MAKNA DAN KASUS GRAMATIKA

MAKNA DAN KASUS GRAMATIKA

(Studi Implikasi I’râb Terhadap Penafsiran Ayat Al-Qur’an)

TESIS

Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister dalam

Bidang Ilmu Agama Islam

oleh :

Samsul Bahri

NIM: 07.2.00.1.13.08.0056

Pembimbing:

Prof. Dr. H. M. Matsna, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN ) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis yang berjudul MAKNA DAN KASUS GRAMATIKA (Studi Implikasi I’râb Terhadap Penafsiran Ayat al-Qur’an) ini merupakan hasil karya asli saya dan bukan merupakan jiplakan yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 2 (Magister) di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Apabila ternyata dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar akademik.

Jakarta, 25 Agustus 2009

Samsul Bahri

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul MAKNA DAN KASUS GRAMATIKA (Studi Implikasi I’râb Terhadap Penafsiran Ayat al-Qur’an) yang ditulis oleh Samsul Bahri dengan no. pokok 07.2.00.1.13.08.0056, pada Program Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah diperiksa dan disetujui untuk di bawa ke sidang ujian.

Jakarta, 25 Agustus 2009

Pembimbing

Prof. Dr. H. M. Matsna, MA

PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Tesis saudara SAMSUL BAHRI (NIM. 07.2.00.1.13.08.0056), yang berjudul Makna dan Kasus Gramatika: Studi Implikasi I’râb Terhadap Penafsiran Ayat al-Qur’an, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari sabtu, tanggal 29 Agustus 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang/ Penguji, Pembimbing/ Penguji,

Dr. Udjang Tholib, MA Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA Tanggl: September 2009 Tanggal: September 2009

Penguji, Penguji,

Prof. Dr. Rofi’i Dr. Atiq Susilo Tanggal: September 2009 Tanggal: September 2009

ABSTRAK

Kesimpulan besar penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara i’râb dan makna. I’râb merupakan salah satu faktor terpenting dan dominan dalam menentukan makna gramatikal sebuah kalimat, perubahan posisi i’râb pada kata dalam suatu kalimat akan berimplikasi pada perubahan makna kalimat tersebut. Perbedaan para ahli tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an juga banyak dipengaruhi oleh perbedaan mereka dalam melihat posisi i’râb suatu kata atau kalimat yang ada dalam ayat yang mereka tafsirkan tersebut. Pengabaian terhadap aspek i’râb ini akan menimbulkan ketadak jelasan makna atau keambiguan, karena dalam bahasa Arab banyak didapati kalimat yang tidak dapat dipahami dengan baik dan benar jika tidak ada harakat i’râb pada kalimat tersebut.

Dengan demikian, penelitian ini adalah untuk membantah pendapat tokoh- tokoh seperti; Quthrub ibn al-Mustanîr (w. 206 H), Ibrâhîm Anîs (1906-1977 M), Thahâ Husein (1889-1973 M), dan yang lainnya, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara i’râb antara makna. Harakat i’râb tersebut menurut mereka fungsinya hanya untuk mempermudah dalam pengucapan yang tidak memberikan implikasi terhadap perubahan makna. Penelitian juga mempertegas dan membuktikan pendapat mayoritas Linguis dan Grammarian Arab seperti; Ibn Qutaibah (w. 276 H), Abû Hayyân al-Tauhîdî (310-414 H), Ibn Fâris (w. 395 H), Mahmûd al-‘Aqqâd (1889-1964 M), Khalîl Ahmad ‘Amâyirah (1946-2004 M), dan lain-lain, yang menyatakan adanya hubungan yang kuat antara i’râb dan makna, perubahan pada i’râb akan berimplikasi pada perubahan makna.

Namun di samping itu, penelitian ini juga membuktikan bahwa tidak semua kalimat yang berubah i’râb tersebut akan berimplikasi terhadap perubahan maknanya, khususnya ketika makna suatu kalimat sudah jelas dan tidak mengandung ketaksaan dan keambiguan. Hal tersebut karena i’râb ini erat sekali hubungannya dengan masalah keambiguan atau ketaksaan makna. Oleh karena itu, kalau makna suatu kalimat sudah jelas, maka i’râb tidak berimplikasi terhadap perubahan makna kalimat tersebut.

Sumber primer yang diteliti pada tesis ini adalah ayat-ayat yang mengandung kemungkinan memiliki lebih dari satu posisi i’râb atau ayat multi-irâb dalam al-Qur’an al-Karîm, kemudian ditambah dengan teks-teks berbahasa Arab, untuk menginventarisasinya menggunakan buku-buku qira’at dan buku i’râb al- Qur’an di antaranya adalah: Ma’ânî al-Qur’ân wa I’râbuhu karya al-Zajjâj, Musykil I’râb al-Qur’ân karya Makkî ibn Abî Thâlib, al-Hujjah li al-Qurrâ al-Sab’ah karya Abû ‘Alî ibn ‘Abd al-Ghaffâr al-Fârisî, Mu’jam al-Qirâ’ât karya ‘Abd al-Lathîf al- Khatîb. Untuk membaca sumber tersebut, penulis menggunakan teori i’râb dikombinasikan dengan teori semantik untuk membuktikan adanya korelasi antara perbedaan i’râb dengan perubahan makna.

ABSTRACT

Major conclusion from this research indicates a tight connection between the meaning and the linguistic case. I’râb is one of important and dominant factors to determine grammatical meaning of a sentence, change in i’râb position on word of sentence will have implications on the changing of meaning of sentence. Exegetical difference between interpreter in interpreting Quranic verses is also influenced by their differences in view i’râb position word or sentence in verses they interpreted. Abandonment of this aspect will cause obscurity in meaning, because in Arabic language many sentences can be understood well and correctly if no i’râb vowel in sentence.

Hence, this research rejects some opinion from figures like; Quthrub ibn al- Mustanîr (w. 206 H), Ibrâhîm Anis (1906-1977 M), Thahâ Husein (1889-1973 M), and others, who said that no relation between i’râb and meaning. The function of i’râb symbol according to them just to ease in speaking which did not give implications toward the changing of meaning. The research also to underline and prove the majority of Linguists and Arab grammarians like; Ibn Qutaibah (w. 276 H), Abu Hayyân al-Tauhîdî (310-414 H), Ibn Fâris (w. 395 H), Mahmûd al-Aqqâd (1889- 1964 M), Khalîl Ahmad ‘Amâriyah (1846-2004 M), and others, who argued that there is strong relationship between i’râb and meaning, changing in i’râb will implicate in changing of meaning.

Besides that, this research also proves that not all sentence that changed in i’râb will have implications in the changing of meaning. In some cases there are words that i’râb vowel is change, but meaning does not change, especially when meaning of sentence was clear and did not contain ambiguous meaning. It because i’râb closely related with ambiguous case. Therefore, if the meaning of sentence is clear, i’râb will not affect on the changing of meaning of the sentence.

Primary sources that used in this research is verses contain the possibility of having more than one i’râb position or multi-i’râb in Holy Qur’an, added with Arabic language texts, for it inventory use qiraat books and al-Qur’an i’râb books such as: Ma’ânî al-Qur’ân wa I’râbuhu by al-Zajjâj, Musykil I’rab al-Qur’an by Makkî ibn Abî Thâlib, al-Hujjah li al-Qurrâ al-Sab’ah by Abû ‘Ali ibn ‘Abd al-Ghaffâr al- Farisi, Mu’jam al-Qira’at by ‘Abd al-Lathîf al-Khatîb. To read the sources, researcher used theory of i’râb combining with semantic theory to prove correlation between the changing of meaning with difference of i’râb.

ﺔ ﻐ ﻠ ﻟ ﺍ ﰲ ﺏﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﱪﺘ ﻌ ﻳ . ﺔ ﻴ ﺑ ﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﺔ ﻟ ﺎﳊﺍ ﻭ ﲎﻌ ﳌ ﺍ ﲔﺑ ﻖﻴ ﺛ ﻮﻟ ﺍ ﻁﺎﺒ ﺗ ﺭ ﻻﺍ ﺩﻮﺟﻭ ﺚﺤﺒ ﻟ ﺍ ﺔ ﺠﻴ ﺘ ﻧ ﺪﹼﻛﺆﺗ ﺮ ﻴ ﻐ ﺗ ﰲ ﺮ ﹼﺛ ﺆﻳ ﺔ ﻴ ﺑ ﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﺔ ﻣ ﻼﻌ ﻟ ﺍ ﺮ ﻴ ﻐ ﺗ ﻭ ، ﻞﻤﳉﺍ ﺐﻴ ﻛﺮ ﺗ ﰲ ﺔ ﻳ ﻮﺤﻨ ﻟ ﺍ ﱐﺎﻌ ﳌ ﺍ ﺢﺿﻮﺗ ﱵﻟ ﺍ ﻞﻣ ﺍ ﻮ ﻌ ﻟ ﺍ ﻢﻫﺃ ﻦ ﻣ ﺔ ﻴ ﺑ ﺮ ﻌ ﻟ ﺍ ﰲ ﻢﻬﻓ ﻼﺘ ﺧﺍ ﱃﺇ ﺩﻮﻌ ﻳ ﺎﻣ ﺍ ﲑﺜ ﻛ ﺔ ﻴ ﻧ ﺍ ﺮ ﻘ ﻟ ﺍ ﺕﺎﻳ ﻵﺍ ﺾﻌ ﺑ ﲑﺴﻔ ﺗ ﰲ ﻦﻳ ﺮ ﺴﻔ ﳌ ﺍ ﻑﻼﺘ ﺧﺍ ﻭ . ﻞﻤﳉﺍ ﻚﻠ ﺗ ﱐﺎﻌ ﻣ ﰊﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﺐﻧ ﺎﳉﺍ ﻰﻠ ﻋ ﻝﺎﳘﻹﺍ ﹼﻥﺇ . ﺎﻫﲑﺴﻔ ﺗ ﻥﻭﺪﻳ ﺮ ﻳ ﱵﻟ ﺍ ﺔ ﻳ ﻵﺍ ﰲ ﺔ ﻠ ﻤﳉﺍ ﻭﺃ ﺔ ﻤﻠ ﻜﻠ ﻟ ﺔ ﻴ ﺑ ﺮ ﻋﻹﺍ ﻊﻗ ﺍ ﻮﳌ ﺍ ﱃﺇ ﺮ ﻈﻨ ﻟ ﺍ ﺕﺎﻣ ﻼﻌ ﻟ ﺍ ﺩﻮﺟﻮﺑ ﻻﺇ ﻢﻬﻔ ﺗ ﻻ ﱵﻟ ﺍ ﺕﺎﻤﻠ ﻜﻟ ﺍ ﻦﻣ ﺍ ﲑﺜ ﻛ ﺔ ﻴ ﺑ ﺮ ﻌ ﻟ ﺍ ﺔ ﻐ ﻠ ﻟ ﺍ ﰲ ﹼﻥﻷ ، ﺽﻮﻤﻐ ﻟ ﺍ ﻭ ﺱﺎﺒ ﻟ ﻹﺍ ﱃﺇ ﻱﺩﺆ ﻳ . ﺎﻬﻴ ﻓ ﺔ ﻴ ﺑ ﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﻢﻴ ﻫﺍ ﺮ ﺑ ﺇ ﻭ ( ﻫ ۲۰٦ ﻲﹼﻓ ﻮﺗ ) ﲑﻨ ﺘ ﺴﳌ ﺍ ﻦﺑ ﺏﺮ ﻄﻗ ﻞﺜ ﻣ ﲔﻳ ﻮﻐ ﻠ ﻟ ﺍ ﺾﻌ ﺑ ﺚﲝ ﻰﻠ ﻋﺍ ﺩ ﺭ ﻥﻮﻜﻳ ﺚﺤﺒ ﻟ ﺍ ﺍ ﺬﻬﻓ ﺔ ﻴ ﺑ ﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﺕﺎﻣ ﻼﻌ ﻟ ﺍ ﹼﻥﺃ ﺍ ﻭﺃ ﺭ ﻦﻳ ﺬﻟ ﺍ ﻢﻫﲑﻏﻭ ( ﻡ ١٨٨٩ - ١٩٧۳ ) ﲔﺴﺣ ﻪ ﻃﻭ ( ﻡ ١٩۰٦ - ١٩٧٧ ) ﺲﻴ ﻧ ﺃ ﱃﺇ ﻥﻮﻋﺪﻳ ﺍ ﻮﻧ ﺎﻛﻭ ، ﺐﺴﺤﻓ ﻖﻄﻨ ﻟ ﺍ ﻞﻴ ﻬﺴﺘ ﻟ ﹼﻻﺇ ﺖ ﺴﻴ ﻟ ﺕﺎﻛﺮ ﳊﺍ ﻚﻠ ﺗ ﺔ ﻔ ﻴ ﻇﻭ ﹼﻥﺃ ﻭ ﲎﻌ ﳌ ﺎﺑ ﺔ ﻗ ﻼﻌ ﻟ ﺍ ﺎﳍ ﺖ ﺴﻴ ﻟ ﺚﺤﺒ ﻟ ﺍ ﺍ ﺬﻫ ﻥﺎﻛ ﻚﻟ ﺬﻛﻭ . ﲎﻌ ﳌ ﺍ ﺮ ﻴ ﻐ ﺗ ﰲ ﺮ ﹼﺛ ﺆﻳ ﻻﺔ ﻴ ﺑ ﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﺕﺎﻛﺮ ﳊ ﺍ ﺮ ﻴ ﻐ ﺗ ﹼﻥﺃ ﻢﻬﻤﻋﺰ ﻟ ﺔ ﻤﻠ ﻜﻟ ﺍ ﺮ ﺧﺍ ﻭﺃ ﲔﻜﺴﺗ - ٤۰٤ ) ﻱﺪﻴ ﺣﻮﺘ ﻟ ﺍ ﻥﺎﻴ ﺣ ﻮﺑ ﺃ ﻭ ( ﻫ ۲٧٦ ﻲﹼﻓ ﻮﺗ ) ﺔ ﺒ ﻴ ﺘ ﻗ ﻦﺑ ﺍ ﻝﺎﺜ ﻣ ﺄ ﻛ ﲔﻳ ﻮﻐ ﻠ ﻟ ﺍ ﻭﺓ ﺎﺤﻨ ﻟ ﺍ ﺭ ﻮﻬﲨ ﻪ ﻟ ﺎﻗ ﺎﳌ ﺍ ﺪﻴ ﻛ ﺄ ﺗ ﺓ ﺮ ﻳ ﺎﻤﻋ ﺪﲪﺃ ﻞﻴ ﻠ ﺧﻭ ( ﻡ ١٨٨٩ - ١٩٦٤ ) ﺩﺎﹼﻘ ﻌ ﻟ ﺍ ﺩﻮﻤﳏ ﺱﺎﺒ ﻋﻭ ( ﻫ ۳٩۵ ﻲﹼﻓ ﻮﺗ ) ﺱﺭ ﺎﻓ ﻦﺑ ﺍ ﻭ ( ﻫ ۳١۰ ﰲ ﺮ ﹼﺛ ﺆﻳ ﺔ ﻴ ﺑ ﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﺔ ﻛﺮ ﳊﺍ ﺮ ﻴ ﻐ ﺗ ﹼﻥﺃ ﻭ , ﲎﻌ ﳌ ﺍ ﻭﺏﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﲔﺑ ﺔ ﻗ ﻼﻌ ﻟ ﺍ ﺩﻮﺟﻭ ﺍ ﻮﺘ ﺒ ﺛ ﺃ ﻦﻳ ﺬﻟ ﺍ ( ﻡ ١٩٤۵ - ۲۰۰٤ ) . ﲎﻌ ﳌ ﺍ ﲑﻐ ﺗ ﻙ ﺎﻨ ﻬﻓ . ﺎﻬﻴ ﻧ ﺎﻌ ﻣ ﺮ ﻴ ﻐ ﺘ ﺗ ﺏﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﺓ ﲑﻐ ﺘ ﳌ ﺍ ﻞﻤﳉﺍ ﻊﻴ ﲨ ﺲﻴ ﻟ ﻪ ﻧ ﺃ ﺖﺒ ﺛ ﺃ ﺚﺤﺒ ﻟ ﺍ ﺍ ﺬﻫ ﹼﻥﺈﻓ ، ﻚﻟ ﺫ ﱃﺇ ﺔ ﹰ ﻓ ﺎﺿﺇ ﻭ ﻪ ﻟ ﺏﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﹼﻥﻷ ﻚﻟ ﺫ ﻭ ، ﺔ ﻠ ﻤﳉﺍ ﻚﻠ ﺗ ﲎﻌ ﻣ ﺡﻮﺿﻭ ﺪﻨ ﻋ ﺔ ﺻﺎﺧ ﻭ ، ﺎﻫﺎﻨ ﻌ ﻣ ﺮ ﻴ ﻐ ﺘ ﻳ ﻻﻭ ﺎﺍ ﺮ ﻋﺇ ﺔ ﻛﺮ ﺣﺮ ﻴ ﻐ ﺘ ﺗ ﺔ ﻠ ﲨ . ﲎﻌ ﳌ ﺍ ﺮ ﻴ ﻐ ﺗ ﻰﻠ ﻋﺮ ﹼﺛ ﺆ ﻳ ﻻﺏﺍ ﺮ ﻋﻹﺎﻓ ﺎﺤﺿﺍ ﻭ ﲎﻌ ﳌ ﺍ ﻥﺎﻛ ﺍ ﺫ ﺇ ﻚﻟ ﺬﻟ ﻭ ، ﺱﺎﺒ ﻟ ﻹﺍ ﻭﺯ ﺎﻐ ﻟ ﻷﺎﺑ ﺔ ﻘ ﻴ ﺛ ﻭﺔ ﻗ ﻼﻋ , ﺔ ﻴ ﺑ ﺮ ﻌ ﻟ ﺍ ﺹﻮﺼﻨ ﻟ ﺍ ﱃﺇ ﺔ ﻓ ﺎﺿﻹﺎﺑ ﺏﺍ ﺮ ﻋﻹﺍ ﺓ ﺩﺪﻌ ﺘ ﳌ ﺍ ﺔ ﻴ ﻧ ﺁ ﺮ ﻘ ﻟ ﺍ ﺕﺎﻳ ﻵﺍ ﻲﻫ ﺚﺤﺒ ﻟ ﺍ ﺍ ﺬﳍ ﺔ ﻴ ﺳﺎﺳﻷﺍ ﺭ ﺩﺎﺼﳌ ﺍ ﺝﺎﺟﺰ ﻠ ﻟ ﻪ ﺑ ﺍ ﺮ ﻋﺇ ﻭﻥ ﺁ ﺮ ﻘ ﻟ ﺍ ﱐﺎﻌ ﻣ : ﺎﻬﻨ ﻣ ، ﺕﺍ ﺀ ﺍ ﺮ ﻘ ﻟ ﺍ ﻭﻥ ﺁ ﺮ ﻘ ﻟ ﺍ ﺏﺍ ﺮ ﻋﺇ ﺐﺘ ﻛ ﺚﺣﺎﺒ ﻟ ﺍ ﻡ ﺪﺨﺘ ﺳﺍ ﺭ ﺩﺎﺼﳌ ﺍ ﻚﻠ ﺗ ﻊﻤﳉﻭ ﻢﺠﻌ ﻣ ﻭ ﻲﺳﺭ ﺎﻔ ﻟ ﺍ ﺭ ﺎﹼﻔ ﻐ ﻟ ﺍ ﺪﺒ ﻋ ﻦﺑ ﻲﻠ ﻋﰊﻷﺔ ﻌ ﺒ ﺴﻟ ﺍ ﺀ ﺍ ﺮ ﻘ ﻠ ﻟ ﺔ ﺠﳊﺍ ﻭ ﺐﻟ ﺎﻃ ﰊ ﺃ ﻦﺑ ﻲﻜﳌ ﻥ ﺁ ﺮ ﻘ ﻟ ﺍ ﺏﺍ ﺮ ﻋﺇ ﻞﻜﺸﻣ ﻭ

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya kepada Allah swt. yang telah memuliakan bahasa Arab dengan menjadikannya sebagai bahasa wahyu yang diturunkan kepada hambaNya yang paling mulia. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada kekasih-Nya Nabi Muhammad Saw yang senantiasa sabar dalam menyampaikan dakwah kepada umatnya.

Alhamdulilah, berkat rahmat dan hidayah dari Allah swt. penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “MAKNA DAN KASUS GRAMATIKA: Studi Implikasi I’râb Terhadap Penafsiran Ayat al-Qur’an”. Semoga karya ilmiah ini dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya, dan para peminat bahasa Arab pada umumnya, serta dapat memenuhi maksud yang diinginkan penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang ilmu-ilmu Agama Islam konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, seraya memanjatkan puji syukur kepada Allah swt. dengan penuh ketulusan hati penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, khususnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. H. M. Matsna MA. selaku pembimbing tesis ini, yang dalam kesibukannya sebagai dosen dan kepadatan aktivitas intelektual serta kerja sosialnya, beliau senantiasa memberikan waktu kepada penulis dengan tulus untuk berkonsultasi, memberikan bimbingan, arahan, dan perbaikan hingga karya ilmiah ini dapat selesai.

4. Kepada semua dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan baik secara langsung atau tidak, semoga amal baik mereka dilipatgandakan oleh Allah Swt. Di antara yang perlu disebutkan adalah: Prof. Dr. HD. Hidayat, MA, Dr. Sayuti Anshari Nasution, MA, Dr. Ahmad Dardiri, MA, serta yang tidak dapat disebutkan satu-persatu di sini.

5. Kepada Tim Working Progress dan Verifikasi, yaitu: Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA, dan Dr. Yusuf Rahman, MA, yang senantiasa bekerja tanpa kenal lelah untuk memberikan arahan dan dorongan.

6. Kepada Bapak Menteri Agama RI, yang telah memberikan bantuan Bea siswa, dan Bapak Kakanwil Depag Prop. Kalimantan Selatan, Bapak Kakandepag Kab. Banjar.

7. Kedua orang tua penulis yang tercinta, H. Aini dan Hj. Rukayah (almh). Mereka berdua yang telah mendidik dan membimbing penulis dengan cinta dan kasik sayang. Semoga mereka diberikan bimbingan dan curahan rahmat oleh Allah Swt.

8. Istriku tercinta Mursyidah yang selalu sabar menyertai dalam masa studiku, ananda tersayang Muhammad Nabil Dhiyaul Haq dan Hamiz Fuad Ahwazy yang senantiasa ceria menambah kedamaian dan semangat untuk bekerja dan berkarya untuk masa depan mereka.

9. Kedua mertua Dani dan Jariyah. Kakak-kakak dan adik-adik yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi untuk dapat menyelesaikan studi.

10. Teman-teman seangkatan yang banyak memberikan bantuan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari akan keterbatasan ilmu yang penulis miliki, jadi sangat mungkin kalau tesis ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran bagi yang membacanya.

Akhirnya, dengan mengharap rahmat Allah Swt semoga karya ilmiah ini dapat memberikan sumbangan ilmu bagi pembacanya dan menjadi pahala bagi penulis, Amin.

Jakarta, 22 Agustus 2009

1 Ramadhan 1430

Penulis

Samsul Bahri

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB - LATIN

Pedoman transliterasi Arab - Latin yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

A. Konsonan

Huruf

Nama Arab

Nama Huruf Latin

Alîf

Tidak dilambangkan

Tidak dilambangkan

Ha (dengan garis di bawah)

Kha’

Kh, kh

Ka dan ha

De

dâl

D, d

Dzâl

Dz, dz

De dan zet

Râ’

R, r

Er

Zây

Z, z

Zet

Sîn

S, s

Es

Syîn

Sy, sy

Es dan ye

Shâd

Sh, sh

Es dan ha

‘ koma terbalik di atas

Nama Arab

Nama Huruf Latin

Hâ’

H, h

lâm alîf

’ Koma di atas

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

aA

fathah

ِ iI

kasrah

ُ uU

dhammah

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

ى َ... Fathah dan yâ’

ai

a dan i

و َ... Fathah dan wâw

Au

a dan u

Contoh: ﻦﻴﺴﺣ : Husain

لﻮﺣ : Haula

C. Maddah

Tanda Nama Huruf Latin Nama

fathah dan alîf

a dan garis di atas

kasrah dan yâ’

i dan garis di atas

dhammah dan wâw

u dan garis di atas

D. Tâ’ Marbûthah

Tâ’ Marbûthah yang dipakai di sini dimatikan atau diberi harakat sukûn, dan transliterasinya adalah /h/. Kalau kata yang berakhir dengan tâ’ marbûthah diikuti oleh kata yang bersandang /al/, maka kedua kata itu dipisah dan tâ’ marbûthah ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:

ﺔﻣ ﺮّﻜﻤﻟا ﺔّﻜﻤﻟا : al-Makkah al-Mukarramah

E. Syiddah

Syiddah/tasydîd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bersyiddah itu. Contoh:

ﺎﻨّـﺑر : rabbanâ لّﺰﻧ : nazzala

F. Kata Sandang

Kata sandang “ ـﻟا ” dilambangkan berdasar huruf yang mengikutinya, jika diikuti huruf syamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan ditulis “al” jika diikuti dengan huruf qamariyah.

Contoh:

ﺲﻤﺸﻟا : asy-Syams ﺮﻤﻘﻟا : al-Qamar

G. Pengecualian Transliterasi

Adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan ke-konsisten-an dalam penulisan.

DAFTAR SINGKATAN

Cet. : Cetakan dkk. : dan kawan-kawan

H. : Tahun Hijriyah

hal. : Halaman HR. : Hadis Riwayat Jil. : Jilid j. : Juz M. : Tahun Masehi Prop. : Propinsi Qs. : al-Quran Surat RI. : Republik Indonesia r.a. : Radhiya Allah ‘anhu Saw. : Shallallah ‘Alaihi wa Sallam SWT. : Suhhânahu wa Ta’âlâ t.th. : Tanpa tahun t.tp. : Tanpa tempat penerbit tp.

: Tanpa penerbit

w. : Wafat

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap bahasa mempunyai kekhususan yang membedakannya dengan bahasa lain. 1 Karena bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan para

anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. 2 Karena digunakan oleh suatu masyarakat, tentu bahasa

dengan kearbitrerannya menjadi produktif dan dinamis sehingga pada akhirnya pada setiap bahasa akan terbentuk ciri khas yang tidak terdapat ataupun dimiliki bahasa

lain. 3 Bahasa Arab telah dipilih sebagai bahasa pengantara wahyu yang ditujukan

kepada seluruh penutur bahasa di dunia. Penelitian yang mendalam terhadap bahasa ini memperlihatkan rahsia pemilihannya sebagai bahasa al-Quran. Kajian-kajian yang dibuat oleh para sarjana bahasa dari berbagai aspek terutama ilmu linguistik telah dapat membuktikan keunikan dan keistimewaan bahasa ini yang tidak terdapat pada

bahasa-bahasa lain. 4 Mungkin hal inilah yang menyebabakan Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa bahasa al-Qur’an agar umat manusia bisa memahaminya dengan

mudah. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya kami telah menurunkan al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”.

Tak dapat dipungkiri bahwasanya bahasa Arab mempunyai banyak keunikan, kekhasan (al-Khashâ’ish), dan keistimewaan dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain, kalau bukan karena itu niscaya Allah tidak memilihnya sebagai bahasa bagi

1 Lihat, Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khashâ’ish al-‘Arabîyah wa Tharâ’iq Tadrîsuhâ, Beirut: Dâr al- Nafâis, Cet. 5, 1998, hal. 40.

2 Lihat Harimurti Kridalaksan, Kamus Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 21, dan Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, New York: Mc Graw-Hill Book

Company, 1966, hal. 16. 3 Abdul Chaer, Linguistk Umum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet, II, 2003, hal. 51.

4 Lihat Azhar bin Muhammad, Jurnal Teknologi, Universitas Teknologi Malaysia, edisi 42, Juni 2005, hal. 61.

kitab-Nya yang mulia (al-Qur’an). Di antara keistimewaannya yang menonjol adalah bahwa bahasa Arab mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam melahirkan makna-makna baru, tidak hanya dengan penembahan huruf pada asal kalimat saja,

bahkan hanya dengan perubahan harakat. 5 Kemudian juga perubahan semantik yang disebabkan oleh perubahan struktur kata. Sebagai contoh: – ﺔﺑﺎﺘآ – ﺐﺘآ – نﺎﺑﺎﺘآ – بﺎﺘآ

ﺔﺒﺘﻜﻣ – ﺐﺘﻜﻣ , dari perubahan kata-kata tersebut dapat dilihat perubahan maknanya. Bahasa Arab bahasa yang sangat luas dan kaya, jumlah kosakatanya tidak dapat

ditandingi oleh bahasa apa pun di dunia ini, bahasa yang tinggi, yang mampu mengungkapkan makna dengan berbagai macam gaya bahasa (uslûb). 6

Menurut Rusydi Ahmad Thu’aimah, mengetahui keistimewaan dan karakteristik ( ﺺﺋﺎﺼﺨﻟا) bahasa Arab yang membedakannya dari bahasa-bahasa lain merupakan suatu keniscayaan bagi para pengajar bahasa Arab. 7 Beliau menyebutkan ada sekitar 10 karakteristik bahasa Arab di antaranya adalah i’râb. 8

I’râb adalah merupakan salah satu dari sekian banyak keistimewaan dan karakteristik yang dimiliki bahasa Arab. 9 Fenomena i’râb ini –dibandingkan dengan

karakteristik bahasa Arab yang lainnya- merupakan karakteristik yang banyak

5 Nâyif Mahmûd Ma’rûf, Khashâ’ish al-‘Arabîyah wa Tharâ’iq Tadrîsuhâ , hal. 41. 6 Padanannya dalam bahasa Inggris adalah style, yaitu cara pengungkapan dalam prosa, atau

bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang hendak ia kemukakan. Sedangkan Leech dan Short mendefinisikannya sebagai cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu oleh pengarang tertentu untuk tujuan tertentu, dan seterusnya. Lihat M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, hal. 190. Lihat juga, Geoffry N. leech dan Michael H Short, Style in Fiction: A Linguistic Introduction to English Fictional Prose, (London: Longman, t. th), hal. 10.

7 Lihat Rusydi Ahmad Thu’aimah, Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li ghair al-Nâthiqîn bihâ, Mesir: ISISCO, 1989. Hal. 35. Menurut beliau mengetahui karekteristik bahasa Arab akan dapat

membantu pengajar bahasa Arab dalam: 1. Penyajian materi (bahan) pengajaran, 2. Mengetahui kesulitan dan kemudahan yang didapati ketika mengajar bahasa tersebut, 3. Melakakukan analisis konrtrastif antara bahasa Arab dengan babasa-bahasa lain, 4. Menjeleskan sistem bahasa Arab kepada siswa-siswa tingkat lanjutan pada program pengajaran bahasa Arab untuk non Arab.

I’râb menurut Ahmad Abdul Gaffar adalalah: ﻦﻜﻤﺘﻤﻟا ﻢﺳﻻا ﺮﺧا ﻲﻓ ﻞﻣﺎﻌﻟا ﻪﺛﺪﺤﻳ رﺪﻘﻣ وأ ﺮهﺎﻇ ﺮﺛأ يﺬﻟاﺮﺛﻷا اﺬهو , ﺎﻣوﺰﺠﻣ وأ ﺎﺑﻮﺼﻨﻣ وأ ﺎﻋ ﻮﻓﺮﻣ عرﺎﻀﻤﻟا ﺮﺧاو , اروﺮﺠﻣ وأ ﺎﺑﻮﺼﻨﻣ وأ ﺎﻋﻮﻓﺮﻣ ﻢﺳﻻا ﺮﺧا نﻮﻜﻴﻓ عرﺎﻀﻤﻟا ﻞﻌﻔﻟاو . ﺎﻓﺬﺣ وأ ﺎﻧﻮﻜﺳ وأ ﺎﻓﺮﺣ وأ ﺔآﺮﺣ نﻮﻜﻳ نأ ﺎﻣإ ﻞﻣﺎﻌﻟا ﻪﺛﺪﺤﻳ Lihat Ahmad Abdul Gaffar, Dirâsât Fî al-Nahwy al- Araby, Kairo: al-Islam lil Thiba’ah, 1993, hal. 86.

9 ‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Rahmân al-Sa’di, Ahdâf al-I’râb wa Shilatuh bi al-‘Ulûm al- Syar’iyyah wa al-Arabiyyah, Majalah Jâmi’ah Ummu al-Qurâ li ‘Ulûm al-Syari’ah wa al-Lughah al-

Arabiyyah wa Adâbiha, jilid. 15, edisi 27, 1424 H, hal. 562.

dibicarakan oleh para linguis Arab, baik linguis klasik maupun kontemporer. I’râb dipandang merupakan salah satu fenomina yang sangat urgen dan mononjol dalam ilmu nahwu (sintaksis) sebab dia memegang posisi sentral bagi eksistensi nahwu dalam bahasa Arab, sampai-sampai di antara para ahli bahasa Arab itu ada yang menjadikan ilmu nahwu itu semuanya adalah i’râb sehingga mereka mendefinisikan

ilmu nahwu itu sebagai ilmu i’râb. 10 Namun dalam hal menyikapi fenomena i’râb ini para ahli bahasa Arab

terpecah menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok yang mengatakan bahwasanya i’râb itu tidak berpengaruh terhadap perubahan makna, tidak ada hubungan antara i’râb dengan makna. Al- Zajjâjî (w. 338 H) 11 menegaskan bahwa satu-satunya ahli

nahwu klasik yang menggugat masalah i’râb ini adalah Quthrub ibn al-Mustanîr (w. 206 H), 12 dia menolak adanya hubungan antara i’râb dan makna begitu juga

sebaliknya. Argumentasi Quthrub (w. 206 H) untuk mendukung pendapatnya tersebut adalah: menurut dia, dalam bahasa Arab ada kalimat-kalimat yang i’râb-nya sama tapi maknanya berbeda, dan sebaliknya ada juga kalimat-kalimat yang i’râb-nya

10 Lihat ‘Abd Allah Jâd al- Karîm, al-Daras al-Nahwi Fî al-Qaran al-‘Isyrîn, (Kairo: Maktabah al-Adab, 2004), Cet. 1, hal. 86 .

11 Nama lengkapnya Abu al-Qasim Abdurrahman bin Ishâq. Lahir di Nahawan sebelah selatan Hamazan dan meninggal dunia di Thibriyyah tahun 338 H. Beliau banyak menulis kitab dalam bidang

bahasa dan adab, di antaranya adalah: Kitab al- Jumal (kitab nahwu) beliau tulis ketika berada di Mekkah, al-Amali , al-Idhah Fi ‘Ilal al-Nahwi, Syarah Muqaddimah Adab al-Katib, Mukhtasar al- Zahir, Kitab al-Ibdal Wa al-Mu’aqabah Wa al-Isytiqaq, Kitab al-Lamat, kitab Ma’ani al-Huruf, Majalis al-‘Ulamâ, Syarah Risâlah Sibawaih, dan lain-lain. Lihat, Mâzin Mubârak, al-Zajjâjî Hayâtuhu Wa Atsaruhu Wa Mazhabuhu al-Nahwi, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1984), Cet. II, hal. 7-8.

12 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin al-Mustanîr, ia lahir di Bashrah. Dia adalah salah satu Murid Sibawaihi, menurut riwayat Sibawaihi lah yang member dia gelar Quthrub. Ia pernah

dijadikan seorang pendidik (al-Mu’addib) oleh khalifah al-Rasyîd untuk anaknya al-Amîn. Ia meninggal dunia di Bagdad tahun 206 H. Di antara karya-karyanya adalah: Kitâb al-‘Ilal fî al-Nahwi, Kitâb al-Isytiqâq fî al-Tashrîf, Kitâb al-Adhdâd, Kitâb al-Mutsallast. Lihat al-Wasîth fî Târîkh al- Nahwi al-Arabi, Abdul Karim Muhammad al-As’ad, (Riyadh: Dar-al-Shawaf,1992), Cet I, hal. 72. Lihat juga, Bughyat al-Wi’at, 104. Lihat juga Muhammad al-Thanthâwî, Nasy’at al-Nahwî wa Târîkh Asyharu al-Nuhât, (Dar al-Manar, 1991), hal. 109. Lihat juga al-Sayyid Rizq al-Thawîl, al-Khilâf Baina al-Nahwiyyîn: Dirâsah wa Tahlîl wa Taqwîm, (Makkah: al-Maktabah al-Faishaliyyah, 1985), cet. 1, hal. 196. Lihat juga, Syauqî Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif: 1976), cet. 3, hal. 108-111.

berbeda tapi maknanya sama. 13 Kemudain dia memberikan contoh: ﻞﻌﻟ , كﻮﺧأ اﺪﻳز نإ كﻮﺧأ اﺪﻳز , dan كﻮﺧأ اﺪﻳز نﺄآ, ketiga kalimat tersebut menurut dia i’râbnya sama,

namun maknanya berbeda. Adapun contoh kalimat yang i’râb-nya berbeda tapi maknanya sama, yaitu: ﺎﻤﺋﺎﻗ ﺪﻳز ﺎﻣ dan ﻢﺋﺎﻗ ﺪﻳز ﺎﻣ, kedua kalimat tersebut berbeda i’râbnya, namun maknanya sama. Kemudian contoh lain lagi: كﺪﻨﻋ لﺎﻣ ﻻ (dengan fathah) dan كﺪﻨﻋ لﺎﻣﻻ (dengan dhommah).

Sedangkan golongan linguis kontemporer yang menolak i’râb ini di antaranya adalah Ibrâhîm Anîs (1906-1977 M), 14 menurut pendapat dia bahwa i’râb

hanyalah merupakan dongeng yang dibuat-buat oleh para ahli nahwu (al-Nuhât) dengan kecerdikan dan kepandaian mereka. 15 Kemudian dia mengatakan bahwasanya

harakat i’râb itu tidak memberi pengaruh pada perubahan makna kalimat, karena menurut dia asal setiap akhir kalimat adalah tidak berbaris atau sukûn, harakat itu menurut dia, digunakan orang Arab untuk mempermudah membaca dan

menghubungkan antara satu kata dengan kata lainnya. 16 Pendapat Ibrâhîm Anîs ini

13 Lihat pernyataan Quthrub, ﻢﻬﻣﻼآ ﻲﻓ ﺪﺠﻧ ﺎّﻧﻷ ؛ﺾﻌﺑو ﺎﻬﻀﻌﺑ ﻦﻴﺑ قﺮﻔﻟاو ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا ﻰﻠﻋ ِﺔﻟﻻّﺪﻠﻟ ُمﻼﻜﻟا ِبَﺮْﻌُﻳ ْم َ

. ﻩﺎﻨﻌﻣ ﻒﻠﺘﺧاو ﻪﺑاﺮﻋإ ﻖﻔّﺗا ﺎّﻤﻤﻓ ؛ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا َﺔﻘﻔّﺘﻣ ِباﺮﻋﻹا َﺔﻔﻠﺘﺨﻣ ًءﺎﻤﺳأو , ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا َﺔﻔﻠﺘﺨﻣ , ِباﺮﻋﻹا َﺔﻘﻔﱠﺘﻣ ًءﺎﻤﺳأ , Lihat, Abu al- Qasim al-Z,ajjâji, al-Idhah fî ‘Ilal al-Nahwi, hal. 70. Dan Mazin Mubarak, al-Zajjâjî Hayatuhu Wa Atsaruhu Wa Mazhabuhu al-Nahwi, hal. 64.

14 Ibrâhîm Anîs (1900-1977 M) lahir di Kairo. Ia termasuk pelopor kajian linguistikArab modern di Fakultas Dâr al-‘Ulûm. Doktor lulusan Universitas London ini menekuni kajian linguistik dan mengaplikasikannya dalam studi bahasa Arab. Di antara karyanya adalah Min Asrâr al-Lughah al- ‘Arabiyyah, Dilâlah al-Alfâzh, al-Ashwât Lughawiyyah, Mûsiqa al-Syi’r, dan Fi al-Lahajât al- ‘Arabiyyah.

15 Lihat pernyataan Ibrâhîm Anîs: ﻞﺋﺎﺒﻗ ﻦﻴﺑ ةﺮﺛﺎﻨﺘﻣ ﺔّﻳﻮﻐﻟ ﺮهاﻮﻇ ﻦﻣ ﺎﻬﻃﻮﻴﺧ تّﺪﻤﺘﺳا ﺪﻘﻟ ﺔﺼﻗ ﺎﻬﻋورأ ﺎﻣ ! ،مﻼﻜﻟا عﺎ ّﻨﺻ ﻦﻣ ٍمﻮﻗ ﺪﻳ ﻰﻠﻋ ،ﻲِﻧﺎﱠﺜﻟا ﻞﺋاوأ وأ ّيﺮﺠﻬﻟا لﱠوَﻷا نﺮﻘﻟا ﺮﺧاوأ ﻲﻓ ﺔﻤﻜﺤﻣ ﺔآﺎﻴﺣ ﺎﻬﺠﺴﻧ ّﻢﺗو ،ﺖﻜﻴﺣ ّﻢﺛ ،ﺔﱠﻴِﺑَﺮَﻌﻟا ةﺮﻳﺰﺠﻟا

ﻖﺷو ،ًﺎﻌﻴﻨﻣ ًﺎﻨﺼﺣ ُباﺮﻋﻹا ﺢﺒﺻأ ﻰﱠﺘَﺣ ،ّيﺮﺠﻬﻟا ﻲِﻧﺎﱠﺜﻟا نﺮﻘﻟا ﻲﻬﺘﻨﻳ ﺪﻜﻳ ﻢﻟ ّﻢﺛ ،ﺔّﻴﻗاﺮ ﻌﻟا ﺔﺌﻴﺒﻟا ﻲﻓ ﻢﻬﺗﺎﻴﺣ ﻢﻈﻌﻣ اﻮﺷﺎﻋو اوﺆﺸﻧ . ةﺎﺤﻨﻟﺎﺑ ﺪﻌﺑ ﺎﻤﻴﻓ اﻮﻤﺳ مﻮﻗ ﻰﻠﻋ ﻻإ ﻪﻣﺎﺤﺘﻗا ‘ ﺔﱠﻴِﺑَﺮَﻌﻟا ءﺎﺤﺼﻓ ﻦﻣ ءاﺮﻌّﺸﻟاو ءﺎﺒﻄﺨﻟاو بﺎّﺘﻜﻟا ﻰﻠﻋ ﻰﱠﺘَﺣ ﻊﻨﺘﻣا Ibrâhîm Anîs, Min

Asrar al-Lughat, (Kairo: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyyah, 1958), cet 2, hal. 14. 16 Lihat pernyataan Ibrahim Anis: أﺮﻘﻧ نأ باﺮﻋﻹا تﺎآﺮﺣو مﻼﻜﻟا ﻰﻧﺎﻌﻣ ﻦﻴﺑ ﺔﻗﻼﻋ ﻻ نأ ﻰﻠﻋ ﺔﻨهﺮﺒﻠﻟ ﻲﻔﻜﻳو

ﻂﻠﺨﻟا ﺎﻧﺪﻤﻌﺗ ﺎﻤﻬﻣ ﻢﻬﻔﻟا مﺎﻤﺗ ﻩﺎﻨﻌﻣ ﻢﻬﻔﻳ ﻪﻧأ ىﺮﻨﺴﻓ لﺎﺼﺗﻻا ﻦﻣ عﻮﻧ ىأ ﻮﺤﻨﻟﺎﺑ ﻞﺼﺘﻳ ﻢﻟ ﻞﺟر ﻰﻠﻋ ﻒﺤﺼﻟا ىﺪﺣإ ﻲﻓ اﺮﻴﻐﺻ اﺮﺒﺧ . ﺦﻟا ...... ﻩﺮﺟ وأ عﻮﻓﺮﻤﻟا ﺐﺼﻧو بﻮﺼﻨﻤﻟا ﻊﻓﺮﺑ ﻪﺗﺎﻤﻠآ باﺮﻋإ ﻲﻓ . Ibrâhîm Anîs, Min Asrar al-Lughat,… hal. 160- 161. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh George Zaidân yang menyatakan bahwa terdapat di beberapa negara Arab orang-orang Arab yang sudah tidak menggunakan kaidah-kaidah I`râb dalam

pembicaraan mereka sehari-hari. Hal ini banyak terjadi pada mereka mereka yang lahir dan tumbuh di daerah-daerah perkotaan, disebabkan oleh kemudahan dan kesenangan hidup yang mereka rasakan. Menurutnya, kaidah-kaidah I`râb hanya bisa bertahan lama pada kondisi hidup yang keras dan membutuhkan perjuangan, seperti kehidupan di pedalaman-pedalaman. George Zaidân, Târîkh Âdâb al-Lughah al-`Arabiyah, jilid 1, hal. 45.

diamini oleh Thaha Husein (1889-1973 M.), 17 bahkan pernyataan dia lebih tegas lagi dari apa yang dikatakan oleh Ibrâhîm Anîs, yang mana ia menyatakan bahwasanya

i’râb adalah sesuata yang sangat menakutkan sekali. 18 Kemudian juga Goerge al- Khûrî al-Maqdisî melontarkan pernyataan yang lebih keras lagi, dia mengatakan

bahwa i’râb merupakan sumber kesukaran pada bahasa Arab. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang menggugat serta menolak i’râb ini, seperti Qâsim Amîn (1863-

19 20 1908 M), 21 Luthfî al-Sayyid (1872-1963), dan Salâmah Mûsa (1887-1958 M),

17 Thahâ Husein lahir di dekat kota Maghâghah Mesir pada 16 Januari 1889. Ia menderita kebutaan ketika dia berusia 3 tahun walaupun demikian dia mempunya kecerdikan dan kepandaian yang luar biasa. Gelar doctor diraihnya dari Universitas Sorbonne, Prancis. Thaha Husein kemudian menjabat berbagai posisi penting di bidang ilmu dan budaya, di antaranya sebagai Menteri kebudayaan Mesir. Di sela-sela kesibukannya, Thaha Husein banyak menulis buku, di antara karya-karyanya adalah: Dzikrâ Abî al-‘Alâ (Disertasi), Qâdât al-Fikr, fî al-Syi’ir al-Jâhilî, al-Hayah al-Adabiyyah fî Jazîrah al-‘Arab, Fushûl fî al-Adab wa al-Naqd, Târîkh al-Adab al-‘Arabi, Mar’âh al-Islâm, min Adabinâ al-Mu’âshir, al-Ayyâm, Hadîst al-Arbi’â, al-Wa’du al-Haqq, dan lain-lain. Karya-karyanya tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, al-Ayyam misalnya, telah diterjamahkan ke dalam bahasa Inggris, Francis, Ibrani, Cina, Rusia, Persia, Itali, dan Jerman. http://www2.irib.ir , diakses tanggal 20-05-2009.

18 Thaha Husein, Musykilah al-I’râb, Majalah Majma’ al-Qâhirah, jil. 11, 1959, hal. 97. 19 Qâsim Amîn lahir di sebuah dusun di daerah Mesir dari seorang ayah berasal dari Turki

Utsmani dan ibu berdarah asli Mesir pada awal bulan Desember 1863 M. Sejak kecil ia sangat tekun dalam belajar sehingga ia meraih prestasi yang luar biasa sejak muda. Semasa kuliah ia sudah berkenalan dengan seorang tokoh pembaru Muslim, Jamaluddin al-Afghani, dan aliran-aliran pemikirannya yang memang berkembang di Mesir saat itu. Setelah menyelesaikan studi hukum di Prancis pada tahun 1885, ia kembali ke Mesir di mana ia menjabat sebagai seorang hakim dan berpertisipasi dalam mendirikan Universitas Kairo. Di antara karya-karyanya adalah Tahrîr al-Mar’ah, al-Mar’ah al-Jadîdah,’Ubûdiyyah al-Mar’ah. http://en.wikipedia.org , diakses pada tanggal 20 Desember 2009.

20 Ahmad Luthfî al-Sayyid di desa Barqîn di daerah al-Daqhaliyyah Mesir pada 15 Januari 1872 M. Pendidikan Ibtida ‘iyyah dia selesaikan di madrasah al-Manshûrah, sadangkan pendidikan

Tsanawiyyah dia selesaikan di madrasah al-Khudaiwiyyah di Kairo pada tahun 1889 M, kemudian ia melanjutkan ke Fakultas Hukum dan selesai pada tahun 1894, tiga tahunkemudian dia meraih gelar Doktor. Ia ikut berpertisipasi dalam mendirikan pertai al-Ummat pada tahun 1907 yang mana ia menduduki jebatan sebagai sekretaris. Ia pernah menjadi Rektor Universitas Mesir, pada masanya inilah Universitas Mesir pertama kali menerima Mahasiswi untuk belajar disana. Pada tahun 1945 ia menjadi ketua Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah sampai ia meninggal dunia pada tahun 1963. Dia banyak menulis makalah tentang kebebasan (al-Hurriyyah), di antaranya adalah:Ma’na al-Hurriyyah, al-Hurriyyah al-Syakhshiyyah, al-Hurriyyah wa al-Ahzâb, al-Hurriyyah wa Huqûq al-Ummah, al- Hurriyyah wa Madzâhib al-Hukm, Hurriyyah al-Ta’lîm, Hurriyyah al-Qadhâ’, Hurriyyah al- Shahâfah, Hurriyyah al-Ijtimâ’, dan lain-lain. http://www.sis.eg , diakses pada tanggal 20 Desember 2009.

21 Salâmah Mûsâ lahir pada tahun 1887 di sebuah dusun di dekat kota al-Zaqâzîq di Mesir. Pendidikan Ibtida’iyyah dia selesaikan di al-Zaqâzîq kemudian ia pindah ke Kairo dan melanjutkan ke

Madrasah al-Taufîqiyyah kemudian madrasah al-Khudaiwiyyah dan mendapatkan ijazah Tsanawiyyah Madrasah al-Taufîqiyyah kemudian madrasah al-Khudaiwiyyah dan mendapatkan ijazah Tsanawiyyah

Kedua, kelompok yang berpendapat bahwasanya i’râb itu sangat erat hubungannya dengan makna, perubahan i’râb pada suatu kalimat akan

mempengaruhi atas perubahan makna kalimat tersebut. 23 Menurut ‘Abd Allah Jâd al- Karîm (1972-sampai sekarang), 24 mayoritas ahli Nahwu (Jumhûr al-Nuhât) sepakat

bahwasanya i’râb-lah yang menyingkap dan membedakan makna suatu kalimat (lafazd). Ibnu Rusyad al-Qurthubî (551-595 H) 25 menyebutkan ada enam penyebab

perbedaan para ahli fikih (Fuqahâ) dalam menantukan hukum, di antaranya adalah disebabkan oleh perbedaan dalam i’râb, karena i’râb ini sangat penting untuk

membedakan antara makna-makna pada struktur kalimat. 26 Hal ini juga ditegaskan

pada tahun 1903. Pada tahun 1906, karena ada masalah keluarga, dia memutuskan pergi ke Eropa, kemudian dia pergi ke Prancis dan menetap di Paris selama tiga tahun, dan disana lah dia banyak terpengaruh oleh pemikiran dan filsafat barat. Kemudian setelah itu dia pergi ke Inggris untuk belajar hukum dan menetap disana selama empat tahun. Setelah dia pulang dari Inggris, ia menerbitkan buku tentang sosialis pertama di dunia Arab, yaitu pada tahun 1912 M. Dia termasuk penulis yang produktif yang banyak menulis buku, di antara karya-karyanya adalah: Muqaddimah al-Subarmân, al- Isytirâkiyyah, Asyhar al-Khuthab wa Masyâhîr al-Khuthabâ’, al-Hubb fî al-Târîkh, Ahlâm al- Falâsifah, Asrâr al-Nafs, Hurriyyah al-Fikr wa Abthâluhâ fî al-Târîkh, al-Balâghah al-‘Ashriyyah wa al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Adab wa al-Hayât, Ahâdîts ilâ al-Syabâb, dan lain-lain.

22 Abd Allah Jâd al-Karîm, al-Daras al-Nahwi fî al-Qaran al-‘Isyrîn, hal. 141. Penulis tidak sepandapat dengan segolongan orang yang mennuntut penghapusan i’râb dan menggantinya dengan

sukun, sebab i’râb merupakan salah satu keunikan dan karakteristik yang dimiliki bahasa Arab yang membedakannya dari bahasa-bahasa lain. Menghapus i’râb sama artinya dengan membunuh karakter bahasa tersebut.

23 Perlu diketehui bahwa makna yang dimaksud oleh para ahli nahwu disini adalah makna gramatikal (al-Ma’ânî al-Nahwiyyah) seperti; fâ’il, maf’ûl, idhâfah, dan lain-lain, bukan makna

leksikal (al-Ma’ânî al-Mu’jamiyyah) yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab.

24 Abd Allah Jâd al-Karîm, al-Daras al-Nahwi Fî al-Qaran al-‘Isyrîn, hal. 79.

25 Nama lengkapnya adalah al-Walîd ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 551 H. Ia seorang ahli fiqh, kedokteran, dan filsafat. Ia pernah meringkas buku filsafat

Aristotelis pada tahun 548 atas permintaan Abû Ya’qûb Yûsûf ibn ‘Abd al-Mu’min. Ia diangkat menjadi Qâdhi (hakim) di Isybîliah pada tahun 515. Di antara karya-karyanya adalah: Bidâyat al- Mujtahid Wa Nihâyat al-Muqtashid, Fashl al-Maqâl fîmâ baina al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al- Ittishâl, Manâhij al-Adillah fî ‘Aqâ’id al-Millah, Tahâfut al-Tahâfut. Lihat, Ahmad Hasan al-Zayyât, Târîkh Adab al-‘Arabî, (Kairo:Dâr Nahdhah Misr, t. th), cet. 15, hal. 390-392.

26 Ibnu Rusyad al-Qurthuby, Bidâyat al-Mujtahid Wa Nihâyat al-Muqtashid, jil. 1, hal. 13.

oleh al-Zamakhsyarî (467-538 H.) dalam al-Mufashshal fî ‘Ilm al-Arabiyyah 27 bahwa masalah-masalah usul fiqih didasari oleh masalah i’râb. 28

Kemudian 29 Ahmad Abd al-Ghaffâr juga menegaskan bahwa i’râb dalam bahasa Arab merupakan masalah yang urgen dan selalu di butuhkan, sebab menurut

dia satu kata bisa mempunyai makna yang berbeda-beda yaitu; mungkin sebagai subyek, objek, idhafah, ibtida, khabar, dan lain-lain. Kalau bukan dengan i’râb, maka makna kalimat tersebut tidak dapat dipahami dan diketahui dengan jelas. Atau dengan ungkapan lain, bahwa kebutuhan akan i’râb akan terlihat untuk mengetahui posisi kata dalam suatu kalimat (al-Jumlah). Sabagai contoh bisa dilihat kalimat-

kalimat berikut ini; 1. ﺐﻟﺎﻃ ﻦﺴﺣأ ﺎﻣ 2. ﺎﺒﻟﺎﻃ ﻦﺴﺣأ ﺎﻣ 3. ﺐﻟﺎﻃ ﻦﺴﺣأ ﺎﻣ . Kalimat nomor satu adalah pertanyaan (Istifh m), hal tersebut dapat diketahui dari harakat dhommah pada kata ( ﻦﺴﺣأ) dan harakat kasrah (jarr) pada kata (ﺐﻟﺎﻃ). Kalimat nomor dua adalah ungkapan keheranan (ta’ajjub), hal tersebut dapat diketahui dari harakat fathah (nashab) pada kata ( ﻦﺴﺣأ) dan kata (ﺐﻟﺎﻃ). Sedangkan kalimat yang nomor tiga adalah kalimat berita, itu dapat diketahui dari harakat fathah pada kata ( ﻦﺴﺣأ) dan harakat dhommah (rafa’) pada kata ( ﺐﻟﺎﻃ).

Perbedaan makna (dalâlah) di antara kalimat-kalimat di atas disebabkan adanya perbedaan harakat i’râb pada akhir kata kalimat tersebut, kalau seandainya tanpa i’râb niscaya akan terjadi keambiguan (al-Labs) dalam memahaminya. Sebab disusunnya i’râb menurut Ibn al-Sarrrâj (w. 550 H) untuk membedakan makna suata kalimat, dan kalau i’râb tersebut dihilangkan, maka makna-makna kalimat tersebut tidak dapat dibedakan sehingga orang akan mendapatkan kesulitan memahami

maksudnya dengan baik dan benar. 30

27 Abû al-Qâsim Mahmûd bin ‘Amr al-Zamakhsyarî, al-Mufashshal Fi ‘Ilm al-Arabiyah, 28 Lihat pernyataan al-Zamakhsyarî: ﻢﻠﻋ ﻰﻠﻋ ًﺎّﻴﻨﺒﻣ ﺎﻬﻠﺋﺎﺴﻣو ﻪﻘﻔﻟا لﻮﺻأ باﻮﺑأ ﻢﻈﻌﻣ ﻲﻓ َمﻼﻜﻟا نوﺮﻳو » ،ﻦﻴّﻴﻓﻮﻜﻟاو ﻦﻴّﻳﺮﺼ ﺒﻟا ﻦﻴّﻳﻮﺤّﻨﻟا ﻦﻣ ﻢهﺮﻴﻏو ءاّﺮﻔﻟاو ّﻲﺋﺎﺴﻜﻟاو ﺶﻔﺧﻷاو ﻪﻳﻮﺒﻴﺳ ﻦﻋ تﺎﻳاوّﺮﻟﺎﺑ ًﺔﻧﻮﺤﺸﻣ َﺮﻴﺳﺎﻔّﺘﻟاو ،باﺮﻋﻹا ،ﻢﻬﺗﺮﻇﺎﻨﻣو ﻢﻬﺴﻳرﺪﺗو ﻢﻬﺗروﺎﺤﻣو ﻢﻠﻌﻟا ﻲﻓ ﻢﻬﺘﻠﻗﺎﻨﻣ نﺎﺴﻠّﻟا اﺬﻬﺑو ،ﻢﻬﻠﻳوﺄﺗ باﺪهﺄﺑ ﺚّﺒﺸّﺘﻟاو ،ﻢﻬﻠﻳوﺎﻗﺄﺑ صﻮﺼّﻨﻟا ﺬﺧﺂﻣ ﻲﻓ رﺎﻬﻈﺘﺳﻻاو « ﻢﻬﻣﻼﻗأ ﺲﻴﻃاﺮﻘﻟا ﻲﻓ ﺮﻄﻘﺗ ﻪﺑو

29 Ahmad Abd al-Ghaffâr, Dirâsât Fî al-Nahwi al-Arabi, hal. 90. 30 Lihat, Muhammad ibn Abdul Malik al-Sarrâj al-Syantarînî, Tanbîh al-Albâb ‘Ala Fadhâ’il

al-I’râb, (Yordania: Dâr ‘Ammâr, 1995), cet. 1, hal. 22.

Mengabaikan i’râb kata Mâzin Mubârak pada bahasa yang bergantung pada i’rab dalam mengungkapkan makna-makna nahwu- seperti bahasa Arab- sama saja dengan merobohkan dan membunuh karakter bahasa tersebut. Menghilangkan harakat i’râb akan menyebabkan keambiguan pada suatu kalimat dan ungkapan, sebab dalam bahasa Arab banyak didapati kalimat-kalimat yang tidak dapat di pahami maknanya

dengan baik dan benar tanpa adanya i’râb. 31 Maka tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwasanya nahwu adalah kunci makna, dan i’râb sebgai media

pemahaman. Sehingga ajakan untuk menghilangkan salah satunya akan memberi pengaruh dalam memahami suatu kalimat. Sebagai contoh bisa dilihat pada kalimat berikut ini: ﺖﻴﺒﻟا ﻲﻓ ﻞﺟر ﻻ dengan membaca fathah kalimat (ﻞﺟر) berarti menafikan adanya semua jenis laki-laki di rumah (tanpa kecuali), sementara ﺖﻴﺒﻟا ﻲﻓ ﻞﺟر ﻻ dengan membaca dhommah pada kalimat ( ﻞﺟر) berarti hanya menafikan satu orang laki-laki saja di rumah. Contoh lain lagi: harakat i’râb kata ( ﺪﻳﺪﺠﻟا) pada kalimat: “ ﻦﻳأ ﺪﻳﺪﺠﻟا ﺖﻴﺒﻟا حﺎﺘﻔﻣ ﺖﻌﺿو” mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk memahami makna kalimat tersebut, apabila di baca dengan kasrah, maka pembicaraan menganai rumah baru, sebab kata ( ﺪﻳﺪﺠﻟا) sebagai sifat (na’at) dari (ﺖﻴﺒﻟا), sedangkan kalau dibaca dengan fathah, maka pertanyaan disini tentang kunci yang baru, sebab kata ( ﺪﻳﺪﺠﻟ ) sebagai sifat (na’at) dari ( حﺎﺘﻔﻤﻟا), dari contoh ini, dapat dilihat pentingnya ا fungsi harakat i’râb dalam memperjelas dan membedakan makna antara kedua kalimat tersebut di atas.

Berdasar dari pemaparan contoh-contoh di atas dapat dilihat pentingnya i’râb dalam bahasa Arab. Ibn al-Atsîr (w. 637 H.) menyebutkan contoh kesalahan

pengucapan bahasa Arab (al-Lahn) 32 , yang mana contoh ini menggiring kita untuk mengetahui sebab yang berhubungan dengan dikodifikasikannya ilmu Nahwu.

31 Mâzin Mubârak, Nahwu Wa’yin Lughawiyyin, (Damaskus: Dar- al-Basyâ’ir, 2003),cet. IV, hal. 77.

32 Al-Lahn adalah kesalahan yang terjadi pada seseorang ketika dia berbicara atau membaca, Lahn ini biasanya terjadi pada I’rab atau dalam penyusunan kalimat yang menyalahi kaidah bahasa,

kemudian lahn juga kemungkinan terjadi pada pengucapan lafadz. Lihat Majdi Wahbah dan Kamil al- Muhandis, Mu’jam al-Mushtalahât al-‘Arabiyyah Fî al-Lughat Wa al-Adab, (Bairut:Maktabah Lubnan, 1984)cet. 2, hal. 316.

Diriwayatkan bahwa Abû al-Aswad al-Du’alî (w. 67 H.) 33 mendengar puterinya salah dalam mengucapkan bahasa Arab, dimana puterinya berkata: " ِءﺎﻤﺴﻟا ُﻞﻤﺟأ ﺎﻣ " “Apakah

yang terindah di langit?”. Lalu Abu al-Aswad pun menjawab sesuai dengan pertanyaan yang diajukan puterinya tersebut: “Yang terindah adalah bintang- bintangnya”. Kemudian puterinya berkata: “Saya tidak bermaksud menanyakan yang terindah di langit, tetapi yang saya maksud adalah saya kagum dengan keindahan langit”. Kemudian berkatalah Abû al-Aswad kepada puterinya: kalau itu yang kamu

maksud, maka katakanlah: 34 " َءﺎﻤﺴﻟا َﻞﻤﺟأ ﺎﻣ " “Mâ Ajmala al-Samâ’a”. Syekh Muhammad al-Thanthâwî di dalam bukunya “Nasy’at al-Nahwi Wâ Târîkh Asyharu

al-Nuhât” menyatakan bahwa sebab disusunnya ilmu nahwu adalah karena adanya lahn dalam membaca ayat al-Qur’an surah al-Taubah ayat 3: ﻦﻴآﺮﺸﻤﻟا ﻦﻣ ئﺮﺑ ﷲا ّنأ ﻪ ِﻟﻮﺳرو dengan membaca kasrah huruf lam pada kata ( ﻪ ِﻟﻮﺳر ) yang berarti Allah berlepas dari orang-orang Musyrik dan RasulNya, padahal yang betul adalah dibaca dengan dhommah, yang mana maksudnya adalah bahwasanya Allah dan Rasul-Nya

33 Nama lengkapnnya adalah Dzâlim ibn ‘Amr ibn Sufyân ibn Jandal ibn Ya’mur ibn Jils ibn Kinânah lahir pada tahun 16 sebelum hijrah. Ia masuk Islam pada masa Nabi Saw. dan pernah

mengikuti perang Badar. Ia datang ke Basrah pada masa Khalifah Umar ibn Khaththâb (584-644 M). Ia adalah sahabat ‘Ali ibn Abî Thâlib dan pernah mengikuti peperangan (Mauqi’ah) Shiffîn bersamanya. Ia belajar fiqh dan nahwu dari ‘Ali ibn Abî Thâlib (600-661 M). Usaha-usaha yang telah dilakukannya antara lain pemberian titik dan i,râb al-Qur’an, penyusunan bahasa Arab, penyusunan bab-bab nahwu (Fâ’il, Maf’ûl, Mudhâf, Rafa’, Nashab, dan Jarr) dan penyusunan bagian-bagian kata (Aqsâm al-Kalimah) yaitu :macam-macam Isim, bab-bab ‘Âthaf, Na’at, Ta’jjub, Istifhâm, dan huruf- huruf Nashab. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah; ‘Anbasah ibn Ma’dân al-Fîl al-Mahrî, Maimûn al-Aqran, Nashr ibn ‘Âshim al-Laitsî, ‘Abd al-Rahmân ibn Hurmuz, dan Yahyâ ibn Ya’mur al-‘Anwânî merekalah yang ikut andil dalam peletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu. Ia meninggal dunia di Basrah pada tahun 69 H. pada riwayat lain dikatakan ia meninggal pada masa Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz dalam usia 85 tahun. Lihat, ‘Abd al-Karîm Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fî Târîkh al- Nahwi al-‘Arabî, (Riyadh: Dâr al-Syawâf, 1992), cet. 1, hal. 46-48. Lihat juga, Syeikh Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahwi wa Târîkh Asyhar al-Nuhât, hal. 24. Lihat juga ‘Abd al-‘Âl Sâlim Mukram, al-Halqah al-Mafqûdah Fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabi, (Bairut: Mu’assasah al-Risâlah, 1993), cet. 2, hal. 46-53. Lihat juga, Rihâb Khudhar ‘Akkâwî, Mausû’ah ‘Abâqirat al-Islâm, (Bairut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1993), Jilid. 3, cet. I, hal. 13-17.

34 Abd al-‘Âl Sâlim Mukram, al-Halqat al-Mafqûdat Fî Târîkh al-Nahwi al-Arabi, Mu’assasah al-Risalah, Bairut, cet. 2, 1993, hal. 11. Lihat juga Abu Bakar Muhammad ibn Hasan al-

Zabîdi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1973), cet. 1, hal. 21.

berlepas dari orang-orang Musyrik. Maka sejak itulah Abû al-Aswad al-Du’alî (w. 67 H.) mulai menyusun kaidah nahwu. 35

Berdasarkan dari riwayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus lahn (kesalahan dalam i’râb) adalah cikal-bekal dan faktor pendorong dikodifikasikannya qa’idah (gramatika) bahasa Arab. 36 Namun Tammâm Hassan (1918-sekarang) 37 melihat lahn bukan faktor utama, melainkan hanya bagian dari tiga

faktor penyebab dikodifikasikannya ilmu nahwu, yaitu: faktor agama, faktor nasionalisme, dan faktor politik. 38 Sedangkan Syauqi Dhaif membaginya menjadi

dua faktor, yaitu: faktor agama dan non agama. Faktor Agama, yaitu adanya keinginan untuk menjaga kefashihan teks-teks (al-Nushûsh) al-Qur’an khususnya setelah tersebarnya lahn di kalangan kaum Muslimin pada saat itu. Sedangkan faktor

35 Ibn Jinnî, al-Khashâish, tahqîq: Muhammad ‘Alî al-Najjâr, Kairo: Dar al-Kutub al- Mishriyyah, Cet. 4, 2006, hal 8. Lihat juga Muhammad al-Thanthwi, Nasy’at al-Nahwi Wâ Târîkh

Asyharu al-Nuhât, Dar al-Ma’arif, cet. 2, hal. 25. Lihat juga Rihab Khudhar 'Akkawi, Mausu'ah 'Abaqirah al-Islam fi al-Nahwi, wa al-Lughah wa-al-Fiqh, al-Mujallad al-Tsalits, (Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1993), hal. 9. Perlu diketahui bahwa Lahn sebenarnya telah berlangsung cukup lama, bahkan telah terjadi sejak masa Rasulullah saw, periode Umar ibn Al-Khattab, dan seterusnya, meskipun dalam jumlah yang masih relatif sedikit. Seiring dengan perkembangan dan penyebaran agama Islam yang berakibat pada banyaknya daerah taklukan Islam yang memeluk agama Islam dimana mereka berasal dari daerah yang baragam dan bahasa yang juga beragam, maka lahn pun kian subur dan semakin banyak terjadi. Ketika itu banyak anak keturunan Arab yang terlahir dari ibu-ibu yang berasal dari warga “asing” atau non Arab yang secara otomatis mewariskan gaya bahasa, gaya bicara, dan dialek asing kepada mereka. Lihat Syauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dâr al- Ma’ârif, t. th), cet. 3, hal. 11-12

36 Lihat Mahmûd Muhammad al-Thanâhi, Fî al-Lughati Wa al-Adabi Dirâsât Wa Buhûts, Dâr al-Gharbi al-Islâmi, 2002, jilid 2, hal. 492. Lihat juga ‘Abduh al-Râjihi, Fiqh al-Lughah Fî al-Kutub

al-Arabiyyah, (Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah, 1998), hal. 34. Lihat jugaThalâl ‘Alâmah, Tathawwur al-Nahwi al-Arabi, (Bairut: Dâr al-Fikr al-Lubnâni, 1993), cet. 1, hal. 29.

37 Nama lengkapnya adalah Tammâm Hassân ibn Omar ibn Muhammad Dâwûd, lahir di desa Karnak, propinsi Qinâ, Mesir pada 27 Januari 1918. Ia telah hafal al-Qur’an ketika ia berusia 11 tahun.

Pada tahun 1934 ia memperoleh ijazah Ibtidâiyyah Azhariyyah, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah (MTs dan MA) pada tahun 1939. Setelah itu , ia melanjutkan ke Madrasah Dâr al-‘Ulûm. Di Madrasah ini ia memperoleh ijazah Diploma Bahasa Arab pada tahun 1943. Dia adalah salah seorang Guru Besar di bidang nahwu dan sharaf (sejak 1964). Ia juga seorang linguist Arab kontemporer yang sangat produktif. Dia telah menulis 10 buku, menerjemahkan 5 buku dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Arab, menulis lebih dari 40 artikel di berbagai jurnal internasional. Dia juga pernah menjabat Dekan Fakultas Dâr al-Ulûm. Dia termasuk perintis pendirian dan sekaligus menjadi direktur pertama Ma’had Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîn bihâ (Lembaga Pendidikan Bahasa Arab untuk nonArab) pada Universitas Umm al-Qurâ di Mekkah.

38 LihatTammâm Hassan, al-Ushûl: Dirâsat Epistimûlûjiyyah li al-Fikr al-Lughawi ‘inda al- ‘Arab: al-Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2000), hal. 23.

non Agama, yaitu karena adanya rasa bangga orang-orang Arab terhadap bahasa mereka sehingga timbul rasa takut akan terancamnya eksistensi bahasa mereka akibat

percampuran dengan orang-orang non-Arab (al-‘Ajam). 39 Berdasarkan dari pemaparan tersebut di atas maka dapat dilihat keterkaitan

nahwu dengan semantik (dalâlah) dan keterkaitan i’râb dengan makna. Hal itulah yang ingin penulis tegaskan lewat tesis ini dengan menaliti sebagian dari ayat-ayat al- Qur’an yang mempunyai multi makna dan interprestasi karena adanya perbedaan para ulama dalam mengi’râbkan dan melihat posisi sintaksis kalimat dari ayat tersebut.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah Berdasarkan pemaparan pada latar belakang di atas, maka ada beberapa permasalahan yang mungkin dapat diteliti yang terkait dengan implikasi perbedaan i’râb dalam ayat al-Qur’an adalah:

a. Bagaimana posisi dan kedudukan i’râb dalam bahasa Arab?

b. Adakah hubungan antara i’râb dengan makna?

c. Bagaimana perbedaan harakat i’râb dapat berimplikasi terhadap perbedaan penafsiran ayat al-Qur’an?

2. Batasan Masalah Dalam penelitian ini, permasalahan pengaruh i’râb terhadap penafsiran ayat al- Qur’an, akan penulis batasi pada ayat-ayat yang tententu saja, khususnya pada ayat yang multi-i’râb yang berhubungan dengan hukum yang mana perbedaan dalam memahami ayat tersebut akan berimplikasi terhadap istinbâth hukum yang akan dihasilkan.

3. Rumusan Masalah

39 Lihat, Syauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t. th), cet. 3, hal. 11-12.

Berdasarkan penjelasan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana hubungan antara i’râb dengan makna?

b. Mengapa setiap perubahan i’râb pada suatu kata/kalimat akan berimplikasi pada perubahan makna kata/ kalimat tersebut?

c. Bagaimana implikasi perbedaan i’râb terhadap penafsiran ayat al-Qur’an?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Membuktikan adanya implikasi perubahan i’râb terhadap perubahan makna.

2. Membuktikan bahwa perbedaan i’râb pada suatu ayat berimplikasi terhadap penafsiran ayat tersebut.

D. Signifikasi Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan berguna untuk:

1. Pengembangan kajian tentang keunikan, keistimewaan, dan karakteristik bahasa Arab.

2. Mengkritisi pandangan yang menyatakan bahwa i’râb tidak mempengaruhi terhadap perubahan makna.

3. Pengembangan kajian semantik terutama hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan yang diteliti.

E. Kajian Terdahulu yang Relevan

Pada ruang lingkup kajian tentang perubahan makna yang terkait dengan i’râb, penulis menemukan beberapa penelitian, yaitu:

1. Min Asrâr al-Lughah (buku) ditulis oleh Ibrahim Anis, yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara i’râb dan makna (perubahan pada i’râb

tidak berimplikasi pada perubahan Makna). 40

40 Ibrâhîm Anis, Min Asrâr al-Lughat, (Kairo: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyyah, 1958), Cet. 2.

2. Musykilah al-I’râb (Artikel) Thaha Husein, yang menyatakan bahwa i’râb merupakan sumber kesulitan dalam mempelajari bahasa Arab, i’râb tidak

memberikan pengaruh terhadap perubahan makna suatu kalimat. 41

3. Al-Nahwu wa al-Dalâlah: Madkhal Li Dirâsah al-Ma’na al-Nahwi-al-Dilâli (buku) ditulis oleh Muhammad Hammâsah Abd al-Lathîf, yang menyatakan efektifitas makna sintaksis (al-Ma’nâ al-Nahwî) dalam menjelaskan dan menafsirkan suatu teks, perbedaan fungsi sintaksis dipastikan akan

menyebabkan perbedaan makna kata dalam suatu kalimat. 42

4. ‘Al-Ma’na wa al-Nahwu (buku) oleh Abdullah Ahmad Jâd al-Karîm, membahas tentang korelasi antara lafazd dengan makna, dan antara (semantik) dengan sintaksis (nahwu) secara umum.

5. Atsar al-Khilâf al-Nahwi fî Taujîh Âyât al-Qur’an al-Karîm ‘alâ al-Hukm al- Fiqhi,(Artikel) ditulis oleh Syarîf Abd al-Karîm Muhammad al-Najjâr, yang menyatakan bahwa perbedaan ulama pada hukum fiqih disebabkan oleh

perbedaan mereka dalam masalah nahwu. 43

6. Nahwu Wa’yin Lughawiyyin (Buku) ditulis oleh Mâzin Mubârak, yang menyatakan bahwa dalam bahasa Arab banyak kalimat-kalimat yang tidak dapat dipahami dengan baik dan benar tanpa i’râb, oleh karena itu pengabain

terhadap i’râb akan membuat kerancuan dan keambiguan. 44