Problematika Hubungan I’râb dan Perubahan Makna

B. Problematika Hubungan I’râb dan Perubahan Makna

Para ahli nahwu (al-Nuhât) telah berusaha untuk mengetahui dan menjelaskan perubahan-perubahan yang dihasilkan oleh harakat-harakat i’râb dengan adanya perubahan-perubahan aspek-aspek pembicaraan dan perubahan makna-maknanya, kemudian fungsi kata-kata dalam strukturnya.

Dalam studi-studi linguistik Arab baik yang klasik maupun kontemporer, mayoritas linguist mengatakan bahwa i’râb bagian dari karakteristik-karakteristik yang paling dominan dibandingkan dengan karakteristik lainnya. Mereka juga menyatakan adanya hubungan yang erat antara i’râb dan makna, perubahan i’râb menurut mereka akan berimplikasi pada perubahan makna. Oleh karena itu, i’râb ini banyak mendapat perhatian dari mereka. Namun walaupun meyoritas linguist telah sepakat akan eksistensi nahwu (khususnya i’râb), sebagian linguist menggugatnya dan mereka menyatakan tidak adanya fungsi harakat i’râb dalam sintaksis bahasa Arab. Sebagian linguist melihat bahwa i’râb hanya merupakan kegiatan lafadz semata, yaitu merubah harakat akhir kata untuk menghindari penyukunan dan untuk menjaga keteraturan dan kesalarasan antara fonem-fonem (al-Ashwât) sehingga tidak mendapatkan kesulitan dalam mengucapkan kalimat. Linguis klasik pertama yang melontarkan pernyataan tersebut adalah Quthrub ibn al-Mustanîr (w. 206 H). Kemudian pernyataan Quthrub tersebut didukung oleh linguis-linguis lain baik yang

67 Yang dimaksud dengan tawâbi’ ( ﻊﺑاﻮﺘﻟا) adalah kata-kata yang dii’râbkan sesuai dengan i’râb kalimat yang sebelumnya, kalau kata yang sebelumnya rafa’, maka ia juga rafa’, kalau kalimat

sebelumnya nashab maka ia juga nashab, dan seterusnya. Tawâbi’ ini ada empat macam, yaitu: na’at ( ﺖﻌﻨﻟا), taukîd ( ﺪﻴآﻮﺘﻟا), badal ( لﺪﺒﻟا) , dan ‘athaf ( ﻒﻄﻌﻟا). Contohnya: ( ُﺪ ﻬﺘﺠﻤﻟا ُﺐﻟﺎﻄﻟا ءﺎﺟ) , ( َﺐﻟﺎﻄﻟا ﺖﺌﻓﺎآ َﺪﻬﺘﺠﻤﻟا) , ( ِﺪﻬﺘﺠﻤﻟا ِﺐﻟﺎﻄﻟا ﻊﻣ ﺖﺒهذ) , kata ( ﺪﻬﺘﺠﻤﻟا) pada kalimat-kalimat tersebut adalah na’at kepada kata ( ﺐﻟﺎﻄﻟا), harakatnya berubah-ubah mengikuti harakat kata sebelumnya yaitu: ( ﺐﻟﺎﻄﻟا) dari rafa’, nashab, dan jarr.

klasik maupun kontemporer. Sehingga terjadilah pro-kontra tentang kedudukan dan fungsi i’râb ini dalam kajian linguistik Arab.

1. Kelompok yang Menolak adanya Hubungan I’râb dan Makna Kelompok ini melihat bahwa harakat-harakat i’râb tidak menunjukan atas makna, kalimat menurut mereka, dii’râbkan bukan untuk menunjukkan dan membedakan antara satu makna dengan makna yang lain. Harakat i’râb menurut mereka hanya untuk meluruskan kalimat dan memudahkan pengucapan huruf-huruf

mati (al-Sawâkin). 68 Sesungguhnya harakat i’râb bukan untuk menantukan makna dalam pikiran orang Arab dahulu. I’râb hanyalah merupakan harakat-harakat yang

dibutuhkan untuk menyambung satu kata dengan kata lainnya. 69 Oleh karena itu lah kalimat-kalimat dalam bahasa Arab tersusun dari huruf hidup (mutaharrik) dan huruf

mati (sâkin) atau dari dua huruf hidup (mutaharrikain) dan satu huruf mati (sâkin). Mereka tidak pernah mengumpulkan dua huruf mati dalam satu kata, 70 Sehingga

dengan demikian mereka tidak mendapat kesulitan dalam mengucapkan kalimat- kalimat tersebut.

Kemudian kelompok ini melihat bahwa pelajaran nahwu khususnya i’râb merupakan sumber kesulitan dalam mempelajari dan menguasai bahasa Arab. Oleh karena itu mereka mengajak untuk meninggalkan nahwu kemudian menyukunkan akhir kata pada bahasa Arab untuk memudahkan dalam belajar, memahami, dan membaca.

Mereka menyebutkan beberapa bukti untuk menjelaskan bahwa i’râb tidak memberi pengaruh pada makna. Menurut mereka harakat-harakat i’râb tersebut hanya bertujuan untuk mempermudah dalam pengucapan dan percakapan. Untuk

mendukung pendapat mereka, kelompok ini berargumentasi dengan qira’at 71 Abû

68 Lihat, al-Zajjâjî, al-Îdhâh fî ‘Ilal al-Nahwi, hal. 70-71. 69 Lihat, Ibrâhim Anîs, min Asrâr al-Lughah, hal. 139. 70 Lihat, Sibawaihi, al-Kitâb, jil. 4, hal. 241. 71 Qira’at adalah cara-cara membaca al-Qur’an yang dianut oleh para ahli qira’at (al-Qurrâ’)

dan perbedaan perbedaannya yang semuanya itu melalui jalan periwayatan yang bersumber dari Rasulullah Saw. Sedangkan menurut Imam al-Zarqânî, qirâ’ât adalah:

‘Amr ibn al-‘Alâ (68-154 H) di mana beliau menyukunkan harakat-harakat i’râb, dan penyukunan tersebut menurut mereka tidak mengakibatkan kepada perbedaan makna. Kalau seandainya bacaan qira’at tersebut mengakibatkan kepada perbedaan makna, pasti beliau tidak akan melakukannya sebab beliau adalah seorang Qâri’ yang terpercaya (hujjah).

Kemudian kelompok yang menyerukan untuk membuang harakat, mereka berargumentasi dengan bacaan koran-koran dan dialek-dialek ‘amiyyah yang mana menurut mereka kedua sumber tersebut tidak mempunyai harakat i’râb, tetapi maknanya tetap bisa dikenali dan dipahami. Walaupun ada perbedaan dalam memberi harakat antara satu pembaca dengan yang lain pada harakatnya tetapi itu tidak mengakibatkan perbedaan makna, sebagaimana juga

2. Kelompok yang Menyatakan adanya Hubungan I’râb dan Makna Kelompok ini melihat adanya hubungan yang erat atara i’râb dan makna. Perubahan pada suatu kalimat akan berimplikasi terhadap perubahan makna kalimat

tersebut. Fâdhil al-Sâmirâ’î dalam Ma’ânî al-Nahwi mengatakan: 72 ﺎﻤﻠﻋ باﺮﻋﻹا نﻮآو بﺮﻌ ﻟا ﻪﻨﻣ مﺰﺘﻟا ﺎﻣ مﻼﻜﻟا جرد ﺪﻨﻋ ﺔﻔﺨﻟا ﻪﻨﻣ ﺔﻳﺎﻐﻟا ﺖﻧﺎآ ﻮﻟ ذإ , ﻦﻴﺒﻟا ﺢﺿاﻮﻟا لﻮﺒﻘﻤﻟا يأﺮﻟا ﻮه , ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا ﻰﻠﻋ

ماﺰﺘﻟ ﻻا ﻩﺬه (keberadaan i’râb sebagai tanda dan penunjuk makna merupakan suatu pandangan yang jelas dan dapat diterima, sebab kalau tujuan dari i’râb tersebut hanya untuk memudahkan untuk menyambung kata-kata, tentu orang Arab tidak …).

I’râb menurut pandangan mereka memainkan peran utama dalam menantukan fungsi-fungsi sintaksis (al-Wazhâ’if al-Nahwiyyah) pada kata-kata melalui harakat- harakatnya yang berfungsi untuk mengontrol pemindahkan makna kalimat dari satu

makna ke makna lain. 73 Misalnya, bila dikatakan: ( ﺪﺳﻷا) dengan dhommah, maka

ﺎﻬﺗﺎﺌﻴه (Suatu aliran yang dianut oleh seorang imam ahli qirâ’ât yang berbeda dengan ahli qirâ’ât lainnya dalam pengucapan bacaan al-Qur’an al-Karîm melalui riwayat-riwayat dan jalan-jalan (sanad-sanad) yang disepakati, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf atau pengucapan bentuk- bentuknya). Lihat, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Dâr al-Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1988), jil. 1, hal. 412.

72 Lihat, Fâdhil Shâlih al-Sâmirâ’î, Ma’ânî al-Nahwi, hal. 23. 73 Lihat, ‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Rahmân al-Sa’diy, Majallah Ummu al-Qurâ li al-‘Ulûm

al-Syarî’ah wa al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Âdâbihâ, jilid 15, edisi. 27, Jumadil Akhir 1424 H.

maknanya adalah pemberitahuan (al-Ikhbâr). Sedangkan kalau dikatakan ( ﺪﺳﻷا) dengan fathah, maka maknanya adalah memberi peringatan (al-Tahzîr) akan adanya

singa. 74 Di sini terlihat fathah merupakan unsur yang merubah makna kalimat dari satu ke makna yang lain. Oleh karena itu menurut mereka, i’râb harus dijaga dan

dipertahankan, sebab selain berfungsi untuk menentukan dan memperjelas makna, i’râb juga merupakan karakteristik dan keunikan bahasa Arab yang membedakannya dari bahasa-bahasa lain. Maka menurut mereka ajakan untuk menghapus i’râb atau penyukunan akhir kata dalam kalimat merupakan usaha untuk membunuh spirit dan

75 merobohkan bahasa fushhâ 76 agar menjadi seperti bahasa âmiyyah. I’râb menurut mereka merupakan sesuatu yang sangat vital, sehingga bahasa fushhâ tidak akan ada

tanpa adanya i’râb tersebut. 77 Menurut pandangan Mâzin Mubârak, orang-orang menantang dan menggugat

keberadaan i’râb mereka itu terpengaruh oleh sebagian dari kaidah-kaidah bahasa Asing, dan bukti pengaruh tersebut kata beliau dapat dilihat dari tesis-tesis mereka. Menurut beliau melakukan komperasi antara satu bahasa dengan bahasa yang lain bukan sesuatu yang aib dan dilarang. Tapi, menurut dia jangan sampai menerapkan kaidah suatu bahasa kepada bahasa lain. Sebab setiap bahasa mempunyai karakteristik dan kaidah masing-masing yang berbeda dari bahasa lainnya. Jadi,

74 Lihat, Khalîl Ahmad ‘Amâyirah, fî al-Nahwi al-Lughah wa Tarâkîbihâ: Manhaj wa Tathbîq fî al-Dilâlah, (Dubai: Mu’assasah ‘Ulûm al-Qur’an, 1990), cet. 2, hal. 162.

75 Bahasa Fushhâ adalah: bahasa formal (ragam standar) atau biasa orang mengatakan dengan bahasa al-Qur’an karena penggunaan bahasa fushhâ harus menggunakan ilmu tata bahasa Arab (ilmu

nahwu dan sharaf). Menurut Emil Badi’ Ya’qub, bahasa Arab fusha adalah bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an, situasi-situasi resmi,penggubahan puisi, penulisan prosa dan juga ungkapan- ungkapan pemikiran (tulisan-tulisan ilmiah). Secara umum bahasa ini dapat diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu Bahasa Arab Klasik yang digunakan dalam bahasa al-Qur’an dan Bahasa Arab Standar Modern yang digunakan dalam bahasa ilmiah. Lihat, http://www.attaqaddum.blogspot.com, diakses tanggal 08-07-2009.

76 Bahasa ‘Âmiyyah adalah: bahasa yang digunakan dalam percakapan mereka sehari-hari, bahasa ‘amiyah ini biasa orang sebut dengan bahasa pasaran. Bahasa ‘amiyah ini tidak mengunakan

tata bahasa seperti bahasa fushhâ. Kemudian perlu diketehui bahwa bahasa Arab ‘amiyah setiap daerah berbeda-beda apalagi berbeda apalagi kalau berbeda Negara, maka perbedaannya semakin tampak. Lihat, http://www.attaqaddum.blogspot.com, dikses tanggal 08-07-2009.

77 Lihat, Ahmad Sulaimân Yâqût, Zhâhirah al-I’râb fî al-Nahwi al-‘Arabi, (Iskandariyyah: Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah, 1994), hal. 35.

struktur suatu bahasa tidak dapat diterapkan pada bahasa yang lain. Kalau itu dilakukan maka akan merusak dan menghilangkan karakter bahasa tersebut.

Ahmad Sulaimân Yâqût menyatakan bahwa yang menyebabkan mereka mengajak untuk meninggalkan i’râb tersebut adalah: 1. Lemahnya tingkat keilmuan (al-Mustawâ al-‘Ilmiy) pada para siswa khususnya dalam materi nahwu sejak mereka duduk di bangku Sekolah Dasar sampai keluarnya mereka dari Perguruan Tinggi, sehingga tidak ada yang mudah mereka lakukan kecuali mengajak untuk meninggalkan i’râb tersebut. 2. Propaganda yang dihembuskan oleh sebagian penulis untuk meninggalkan i’râb dengan alasan tanda kemajuan zaman yang didukung oleh para Penjajah dan Oreantalis, sebab meninggalkan i’râb berarti meninggalkan bahasa Fusha, dan hal tersebut akan mengakibatkan lemahnya rasa nasionalisme pada orang Arab yang memudahkan mereka untuk menjajah. 78

Dalam kasus taqdîm dan ta’khîr misalnya, dalam bahasa Arab objek bisa saja datang setelah subyek atau sebaliknya, contohnya: ﺔﻟﺎﺳﺮﻟا ﻲﻠﻋ ﺐﺘآ, dan bisa juga dengan mengatakan: ﻲﻠﻋ ﺔﻟﺎﺳﺮﻟا ﺐﺘآ. Sedangkan dalam bahsa Indonesia dikatakan: “Ali menulis surat”, tidak bisa kalau dikatakan: ” menulis surat Ali” begitu juga dalam bahasa Inggris, dikatakan: “Ali write a litter”, tidak bisa dibalik dengan mengatakan: “a litter write Ali”. Taqdîm dan ta’khîr merupakan sumber utama keambiguan, maka disni lah peranan i’râb dibutuhkan untuk menghindari keambiguan tersebut. Sehingga makna dan maksud dari penutur sampai dan dapat dipahami oleh pendengar dengan baik dan benar. Misalnya firman Allah swt: ﻪﺑر ﻢﻴهاﺮﺑإ ﻰﻠﺘﺑا ذإو, dalam ayat kalau dilihat dari urutan (rutbah) maka orang akan mengira bahwa yang menjadi subyek adalah term ( ﻢﻴهاﺮﺑإ), karena posisinya berada setelah kata kerja (ﻰﻠﺘﺑا) sedangkan yang menjadi objek adalah term ( ﻪﺑر), sebab posisinya berada setelah term (ﻢﻴهاﺮﺑإ), tapi dengan adanya harakat nashab pada term ( ﻢﻴهاﺮﺑإ) tersebut, maka akan diketahui bahwa yang menjadi objek bukan term ( ﻪﺑر), akan tetapi (ﻢﻴهاﺮﺑإ) . Misalnya juga kalau dikatakan:

78 Lihat, Ahmad Sulaimân Yâqût, Zhâhirah al-I’râb fî al-Nahwi al-‘Arabi, hal. 42.

ُﺪﻤﺣأ َسﺎﻨﻟا مﺮآأ, pada kalimat ini yang menduduki posisi subjek adalah term (ﺪﻤﺣأ) sedangkan objeknya adalah term ( سﺎﻨﻟا), kalau tidak ada harakat maka pendengar mengira objeknya adalah ( ﺪﻤﺣأ) sebab kalau dilihat dari segi urutan (rutbah) yang menjadi subyek adalah term ( سﺎﻨﻟا), tapi karena adanya harakat maka kesalah pahaman dan keambiguan dapat dihindarkan.

Hubungan nahwu dan semantik, i’râb dan makna akan terlihat jelas dengan memperhatikan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki banyak makna dan bervariasi karena banyak dan bervariasinya i’râb dan aspek-aspek nahwunya, yang mana semua itu memperlihatkan pengaruh perbedaan aspek-aspek i’râb dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Sebab, tak dapat dipungkiri perbedaan para ahli nahwu (al-Nuhât) dalam menafsirkan suatu ayat membawa kepada perbedaan pada maknanya. Misalnya firman Allah swt: ( ﺪﻴﺠﻤﻟا شﺮﻌﻟا وذ دودﻮﻟا رﻮﻔﻐﻟا ﻮهو), pada lafazh ( 79 ﺪﻴﺠﻤﻟا) dalam ayat tersebut terdapat dua qira’at, yaitu rafa’ dan jarr. Kalau dibaca rafa’ berarti ia adalah sifat dari lafazd ( ﻮه) yaitu Allah, sedangkan kalau dibaca jarr maka ia menjadi sifat dari lafazh ( شﺮﻌﻟا). Jadi kalau qira’at yang pertama maksudnya yang mulia adalah Allah, sedangkan yang kedua yang mulia adalah Arasy. 80

Kemudian juga firman Allah swt: ( ﷲا ﺮﺼﻧ ﻰﺘﻣ اﻮﻨﻣا ﻦﻳﺬﻟاو لﻮﺳﺮﻟا لﻮﻘﻳ ﻰﺘﺣ اﻮﻟﺰﻟزو ), pada lafazh ( لﻮﻘﻳ ﻰﺘﺣ) terdapat dua Qira’at, yaitu rafa’ dan nashab. Kalau dibaca nashab, maka disana ada pertikel ( نأ) yang tersembunyi, sebab term (ﻰﺘﺣ) apabila ia masuk kepada fi’il mudhâri’ dan menashabkannya, maka ia mempunyai dua makna, yaitu: Pertama: ( نأ ﻰﻟإ), misalnya: ﺎﻬﻠﺧدأ ﻰﺘﺣ تﺮﺳ (saya berjalan hingga memasukinya) disini berjalan dan masuk terjadi bersamaan, Kedua: ( ﻲآ), misalnya: ﺔﻨﺠﻟا ﻚﻠﺧﺪﻳ ﻰﺘﺣ ﷲا ﻊﻃأ (taatilah Allah agar ia memasukan kamu kedalam surga).

C. Bukti-Bukti Adanya Hubungan I’râb dengan Perubahan Makna

79 Lihat, Abû ‘Abd Allah Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, (Dâr al-Kutub al-‘Arabî, t.th), jilid. 19, hal. 296.

80 Lihat, al-Samîn al-Halabiy, al-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Kitâb al-Maknûn, tahqîq ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dkk, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), cet. 1, jilid. 6, hal. 504.

Setiap bahasa di dunia ini mempunayai kaidah-kaidah (al-Dhawâbith) yang mengaturnya, dan kaidah-kaidah tersebut harus dipatuhi oleh penutur bahasa tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan bahasa tersebut yang pada akhirnya akan menimbulkan kesalah pahaman. Dalam hal ini, bahasa Arab bukan lah satu-satunya bahasa yang mengharuskan para penuturnya untuk tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang telah disepakati dalam bahasa tersebut. Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah dan struktur-struktur yang cermat dan teliti, yang mana setiap kata dan huruf dalam bahasa Arab ini memiliki kaidah tersendiri. Ini bukan bermaksud untuk membanggakan dan melebih-lebihkannya dari bahasa lain, tapi ini adalah murni pandangan obyektif dari penulis yang ingin menjelaskan hal tersebut.

Untuk menjelaskan hal tersebut di atas bisa diambil satu contoh yaitu huruf fâ ( ءﺎﻔﻟا), yang mana huruf ini mempunyai kaida-kaidah (al-Dhawâbith) tersendiri. Huruf fâ ini bisa berfungsi sebagai huruf ‘athaf, seperti: ضرﻷا ﺖﻠﺘﺑﺎﻓ ﺮﻄﻤﻟا لﺰﻧ (Hujan turun, maka kemudian basahlah tanah), dan contoh lain: ﺮﺒﻘﻓ ﺎﻨﺒﺣﺎﺻ تﺎﻣ (sahabat kami meninggal, kemudian dikuburkan), ‘athaf disini berfungsi sebagai ..(al-Ta’qîb al- Mubâsyir). Kemudian fâ ini juga bisa untuk menyatakan sebab, misalnya: مﻮﻟ ﻦﻣ ﺮﺜﻜﺗ ﻻ مﺪﻨﺘﻓ ﻚﻘﻳﺪﺻ (Jangan banyak mencela teman kamu sehingga kamu akan menyesal). Kemudian huruf fâ ini juga menunjukan isti’nâf (memulai pembicaraan yang baru), contohnya: مﺎﻳأ ﺔﺛﻼﺛ مﺎﻴﺼﻓ ﺪﺠﻳ ﻢﻟ ﻦﻤﻓ يﺪﻬﻟا ﻦﻣ ﺮﺴﻴﺘﺳا ﺎﻤﻓ ﺞﺤﻟا ﻰﻟإ ةﺮﻤﻌﻟﺎﺑ ﻊﺘﻤﺗ ﻦﻤﻓ (maka barangsiapa yang melaksanakan umrah sebelum berhaji, dia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji …). Dan kemudian juga huruf fâ ini bisa berfungsi sebagai jawab syarat, contohnya: ﺎهودر وأ ﺎﻬﻨﻣ ﻦﺴﺣﺄﺑ اﻮﻴﺤﻓ ﺔﻴﺤﺘﺑ ﻢﺘﻴﻴﺣ اذإو (dan apabila kalian diberi salam, maka jawablah salam tersebut dengan yang lebih baik atau yang sama dengannya).

Adapun menganai harakat i’râb (al-Harakah al-I’râbiyyah), maka ia merupakan bagian dari struktur-struktur dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang indah ini. Ilmu nahwu yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu dan diterima oleh ulama-ulama berikutnya melalui kajian-kajian dan studi-studi sehingga menjadi Adapun menganai harakat i’râb (al-Harakah al-I’râbiyyah), maka ia merupakan bagian dari struktur-struktur dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang indah ini. Ilmu nahwu yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu dan diterima oleh ulama-ulama berikutnya melalui kajian-kajian dan studi-studi sehingga menjadi

Hal tersebut karena di antara karakteristik yang dimiliki oleh bahasa Arab adalah bahwa ia dalam mengungkapkan makna-makna dari dua sisi: 1. Susunan kata atau struktur ( ﻢﻈﻨﻟا), yaitu metode yang digunakan dalam penyusunan kalimat dan bagian-bagiannya. 2. I’râb, yang merupakan aspek pengungkap makna yang lebih kuat dan lebih jelas, ia merupakan penunjuk untuk menantukan posisi-posisi kata

(mawâqi’ al-Kalimât) dalam struktur kalimat. 81 Tanda-tanda i’râb (al-‘Alâmah al-I’râbiyyah) merupakan penunjuk untuk

mengetahui dan membedakan makna-makna yang kemungkinan sama dalam satu kalimat pada bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan oleh al-Suyûthî (849-911. H) dalam al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir: ﺾﻌﺑ ﻦﻋ ﺎﻬﻀﻌﺑ ﺰﻴﻤﺘﻳ ةرﻮﺘﻌﻣ نﺎﻌﻤﻟ ﻢﻠﻋ ﺔﻴﺑاﺮﻋﻹا ﺔﻣﻼﻌﻟا

ﺔﻧﺎﺑﻹا ﻲﻨﻋأ ﺎﻬﺗﺎﺌﻴهو ظﺎﻔﻟﻷا ﻊﺿو ﻦﻣ ﻲﻠﺻﻷا ضﺮﻐﻟا ﻮه ﺎﻣ تاﻮﻓو ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا سﺎﺒﺘﻟا ﻰﻟإ ﻲﻀﻔﻳ ﺎﻬﺑ لﻼﺧﻹﺎﻓ ﺮﻴﻤﻀﻟا ﻲﻓ ﺎﻤﻋ (Tanda i’râb merupakan tanda bagi makna-makna yang banyak yang berfungsi untuk membedakan antara makna yang satu dengan lainnya, pelanggaran terhadap tanda-tanda i’râb tersebut akan mengakibatkan kerancuan (keambiguan) dan menghilangkan tujuan utama dari pembuat (penyusunan) lafazd-lafazd dan bentuknya, maksud saya: menjelaskan apa yang ada di dalam hati…). 82 Karena tanda i’râb ini merupakan salah satu bagian untuk menantukan fungsi sintaksis atau makna nahwu yang mana dengan perubahan i’râb tersebut akan berimpliksi pada perubahan makna, maka ajakan untuk mengabaikan atau menghilangkan i’râb tersebut menurut

Hammâsah ‘Abd al-Lathîf (1941- sekarang) terlalu berlebih-lebihan. 83

81 Lihat, Ahmad ‘Abd al-Sattâr al-Jawârî, Nahwu al-Ma’ânî, (Mathba’ah al-Majma’ al-‘Ilmi al-Irâqî, 1987), hal. 34.

82 Lihat, Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, jilid. 1, hal. 201. 83 Lihat, Hammâsah ‘Abd al-Lathîf, al-‘Alâmah al-I’râbiyyah, (Kairo: Dâr al-Fikr, t.th), hal.

Di antara bukti-bukti adanya hubungan dan keterkaitan antara i’râb dan perubahan makna dapat dilihat dari literatur-literatur bahasa Arab, Hadist, al-Qur’an al-Karim, dan kesaksian dari para linguis Arab.

1. Bukti dari Literatur-Literatur Bahasa Arab Dalam literatur-literatur Arab khususnya buku-buku nahwu baik yang klasik maupun kontemporer banyak didapati bukti-bukti yang menunjukan pentingnya alamat i’râb untuk membantu dalam memahami makna kalimat. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh yang menguatkan peran yang dimainkan i’râb dan urgensinya dalam menjelaskan dan menentukan makna:

a. ﺪﻤﺤﻣ ُﻦﺴﺣأ ﺎﻣ . ١ ﺪﻤﺤﻣ َﻦﺴﺣأ ﺎﻣ . ٢ ﺪﻤﺤﻣ َﻦﺴﺣأ ﺎﻣ . ٣

Ketiga kalimat-kalimat tersebut dari segi kontruksinya mempunyai susunan dan jumlah kata yang sama, yang membedakan kalimat-kalimat tersebut satu sama lain adalah terletak pada harakat-harakatnya. Kalimat yang pertama merupakan pertanyaan (al-Istifhâm) yang menanyakan apakah yang terbaik pada diri Muhammad, itu dapat diketahui dari harakat dhommah pada kata ( ﻦﺴﺣأ) dan harakat kasrah pada kata ( ﺪﻤﺤﻣ). Sedangkan kalimat kedua merupakan ungkapan kekaguman (al-Ta’ajjub) yang menyatakan kekaguman pembicara atas kebaikan Muhammad, hal tersebut dapat diketahui dari harakat fathah pada kata ( ﻦﺴﺣأ) dan (ﺪﻤﺤﻣ). Kemudian pada kalimat yang terakhir dapat diketahui maksud dari pembicara adalah memberitakan (al-Ikhbâr) bahwa Muhammad tidak melakukan kebaikan, hal tersebut dapat diketahui dari harakat fathah pada kata ( ﻦﺴﺣأ) dan harakat dhommah pada kata ( ﺪﻤﺤﻣ). Di sini terlihat jelas yang membedakan makna antra ketiga kalimat tersebut adalah harakat i’râb, tanpa adanya harakat tersebut maka makna-makna ketiga kalimat tesbut tidak dapat dibedakan.

b. ١. ﻦﺒﻠﻟا َبﺮﺸﺗو ﻚﻤﺴﻟا ﻞآﺄﺗ ﻻ ٢. ﻦﺒﻠﻟا ْبﺮﺸﺗو ﻚﻤﺴﻟا ﻞآﺄﺗ ﻻ ٣. ﻦﺒﻠﻟا ُبﺮﺸﺗو ﻚﻤﺴ ﻟا ﻞآﺄﺗ ﻻ Ketiga kalimat-kalimat tersebut di atas mempunyai kontruksi atau susunan kata yang sama, untuk dapat membedakan makna-makna yang terkandung di dalamnya, kalimat-kalimat tersebut harus dapat diberi harakat terlebih dahulu b. ١. ﻦﺒﻠﻟا َبﺮﺸﺗو ﻚﻤﺴﻟا ﻞآﺄﺗ ﻻ ٢. ﻦﺒﻠﻟا ْبﺮﺸﺗو ﻚﻤﺴﻟا ﻞآﺄﺗ ﻻ ٣. ﻦﺒﻠﻟا ُبﺮﺸﺗو ﻚﻤﺴ ﻟا ﻞآﺄﺗ ﻻ Ketiga kalimat-kalimat tersebut di atas mempunyai kontruksi atau susunan kata yang sama, untuk dapat membedakan makna-makna yang terkandung di dalamnya, kalimat-kalimat tersebut harus dapat diberi harakat terlebih dahulu

Kalimat yang pertama mengandung larangan untuk memakan ikan bersamaan dengan meminum susu, itu dapat diketahui dari harakat fathah pada kata ( بﺮﺸﺗ) dan pertikel waw yang berada sebelumnya yang dinamakan dengan waw al- Ma’iyyah. Sedangkan kalimat yang kedua mengandung larangan untuk melakukan keduanya (larangan untuk makan ikan dan juga larangan untuk minum susu walupun dikerjakan secara tidak bersamaan) itu karena harakat sukun (al-Jazam) pada kata ( بﺮﺸﺗ), dan fertikel waw sebelum kata (بﺮﺸﺗ) tersebut adalah waw al-‘Athaf. Kemudian kalimat yang ketiga maksudnya sebagai larangan untuk memakan ikan dan memperbolehkan untuk meminum susu, itu karena harakat dhommah (rafa’) pada

kata ( 84 بﺮﺸﺗ), dan pertikel waw sebelum kata (بﺮﺸﺗ) tersebut adalah waw al-Ibtidâ’. Misalnya juga: ( اوﺮﺒﺼﻳ نﺄﺑ ﻢﻬَﺤﺼﻨﺗو َسﺎﻨﻟا ﻢﻠﻈﺗ ﻻ), dengan menashabkan fi’il mudhâri’

( ﺢﺼﻨﺗ) maksudnya melarang untuk menggabungkan antara berbuat zhalim dengan nasehat untuk bersabar, dengan menjazamkannya berarti melarang untuk melakukan kedua perbuatan tersebut walaupun tidak dilakukan secara bersamaan, sedangkan dengan merafa’kannya berarti hanya melarang untuk berbuat zhalim dan membolehkan untuk memberikan nasehat untuk bersabar.

Contoh lain, kalau dikatakan: ( ﻚﺣﺪﻣﺄﻓ ﻲﻨﻄﻋا), kalau kata (حﺪﻣأ) pada kalimat tersebut dikasih harakat fathah, maka maksudnya adalah bahwa pujian (al-Madh) belum terjadi, ia terjadi setelah adanya pemberian (al-‘Athâ) karena pujian disebab oleh pemberian. Sedangkan kalau dikatakan: ( ﻚﺣﺪﻣﺄﻓ ﻲ ﻨﻄﻋا ) dengan harakat dhommah, maka maksudnya adalah bahwa pujian sudah terjadi sebelum adanya pemberian, yang berarti berilah saya karena saya termasuk orang yang memuji kamu.

c. Contohnya juga, kalau dikatakan: ﻪﻨﺑاو ﻖﺋﺎﺴﻟا ﻞﺘﻘﺑ ﻢﻬﺘﻣ نﻼﻓ .

84 Lihat, Fâdhil Shâlih al-Sâmirâ’i’, Ma’ânî al-Nahwi, (Kairo: Syarikah al-‘Âtik, t.th), jilid. 1, hal. 33.

Kata ( ﻪﻨﺑا) pada kalimat tersebut di atas posisinya adalah sebagai ‘athaf, hal tersebut dapat diketahui karena sebelumnya ada pertikel waw, namun kata tersebut tidak diketahui dengan jelas di’athafkan kemana karena tidak ada harakatnya, ke term ( نﻼﻓ) atau term ( ﺎﺴﻟا ﻖﺋ ), kalau dikasih harakat dhommah maka berarti ia di‘athafkan ke term ( نﻼﻓ) sehingga posisinya sebagai pembunuh (al-Qâtil), sehingga makna kalimat tersebut adalah: (si pulan dan anaknya didakwa sebagai pembunuh sopir), sedangkan kalau dikasih harakat kasrah maka berarti ia di‘athafkan ke term ( ﻖﺋﺎﺴﻟا) sehingga posisinya sebagai yang terbunuh (al-Maqtûl), sehingga makna kalimat tersebut adalah: (si pulan didakwa membunuh sopir dan anaknya). Di sini terlihat bahwa harakat sebuah kata sangat mempengaruhi terhadap makna sruktur kalimat.

d. Apabila seseorang mengakatan: ( ﻚِﻣﻼﻏ ُﻞﺗﺎﻗ ﺎﻧأ), kemudian seorang lagi mengatakan: ( ﻚَﻣﻼﻏ ٌﻞﺗﺎﻗ ﺎﻧأ),

Yang bisa dijatuhi hukuman adalah yang mengatakan: ﻚِﻣﻼﻏ ُﻞﺗﺎﻗ ﺎﻧأ (dengan idhâfah), sebab kalimat tersebut menunjukan fi’il mâdhî yang berarti ia telah melakukannya. Sedangkan yang mengatakan: ﻚَﻣﻼﻏ ٌﻞﺗﺎﻗ ﺎﻧأ (dengan harakat nashab), ia tidak dapat dijatuhi hukuman sebab kalimat tersebut menunjukan pada masa yang

akan datang yang berarti dia belum melakukannya. Misalnya juga: 1. ﻚﻴﺧأ ُمﺮﻜﻣ ﺎﻧأ 2. ﺎﻧأ كﺎﺧأ ٌمﺮﻜﻣ, kata (مﺮﻜﻣ) pada kedua kalimat tersebut dalam segi kontruksinya tidak ada perbedaan, yang membedakan keduanya hanya pada harakat, yang satu dhommah sedangkan satu lagi adanya tanwîn pada harakat dhommah, namun dari segi makna terdapat perbedaan, yang pertama menunjukkan masa yang telah lalu (saya telah memuliakan saudara kamu), sedangkan yang kedua menunjukkan masa yang akan

datang (saya akan memuliakan saudara kamu). 85 Sebagaimana firman Allah swt: ﻻو ﷲا ءﺎﺸﻳ نأ ﻻإ اﺪﻏ ﻚﻟذ ﻞﻋﺎﻓ ﻲﻧإ ﺊﻴﺸﻟ ﻦﻟﻮﻘﺗ , kata ( ﻞﻋﺎﻓ) yang berbentuk nakirah pada ayat

tersebut menunjukkan bahwa perbuatan itu belum dilaksanakan, buktinya adalah adanya kata ( اﺪﻏ) yang berarti dia akan melaksakannya pada besok hari.

e. Contoh lain: ( ﺎﻬﻌﺿﺮﻟ ﺎﻬﻠﻴﺼﻓو ﺔﻗﺎﻨﻟا كﺮ ﺗ ﻮﻟ ؟ كﺎﺑأ و ﺖﻌﻨﺻ ﺎﻣ ).

85 Lihat, Majallah al-Turâts al-‘Arabî, (Damaskus: edisi. 108, tahun ke 27, Desember 2008).

Term ( كﺎﺑأ) dan (ﺎﻬﻠﻴﺼﻓ) pada kalimat tersebut keduanya manshûb (berharakat fathah) karena posisinya sebagai maf’ûl ma’ah, 86 yang mana arti kalimat tersebut

adalah: (Apa yang telah kamu lakukan bersama ayahmu? Seadainya onta betina itu ditinggalkan bersama anaknya, niscaya ia akan menyusuinya). Sedangkan kalau dikatakan: ( ﺎﻬﻌﺿﺮﻟ ﺎﻬﻠﻴﺼﻓو ﺔﻗﺎﻨﻟا كﺮﺗ ﻮﻟ ؟كﻮﺑأو ﺖﻌﻨﺻ ﺎﻣ) dengan mambaca rafa’, maka ia (kedua kata tersebut) menjadi ‘athaf, dan artinya akan berubah menjadi: (Apa yang telah kamu lakukan? Dan apa yang telah dilakukan ayah kamu? Seandainya onta betina tersebut ditinggalkan, dan anaknya juga ditingglkan, niscaya ia akan menyusuinya).

Disini terlihat jelas perubahan makna yang ditimbulkan akibat perubahan i’râb pada kedua kata tersebut di atas.

f. Misalnya lagi kalau dikatakan: ( ﻢﻟﺎﻈﻟا برﺎﻀﻟا اﺬه) Tanpa harakat i’râb, kata ( ﻢﻟﺎﻈﻟا) pada kalimat tersebut tidak dapat ditentukan posisinya, apakah ia sebagai sifat (na’at) dari kata ( برﺎﻀﻟا) atau sebagai objek dari kata tersebut. Tapi, dengan menashabkan term ( ﻢﻟﺎﻈﻟا) memberikan pengertian bahwa pukulan jatuh padanya yang berarti ia jadi objek (al-Maf’ûl), sedangkan kata ( برﺎﻀﻟا) sebagai subjek (al-Fâ’il), dan artinya adalah; (ini pemukul orang yang zhalim). Sedangkan kalau kata ( ﻢﻟﺎﻈﻟا) tersebut dirafa’kan, maka berarti ia menjadi sifat dari kata ( برﺎﻀﻟا) sehingga artinya akan berubah menjadi: (ini adalah seorang pemukul yang zhalim).

g. Misalnya dalam uslûb al-Istitsnâ, ( ﻦﻴﻘهﺮﻤﻟا ُﺮﻴﻏ نوﺮآﺬﺘﺴﻤﻟا ﺢﺠﻨﻳ )

Dengan merafa’kan kata ( ﺮﻴﻏ) menunjukkan makna bahwa orang-orang yang mengulangi pelajarannya yang bukan orang-orang bodoh, mereka lulus dalam ujian,

86 Yang dimaksud dengan maf’ûl ma’ah ( ﻪﻌﻣ لﻮﻌﻔﻤﻟا) adalah isim yang mansûb yang posisinya berada setelah huruf waw yang mempunyai makna “bersama” ( ﻊﻣ). Sedang menurut Musthafâal-

Ghalâyainî adalah: isim pelengkap (isim fadhlah) yang terletak setelah huruf wâw yang bermakna “bersama” (ma’a) yang didehului oleh kalimat untuk menunjukan terjadinya sesuatu bersamaan dengannya. Untuk memperdalam tentang maf’ûl ma’ah ini silahkan lihat, Mushthafâ al-Ghalâyainî, Jâmi’ al Durûs al-‘Arabiyyah, (Bairut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 2003), cet. 1, jilid. 2, hal. 456-459. Lihat juga, ‘Abd al-‘Azîz ibn Muhammad al-Fantûkh dkk, Tahdzîb Syarh Ibn ‘Aqîl li Alfiyah Ibn Mâlik, (Riyadh: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd al-Islâmiyyah, 1420), hal. 78.

berarti kata ( ﺮﻴﻏ) disini posisinya sebagai na’at dari kata (نوﺮآﺬﺘﺴﻤﻟا) Sedangkan kalau dinashabkan menjadikan maknanya bahwa orang-orang yang menulangi pelajarannya akan lulus dalam ujian, berarti kata ( ﺮﻴﻏ) disini posisinya sebagai pertikel pengacualian (adâh al-Istitsnâ). 87

h. Misalnya juga dalam ‘athaf kepada dhâmir rafa’ muttashil: ( ﺪﻤﺣأو ﻚُﺘﻣﺮآأ),

Term ( ﺪﻤﺣأ) pada kalimat tersebut di atas mengandung kemungkinan rafa’ dan nashab, hal tersebut karena adanya huruf ‘athaf (waw) sebelum kata ( ﺪﻤﺣأ) tersebut sehingga ia bisa di’athafkan kepada dhamîr 88 al-Mutakallim yaitu ta yang

posisinya sebagai subjek (al-Fâ’il) dan bisa juga di’athafkan kepada dhamîr mukhâthab yang posisinya sebagai subjek (al-Maf’ûl). Kalau kata ( ﺪﻤﺣأ) dibaca rafa’, maka berarti ia di’athafkan kepada dhamîr al-Mutakallim sehingga posisinya menjadi subjek (al-Fâ’il) dan artinya adalah: (Saya dan Ahmad memuliakan kamu), sedangkan kalau dibaca nashab, maka berarti ia di’athafkan kepada dhamîr al-Mukhâthab sehingga posisinya menjadi objek (maf’ûl) dan artinya adalah: (Saya memuliakan kamu dan Ahmad).

i. ( ﺎﻬﺳأر ﻰﺘﺣ ﺔﻜﻤﺴﻟا ﺖﻠآأ) Kata ( ﺎﻬﺳأر) pada kalimat tersebut di atas mempunyai tiga kemungkinan harakat i’râb, mungkin dibaca rafa’, nashab, dan jarr. Hal ini karena pertikal ( ﻰﺘﺣ) yang berada sebelum kata tersebut yang mempunyai beberapa fungsi, yaitu: sebagai

huruf isti’nâf, huruf ‘athaf, atau huruf jarr. 89

87 Menurut Mushthafâ al-Ghalâyainî, istitsnâ adalah: تا ودأ ﻦﻣ ﺎﻬﺗاﻮﺧأ ىﺪﺣإ وأ " ﻻإ " ﺪﻌﺑ ﺎﻣ جاﺮﺧإ ﻪﻠﺒﻗ ﺎﻣ ﻢﻜﺣ ﻦﻣ ءﺎﻨﺜﺘﺳﻻا (mengeluarkan kata yang berada setelah " " ﻻإ atau salah satu dari kawan-kawannya

yaitu: ﺎﺷﺎﺣ – اﺪﻋ – ﻼﺧ – ىﻮﺳ – ﺮﻴﻏ dari hukum yang dimiliki oleh kalimat yang sebelumnya. Untuk mengetahui lebih dalam tentang istitsnâ ini silahkan baca, Mushthafâ al-Ghalâyainî, Jâmi’ al-Durûs al- ‘Arabiyyah, hal. 493.

88 Dhamîr adalah isim yang menunjukkan atas orang pertama (al-Mutakallim), orang kedua (al-Mukhâthab), atau orang ketiga (al-Ghâ’ib). Dhamîr ini terbagi kepada dua bagian, yaitu

tersembunyi (mustatar) dan tampak (bâriz), dan yang tampak (al-Bâriz) ini terbagi dua, yaitu:1.al- Muttashil , yaitu yang tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan fi’il atau isim, seperti tâ al-Fâ’il dari ( ًتأﺮﻗ), alif al-Itsnain dari ( ﺎَﺒﺘآ), dan wâw al-Jamâ’ah dari ( اﻮﺒهذ) 2. al-Munfashil, yaitu yang berdiri

sendiri seperti: ﻦه – ﻢه – ﺎﻤه – ﻲه – ﻮه – ﻦﺘ ﻧأ – ﻢﺘﻧأ – ﺎﻤﺘﻧأ – ﻦﺤﻧ – ﺖﻧأ – ﺎﻧأ . Untuk lebih memperdalam masalah dhamîr ini silahkan baca, Muhammad ‘Ali Abû al-‘Abbâs, al-I’râb al-Muyassar, (Kairo: Dâr al-Thalâ’i, t.th), hal. 14-17.

89 Lihat, Majallah al-Turâts al-‘Arabî, (Damaskus: edisi. 104, tahun ke 21, 2006).

Kalau dikatakan: ( ﺎﻬ ُﺳأر ﻰﺘﺣ ﺔﻜﻤﺴﻟا ﺖﻠآأ ), dengan rafa’, pertikel ( ﻰﺘﺣ) pada kalimat ini fungsinya sebagai isti’nâf, dan kata ( ﺎﻬُﺳأر) posisinya sebagai subjek (mubtadâ) dan maksudnya: saya makan ikan, dan kepalanya aku makan. Sedangkan kalau dikatakan: ( ﺎﻬَﺳأر ﻰﺘﺣ ﺔﻜﻤﺴﻟا ﺖﻠآأ) dengan nashab, maka pertikel (ﻰﺘﺣ) disini fungsinya sebagai huruf ‘athaf, dan kata ( ﺎﻬﺳأر) posisinya sebagai ‘athaf sehingga makna kalimat tersebut adalah: (aku memakan ikan dan kepalanya), jadi kepalanya ikut dimakan. Kemudian kalau dikatakan: ( ﺎﻬ ِﺳأر ﻰﺘﺣ ﺔﻜﻤﺴﻟا ﺖﻠآأ ) dengan jarr, maka pertikel ( ﻰﺘﺣ) disini fungsinya sebagai huruf jarr yang maknanya sampai batas (intihâ al-Ghayah), dan kata ( ﺎﻬﺳأر) tersebut posisinya sebagai isim majrûr sehingga makna kalimat tersebut adalah: (saya makan ikan sampai pada kepalanya), kepala tidak ikut dimakan. Misalnya juga: ِﺮﺼﻌﻟا ﻰﻟإ ﺮﻬﻈﻟا ﻦﻣ ﺖ (saya tidur mulai dari zhuhur sampai ﻤﻧ ashar), tidurnya berhenti ketika waktu ashar telah tiba. j. Misalnya kalau dikatakan: " ﻢﻳﺮﻜﻟا ٍﺪﻳﺰﺑ ًترﺮﻣ " .

Kata " " ﻢﻳﺮﻜﻟا pada kalimat tersebut mempunyai tiga kemungkinan bacaan i’râb. Kata tersebut mungkin dibaca jarr, nashab, atau rafa’. Kalau dibaca jarr, maka berarti posisinya adalah sebagai sifat (na’at) dari kata " ﺪﻳز " , kalau dibaca nashab berarti posisinya adalah sebagai subyek (maf’ûl), dan kalau dibaca rafa’, bararti posisisnya sebagai khabar mubtadâ.

Contoh-contoh tersebut di atas menurut penulis cukup untuk memberikan bukti akan pentingnya i’râb untuk membantu dalam memahami makna kalimat degan baik dan benar. I’râb memiliki peran yang cukup besar dalam menjelaskan dan menantukan makna dalam kalimat. Pengabaian i’râb akan mengakibatkan kerancuan, keambiguan, dan hilangnya makna. Padahal keambiguan (al-Ilbâs) bertentangan dengan tujuan utama dari eksistensi dan penggunaan bahasa.

2. Bukti dari Adanya Perbedaan Qira’at al-Qur’an Kemudian berikut ini penulis beberapa contoh dari ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukan hubungan i’râb dengan makna. Sebab membuktikan keterkaitan i’râb dengan makna pada struktur ungkapan yang berasal dari manusia merupakan hal yang mudah, sebab suatu ungkapan bisa dibuat dan dibolak-balik susunannya untuk 2. Bukti dari Adanya Perbedaan Qira’at al-Qur’an Kemudian berikut ini penulis beberapa contoh dari ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukan hubungan i’râb dengan makna. Sebab membuktikan keterkaitan i’râb dengan makna pada struktur ungkapan yang berasal dari manusia merupakan hal yang mudah, sebab suatu ungkapan bisa dibuat dan dibolak-balik susunannya untuk

Di sini juga, penulis berikan beberapa contoh yang akan memperlihatkan fenomena i’râb ini, yaitu pebedaan qira’at pada ayat-ayat al-Qur’an yang mana dari perbedaan qira’at tersebut melahirkan perbedaan pada makna. Sebab tidak dapat dipungkiri adanya hubungan antara qira’at-qira’at al-Qur’an -baik yang syâdz maupun yang masyhûr- dengan i’râb, karena para ahli nahwu generasi pertama yang

mengembangkan ilmu nahwu seperti: Abû ‘Amr ibn ‘Alâ (w 154 H), 90 ‘Îsâ ibn ‘Umar

91 al-Tsaqafî (w 149 H), 92 Yûnus ibn Habîb (w 182 H), dan al-Khalîl (w 170 H), mereka itu adalah para ahli qira’at (al-Qurrâ). Mungkin perhatian mereka terhadap

qira’at ini lah yang mendorong mereka untuk mempelajari nahwu agar dapat mencocokan antara qira’at-qira’at tersebut dengan bahasa Arab. 93

a. Firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat: 196 ( ﷲ ةﺮﻤﻌﻟاو ﺞﺤﻟا اﻮ ) ّﻤﺗأو

90 Namanya adalah Zabbân ibn al-‘Alâ ibn ‘Ammâr, ia selarah seorang dari ahli qira’at sa’ah yang terkenal. Ia mempunyai wawasan imu pengetahuan yang luas dalam bahasa Arab. Ia belajar ilmu

al-Qur’an dari Mujâhid, Sa’îd ibn Jabîr, dan ‘Athâ. Ia adalah guru dari Yûnus, al-Khalîl, Abu Muhammad al-Yazîdî, al-‘Ashma’î, dan Abu ‘Ubaidah Mu’ammar ibn al-Mutsannâ. Lihat, Abû al- Barakât Kamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn al-Anbârî, Nuzhat al-Albâ fî Thabaqât al- Udabâ, Tahqîq: Ibrâhîm al-Sâmirâ’î, (Yordania: Maktabah al-Manâr, 1985), cet. 3, hal. 30-35. Lihat juga, Abû Bakr Muhammad ibn al-Hasan al-Zubaidî al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al- Lughawiyyîn, Tahqîq: Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th), hal. 35-40.

91 Dia adalah ‘Îsâ ibn ‘Umar Abû Sulaimân budak dari Khâlid ibn Walîd, ia merupakan salah satu murid Abû Ishâq yang terpenting dalam bahasa. Ia merupakan salah seorang ahli qira’at pengikut

Ibn Abî Ishâq dalam mencela orang-orang Arab hingga sampai kepada orang-orang Jahiliyyah. Ia orang pertama yang melakukan penyadarhanaan dan penyusunan ilmu nahwu. Ia mempunyai lebih dari 70 karangan tapi kebanyakannya terbakar, di antara karyanya yang terkenal adalah: kitab al-Ikmâl dan al-Jâmi’, tapi kedua kitab ini hilang. Lihat, Abû Bakr Muhammad ibn al-Hasan al-Zubaidî al- Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn, Tahqîq: Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm, hal. 41-45. Lihat juga, Thalâl ‘Alâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabî, hal. 139-140.

92 Dia merupakan salah seorang pembesar ahli nahwu, ia pernah belajar dengan Abû ‘Amr ibn al-‘Alâ. Adapun ulama-ulama yang pernah meriwayatkan darinya adalah: Sibawaihi, Kisâ’î, al-Farrâ.

Ia mempunyai Halaqah di Bashrah yang didatangi oleh para pelajar bahasa . Lihat, Abû al-Barakât Kamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn al-Anbârî, Nuzhat al-Albâ fî Thabaqât al-Udabâ, Tahqîq: Ibrâhîm al-Sâmirâ’î, hal. 47-49. Lihat juga, Abû Bakr Muhammad ibn al-Hasan al-Zubaidî al- Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn, Tahqîq: Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm, hal. 51-53.

93 Lihat, ‘Abd al-‘Âl Sâlim Mukram, al-Qur’ân wa Âtsâruhu fî al-Dirâsah al-Nahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1992), hal. 77.

Para ulama berbeda pendapat tentang bacaan (qira’at) term ( ةﺮﻤﻌﻟاو) pada ayat tersebut. Sebagian mereka membaca ( 94 ةﺮﻤﻌﻟاو) dengan harakat fathah (nashab),

karena mereka berpendapat bahwa huruf waw yang berada sebelum term ( ةﺮﻤﻌﻟا) tersebut posisinya adalah sebagai pertikel konjungsi (w â w al-‘Athaf) sedangkan term ( ةﺮﻤﻌﻟا) tersebut posisinya adalah sebagai konjungsi (‘athaf), maka oleh karena itu mereka berpendapat bahwa hukum umrah sama seperti hukum haji yaitu wajib. Sedangkan kebanyakan ulama (Jumhûr al-‘Ulamâ) membacanya dengan harakat dhommah (rafa’) karena mereka berpandapat bahwa huruf wâw yang berada sebelum term ( ةﺮﻤﻌﻟا) tersebut adalah wâw al-Ibtidâ’ bukan wâw ‘athaf, oleh karena itu menurut mereka hukum umrah adalah sunnat, tidak sama dengan hukum haji. 95

b. Firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat (253): ( ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻀﻌﺑ ﺎﻨﻠﻀﻓ ﻞﺳﺮﻟا ﻚﻠﺗ ﷲا ﻢﻠآ ﻦﻣ ﻢﻬﻨﻣ ﺾﻌﺑ)

Jumhur ulama membaca lafazh al-Jalâlah ( ﷲا) pada ayat tersebut di atas dengan rafa’ yang berarti posisinya adalah sebagai subjek (fâ’il), sedangkan objeknya dibuang (mahdzûf) taqdîrnya adalah ( ﷲا ﻪﻤﻠآ) dhamîrnya kembali kepada isim al- Maushûl, dan maksudnya adalah pembicaraan bersumber dari Allah swt kepada hambanya, ini merupakan suatu darajat yang tinggi yang dimiliki oleh hamba tersebut karena Allah berbicara kepadanya. Kemudian lafazh Jalâlah tersebut ada juga yang

membacanya dengan nashab, 96 yang berarti ia sebagai objek (maf’ûl) yang berarti pembicaraan ditujukan kepadanya dan ini mungkin saja terjadi, tapi tidak berarti

Allah mesti menjawab pembicaraan yang ditujukan kepadanya tersebut, dan darajat ini lebih rendah dari yang pertama.

c. Diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda: ( ﻪﻣأ ةﺎآذ ﻦﻴﻨﺠﻟا ةﺎآذ), Ada terdapan perbedaan di antara para ulama dalam mengi’râb term ( ةﺎآذ) yang kedua, sebagian mengi’râbkannya dengan rafa’, dan sebagian yang lain

94 Bacaan (qira’at) nashab dinisbah kepada ‘Umar, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbâs, dan Ibnu Mas’ûd, Lihat, al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, jilid. 1, hal. 120.

95 Lihat, al-Qurthubî, jilid. 2, hal. 368. Lihat juga, ‘Abd al-Lathîf al-Khathîb, Mu’jam al- Qirâ’ât, (Damaskus: Dâr al-Sa’dân, 2002), cet. 1, jilid. 1, hal. 267.

96 Lihat, ‘Abd al-Lathîf al-Khathîb, Mu’jam al-Qirâ’ât, jilid. 1, hal. 357.

mengi’râbkannya dengan nashab. Dari harakat rafa’ para ahli fikih (al-Fuqahâ) memahami bahwa dengan dengan menyembelih induknya secara otomatis janin yang ada di dalam kandungan induknya ikut disembelih juga, sehingga tidak perlu disembelih lagi, dan janin tersebut boleh dimakan. Pendapat ini mereka simpulkan dari harakat rafa’ pada term ( ةﺎآذ) yang kedua tesebut yang menurut mereka posisinya sebagai khabar dari term ( ةﺎآذ) yang pertama. al-Qurthubî mengomentari hal ini

dengan pernyataannya: ﻦﻴﻨﺠﻟا ةﺎآذ ﻦﻋ ﺔﻴﻨﻐﻣ ىأ ﻞﺤﻟا ﻲﻓ ﻦﻴﻨﺠﻟا ةﺎآذ ﺔﻟﺰﻨﻤﺑ مﻷا ةﺎآذ مﻼﻜﻟا ﻞﺻأ ﻰ ّﻠﻌﻟ (Kemungkinan asal dari kalimat tersebut adalah bahwa penyembelihan induk berkedudukan sebagai penyembelihan janin dari segi kehalalannya, maksud tidak membutuhkan penyembelihan janin lagi kalau induknya sudah disembelih). 97

Sedangkan kelompok kedua, yaitu; Abu Hanifah (80-150 H) dan Hasan ibn Ziyâd berpendapat bahwa janin yang sudah mati hukumnya haram, kecuali apabila dia keluar dalam keadaan hidup kemudian disembelih seperti induknya. Pendapat mereka ini didasari oleh bacaan harakat nashab pada term ( ةﺎآذ) yang kedua tersebut, yang artinya adalah: ﻪﻣأ ةﺎآﺬآ ﻦﻴﻨﺠﻟا ةﺎآذ (penyembelihan janin seperti penyembelihan induknya) maksudnya: ﻪﻣأ ةﺎآذ ﻞﺜﻣ ﺔﻴآﺬﺗ ﻰآﺬﻳ (disembelih seperti penyebelihan induknya). Kemudian huruf jarrnya (huruf kâf) dibuang dan isim setelah dinashabkan. 98

d. Firman Allah swt dalam surah al-Taubah: ( رﺎﺼﻧﻷاو ﻦﻳﺮﺟﺎﻬﻤﻟا ﻦﻣ نﻮﻟوﻷا نﻮﻘﺑﺎﺴﻟاو). Umar membaca kata ( رﺎﺼﻧﻷا) pada ayat tersebut dengan harakat rafa’, sedangkan Zaid ibn Tsâbit (w 45 H) 99 membacanya dengan jarr. Yang menjadi pusat

97 Lihat, al-Malâ ‘Ali al-Qâri, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Tahqîq Shiqî Muhammad Jamîl al-‘Aththâr, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1994), jilid. 7, hal. 691.

98 Lihat, al-Malâ ‘Ali al-Qâri, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Tahqîq Shiqî Muhammad Jamîl al-‘Aththâr, jilid 7, hal. 691-692.

99 Nama lengkapnya adalah Zaid ibn Tsâbit ibn al-Dhahhâk ibn Zaid ibn Lûzân ibn ‘Amr ibn ‘Abd ‘Auf ibn Ghanam ibn Mâlik ibn al-Najjâr ibn Tsa’labah. Ia adalah penulis wahyu, Syeikh para

ahli qira’at, ahli fara’idh, dan mufti Madinah. Untuk lebih menganal tentang sosok Zaid ibn Tsâbit sialhkan lihat, Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân al-Dzahabî, Siyar A’lâm al-Nubalâ, tahqîq: Syu’aib al-Arna’ûth, (Bairut: Mu’assasah al-Risâlah, 1982), cet. 2, jilid. 2, hal. 426. Lihat juga, ‘Abd al-Rahmân Ra’fat al-Bâsyâ, Shuwar min Hayat al-Shahâbah, (Bairut: Dâr al-Nafâ’is, 1992), cet.

1, hal. 354-360 1, hal. 354-360

Menurut Abû Muhammad ‘Abd al-Haq ibn ‘Athiyyah (w. 554 H), bacaan (qira’at) ‘Uman ibn Khaththâb (w 23 H): 100 رﺎﺼﻧﻷاو ﻦﻳﺮﺟﺎﻬﻤﻟا ﻦﻣ نﻮﻟوﻷا نﻮﻘﺑﺎﺴﻟاو) (

dengan merafa’kan huruf râ pada kata ( رﺎﺼﻧﻷا) ‘athaf kepada kata (نﻮﻘﺑﺎﺴﻟا) maka maksudnya kaum Anshar merupankan golongan yang lain yang bukan termasuk dari al-Sâbiqûn al-Awwalun, maka mereka (kaum Anshar) bukan termasuk bagian al- Sâbiqûn al-Awwalun sehingga keutamaan dan prioritas (al-Sabaq wa al-Awwaliyah) disini hanya terbatas bagi orang-orang Muhajirin saja, termasuk Umar.

Adapun qira’at Zaid ibn Tsâbit (w 45 H): ( رﺎﺼﻧﻷاو ﻦﻳﺮﺟﺎﻬﻤﻟا ﻦﻣ نﻮﻟوﻷا نﻮﻘﺑﺎﺴﻟاو نﺎﺴﺣﺈﺑ ﻢهﻮﻌﺒﺗا ﻦﻳﺬﻟاو) dengan menjarrkan lafazh (رﺎﺼﻧﻷا) ‘athaf kepada (ﻦﻳﺮﺟﺎﻬﻤﻟا), sehingga kaum Anshar termasuk dari al-Sâbiqûn al-Awwalun bersama orang-orang Muhajirin.

Dari perbedaan makna yang ditimbul oleh perbedaan bacaan i’râb tesebut di atas, terlihat jelas peranan yang diberikan i’râb dalam menantukan dan memperjelas makna yang dikandung oleh suatu kalimat. Tanpa i’râb, seseorang akan mendapati kesulitan dalam memahami makna kalimat dengan baik dan benar. Bahkan terkadang ada kalimat yang tidak dapat dipahami tanpa mengetahui posisi i’râb dari kata yang ada di dalam kalimat tersebut. Perbedaan dalam memberi harakat i’râb pada kata pada suatu kalimat akan berimplikasi pada perbedaan dalam memahami makna dan maksud kalimat. Oleh karena itu kalau seseorang ingin mengetahui makna kalimat maka ia mesti mengetahui terlibih dahulu posisi tiap-tiap kata yang tersusun dalamnya.

100 Dia adalah Khalifah yang kedua dari Khulafâ al-Râsyidîn dan orang pertama yang bergelar “Amîr al-Mu’minîn”. Ia masuk Islam pada bulan Zulhijjah tahun ke 6 dari dimulainya dakwah Nabi

Muhammad saw, dan umurnya ketika itu 26 tahun. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang Uman ibn al-Khaththâb silahkan baca, Abû al-Faraj ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad ibn Jauzî, Manâqib ‘Umar ibn al-Khaththâb, (Iskandariyyah: Dâr Ibn Kkaldûn, t. th).

Maka karena itu, para ahli nahwu (al-Nuhât) banyak bergantung pada al- Qur’an dalam argumentasi-argumentasi mereka. Sibawaihi (w 180 H) 101 misalnya, ia

memasukkan sekitar 157 bukti (al-Syâhid) yang berasal dari al-Qur’an ke dalam bukunya yaitu “al-Kitâb”, itu berarti mencapai 60% dari keseluruhan bukti-bukti (al-

Syawâhid) yang ia gunakan, yang mencapai 366 bukti (Syâhid). 102 Hal ini menunjukkan besarnya perhatian Sibawaihi (w 180 H) terhadap al-Qur’an, agar ayat-

ayatnya menjadi argument bagi ahli bahasa dan nahwu. Hal serupa juga dilakukan oleh ulama-ulama nahwu yang lain, misalnya Ibnu Hisyâm (w 769 H) dalam kita “Syarh Syudzûr al-Dzahb” mengutip sekitar 359 ayat, 339 bait sya’ir. Sedangkan

Ibnu Mu’thî (w 628 H) 103 dalam kitabnya “al-Fushûl al-Khamsûn” lebih banyak mengutip sya’ir daripada ayat al-Qur’an, yang mana didalamnya mencapai 447 ayat,

dan sya’irnya mencapai 1500 bait. Sejalan dengan ulama-ulama tersebut di atas, al-Farrâ (w 207 H) juga banyak mencurahkan perhatian terhadap al-Qur’an dan qira’at, ini terbukti dengan karangannya kitab “Ma’ânî al-Qur’ân”, yang di dalamnya dia membahas masalah-

101 Nama lengkapnya adalah: ‘Amr ibn ‘Utsmân ibn Qunbur, ia budak dari Banî al-Hârits ibn Ka’ab. Sibawaihi adalah gelarnya yang berasal dari bahasa Persia, artinya adalah bau apel. Ia

merupakan ulama nahwu dan bahasa Arab, ia mempelajarnya dari al-Khalîl kemudian ia menjadi seorang spesialis di bidang ilmu nahwu setelah ia mempelajarinya dari Yûnus ibn Habîb dan Hammâd ibn Salamah. Ia meninggal dunia pada masa Khalifah al-Rasyîd tahun 180 H. Untuk lebih mendalami tentang Sibawaihi silahkan lihat, Abû al-Barakât Kamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn al-Anbârî, Nuzhat al-Albâ fî Thabaqât al-Udabâ, Tahqîq: Ibrâhîm al-Sâmirâ’î, hal. 54-58. Lihat juga, Abû Bakr Muhammad ibn al-Hasan al-Zubaidî al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al- Lughawiyyîn, Tahqîq: Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm, hal. 66-72.

102 Lihat, Mazîd Ismâ’îl Na’îm dan Rûfâ’îl Anîs Marjân, Atsar al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah fî al- Daras al-Nahwî, (Tishreen University Journal for Studies and Research- Art and Humanities Series,

vol. 28, no. 1, 2006), hal. 122. 103 Nama lengkapnya adalah Yahyâ ibn ‘Abd al-Mu’thî ibn ‘Abd al-Nûr Abû al-Husain Zain

al-Dîn al-Zawâwî al-Maghribî, dari kabilah Zawâwah, ia lahir di Magrib. Ia merupakan ulama bahasa Arab dan ahli sya’ir (al-Nâzhim) yang terkenal. Di Magrib dia belajar dengan al-Jazûlî kemudian pergi ke Damaskus dan tinggal di sana untuk belajar dan menulis. Ketika ia menjadi ulama nahwu dan ahli sya’ir, ia diminta oleh al-Malik al-Kâmil al-Ayyûbî untuk pindah ke Mesir, kemudian ia pergi ke Kairo dan menetap disana. Di sini ia mengajar ilmu nahwu dan sastra pada Jâmi’ ‘Amr ibn al-‘Âsh. Ia meninggal dunia di Kairo pada tahun 628 H. Di antara karya-karyanya adalah:Alfiyyah ibn Mu’thî, Syarh Jumal al-Zujâjî, Syarh Abyât Sibawaihi, Manzhûmah fî Qirâ’ât al-Saba’, al-‘Uqûd wa al- Qawânîn, al-Fushûl al-Khamsûn, dan lain-lain. Lihat, ‘Abd al-Karîm Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, hal. 161-162.

masalah yang kurang jelas dan membutuhkan kerja keras dalam memahaminya. 104 Dalam kitabnya ini, al-Farrâ (w 207 H) menggabungkan antara analisis bahasa (al-

Tahlîl al-Lughawî) dan tafsîr al-Atsarî yang meliputi; tafsir, nahwu, sharaf, dan balaghah. al-Farrâ (w 207 H) menyatakan adanya keterkaitan antara i’râb dan makna, contohnya pada firman Allah surah al-Taubah (3): ( لﻮﺳﺮﻟا لﻮﻘﻳ ﻰﺘﺣ اﻮﻟﺰﻟزو). Pada kata ( لﻮﻘﻳ) dalam ayat tersebut menurut dia para ahli qira’at membacanya dengan nashab, kecuali Mujâhid (21-104 H) 105 dan sebagian penduduk Madinah yaitu Nâfi’ (70-169 H), 106 yang membacanya dengan rafa’.

Jadi, pada kata ( لﻮﻘﻳ) tersebut terdapat dua versi i’râb, yaitu nashab dan rafa’. Adapun yang membaca nashab, itu karena fi’il yang sebelumnya yaitu ( اﻮﻟﺰﻟز) menunjukkan pada kata kerja (fi’il) yang mengandung makna berlangsung dan berulang (terus-menerus), apabila ada fi’il yang bermakna demikian, maka fi’il yang berada setelahnya dinashabkan dengan pertikel ( ﻰﺘﺣ) dan ia bermakna lampau. Adapun jika kata kerja (fi’il) yang berada sebelum pertikel ( ﻰﺘﺣ) tersebut tidak mengandung makna berlangsung dan terus-menerus sedangkan ia fi’il mâdhî, maka fi’il yang berada setelah pertikel ( ﻰﺘﺣ) dirafa’kan.

Mengingat akan pentingnya i’râb al-Qur’an, maka banyak ahli nahwu (al- Nuhât) yang menulis tentang kitab i’râb al-Qur’an. ‘Abd al-‘Âl Sâlim Mukram dalam bukunya “al-Qur’ân al-Karîm wa Atsaruh fî al-Dirâsah al-Nahwiyyah” 107

menyatakan bahwa di antara kemukjizatan al-Qur’an adalalah bahwa Allah swt

104 Lihat, Yahyâ ibn Ziyâd al-Farrâ, Ma’ânî al-Qur’an, taqîq: Ahmad Yûsuf Najâtî dan Muhammad ‘Alî al-Najjâr, (Kairo: Dâr al-Kutub, 1955), hal. 11.

105 Nama lengkapnya adalah Mujâhid ibn Jabar al-Makkî, lahir pada tahun 21 H. Ia adalah murid ibn ‘Abbâs dan ia belajar tafsir dengannya. Lihat, Sa’ûd ibn ‘Abd Allah al-Fanîsân, Ikhtilâf al-

Mufassirîn Asbâbuhû wa Âtsâruhu, (Riyadh: Dâr Isybîliyâ, 1997), cet. 1, hal. 106 Nama lengkapnya adalah Nafi’ ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Na’îm Abû Ruwaim al-

Madanî lahir di Madinah pada tahun 70 H. Ia salah seorang Imam qira’at Sab’ah, ia berasal Ashfahân. Ia seorang Qârî yang zuhud dan pemurah, dia sembahyang di masjid Nabawi selama 60 tahun. Ia belajar ilmu qira’at dari ‘Abd al-Rahmân ibn Hurmuz al-A’raj, Abû Ja’far al-Qârî, Syabîh ibn Nushshâh, dan al-Zuhrî. Adapun murid-muridnya adalah: al-Imâm Mâlik ibn Anas, al-Laits ibn Sa’ad, Abû ‘Amr ibn al-‘Alâ, ‘Îsâ ibn Wardân, dan lain-lain. Lihat, Shâbir Hasan Muhammad Abû Sulaimân, al-Nujûm al-Zâhir fî Tarâjim al-Qurrâ al-‘Arba’ah ‘Asyar, (Riyadh: Dâr al-‘Âlam al-Kutub,1998), cet.

1, hal. 8-9. 107 Lihat, ‘Abd al-‘Âl Sâlim Mukram, al-Qur’an wa Atsaruhu fî al-Dirâsah al-Nahwiyyah, hal.

memberikan kemampuan kepada para ulama untuk menggali berbagai aspek ilmu pengetahuan dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Di antara aspek-aspek yang banyak menarik perhatian para ulama adalah masalah i’râb, ini karena adanaya keterkaitan antara i’râb tersebut dengan makna. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan

beliau: ﺔﻏﺎﻴﺼﻟا ﻦﺴﺣو ﺐﻴآﺮﺘﻟا لﺎﻤﺟ ﻰﻟإ ﺊﻣﻮﻳو ﺔﻏﻼﺒﻟا ﻰﻟإ ﺮﻴﺸﻳو ضﺮﻐﻟا ﻦﻴﺒﻳو ﻰﻨﻌﻤﻟا ﺢﺿﻮﻳ باﺮﻋﻹا ﻪﻠﺟأ ﻦﻣ اﻮﻔﻟأ , ﻞﻏﺎﺸﻟا ءﺎﻤﻠﻌﻟا ﻞﻐﺷ نﺎآ ناﺮﻘﻟا ﻲﻓ باﺮﻋﻹاو . ﻢﻳﺮﻜﻟا ناﺮﻘﻟا ﻲﻓ زﺎﺠﻋﻹا ﻦﻃاﻮﻣ ﺎﻬﻠآ ﻩﺬهو . تﺎﻔﻟﺆﻤﻟا ﻦﻣ ﺪﻳﺪﻌﻟاو ﺐﺘﻜﻟا ﻦﻣ ﺮﻴﺜﻜﻟا (I’râb berfungsi untuk menjelaskan dan menerangkan makna dan tujuan, menunjukkan pada kefasihan dan keindahan dalam membentuk struktur kalimat, yang kesemuanya itu menunjukkan kemukjizatan dalam al-Qur’an. I’râb dalam al-Qur’an telah menjadi pusat perhatian para ulama, oleh karena itulah mereka menulis dan mengarang banyak buku dan tulisan-tulisan). Jadi, karena dorongan untuk mengetahui makna dari i’râb al-Qur’an itulah yang membangkitkan motivasi para ulama dalam menulis kitab-kitab i’râb al-Qur’an.

Di antara ulama-ulama generasi pertama yang menulis menulis kitab i’râb al- Qur’an tesebut adalah: Quthrub Abû ‘Alî ibn Mustanîr (w 206 H), Abû Marwân ‘Abd Allah ibn Habîb al-Qurthubî (w 239 H), Hâtim Sahl ibn Muhammad al-Sajastânî (w 248 H), Abû al-‘Abbâs Muhammad ibnYazîd al-Mubarrad (w 286 H), Abû al-‘Abbâs Ahmad ibnYahyâ Tsa’lab (w 291 H), Abû al-Barakât al-Anbârî (w 328 H), Abû Ja’far ibn al-Nuhâs (w 338 H), Abû ‘Abd Allah ibn Khâlawaih (w 370 H), Makkî ibn Abî Thâlib al-Qaisî (w 437 H), Abu Zakariyâ al-Tabrîzî (w 502 H), Abû al-Qâsim Ismâ’îl ibn Muhammad al-Ashfahânî (w 535 H), Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ibrâhîm al- Hûfî (w 562 H), Abû al-Baqâ al-‘Ukbarî (w 616 H), Muntajib al-Dîn al-Hamdzânî (w 643 H), dan Abû Ishâq al-Fâqî (w 742). Dan masih banyak lagi ulama-ulama yang menulis tentang i’râb dan makna al-Qur’an tersebut yang tidak dapat penulis sebutkan disini satu persatu.

Dari banyaknya jumlah ulama yang menulis tentang i’râb tersebut, ini menunjukan bukti kuat akan pentingnya posisi i’râb. Kemudian untuk lebih mempertegas akan kontribusi yang diberikan i’râb dalam menantukan makna, berikut Dari banyaknya jumlah ulama yang menulis tentang i’râb tersebut, ini menunjukan bukti kuat akan pentingnya posisi i’râb. Kemudian untuk lebih mempertegas akan kontribusi yang diberikan i’râb dalam menantukan makna, berikut

3. Bukti dari Kesaksian dan Komentar Para Linguis Arab Masalah hubungan i’râb dengan perubahan makna mendapat perhatian yang begitu besar dari para linguis klasik maupun kontemporer. Mereka selalu memasukkan masalah i’râb ini dalam karya-karya mereka (kususnya ketika meraka bebicara tentang bahasa Arab dan ilmu nahwu), ini menunjukan besarnya fungsi dan kedudukan i’râb dalam bahasa Arab. Kalau hal tersebut tidak penting atau tidak berguna, menurut penulis tidak mungkin ulama-ulama tersebut mau membuang waktu, tenaga dan pikiran mereka untuk membahas sesuatu yang tidak berguna dan memberi manfaat.

Berikut ini akan penulis berikan kutipan tentang komentar-komentar dari beberapa linguis klasik dan kontemporer yang menegaskan akan pentingnya kontribusi yang dimainkan oleh i’râb dalam memberikan kejelasan makna.

a. Komentar dari Linguis-Linguis Klasik:

1) Ibn Qutaibah (w 276. H) 108 Ibn Qutaibah mengatakan: ﻲﻓ ﺎﻗرﺎﻓو ﺎﻬﻣﺎﻈﻨﻟ ﺔﻴﻠﺣو ﺎﻬﻣﻼﻜﻟ ﺎﻴﺷو ﷲا ﻪﻠﻌﺟ يﺬﻟا باﺮﻋﻹا ﺎﻬﻟو ﺎﻤه ﻻﺎﺣ توﺎﺴﺗ اذإ ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ قﺮﻔﻳﻻ , لﻮﻌﻔﻤﻟاو ﻞﻋﺎﻔﻟﺎآ ﻦﻴﻔﻠﺘﺨﻤﻟا ﻦﻴﻴﻨﻌﻤﻟاو ﻦﻴﺌﻓﺎﻜﺘﻤﻟا ﻦﻴﻣﻼﻜﻟا ﻦﻴﺑ لاﻮﺣﻷا ﺾﻌﺑ باﺮﻋﻹﺎﺑ ﻻإ ﺎﻤﻬﻨﻣ ﺪﺣاو ﻞﻜﻟ نﻮﻜﻳ نأ ﻞﻌﻔﻟا نﺎﻜﻣإ ﻲﻓ 109

(orang Arab mempunyai i’râb yang Allah jadikan sebagai hiasan untuk percakapan mereka,hiasan untuk struktur bahasa mereka, dan pembeda dalam kondisi tertentu antara dua kalimat yang serupa (sama), dan dua makna yang berbeda seperti subjek (fâ’il) dan objek (maf’ûl) yang keduanya

108 Dia adalah Abû Muhammad ‘Abd Allah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dainûrî, ia lahir di Kufah. Dia pernah belajar dengan al-Zayyâdî, Abu Khâtim al-Sajastânî, dan lain-lain. sedangkan

ulama yang pernah belajar dengannya adalah ibn Darastawaih. Dia mempunyai karya-karya yang besar dari bebagai bidang ilmu pengetahuan, di antaranya adalah: Jâmi’ al-Nahwi al-Kabîr, Jâmi’ al-Nahwi al-Shaghîr, I’râb al-Qur’ân, Gharîb al-Qur’ân, Gharîb al-Hadîts, Musykil al-Hadits, Musykil al- Qur’ân, ‘Uyûn al-Akhbar, al-Syi’ir wa al-Syu’arâ, al-Masâ’il wa al-Jawâbât. Lihat, ‘Abd al-Karîm Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, hal. 117-118.

109 Lihat, Ibn Qutaibah al-Dainûrî, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, Tahqîq: Ibrâhîm Syams al-Dân, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), jilid. 1, hal. 18.

itu tidak bisa dibedakan apabila keadaan keduanya sama dalam kemungkinan suatu kata kerja (fi’il) untuk menjadi milik tiap-tiap keduanya kecuali apabila ada i’râb). Kemudian untuk membuktikan adanya hubungan i’râb dengan perubahan makna, beliau menyebutkan sebuah Hadits Rasul saw yang berbunyi: ( ﺪﻌﺑ اﺮﺒﺻ ﻲﺷﺮﻗ ﻞﺘﻘﻳ ﻻ مﻮﻴﻟا). 110 Menurut dia, siapa yang meriwayatkan hadits tersebut dengan jazm

(menjazmkan fi’il), maka secara implisit hadits tersebut menetapkan bahwa orang Quraisy tidak dibunuh walaupun ia murtad, dan tidak diqishash walaupun dia membunuh, kemudian kalau di baca dengan rafa’, maka maknanya berubah menjadi kalimat berita yang menyatakan bahwa orang-orang Quraisy tidak ada yang murtad seseorang di antara mereka sehingga ia berhak untuk dibunuh.

2) 111 Abû Hayyân al-Tauhîdî (310-414 H) Abû Hayyân al-Tauhîdî mengatakan: ﻦﻴﺑ ﺰﻴﻴﻤﺘﻟا نإو , ﺔﻴﻠﺤﻟﺎآ ﻮﺤﻨﻟاو , ﻢﺴﺠﻟﺎآ مﻼﻜﻟا نإ

ﻩﻮﺟو ﺪﺣﺄﺑ ﺔﻤﻠﻜﻟا ﺔآﺮﺣ ﻰﻟإ ﻪﺘﺟﺎﺣ نإو , ﻪﻴﻓ ﺔﻟﺎﺤﻟا ضاﺮﻏﻷاو , ﺔﻤﺋﺎﻘﻟا ﻰﻠﺤﻟﺎﺑ ﻊﻘﻳ ﺎﻤﻧإ ﻢﺴﺠﻟاو ﻢﺴﺠﻟا بﺎﻄﺨﻟا ﺲﻔﻧ ﻰﻟإ ﻪﺘﺟﺎﺤآ باﻮﺼﻟا ﻦﻣ ﺰﻴﻤﺘﻳ ﻰﺘﺣ باﺮﻋﻹا (sesungguhnya kalimat itu seumpama

110 Lihat, Shahîh Muslim, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), bab jihad, hadits 88, hal. 710. ,imam Ahmad , Musnad jilid. 3, hal 412/ jilid. 4, 213

111 Nama lengkapnya adalah ‘Alî ibn Muhammad ibn al-‘Abbâs lahir di Bagdad pada tahun 310 H dan wafat pada tahun 414 H di Syairâj. Ia merupakan sastrawan dan pemikir termasyhur pada

abad ke empat Hijriyah. Yâqût al-Hamawî menyebutnya sebagai seorang Filosof sastra dan Sastrawan filsafat, walaupun demikian ia tidak banyak mendapat perhatian dari para Sejarawan yang semasa dengannya. Semanjak kecil ia hidup dalam kesusahan karena keluarga miskin dan berprofesi sebagai penjual kurma yang dinamakan kurma “al-Tauhid”, dan dari sini lah ia mendapat gelar. Di Bagdad ia menimba ilmu dari ulama-ulama terkenal, di antaranya: 1. Abû Sa’îd al-Sairâfî, darinya dia belajar nahwu dan tasawuf, 2. ‘Alî ibn ‘Îsâ al-Rummânî, darinya ia belajar bahasa dan ilmu kalam, 3. Abû Zakariyâ Yahyâ ibn ‘Adî al-Manthiqî, darinya ia belajar filsafat. Walaupun al-Tauhîdî berusaha keras untuk memperbaiki keadaan hidupnya dengan mendekati para pembesar Negara pada saat itu, namun usahanya selalu gagal sehingga dia selalu merasa susah, sedih, dan pasimis. Kalau boleh dibilang kehidupanya merupakan episode-episode kegagalan yang pada akhirnya dia menyerah pada keputus asaan dan telempar di pangkuan tasawuf karena lari dari keadaan hidupnya yang pahit. Pembakaran buku-bukunya pada masa akhir hidupnya merupakan bukti ketidak berdayaannya menghadapi keadaan hidupnya. Namun walaupun dia membakar buku-bukunya yang merupakan lambang protes terhadap masyarakatnya, dia masih menyisakan sebagian hasil karyanya, di antaranya adalah: al-Imtâ’ wa al-Mu’ânasah, al-Shadâqah wa al-Shadîq, Matsâlib al-Wazîr, al-Hawâmil wa al-Syamâwil, al- Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, dan al-Isyârât al-Ilahiyyah. Kesemua karyanya tersebut sudah ditahqiq dan dicetak Lihat, Yâqût al-Hamawî al-Rûmî, Mu’jam al-Udabâ, tahqîq ‘Abbâs Hasan, (Bairut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 1993), cet. 1, jilid. 5, hal. 1923-1946.. Lihat, http://www.mosoa.aljayyash.net, diakses tanggal 11 – 07 – 2009.

badan, dan ilmu nahwu seumpama perhiasan, dan sesungguhnya pembeda antara satu badan dengan badan yang lain terletak pada pada perhiasan yang ada padanya, sedangkan maksud (makna) adalah keadaan yang ada padanya, dan kebutuhan kalimat pada harakat kata dengan salah satu aspek-aspek i’râb -sehingga dapat dibedakan antara yang benar dan salah- seperti kebutuhannya kepada perkataan itu sendiri). Kemudian ia memberikan contoh untuk memperkuat perkataannya tersebut: firman Allah swt ( نﻮﻨﻠﻌﻳ ﺎﻣو نوﺮﺴﻳ ﺎﻣ ﻢﻠﻌﻧ ﺎﻧإ ﻢﻬﻟﻮﻗ ﻚﻧﺰﺤﻳ ﻼﻓ), menurut dia kata (ﻢﻠﻌﻧ ﺎﻧإ) pada ayat tersebut sebagai pemisah, kalau tidak berhenti (waqaf) pada kata tersebut waktu membaca bisa membawa kepada kekufuran, kemudian juga firman Allah swt: ( ﻪﻟﻮﺳرو ﻦﻴآﺮ ﺸﻤﻟا ﻦﻣ ئﺮﺑ ﷲا نأ ), dalam membaca ayat tersebut menurut dia orang berada antara salah dan benar, dan kesalahan dalam membacanya mengakibatkan

kekufuran. 112 Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa Allah dan RasulNya bebas atau

berlepas tangan dari orang-orang yang musyrik. Ini dapat dipahami dari harakat dhommah pada term ( ﻪﻟﻮﺳرو) yang mana posisinya adalah sebagai mubtada’ sedangkan khabarnya dibuang (mahdzûf) yang maksudnya adalah: ﻢﻬﻨﻣ ءيﺮﺑ ﻪﻟﻮﺳرو (dan rasulnya juga berlepas dari mereka). 113 Sedangkan kalau term ( ﻪﻟﻮﺳ ) dibaca رو dengan harakat kasrah dengan mengathafkannya kepada term ( ﻦﻴآﺮﺸﻤﻟا), maka artinya akan berubah yaitu: (Allah berlepas dari orang-orang musyrikan dan RasulNya).

Berdasarkan penjelasan Abû Hayyân tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa i’râb merupakan alat atau media pengaman ketika terjadi kesamaran atau ketidak jelasan suatu masalah, atau keruwetan dan kerumitan yang disebabkan oleh terjdinya perubahan atau pergantian yang tidak di ketahui pada posisi kata-kata.

Di sini terlihat kesamaan pandangan antara Ibn Qutaibah (w 276. H) dan Abû Hayyân (w 414. H) akan pentingnya peran yang dimainkan oleh i’râb dalam

112 Lihat, Abû Hayyân al-Tauhîdî, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Tahqîq: Widâd al-Qâdhî, (Bairut: Dâr Shâdir, t.th), cet. 1, hal.

113 Lihat, Muhyî al-Dîn al-Darwîsy, I’râb al-Qur’an al-Karîm wa Bayânuh, (Bairut: Dâr ibn Katsîr, 1999), cet. 7, jilid. 3, hal. 177. Lihat juga, al-Samîn al-Halabî, al-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-

Kitâb al-Maknûn, Tahqîq Ahmad Muhammad al-Kharrâth, (Damaskus: Dâr al-Qalam, t.th), jilid 6, hal. 8.

memberikan kejelasan makna yang dikandung oleh suatu kalimat, khususnya dalam menantukan posisinya sebagai subyek (fâ’il) atau sebagai obyek (maf’ûl). Namun Ibn Qutaibah juga menambahkan bahwa i’râb merupakan kerunia yang diberikan oleh Allah kepada orang Arab, sebab dengan adanya i’râb tersebut, perkataan mereka akan terdengar lebih indah dan enak untuk didengar. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan dari adanya i’râb sebagaimana yang telah penulis bahas pada bab dua.

3) Ibn Fâris (w 395. H) Abû al-Hasan Ahmad ibn Fâris mengatakan: 114 ﺎﻬﺑ ﺖﺼﺘﺧا ﻲﺘﻟا ﺔﻠﻴﻠﺠﻟا مﻮﻠﻌﻟا ﻦﻣ

ﻮﻟو . مﻼﻜﻟا ﻞﺻأ ﻮه يﺬﻟا ﺮﺒﺨﻟا فﺮﻌﻳ ﻪﺑو , ﻆﻔﻠﻟا ﻲﻓ ﺔﺌﻓﺎﻜﺘﻤﻟا ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا ﻦﻴﺑ قرﺎﻔﻟا ﻮه يﺬﻟا باﺮﻋﻹا بﺮﻌﻟا ﻦﻣ ﺖﻌﻧ ﻻو رﺪﺼﻣ ﻦﻣ رﺪﺻ ﻻو مﺎﻬﻔﺘﺳا ﻦﻣ ﺐﺠﻌﺗ ﻻو تﻮﻌﻨﻤﻟا ﻦﻣ فﺎﻀﻣ ﻻو لﻮﻌﻔﻤﻟا ﻦﻣ ﻞﻋﺎﻓ ﺰﻴﻣ ﺎﻣ ﻩﻻ ﺪﻴآﻮﺗ (I’râb merupakan salah satu ilmu yang mulia yang dimiliki oleh orang Arab, ia merupakan pembeda antara makna-makna yang sama lafazhnya, dan dengan dapat diketahui predikat (al-Khabar) yang merupakan asal kalimat. Tanpa i’râb, tidak dapat dibedakan antara subjek (fâ’il) dan objek (maf’ûl), antara mudhâf dan man’ût, antara ta’jjub dan istifham, antara shadr dan mashdar, dan antara na’at dan taukîd).

Kemudian dia memberikan beberapa contoh kalimat untuk membuktikan bahwa i’râb mempunyai andil yang cukup besar untuk menantukan posisi kata dalam struktur kalimat sehingga makna kalimat tersebut akan menjadi jelas dan dapat

dipahami dengan baik. Di antara contoh-contoh tersebut adalah: " ﺖﻳأر ﻼﺟر ﻢآ " dan " ﺖﻳأر ٍﻞﺟر ﻢآ " dengan melihat harakat kata ( ﻞﺟر) pada kedua kalimat tersebut, maka makna keduanya dapat dibedakan, kalimat yang pertama adalah kalimat tanya,

sedangkan kalimat yang kedua adalah kalimat berita. 115 Kemudian kalau dikatakan: ﷲا ِﺖﻴﺑ ُجاﻮﺣ ﻦه dan ﷲا َﺖﻴﺑ ٌجاﻮﺣ ﻦه , kalimat yang pertama, dengan mengidhâfahkan

kata " " ّجاﻮﺣ kepada kata " ﺖﻴﺑ " maka kalimat tersebut maksudnya adalah bahwa meraka tela melaksanakan ibadah haji, sedangkan kalimat yang kedua, dengan memberikan harakat dhommah dan tanwîn pada kata " ّجاﻮﺣ " , dan menashabkan kata

114 Lihat, Abû Hasan Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ al-Râzî, al-Shâhibî fî Fiqh al-Lughah wa Sunan al-‘Arab fî Kalâmihâ, (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1910) , hal. 61-62.

115 Pertikel ( ﻢآ) pada kalimat pertama dinamakan “kam al-Istihâmiyyah” tamyîznya manshub, sedangkan pertikel ( ﻢآ) pada kalimat kedua dinamakan “kam khabariyyah” tamyîznya majrûr.

" ﺖﻴﺑ " , maka kalimat tersebut maksudnya adalah bahwa mereka akan melaksanakan ibabadah haji.

4) Abû Sa’îd al-Sîrâfî (w 368. H) 116 Ketika dia menjelaskan perkataan Sibawaihi: فﻼﺘﺧﻻ ﻦﻴﻈﻔﻠﻟا فﻼﺘﺧا ﻢﻬﻣﻼآ ﻦﻣ نإ

ﻦﻴﻴﻨﻌﻤﻟا (sesungguhnya ciri atau karakteristik kata-kata orang Arab adalah perbedaan dua lafazh karena adanya perbedaan makna), al-Sîrâfî mengatakan: ﻆﻔﻠﻟﺎﺑ دارأ نﺎآ نإ

ُﻦﺴﺣأ ﺎﻣو , ﻦﺴﺤﻳ ﻢﻟ ﻪﻧأ تدرأ اذإ - ٌﺪﻳز َﻦﺴﺣأ ﺎﻣو , ﺐﺠﻌﺘﻟا تدرأ اذإ – اﺪﻳز َﻦﺴﺣأ ﺎﻣ : ﻚﻟﻮﻗ ﻮﻬﻓ ﺔآﺮﺤﻟا ﺔآﺮﺣ ﺖﻔﻠﺘﺧا – اﺮﻤﻋ ﺪﻳز بﺮﺿ ﻚﻟ ﺬآو . ﻩﺪﺧ مأ ﻪﻬﺟو مأ ﻪﻔﻧأ مأ ﻪﻨﻴﻋأ , ﻦﺴﺣأ ﻪﻨﻣ ﺊﻴﺷ يأ ﺖﻤﻔﻬﺘﺳا اذإ – ٍﺪﻳز . ﻻﻮﻌﻔﻣ ﺮﺧﻻاو ﻼﻋﺎﻓ ﺎﻤهﺪﺣأ نﺎآ ذإ , ﻦﻴﻴﻨﻌﻤﻟا فﻼﺘﺧﻻ وﺮﻤﻋ ﺔآﺮﺣو ﺪﻳز (dan jika yang dia (Sibawaihi) maksud dengan lafazh adalah harakat, maka contohnya adalah perkataan kamu: اﺪﻳز َﻦﺴﺣأ ﺎﻣ – jika yang kamu maksud untuk menyatakan kekaguman (al-Ta’ajjub), dan perkataan kamu: ٌﺪﻳز َﻦﺴﺣأ ﺎﻣو – jika yang kamu maksud bahwa dia (Zaid) tidak melakukan kebaikan, dan perkataan kamu: ٍﺪﻳز ُﻦﺴﺣأ ﺎﻣو – jika kamu maksud untuk bertanya apa yang bagus pada dirinya, apakah matanya? Hidungnya? Wajahnya? Atau pipinya. Dan demikian juga dengan kalimat: اﺮﻤﻋ ﺪﻳز بﺮﺿ , harakat kata ( ﺪﻳز) dan (وﺮﻤﻋ) berbeda karena perbedaan makna kedua kata tersebut, yang mana salah satunya adalah subjek dan yang satunya lagi objek)

5) ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî (w 471. H) 117 Dalam bukunya Dalâ’il al-I’jâz, al-Jurjânî mengatakan dengan tegas

mengatakan bahwa i’râb merupakan kunci untuk memahami makna kata,

116 Nama lengkapnya adalah Abû Sa’îd al-Hasan ibn ‘Abd Allah ibn al-Marzubân, ia lahir di kota Sîrâf Persia. Dia belajar dari ibn al-Sarrâj, Mubramân, ibn Duraid, dan lain-lain. Ia menguasai

ilmu qira’at, nahwu, bahasa, fiqh, fara’id, kalam, sya’ir, arudh, dan Qawâfî. Dia meninggal dunia di Bagdad pada masa Khalifah al-Thâ’i ibn al-Muthî’ pada tahun 368 H. Di antara karya-karyanya adalah Syarh Kitâb Sibawaihi, Alifât al-Washal wa al-Qatha’, Akhbâr al-Nawiyyîn, al-Waqaf wa al-Ibtidâ’, al-Iqnâ’ fî al-Nahwi, Shun’ah al-Syi’ir wa al-Balaghah, Syarh Maqshûrah ibn Duraid. Lihat, Muhammad ibn Ishâq al-Nadîm, al-Fihrasat, Tahqîq Ridhâ Tajaddad, (t. th.) hal. 68. Lihat juga, ‘Alî ibn Yûsuf al-Qafthî, Inbâh al-Ruwwât ‘alâ Anbâ al-Nuhât, Tahqîq Muhammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, (Mesir: Mathba’ah Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1950), jilid, hal. 313. Lihat juga, ‘Abd al-Karîm Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, hal. 125.

117 Nama lengkapnya adalah Abû Bakr ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad al-Jurjânî, di antara karya-karyanya adalah: al-Îdhâh fî al-Nahwi, al-Jumal, I’jâz al-Qur’ân, al-Risâlah al-Syâfiyah fî al-

I’jâz, Dalâ’il al-I’jâz, Asrâr al-Balâghah, I’jâz, Dalâ’il al-I’jâz, Asrâr al-Balâghah,

ﻻإ ﻚﻟذ ﺮﻜﻨﻳ ﻻو , ﻪﻴﻟإ ﻊﺟﺮُﻳ ﻰﺘﺣ ﻢﻴﻘﺳ ﻦﻣ ﺢﻴﺤﺻ فﺮﻌُﻳ ﻻ يﺬﻟا سﺎﻴﻘﻤﻟاو , ﻪﻴﻠﻋ ضﺮﻌُﻳ ﻰﺘﺣ ﻪﻧﺎﺤﺟرو مﻼآ . ﻪﺴﻔﻧ ﻖﺋﺎﻘﺤﻟا ﻲﻓ ﻲﻓ ﻂﻟﺎﻏ ﻦﻣ ﻻإو ﻪﺴﺣ ﺮﻜﻨُﻳ ﻦﻣ ( sebagai mana telah diketahui bahwa lafazh- lafazh tetap terkunci pada makna-maknanya sampai i’râb yang akan membukakannya, dan maksud-maksud temsembunyi di dalam lafazh-lafazh tersebut sehingga i’râb yang mengeluarkannya, sesungguhnya i’râb adalah standard yang mana kekurangan dan kelebihan perkataan tidak bisa dijelaskan hingga ditimbang dengannya, i’râb juga merupakan ukuran yang mana kata-kata yang baik dan buruk tidak dapat diketahui hingga diukur dengannya, tidak lah memungkiri hal tersebut kecuali orang yang memungkiri perasaannya dan orang yang memutar-balikan kenyataan).

Dari pernyataannya tersebut, al-Jurjânî ingin menegaskan bahwa kalimat diibaratkan dengan sebuah rumah, yang mana apabila seseorang yang ingin masuk kerumah tersebut maka ia memerlukan kunci untuk bisa masuk ke dalamnya. Begitu juga dengan kalimat, apabila seseorang ingin memahaminya dengan baik dan benar maka ia memerlukan i’râb sebagai kunci untuk memahaminya. Namun perlu diketahui bahwa i’râb bukan lah satu -satunya kunci untuk memahami makna suatu kalimat.

b. Komentar dari Linguis-Linguis Kontemporer

1) Mahmud al-‘Aqqâd (1889-1964 M) Dia melihat bahwa i’râb merupakan media untuk memudahkan dalam memahami suatu kalimat sebagaimana yang beliau katakana: ﻦﻣ ﻢﻬﻔﻟا ﻲﻓ ﺮﺴﻳأ باﺮﻋﻹا لﻮﻗ ﻼﺜﻣ ﻚﻟﺬﻟ ﺬﺧو تﺎآﺮﺤﻟا ﻲﻓ ﺔﻬﺑﺎﺸﺘﻤﻟا تﺎﻤﻠﻜﻠﻟ ﺎﻓﻼﺧ ﺔﻤﻠﻜﻟا ﻰﻨﻌﻣ ﻰﻠﻋ لﺪﺗ ﻪﻴﻓ ﺔآﺮﺤﻟا نﻷ باﺮﻋﻹا لﺎﻤهإ ﺮﺴﻳأ ﺎﻤﻬﻳﺄﻓ , ثﺮﺘﻜﻣ ﺮﻴﻏ ﺎﻨﻴﺣو , ﺎﻨﻴﺣ ﺎﺛﺮﺘﻜﻣ ﺎﻤﻬﻴﻟإ ﻲﻐﺼﻳ ﻲﻠﻋو , ادﻮﻤﺤﻣو اﺪﻤﺤﻣ ﻢﻠﻜﻳ ﻦﺴﺣ نﺎآ : لﻮﻘﻳ ﻦﻣ , ﺎهرﺎﺘﺨﺗ ﺮﻌﺸﻟاو ﺮﺜﻨﻟا ﻦﻣ ﺔﻌﻄﻗ يأ ﻚﻟذ ﻰﻠﻋ ﺲﻗ , باﺮﻋﻹا تﺎآﺮﺣ ﺮﻴﻐﺑ ﺐﺘﻜﺗ نأ مأ اﺬﻜه ﺐﺘﻜﺗ نأ ﺎﻬﻤﻬﻓ ﻲﻓ ﻦﻴﺘﻟﺎﺤﻟا ﻲﻓ ﻢﻬﻔﻟا ﺔﻟﻮﻬﺷ ﻦﻴﺑ ﻞﺑﺎﻘﺗ ﻢﺛ , ﺎﻬﺑاﺮﻋإ ﺮﻴﻐﺑ وأ ﺎﻬﺑاﺮﻋﺈﺑ ﺎﻬﺒﺘﻜﺗو

(I’râb lebih memberikan

118 Lihat, ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz, Tahqîq: Muhammad Rasyîd Ridho, (Bairut: Dâr al-Ma’rifah, 1978), hal. 75.

kemudahan dari pada mengabaikannya karena harakat pada i’râb tersebut merupakan penunjuk makna suatu kata, berbeda dengan kata-kata yang mempunyai kemiripan pada harakat-harakatnya. Coba ambil contoh perkataan seseorang: نﺎآ

ثﺮﺘﻜﻣ ﺮﻴﻏ ﺎﻨﻴﺣو , ﺎﻨﻴﺣ ﺎﺛﺮﺘﻜﻣ ﺎﻤﻬﻴﻟإ ﻲﻐﺼﻳ ﻲﻠﻋو , ادﻮﻤﺤﻣو اﺪﻤﺤﻣ ﻢﻠﻜﻳ ﻦﺴﺣ , mana yang lebih mudah untuk dipahami? Apakah yang ditulis seperti ini atau yang ditulis tanpa harakat i’râb? coba anda bendingkan hal tersebut dengan memilih sepotong prosa atau puisi kemudian kamu tulis yang satu pakai i’râb dan yang satu lagi tidak, kemudian silahkan bandingkan mana yang lebih mudah dipahami antara keduanya?).

2) Muhammad Khâqânî Dalam sebuah makalah “al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah fî Khadhamm al-

Tathawwurât al-Mutanawwi’ah” 119 , Muhammad Khâqânî mengomanteri pro-kontra tentang i’râb. Menurut beliau orang yang mengajak untuk meninggalkan i’râb

dengan argumentasi bahwa kita sekarang hidup di masa yang serba cepat, maka seharusnya pembicaraan kita tidak diperberat dengan adanaya i’râb. Menurut beliau argumentasi ini tidak logis dan tidak cukup sebagai alasan untuk menghapus dan meniadakan i’râb sebagai bagian dari ilmu-ilmu bahasa Arab. Penghilangan harakat

i’râb dengan maksud mempermudah dan mempercepat terkadang sebalik mempersulit dan memperlambat. Misalnya ada orang mengatakan kepada seorang Hakim: ( ﺪﻤﺤﻣ يﺪﻨﺠﻟا ﻞﺘﻗ) dengan menyukunkan atau tidak memberikan harakat pada kata-kata dalam tersebut, maka si Hakim tersebut memerlukan waktu yang lama untuk mengetahui siapa yang menjadi subyek (fâ’il) dan siapa yang menjadi obyek

(maf’ûl) dalam kalimat tersebut, apakah " ّيﺪﻨﺠﻟا " atau " ﺪﻤﺤﻣ " , sebab kalimat tersebut mengandung banyak kemungkinan, mungkin saja si pembunuh (subyek) tersebut adalah ( يﺪﻨﺠﻟا) kalau dikatakan: ( ا ًﺪﻤﺤﻣ ّيﺪﻨﺠﻟا ﻞﺘﻗ ) , yang berarti seorang tentara membunuh Muhammad, dan mungkin juga si pembunuh tersebut adalah Muhammad kalau dikatan: ( ﺪﻤﺤﻣ يﺪﻨﺠﻟا ﻞﺘﻗ ), yang artinya seorang tentara dibunuh oleh

119 Lihat, Muhammad Khâqânî, Majallah al-‘Ulûm al-Insâniyyah, tahun. 2006, edisi. 13, hal. 20.

Muhammad, kemudian mungkin juga kalimat tersebut hanya mengandung nama dan profesi orang yang dibunuh bila dikatakan: ( ﺪﻤﺤﻣ ﱡيﺪﻨﺠﻟا َﻞ ُﻗِﺘ ), yang artinya seorang tentara yang dibunuh adalah Muhammad. Maksud semula dengan menghilangkan i’râb untuk mempermudah dan mempercepat, tapi yang terjadi malah sebaliknya, yaitu mempersulit dan memperlambat. Jadi tidak benar dengan menghilangkan i’râb akan mempermudah memahami makna dan maksud dari suatu kalimat. Bahkan kadang-kadang yang terjadi adalah yang sebaliknya, sebagaimana dalam kasus memahami kalimat tersebut di atas.

3) Mâzin Mubârak Mungkin pandangan Mâzin Mubârak ini merupakan kesaksian yang terbaik dari para linguis Arab kontemporer yang mengomentari tentang i’râb. Menurut dia bahasa Arab menjadi istimewa dengan harakat i’râb yang dimilikinya, yang mana ia merupakan bentuk dari peringkasan (al-Îjâz). I’râb memberikan makna baru selain makna kata yang asli, yaitu makna sintaksis, seperti subyek (fâ’iliyyah), obyek (maf’ûliyyah), dan lain-lain. Menurut dia, fungsi i’râb dalam bahasa Arab bukan hanya sebagai pelangkap, ia juga tidak dimasukan kedalam struktur kalimat dengan cara sarampangan atau tanpa tujuan dan maksud tertentu, tetapi ia sebenarnya untuk melaksanakan fungsi dasar (al-Wazhîfah al-Asâsiyyah) dalam bahasa Arab. Fungsi tersebut adalah untuk kejelasan makna kalimat. Dengan I’râb dapat diketahui hubungan antara satu kata dengan kata lainnya dalam suatu kalimat. Ini artinya, i’râb merupakan bahasa yang ditambahkan kepada bahasa yang pertama (kata), sehingga

bahasa Arab mempunyai kekayaan bahasa yang sangat banyak. 120 Dari contoh-contoh yang disebutkan di atas, baik yang berasal dari literatur

bahasa Arab, Hadits, ayat-ayat al-Qur’an, dan kesaksian dari para linguis Arab merupakan bukti yang tak dapat dibantah yang menunjukan adanya hubungan antara i’râb dan perubahan makna. Namun yang menjadi pertanyaan adalah; apakah semua

120 Lihat, Mâzin Mubârak, Nahwu Wa’yin Lughawiyyin, hal. 51-52.

kata yang berubah i’râbnya akan berimplikasi pada perubahan makna kata tersebut. Untuk menngetahui hal tersebut akan penulis bahas pada bab berikutnya.

Berdasarkan pada pembahasan pada bab tiga ini, dapat diambil kesimpulan bahwa i’râb yang merupakan salah satu dari unsur dari unsur-unsur penunjuk makna dalam bahasa Arab. I’râb memberikan andil yang cukup besar dalam rangka menentukan dan memperjelas makna dalam tataran struktur kalimat. I’râb mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perubahan makna, perubahan posisi i’râb pada kata dalam suatu kalimat akan berimplikasi pada perubahan makna kalimat tersebut. Bukti adanya hubungan antara perubahan i’râb dengan perubahan makna ini dapat dilihat dari: literatur-literatur bahasa Arab, perbedaan qira’at, dan kesaksian dari para ahli bahasa Arab, baik yang klasik maupun kontemporer.