikatakan bahwa jauh sejak zaman Jahiliyah mereka sudah

mengenal i’râb tapi dalam bentuk yang masih sederhana. Menurut Muhbib, bangsa Arab telah mengenal i’râb dalam percakapan mereka sehari-hari sebelum dikodifikasikannya ilmu nahwu, sama halnya mereka mengenal nazhm (irama puisi, syair) sebelum dirumuskannya ‘ilm al-‘arûdh. Hal ini juga ditegaskan oleh Khalîl

Ahmad ‘Amâyirah, 49 yang menyatakan bahwa harakat i’râb sudah ada pada orang- orang Arab dalam praktek mereka berbahasa sehari-hari, yang mana mereka berbicara

sesuai dengan watak (salîqah) mereka. Harakat i’râb ( ﺔ ﻴ ﺑ ﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ) pada akhir kata dalam kalimat-kalimat bahasa Arab ﺔ ﻛﺮ ﳊﺍ

dan pada teks-teks berbahasa Arab merupakan realitas yang sudah dikenal sebelum dirumuskan dan dikodefikasikannya ilmu nahwu. Kemudian Abd al-‘Âl Sâlim Mukram dalam al-Halqah al-Mafqûdah Fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabi yang menyatakan bahwa kalau orang Arab pada zaman Jahiliyyah dan masa permulaan Islam (‘Ashar Shadr al-Islâm) sudah pandai membaca dan menulis, maka sudah dapat

47 Lihat, al-Sayyid Ahmad al-Hâsyimî, al-Qawâ’id al-Asâsiyyah li al-Lughah al-‘Arabiyyah, hal. 72.

48 Lihat al-Zajjâjî, al-Îdhâh Fî ‘Ilal al-Nahwi, hal. 67. 49 Lihat Khalîl Ahmad ‘Amâyirah, Fî Nahwi al-Lughah Wa Tarâkîbiha (Manhaj Wa Tathbîq

Fî al-Dilâlah), Dubai: Mu’assasah ‘Ulûm al-Qur’an, 1990, cet. 2, hal. 150.

dipastikan menurut dia keterkaitan baca-tulis tersebut dengan (al-Dhawâbith al- I’râbiyyah), sebab menurut dia pengajaran baca-tulis tersebut tidak mungkin

berlangsung jauh dari logika bahasa. 50 Sedangkan makna-makna yang terkandung dari harakat tersebut sudah ada dalam diri orang Arab yang berbicara dengan bahasa

Arab dari pembawaan mereka. Pada definisi i’râb telah dijelaskan bahwa i’râb merupakan media (al- Wasîlah) untuk menjelaskan apa yang ada di dalam jiwa, maka wajar saja kalau i’râb tersebut ada dalam bahasa mereka. Karena menurut Ahmad Mathlûb (1936- sekarang), mayoritas pemerhati dan ahli-ahli bahasa Arab mereka sepakat bahwasanya i’râb merupakan salah satu keunikan yang paling menonjol dari

keunikan-keunikan yang dimiliki oleh bahasa Arab. 51

52 ‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Rahmân al-Sa’dî (1307-1376 H) menyebutkan beberapa bukti yang menunjuk bahwa bahasa Arab itu mu’rab 53 adalah: 1. al-Qur’an

yang bahasanya merupan bahasa yang paling fasih dari bahasa-bahasa Arab lainnya, ia adalah bahasa mu’rab. 2. Hadist-hadist Nabi, yang berasal dari manusia yang paling fasih juga mu’rab. 3. Sya’ir-sya’ir di masa Jahiliyyah (al-Syi’ir al-Jâhilî) yang

50 Lihat ‘Abd al-‘Âl Sâlim Mukram, al-Halqah al-Mafqûdah Fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabi, (Bairut: Mu’assasah al-Risâlah, 1993), cet. 2, hal. 15.

51 Lihat Ahmad Mathlûb, Buhûts Lughawiyyah, (Amman: Dâr al-Fikr, 1987), cet. 1, hal. 35- 36.

52 Nama lengkapnya Abû ‘Abd Allah ‘Abd al-Rahmân ibn Nâshir ibn ‘Abd Allah ibn Nâshir Âli Sa’dî dari Kabilah Tamîm, ia lahir pada tanggal 12 Muharram 1307 H di ‘Unaizah di al-Qashîm

(Saudi Arabia). Di antara karya-karyanya adalah: Taisîr al-Karîm al-Mannân, Irsyâd Ûlî al-Bashâ’ir wa al-Albâb li al-Ma’rifah al-Fiqh bi Aqrab al-Thuruq wa Aisar al-Asbâb, al-Durrah al- Mukhtasharah fî Mahâsin al-Islâm, al-Qawâ’id al-Hisân li Tafsîr al-Qur’ân, al-Qaul al-Sadîd fî Maqâshid al-Tauhîd. Lihat, http://www.ibnothaimeen.com, diakses tanggal 20 Mei 2009.

53 Kata-kata yang tersusun dalam suatu kalimat ada yang berubah harakat (baris) akhirnya karena perbedaan ‘amîl yang mendahuluinya, dan ada juga yang tetap dan tidak berubah sama-sekali,

yang pertama dinamakan mu’rab dan yang kedua dinamakan mabni. al-Zamakhsyarî mendefinikan al- Isim al-Mu’rab dengan: ﻼ ﺤﻣ وأ فﺮ ﺣ وأ ﺔ آﺮﺤﻟ ﺎ ﻈﻔﻟ ﻞ ﻣاﻮﻌﻟا فﻼﺘﺧﺎ ﺑ ﻩﺮ ﺧا ﻒ ﻠﺘﺧا ﺎ ﻣ . Lihat, Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Mufashshal fî ‘Ilm al-Lughah, (Bairut: Dâr Ihyâ al-‘Ulûm, t.th), hal. 27. Lihat juga, Mushtafa al-Ghalâyîni, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, hal. 16. Lihat juga, Ibn Hisyâm, Syarh Qathar al-Nadâ wa Ball al-Shadâ, (Riyadh: Maktabah al-Riyâdh al-Hadîtsah, t.th), hal. 16.

dijadikan argumentasi (al-Hujjah) dalam bahasa Arab juga mu’rab. 54 Oleh karena itu tidak ada alasan untuk tidak mengakui keberadaan i’râb dalam bahasa Arab sebab ia

merupakan fenomena yang sudah ada jauh sebelum dirumuskannya ilmu nahwu, dan orang Arab selalu menjaganya karena ia merupakan media yang dipakai untuk mengungkap makna yang diinginkan oleh seorang pembicara, sebagaimana

dinyatakan oleh Khalîl Ahmad ‘Amâyirah (1946-2004 M): “ ﻲﻓ ةدﻮﺟﻮﻣ ةﺮهﺎﻇ باﺮﻋﻹا ﻲﻓ ﺎﻤﻋ اﺮﺒﻌﻣ ﻪﻣﻼآ ﻲﻓ ﻊﺴﺘﻴﻟ ﻢﻠﻜﺘﻤﻟا ﺪﻋﺎﺴﺗ ﺔﻌﻴﻃ ةادأ ﺎﻬﻧﻷ ﺎﻬﻴﻠﻋ ﺖﻈﻓﺎﺣ ﺔﻓوﺮﻌﻤﻟا رﻮﺼﻌﻟا مﺪﻗأ ﺬﻨﻣ ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا نﺎﻌﻣ 55 ﻦﻣ ﻪﺴﻔﻧ ”. Hal tersebut diamini oleh Ahmad Muhammad Qaddûr yang

menyatakan bahwa orang Arab sudah menganal i’râb jauh sebelum menganal istilah ilmu nahwu. 56