Makna dalam Kajian Linguistik
A. Makna dalam Kajian Linguistik
Di antara sekian banyak makhluk hidup di dunia, manusia dianggap makhluk hidup tertinggi. Hanya manusia yang mempunyai bahasa dan kecakapan berbahsa. Kebudayaan manusia berkembang dan dapat diwariskan karena peranan bahasa ini. Tak ada peradaban manusia tanpa bahasa. Bahasa adalah ciri manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Kita lahir ke dalam dunia yang sudah mengenal sistem bahasa. Bahasa merupakan media untuk memahami makna dan mentransper ide dan pikiran antara sesama manusia, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan
baik antar sesamanya. 1 Dalam menyempaikan sebuah pesan, seseorang memerlukan bahasa tertentu
sehingga dapat dipahami oleh si penerima pesan tersebut. Sudah menjadi keharusan bahwa dalam suatu komunitas diperlukan bahasa yang dapat dipahami oleh setiap
1 Lihat, Ibrâhîm Muhammad ‘Abd Allah, Majalah al-Turâts al-‘Arabî, Damaskus: edisi. 101, tahun ke 26, 2006.
angota komunitas tersebut sehingga maksud dari apa yang ingin disampaikan oleh seorang anggota komunitas dapat ditangkap dan dipahami dengan baik dan benar oleh yang lain.
Makna merupakan kajian yang penting dalam bahasa, karena berbahasa tujuannya adalah menyempaikan makna. Makna merupakan tujuan akhir antara
penutur dan pendengar, dan antara penulis dengan pembaca. 2 al-Jâhizh (w. 255/868) menyatakan bahwa makna (al-Ma’ânî) adalah sesuatu yang berada dalam benak
seseorang , terkontruksi sedemikian rupa, dan tersimpan di wilayah jiwa manusia yang paling dalam, tersembunyi dan sangat jauh, sehingga tidak bisa diketahui oleh
orang lain dari si pemilik makna kecuali dengan mengunakan perantara. 3 Perantara ini bisa jadi berupa simbol bunyi bahasa yang tertulis dan disepakati oleh komunitas
tertentu atau berupa perangkat lainnya. Dalam istilah linguistik modern, elemen- elemen bahasa sebagai perangkat komunikasi, baik yang tertulis maupun yang tidak, dinamakan kode. Dalam hal ini, al-Jâhizh (w. 255/868) menyebut lima bentuk kode komunikasi, yaitu: kata (lafazh), tanda atau isyarat (isyârah), konvensi (‘aqd), kondisi
(hâl), dan korelasi (nisbah). 4 Bahasa memiliki dua elemen: pertama, rangkaian bunyi (a string of sound)
dan kedua, makna (meaning). Bunyi adalah bentuk konkret yaitu suara, sedangkan makna lebih bersifat abstrak yang tersimpan di dalam benak. Dalam berkomunikasi, bunyi dan makna adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata
uang. 5 Hal ini dinyatakan oleh al-Jurjânî (w. 471/1079) dalam Dalâ’il al-I’jâz: ( ﺲﻴﻟ ﻪﻧأ ﺚﻟﺎﺛ ﻻو ﻆﻔﻠﻟاو ﻰﻨﻌﻤﻟا ﻻإ) maksudnya bahasa itu hanyalah merupakan rangkain lafadz
2 Lihat, Khalil Ahmad ‘Amâyirah, fî al-Tahlîl al-Lughawî, (Kairo: Maktabah al-Manâr, 1987), cet. 1, hal. 13.
Lihat, Abû ‘Utsmân ibn ‘Amr ibn Bahr al-Jâhizh, al-Bayân wa al-Tibyân, tahqîq: ‘Abd Salâm Muhammad Hârûn, (Kairo: Maktabah al-Khânjî, 1998), Cet. 7, jilid. 1, hal. 75.
4 Lihat, Abû ‘Utsmân ibn ‘Amr ibn Bahr al-Jâhizh, al-Bayân wa al-Tibyân, tahqîq: ‘Abd Salâm Muhammad Hârûn, jilid. 1, hal. 76.
5 Lihat, ‘Abd Allah Ahmad Jâd al-Karîm, al-Ma’na wa al-Nahwu, (Maktabah al-Âdâb, 2002), cet. 1, hal. 11. Lihat juga, Fadhl Allah Al-Mahdî, Madkhal ilâ ‘Ilm al-Manthiq, (Bairut: Dâr al-
Thalî’ah, 1990), cet. 4, hal. 45.
dan makna. 6 Lafazh dan makna bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, lafazh tidak mempunyai nilai tanpa makna begitu juga
sebaliknya. Istilah makna mengacu pada pengertian yang sangat luas. Ullmann menyatakan bahwa makna adalah salah satu dari istilah yang paling kabur dan kontroversial dalam teori bahasa. Ogden dan Richard dalam bukunya The Meaning of Meaning (1923) mendaftar dua puluh dua rumusan pengertian makna yang berbeda-
beda antara satu dengan lainnya. 7 Dalam hal ini Ullmann mengemukakan bahwa ada dua aliran dalam linguistik pada masa kini, yaitu pendekatan analitik dan referensial
yang mencari esensi makna dengan cara memisah-misahkannya menjadi kompenen- komponen utama. Yang kedua, pendekatan rasional yang mempelajari kata dalam operasinya, yang kurang memperhatikan persoalan apakah makna itu, tetapi lebih tertarik pada persoalan bagaimana kata itu bekerja .
8 Menurut Ibn al-Sarrâj (w. 316 H), maksud dari makna secara etimologi berkisar pada tujuan dan perhatian terhadap kalimat (al-Kalâm), karena pada
dasarnya kalimat dibuat untuk menjelaskan makna. 9 Walaupun makna merupakan inti dari studi linguistik, akan tetapi tidak didapati definisi yang pasti secara terminologi
tentang makna tersebut. Dalam hal definsi makna ini, terjadi perbedaan yang begitu besar di antara para ahli bahasa sehingga sangat sulit untuk menyatukan atau bahkan untuk mendekat antara pendapat-pendapat yang banyak tersebut.
6 Lihat, ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz, tahqîq Muhammad Rasyîd Ridhâ, (Bairut: Dâr al-Fikr), hal. 368.
7 Lihat, ‘Abd Allah Ahmad Jâd al-Karîm, al-Ma’na wa al-Nahwu, (Maktabah al-Âdâb, 2002), cet. 1, hal. 12. Lihat juga, Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta:Rineka Cipta, 2001), cet. 1, hal.
81. 8 Nama lengkapnya adalah Abû Bakr Muhammad ibn al-Sariyy yang terkenal dengan Ibn al-
Sarrâj. Ia dibesarkan di kota Bagdad, ia pernah belajar dengan al-Mubarrid kitâb Sibawaihi. Adapun para ahli nahwu yang pernah belajar dengannya adalah: al-Zujâjî, al-Sîrâfî, al-Fârisî, dan al-Rummânî. Di antara karya-karyanya adalah; Kitâb al-Ushûl yang terkenal dengan Ushûl ibn Sarrâj. Ia meninggal dunia pada usia yang masih muda pada tahun 316 H pada masa Khalifah al-Muqtadir. Lihat, Thalâl ‘Alâmah, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabî fî Madrataiyy al-Bashrah wa al-Kûfah, (Bairut: Dâr al-Fikr al-Lubnânî, 1993), Cet. 1, hal. 174-175. Lihat juga, ‘Abd al-Karîm Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabî, (Riyadh: Dâr al-Syawâf, 1992), Cet. 1, hal. 120.
9 Lihat, Ibn al-Sarrâj, al-Ushûl fî al-Nahwi, tahqîq ‘Abd al-Husein al-Fatlâ, (Bairut: Mu’ssasah al-Risâlah, 1987), jilid. 1, hal. 73.
Berdasarkan dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa aspek fundamental pada setiap bahasa adalah makna yang dikandungnya. Sebab sesungguhnya tujuan dari bahasa adalah untuk menyampaikan makna. Manusia berbicara untuk dapat mengungkapkan makna dari ide-ide mereka, meraka mendengarkan pembicaraan orang lain untuk mengungkap makna atau maksud dari pembicaraan orang tersebut. Tanpa adanya makna, maka sebuah bahasa tidak berguna dan tidak memiliki nilai apa-apa. Dengan makna itulah orang lain dapat memahami apa yang dimaksud oleh pembicara. Sulit dibayangkan betapa rumitnya menjalin komunikasi jika bahasa yang digunakan tidak memiliki makna. Artinya antara yang satu orang dengan yang lainnya tidak bisa saling memahami. Jika hal itu terjadi, maka berarti tujuan dari adanya bahasa sebagai media untuk menyempaikan ide, maksud, dan tujuan tidak tercapai.
1. Macam-macam Makna Menurut Verhaar, persoalan makna menyentuh sebagian besar tataran linguistik. Mulai dari hal yang paling rendah yaitu leksikal, di mana di dalamnya ada makna dan disebut dengan makna leksikal. Pada tataran morfologi dan sintaksis juga ada makna yang disebut dengan makna struktural. Berdasarkan hal tersebut, ia membagi makna kepada dua jenis, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Fâyiz al-Dâyah membagi makna kepada empat jenis, yaitu makna Leksikal (al-Dilâlah al- Mu’jamiyyah), makna morfologis (al-Dilâlah al-Sharfiyyah), makna gramatikal (al- Dilâlah al-Nahwiyyah), dan makna kontekstual (al-Dilâlah al-Siyâqiyyah). 10
a. Makna Leksikal (al-Dalâlah al-Mu’jamiyyah) Makna leksikal adalah makna dasar (al-Ma’na al-Asâsî) sebuah kata yang sesuai dengan kamus. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna kata secara lepas diluar konteks kalimatnya tanpa kaitan dengan kata yang lainnya dalam sebuah struktur (frase klausa atau kalimat). Makna leksikal ini terutama
10 Lihat, Fâyiz al-Dâyah, ‘Ilm al-Dilâlah al-‘Arabî al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, (Bairut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1985), cet. 1, hal. 20.
yang berupa kata dalam kamus, biasanya sebagai makna pertama dari kata atau entri yang terdaftar dalam kamus itu. 11
Pateda mendefinisikan makna leksikal sebagai makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, baik dalam bentuk kata atau bentuk perimbuhan yang maknanya
kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu. 12 Dikatakan berdiri sendiri sebab makna sebuah kata dapat berubah apabila kata
tersebut telah berada si dalam kalimat. Sementara yang dimaksud dengan makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya kata itu dalam kalimat.
Dalam bahasa Indonesia, misalnya “bagian tubuh dari leher keatas” adalah makna leksikal dari kata “kepala”, sedang makna “ketua” atau “pemimpin” bukanlah makna leksikal, sebab untuk menyatakan makna “ketua” atau “pemimpin”, kata “kepala” itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti dalam frase “kepala
madrasah” atau “kepala kantor”. 13 Para linguis kontemporer menetapkan tiga karakteristik dari makna leksikal
(al-Ma’nâ al-Mu’jamî) ini, yaitu: 1. Umum (‘âmm), dalam kamus sebuah kata memiliki makna yang umum, hal tersebut karena ia tidak berada dalam konteks tertentu sebab konteks (al-Siyâq) lah yang membatasi dan mengikat makna yang umum tersebut. 2. Banyak dan bermacam-macam (muta’addid), hal ini karena ia bisa masuk ke dalam berbagai macam konteks yang berbeda-beda, dan setiap konteks tersebut akan memberikannya makna yang baru. 3. Tidak tetap (ghairu
11 Lihat: Muhammad ‘Ali al-Khûlî, A Dictionary of Applied Linguistics, (Beirut: Maktabah du Liban, 1986), Cet. 1, hal. 131, Majdî Wahbah, Mu’jam…, h. 447, Moh. Matsna HS, mengatakan bahwa
makna leksikal, adalah arti dasar atau makna yang menjadi substansi kebahasaan yang menjadi akar dari segala derivasi yang digunakan dalam struktur kalimat. Misalnya Kata " أﺮﻗ " berarti aktifitas menghimpun informasi, membaca meneliti, mencermati menelaah, dan sebagainya. Lihat: Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyarî, Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam, (Jakarta: Anglo Media, 2006), Cet. 1, hal. 27.
12 Lihat, Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 119. 13 Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoritik, (Jakarta: Renika Cipta, 2002), Cet. 3, hal.
tsâbit), hal ini karena makna suatu kata dapat berubah-ubah sesuai dengan konteks
14 yang melatar belakanginya. 15 Sementara itu Tammân Hassan menyebutkan ada dua karakteristik makna leksikal ini, yaitu: bervariasi (muta’addid) dan
mengandung kemungkinan (muhtamal), yang mana menurut dia, kedua karakteristik ini saling tarik-menarik satu sama lainnya. Apabila makna suatu kata bervariasi ketika ia terpisah (tidak berada dalam konteks), maka akan bervariasi pula kemungkinan-kemungkinan maksud dari kata tersebut, dan bervariasinya maksud dianggap sebagai kebervariasian pada makna.
Contohnya kata ( بﺮ ) , dalam kamus Mu’jam al-Wasîth mempunyai lebih ﺿ dari 30 makna, di antara makna-maknanya adalah: bergerak, pergi, memukul, mendirikan, berdenyut, mencetak, mencampur, mewajibkan, dan lain-lain. Kemudian kata ( ﺢﺘ ﻓ) mempunyai lebih dari 10 makna, di antara makna-maknanya adalah: membuka, menggali, memutar, menolong, mengadili, menaklukkan, dan
lain-lain. 16 Makna-makna tersebut tidak tetap dan berubah-ubah sesuai dengan konteks yang melatar belakanginya.
Dalam ilmu balâghah, makna leksikal ini disebut juga dengan makna hakiki (al-Maknâ al-Haqîqî), karena makna yang dikehendaki adalah makna dari sebuah lafal yang digunakan sesuai dengan asal penciptaannya sebagai media
komunikasi. 17 Makna asli adalah makna hakiki, karena sesuai dengan realitas makna tersebut, bukan makna yang kedua dan seterusnya. Misalnya kata ( ﺮ ﺤﺒﻟا)
dalam kalimat ( ﺮ ﺤﺒﻟا جﻮ ﻤﻳ), makna ( ﺮ ﺤﺒﻟا) dalam kalimat ini adalah makna hakiki yaitu lautan. Sedangkan kalau dikatakan: (
ﺪﺠ ﺴﻤﻟا ﻲ ﻓ ﺐ ﻄﺨﻳ ﺮ ﺤﺒﻟا), maka makna kata
14 Lihat, Farîd ‘Awadh Haidar, ‘Ilm al-Dalâlah; Dirâsah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah, (Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2005), cet. 1, hal. 51.
15 Lihat, Tammâm Hassan, al-Lughah al-‘Arabiyah Ma‘nâhâ wa Mabnâha (Kairo: ‘Âlam al- Kutub, 1998), hal. 323.
16 Lihat kata ( بﺮﺿ) dan ( ﺢﺘﻓ) dalam Mu’jam al-Wasîth, (Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2004), cet. 4.
17 Lihat,‘Abd al-Muta’âl al-Sha’îdî, Bughyah al-Îdhâh li Talkhîsh Al-Miftâh fî ‘Ulûm al- Balâghah, (Kairo: Maktabah al-Âdâb, 1999), Cet. 10, hal. 74. Lihat juga, ‘Abd al-Rahmân al-Maidânî,
Balaghah al-‘Arabiyyah Ususuhâ wa ‘Ulûmuhâ wa Funûnuhâ, (t.tp. : Maktabah Syâmilah, t.th), hal. 628.
( ﺮ ﺤﺒﻟا) di sini adalah makna metaphora (al-Ma’nâ al-Majâzî) yang berarti orang yang banyak ilmunya.
b. Makna Gramatikal (al-Dalâlah al-Nahwiyyah) Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai hasil suatu proses gramatikal. Farîd ‘Awadh Haidar mendefinisikan makna gramatikal (al-Dilâlah al- Nahwiyyah) dengan: (
وأ ﺔﺑﻮﺘﻜﻤﻟا ﺔﻠﻤﺠﻟا ﻲﻓ ﺔﻴﻣﻼﻜﻟا ةرﻮﺼﻟا وأ ظﺎﻔﻟﻷا ماﺪﺨﺘﺳا ﻦ ﻣ ﺔﻠﺼﺤﻤﻟا ﺔﻟﻻﺪﻟا ﻲﺒﻴآﺮﺘﻟا وأ ﻲﻠﻴﻠﺤﺘﻟا ىﻮﺘﺴﻤﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻗﻮﻄﻨﻤﻟا (Makna yang dihasilkan dari penggunaan kata- kata pada kalimat tulis atau tutur pada tataran analisis atau struktur). 18 Sedangkan
menurut Mansoer Pateda, makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat. 19
Dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, pemfrasean dan pengalimatan. Tampaknya makna-makna gramatikal yang dihasilkan dalam proses gramatikal ini berkaitan erat dengan fitur / ‘malâmih’ makna yang dimiliki setiap butir leksikal dasar, fitur adalah ciri-ciri semantik yang dimiliki secara inheren oleh kata-kata itu sehingga membedakan kata- kata itu satu dari yang lainnya. Menurut J.D. Parera, makna gramatikal merupakan perangkat makna kalimat yang bersifat tertutup. Ini berarti makna gramatikal setiap bahasa terbatas dan tidak dapat berubah atau diganti dalam waktu yang lama. Itu sebabnya, makna gramatikal sebuah bahasa dapat dikaidahkan. Ia bersifat tetap sesuai
dengan keberterimaan masyarakat pemakai bahasa itu. 20 Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, saperti afiksasi,
reduplikasi, atau kalimatisasi. Misalnya, dalam proses afiksasi prefik ber-
18 Lihat, Farîd ‘Awadh Haidar, ‘Ilm al-Dilâlah; Dirâsah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah, hal. 43.
19 Lihat, Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet. 1, hal. 103. 20 Lihat, J. D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), cet. 2, hal. 92.
dengan kata dasar baju melahirkan makna gramatikal “menganakan atau memakai baju”. dengan kata dasar kuda melahirkan makna gramatikal “mengandarai kuda”.
Dalam bahasa Arab, menurut Tammâm Hassan (1918-sekarang) makna gramatikal ini terbagi pada dua bagian: 21
1) Makna sintaksis umum (al-Dalâlah al-Nahwiyyah al-‘Âmmah) yang disebut dengan makna kalimat atau makna struktur.
Makna sintaksis umum ini dihasilkan atau diperoleh dari kalimat-kalimat (al- Jumal) dan struktur-struktur (al-Asâlîb) secara umum, seperti makna kalimat dan struktur yang menunjukan khabar, insya, itsbât, nafî, taukîd (emphasis), istifhâm (interrogative), amr (imperative), nahyi, takhshîsh, tamannî, nidâ, dan lain-lain. Untuk mendapatkan makna susunan kalimat dan makna struktur
bahasa seperti ini biasanya menggunakan pertikel-pertikel (al-Adawât), 22 karena makna sintaksis tidak akan sempurna kecuali dengan cara
menggunakan pertikal. Misalnya, kalau ingin mendapatkan makna pengecualian (al-Istitsnâ) dalam suatu kalimat dapat dipahami dari penggunaan pertikal pengacualian (Adât al-Istitsnâ) sebagaimana dalam firman Allah: ﻪﻬﺟو ﻻإ ﻚﻟﺎه ﺊﻴﺷ ﻞآ (segala sesuatu akan binasa kecuali Allah). Sedangkan kalau mendapatkan makna taukîd (emphasis) dapat dipahami dari pertikel taukîd sebagaimana firman Allah swt: ﺔﻨﺴﺣ ةﻮﺳأ ﷲا لﻮﺳر ﻲﻓ ﻢﻜﻟ نﺎآ ﺪﻘﻟ
21 Lihat, Tammâm Hassan, al-Lughah al-‘Arabiyah Ma‘nâhâ wa Mabnâha, hal. 178. Lihat juga, Farîd ‘Awadh Haidar, ‘Ilm al-Dilâlah; Dirâsah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah, hal. 45.
22 Adawât ( تاودﻷا) adalah jamak dari al-Adât (ةادﻷا) yaitu kata yang berfungsi sebagai penghubung antara dua bagian kalimat, atau antara kedua bagian kalimat tersebut dengan fadhlah, atau
antara dua kalimat. Misalnya adawât al-Istifhâm yaitu pertikel yang digunakan untuk membentuk kalimat Tanya seperti: يأ - ﻢآ – ﻒﻴآ – ﻰﺘﻣ – ﻦﻳأ – ﻦﻣ – ﺎﻣ , al-Syarath seperti: ﺎﻤﻟ - ﺎﻣأ – ﻻﻮﻟ – ﻮﻟ – ﺎﻣ ْذإ – ْنإ , al-Takhshîsh, al-Tamannî, al-Tarajjî, kemudian juga huruf-huruf yang menashabkan dan menjazamkan fi’il mudhâri’, huruf-huruf jarr, dan lain- lain. Untuk lebih memperdalam masalah ini silahkan lihat dan baca, Mushthafâ Ghalâyainî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, hal. 586-595.
(sungguh pada diri Rasulullah benar-benar ada contoh tauladan yang baik untuk kamu sekalian).
2) Makna sintaksis khusus (al-Dilâlah al-Nahwiyyah al-Khâshshah), yaitu makna satuan bab-bab sintksis (al-Abwâb al-Nahwiyyah) seperti subyek, objek, keadaan, dan lain-lain. Sementara makna sintaksis khusus adalah makna yang diperoleh dari makna penggunaan bab-bab kaidah sintaksis, seperti subyek (al-Fâ’iliyyah), obyek (al-Maf’ûliyyah), keadaan (al-Hâliyyah), sifat (al- Na’tiyyah), keterangan (al-Zharfiyyah),dan lain-lain. dan lain-lain. Jadi, setiap kata tunggal (mufrad) yang terletak pada salah satu dari bab-bab sintaksis tersebut maka ia akan menduduki berfungsi bab tersebut. Makna sintaksis ini sangat terkait dengan kedudukan i‘râb dalam kalimat. Masalah i’râb ini akan dibahas secara khusus pada halaman yang akan datang.
c. Makna Kontekstual (al-Dalâlah al-Siyâqiyyah) Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni
tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut. 23 Konteks merupakan elemen (Jauhar) dari makna yang dimaksud dalam struktur teks atau pembicaraan,
sebab konteks tidak hanya memperhatikan kata dan kalimat saja, tapi juga teks tertulis dan pembicaraan secara keseluruhan lewat hubungan antara kosakata- kosakata dalam suatu konteks.
Para linguis Arab dahulu telah mengerti dan memahami besarnya peran yang dimainkan oleh konteks dalam menantukan makna, al-Jurjâni (w 471. H) misalnya, dalam bukunya ”Dalâ’il al-I’jâz” menyatakan bahwasanya kata-kata tunggal (al- Alfâzh al-Mufradah) tidak dibuat untuk diketahui maknanya secara mandiri (terlepas dari konteks), akan tetapi, kata-kata tersebut tujuannya untuk disusun dan dirangkai
23 Lihat, Farîd ‘Awadh Haidar, ‘Ilm al-Dilâlah: Dirâsah, Nazhariyyah wa Tahtbîqiyyah, hal.56.
satu sama lainnya sehingga dapat diketahui manfaatnya. Hal senada juga di tegaskan oleh Wittgenstein dalam Manqûr ’Abd al-Jalîl dalam pernyataannya: Jangan kamu mencari makna suatu kata, tapi carilah cara bagaimana kata tersebut digunakan
(dalam konteks). 24 Maka oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa makna suatu kata hanya dapat di tentukan dari konteks yang melatari kata tersebut. Menurut Rajab
’Abd al-Jawwâd Ibrâhîm, seseorang tidak dapat mengklaim bahwa ia mengetahui makna kalimat tanpa melihat dari konteksnya. 25 Bahkan Ullmann lebih tegas lagi
menyatakan bahwa kata-kata tidak mempunyai makna sama-sekali kalau ia berada di luar konteks. 26
Di sini terlihat jelas bahwa makna kata (Dalâlah al-Kalimah) banyak dan berbilang sesuai dengan bilangan dan macam-macam konteks yang menyartainya.
Para linguis membedakan konteks ke dalam empat macam: 27 konteks bahasa (al- Siyâq al-Lughawî), konteks emosi (al-Siyâq al-’Âthifî), konteks situasi (Siyâq al-
Mauqif), dan kenteks budaya (al-Siyâq al-Tsaqâfî). Berikut ini akan dibicarakan tentang konteks-konteks tersebut satu-persatu. Pertama, Konteks Bahasa (Linguistic context).
Konteks bahasa adalah makna yang dihasilkan dari penggunaan kata dalam suatu kalimat ketika tersusun dengan kata-kata lainnya yang menimbulkan makna khusus tertentu. Makna dalam konteks berbeda dari makna yang ada dalam kamus, sebab makna kamus (al-Ma’na al-Mu’jamî) sebagaimana telah dijelaskan di atas bermacam-macam dan mengandung kemungkinan-kemungkinan, sedangkan makna dalam suatu konteks (al-Siyâq) yang dihasilkan oleh konteks bahasa (al-Siyâq al-
24 Lihat, Manqûr ‘Abd al-Jalîl, ‘Ilm al-Dilâlah Ushûluh wa Mabâhitsûh fî al-Turâts al-‘Arabî, (Damaskus: Ittihâd al-Kuttâb al-‘Arab, 2001), hal. 88.
25 Lihat, Rajab ‘Abd al-Jawwâd Ibrâhîm, Dirâsât fî al-Dilâlah wa al-Mu’jam, (Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2001), cet. 1, hal. 21.
26 Stepen Ullmann, Daur Kalimah fî al-Lughah, terjemah. Kamâl Basyar, (Kairo,1975), hal. 55. Penulis kurang setuju dengan pernyataan ini, menurut penulis setiap kata yang belum berada dalam
konteks tetap mempunyai makna, tetapi maknanya masih bersifat umum dan belum jelas kecuali setelah ia berada dalam konteks. Jadi, fungsi konteks adalah sebagai sarana untuk memperjelas makna.
27 Lihat, Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dilâlah, (Bairut: ‘Âlam al-Kutub, 1988), cet. 2, hal. 69. Lihat juga, Rajab ‘Abd al-Jawwâd Ibrâhîm, Dirâsât fî al-Dilâlah wa al-Mu’jam, hal. 20.
Lughawî) adalah makna tertentu yang mempunyai batasan yang jelas yang tidak bermakna ganda. 28 Misalnya kata ( ﻦﻴﻋ) dalam bahasa Arab, kata tersebut merupakan
al-Musytarak al-Lafdzî, 29 akan tetapi ketika berada dalam konteks bahasa yang bebeda-beda maka akan terlihat dengan jelas makna-makna yang dikandungnya
sesuai dengan konteks kata tersebut berada. Setiap konteks yang ada di dalamnya kata ( ﻦﻴﻋ) hanya akan mendatangkan satu makna yang dapat dipahami- bukan makna lain, sehingga dalam konteks tidak akan terjadi kesamaan makna. Contohnya:
1) ﻪﻤﻟﺆﺗ ﻞﻔﻄﻟا ﻦﻴﻋ , maksud kata (ﻦﻴﻋ) disini adalah mata untuk melihat.
2) ﺔﻳرﺎﺟ ﻦﻴﻋ ﻞﺒﺠﻟا ﻲﻓ , maksud kata (ﻦﻴﻋ) disini adalah sumber mata air.
3) وﺪﻌﻠﻟ ﻦﻴﻋ اﺬه , maksud kata (ﻦﻴﻋ) disini adalah mata-mata.
4) نﺎﻴﻋﻷا ﻦﻣ ﻦﻴﻋ ﻞﺟﺮﻟا كاذ , maksud kata (ﻦﻴﻋ) adalah pemimpin suatu kaum.
Kemudian misalnya juga kata ( سأر) dari segi makna leksikal (al-Ma’nâ al- Mu’jamî) maksudnya adalah bagian tubuh dari leher ke atas, tapi setelalah kata tersebut dimasukan ke dalam konteks, maka maknanya akan berubah. Contohnya: 1. ﻞﺒﺠﻟا سأر ﻦﻣ ءﺎﻤﻟا لﺎﺳ 2. ﺔﻨﺴﻟا ﻩﺬه سأر ﻲﻓ ﺮﻓﺎﺳأ 3. ﺔﺌﻴﻄﺧ ﻞآ سأر بﺬﻜﻟا 4. سأر ﻰﻟإ جﺎﺘﺨﻣ ﺎﻧأ ةرﺎﺠﺘﻠﻟ لﺎﻤﻟا . Kata (سأر) pada tiap-tiap kalimat tersebut mempunyai arti yang berbeda- beda, pada kalimat yang pertama artinya puncak, pada kalimat kedua artinya awal atau permulaan, pada kalimat yang ketiga artinya pangkal, dan pada kalimat yang keempat artinya adalah modal. Berdasarkan contoh-contoh di atas terlihat dengan jelas peran konteks dalam menentukan makna kata. Makna leksikal bisa berubah- ubah dan tidak tetap. Makna leksikal akan bersifat tetap dan tidak berubah apabila ia sudah berada di dalam konteks.
28 Lihat, Nasîm ‘Aun, al-Alsuniyyah Muhâdharât fî ‘Ilm al-Dilâlah, (Bairut: Dâr al-Farâbî, 2005), cet. 1, hal. 159.
29 al-Musytarak al-Lafzhî (polisemi) adalah satu kata yang menunjukan pada dua arti atau lebih, baik penunjukan itu secara haqîqî atau majâzi. Definisi ini juga disepakati oleh ulama ushul yang
juga berpendapat sama bahwa satu kata mempunyai makna lebih dari satu . Imîl Badî‘ Ya‘qûb, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah wa Khashâishuha (Beirût: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyah, t. th), hal. 178. dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Muzhir fî ‘Ulûm al-Lughah wa Anwâ‘iha, juz. 1, hal. 292. Lihat juga, Abd al-Karîm Mujâhid, al-Dilâlah al-Lughawiyyah 'Inda al-‘Arab (Omman: Dâr Al-Dhiya', t.th ), hal. 112.
Kedua, konteks emosional (al-Siyâq al-‘Âthifî). Yang dimaksud konteks emosional (al-Siyâq al-‘Âthifî) adalah kumpulan
perasaan dan interaksi yang dikandung oleh makna kata-kata, dan hal ini terkait dengan sikap pembicara dan situasi pembicaraan. 30 Menurut Matsna, konteks
emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional. 31 Sementara makna emosional yang dikandung oleh
kata-kata itu berbeda-beda kadar kekuatannya, ada yang lemah, ada yang sedang, dan ada yang kuat. Seperti emosi yang dibawa oleh kata " ﻩﺮﻜﻳ " berbeda dengan emosi yang dibawa oleh kata " ﺾﻐﺒﻳ " walaupun keduanya sama-sama bermakna membenci, akan tetapi perasaan benci yang dikandung oleh kata " ﻩﺮﻜﻳ " lebih kuat dari pada perasaan benci yang dikandung oleh kata " ﺾﻐﺒﻳ " . Demikian juga dengan kata " لﺎﺘﻏا " dan kata " ﻞﺘﻗ " yang sama-sama bermakna membunuh, akan tetapi kata " لﺎﺘﻏا " lebih merupakan sebuah ungkapan kekerasan dan keganasan dalam membunuh, dan
biasanya lebih bersifat politis. 32
Ketiga, konteks situasi (Siyâq al-Mauqif). Konteks situasi yaitu makna yang berkaitan dengan waktu dan tempat berlangsungnya suatu pembicaraan. Jadi, pada konteks ini sebuah ujaran dikaitkan dengan sebuah pertanyaan kapan, di mana dan dalam situasi apa ujaran itu diucapakn. Tempat, waktu dan kondisi memiliki pengaruh terhadap pemaknaan sebuah kalimat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hal ini menjadi penting, jika tidak demikian maka kemungkinan akan terjadi misunderstanding antara penutur
dengan pendengar. Hal ini dikemukakan oleh Mustansyir 33 mengutip pendapat
30 T. Fatimah Djajasudarma, Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 36.
31 Lihat, Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari, hal. 22. 32 Moh Matsna HS, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari, hal. 22.
33 Lihat, Rizal Mustansyir, Filsafah Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 155.
Wittgenstein yang menegaskan bahwa arti suatu kata bergantung pada penggunaannya dalam kalimat. Artinya, kita bisa terjebak ke dalam kerancuan bahasa manakala kita menjelaskan pengertian suatu kata dengan memisahkannya dari situasi yang melingkupinya.
Para linguist kontemporer menegaskan akan pentingnya kontribusi konteks dalam menantukan makna bahasa. Untuk mengetahui makna kata dengan benar dan tepat, harus dengan menganalisis konteks yang melatarinya, sebagaimana yang di
tegaskan oleh ‘Audah Khalîl Abû ‘Audah (1940-sekarang), 34 menurut dia untuk memahami makna tidak cukup hanya dengan melihat dan membuka kamus saja,
tetepi harus melihat konteks yang melatari kata tesebut, seperti lingkungan di mana kata tersebut diucapkan, kemudian penutur sendiri; apakah itu intonsi dan stress. 35
Konteks situasi memaksa pembicara untuk lebih cerdas dan berhati-hati dalam memilih kata-kata sesuai dengan situasi. Konteks inilah yang diisyaratkan oleh para linguis Arab dahulu, yang terkenal oleh ahli balâghah dengan istilah al-Maqâm sehingga kata maqâm ini menjadi sebuah perumpamaan yang terkenal: ( لﺎﻘﻣ مﺎﻘﻣ ﻞﻜﻟ) dan ( مﺎﻘﻣ ﺎﻬﺘﺒﺣﺎﺻ ﻊﻣ ﺔﻤﻠآ ﻞﻜﻟ). Dengan memperhatikan konteks, menjadikan seorang pembicara untuk tidak menggunakan kata-kata yang tidak sesuai dengan keadaan dan tempatnya. Misalnya penggunaan kata ( ﻢﺣﺮﻳ) ketika mendo’akan orang yang sedang bersin dengan mengatakan: ( ﷲا ﻚﻤﺣﺮﻳ) dimulai dengan fi’il, tapi ketika mendo’akan orang yang telah meninggal dunia, maka dikatakan: ( ﻪﻤﺣﺮﻳ ﷲا) dimulai dengan isim. Kalimat yang pertama maknanya permohonan rahmat di dunia, sedangkan kalimat
yang kedua maksudnya pemohonan rahmat di akhirat. 36
34 Ia lahir di Yâfâ Palestina pada pada tahun 1940. Di antara karya-karyanya adalah: al- Tathawwur al-Dalâlî baina Lughah al-Syi’ir al-Jâhilî wa al-Qur’ân al-Karîm, Binâ al-Jumlah fî al-
Hadîts al-Nabawî al-Syarîf fî al-Shahîhain, Syawâhid fî al-I’jâz al-Qur’ânî, Manâhij li al-Ta’lîm al- Lughah al-‘Arabiyyan. Lihat, http://www.falestiny.com, diakses tanggal 11-07-2009.
35 Lihat, ‘Audah Khalîl Abu ‘Audah, al-Tathawwur al-Dilâlî baina al-Syi’ir al-Jâhilî wa Lughah al-Qur’ân al-Karîm, (Amman: Maktabah al-Manâr, 1985), cet. 1, hal. 73.
36 Lihat, Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dilâlah, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1998), cet. 5, hal. 71.
Sedangkan menurut Muhammad ’Alî al-Khûlî menyatakan bahwa konteks situasi (siyâq al-Mauqif) adalah: ﻦﻣز ﻚﻟذ ﻞﻤﺸﻳو ﻦﻴﺼﺨﺷ ﻦﻴﺑ ﻢهﺎﻔﺘﻟ ا ﻩرﺎﻃإ ﻲﻓ يﺮﺟ يﺬﻟا قﺎﻴﺴﻟا ﺔﺛدﺎﺤﻤﻠﻟ ﻖﺑﺎﺴﻟا مﻼﻜﻟاو ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ ﺔآﺮﺘﺸﻤﻟا ﻢﻴﻘﻟاو ﻦﻴﺛدﺎﺤﺘﻤﻟا ﻦﻴﺑ ﺔﻗﻼﻌﻟاو ﺎﻬﻧﺎﻜﻣو ﺔﺛدﺎﺤﻤﻟا (konteks yang berlangsung dalam bingkainya saling memahami antara dua individu yang meliputi waktu, tempat, dan hubungan antara kedua individu tersebut, kemudian juga kesamaan nilai antara kaduanya, dan kalimat-kalimat yang melatari pembicaraan). 37
Unsur-unsur konteks situasi ini meliputi antara lain: 1. Pembicara itu sendiri, yaitu: apakah ia pria atau wanita, apakah satu orang, dua, atau berkelompok, apa agama, warga negara, stress suaranya, kedudukan sosialnya, dan sifat-sifat yang membedakannya dari yang lain. 2. Pendengar, yaitu meliputi hubungannya dengan si pembicara, dari segi kekerabatan dan persahabatan dengannya, responnya terhadap pembicara, di samping karakter-karakter dari unsur pembicara yang telah disebutkan di atas. 3. Pokok pembicaraan, yaitu: dalam kondisi apa diucapkan, dimana dan kapan, bagaimana diucapkan, apa yang melatar balakangi pembicaraan tersebut, dan unsur-unsur lain yang mempengaruhi pada cara pengucapan pembicaraan, penyusunan struktur kalimat, makna, dan tujuan dari pembicaraan tersebut. 4. Implikasi pembicaraan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan
tersebut, apakah ia puas, tidak suka (menantang), tertawa, dan lain-lain. 38
Keempat, konteks budaya (al-Siyâq al-Tsaqâfî). Konteks budaya adalah merupakan keseluruhan makna yang memungkinkan bermakna dalam budaya tertentu. Dalam konteks kebudayaan, penutur dan penulis menggunakan bahasa dalam banyak konteks atau situasi khusus. Menurut Ahmad Mukhtar Umar (1933-2004 M) konteks budaya adalah lingkungan budaya dan
masyarakat yang memungkinkan suatu kata dipergunakan. 39 Seperti kata ( رﺬﺟ)
37 Lihat, Muhammad ‘Ali al-Khûlî, Mu’jam ‘Ilm al-Lughah al-Nazharî, (Maktabah Lubnân), hal. 259.
38 Lihat, Nihâd al-Mûsâ, Nazhariyyah al-Nahwi al-‘Arabi fî Dhau Manâhij al-Nazhar al- Lughawî al-Hadîts, (Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 1980), cet. 1, hal. 85-87.
39 Lihat, Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dilâlah, hal. 71.
misalnya, dilingkungan petani ada maknanya tersendiri, begitu juga di kalangan linguis dan dalam ilmu matametika ada maknanya tersendiri.
2. Unsur-Unsur Penentu Makna Sebagaimana telah diketahui bahwasanya makna (al-Dalâlah) merupakan hal yang sangat penting dalam struktur bahasa. Makna merupakan tujuan dari semua studi kebahasaan, baik dalam tataran morfologis, sintaksis, dan seterusnya. Namun yang menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana sebuah makna dapat ditentukan? Sebenarnya ada beberapa unsur yang ikut berperan dalam menantukan sebuah makna yang ingin disampaikan. Unsur-unsur tersebut adalah: unsur ponetik, morfologi, sintaksis, konteks dan konvensi masyarakat (al-‘Urf al-Ijtimâ’i), dan pengalaman
pribadi (al-Khibrah al-Syakshiyyah). 40 Kemudian berikut ini akan dijelaskan tentang unsur-unsur tersebut satu persatu:
a. Unsur Fonem (al-‘Unshur al-Shautî) Sebagaimana diketahui bahwa kata-kata merupakan rangkain dari unit-unit fonem yang mana apabila dirangkai dan disusun dalam struktur bahasa (al-Nizham al-Lughawî) dalam hal ini bahasa Arab, maka ia akan memberikan suatu makna. Misalnya huruf nûn, shâd, dan râ yang tersususn dalam akar ( ر ص ن) untuk menunjukan makna pertolongan ( ﺮﺼﻨﻟا), dan ketika ditambahkan padanya satu unit fonem maka ia akan memberi makna tambahan. Sebagaimana disebutkan bahwa root ( ر ص ن) menunjukan makna pertolongan, kalau ditambahkan padanya baris (al- Harakah), maka ﺮﺼﻧ ia menunjukan atas pertolongan dari seorang laki-laki pada waktu yang telah lewat. Sedangkan kalau dikatakan ﺮﺼﻧ maka unit fonem yang baru yaitu dhommah akan merubah makna kata tersebut menjadi pertolongan dari orang yang tidak diketahui pada waktu yang telah lewat. Kemudain jika dikatakan ﺮﺼﻨﺘﺳا maka tambahan fonem ( ﺖﺳا) menunjukkan makna permintaan pertolongan kepada seseorang pada masa yang telah lewat.
40 Lihat, ‘Abd al-Qâdir Abû Syarîfah, ‘Ilm al-Dilâlah wa al-Mu’jam al-‘Arabî, (Amman: Dâr al-Fikr, 19789), hal. 33.
Di sini terlihat bahwa yang menantukan makna adalah adanya tambahan fonem. Apabila terjadi suatu perubahan dan pergantian fonem pada suatu kata dengan fonem lain, maka hal tersebut akan mengakibatkan perbedaan makna tiap kata tersebut dengan yang lainnya. Pergantian fonem ini dalam linguistik modern dinamakan dengan “Contrastive Distribution” yang mana suatu fonem menempati posisi fonem yang lain pada suatu kata sehingga lahir lah kata yang mempunyai
makna bebeda. 41 Misalnya kata al-Lajjah ( ﺔﺠﻠﻟا) dan al-Lujjah (ﺔﺠﻠﻟا), kedua kalimat tersebut dari segi kontruksinya sama, yang membedakan antara keduanya hanyalah
harakat huruf lâm ( مﻼﻟا), yang pertama berharakat fathah, sedangkan yang kedua dhommah, tapi kedua kata tersebut memiliki makna yang sangat jauh berbeda, yang pertama makna suara yang keras dan bergamuruh seperti dalam hadits ‘Ikrimah: ( ﻦﻴﻣﺎﺑ ﺔﺠ ﻠﻠﻟ ﺪﻴﻌﺑ ﻦﻣ ﻊﻤﺳأ ), sedangkan yang kedua maknanya air laut yang banyak dan dalam sebagaimana dalam al-Qur’an: ( ﺎﻬ ﻴﻗﺎﺳ ﻦﻋ ﺖﻔﺸآو ﺔﺠﻟ ﻪﺘﺒﺴﺣ ﻪﺗأر ﺎﻤﻠﻓ ). Misalnya
juga kata ( ّﻞ ُﺤﻳ - ّﻞ َﺣ ) dengan dhommah pada huruf hâ pada fi’il mudhâri’ dan kata ( ّﻞﺣ ّﻞ ِﺤﻳ - ) dengan kasrah pada hâ fi’il mudhâri’, yang pertama artinya memecahkan seperti: 42 ﺔﻤﻜﺤﺑ ﺔﺼﻳﻮﻌﻟا ﻞآﺎﺸﻤﻟا نﻼﻓ ﻞﺤﻳ, (si pulan dapat memecahkan masalah-masalah
yang rumit dengan bijaksana), sedangkan yang kedua maknanya menghalalkan seperti firman Allah swt: ﻦﻬﻣﺎﺣرأ ﻲﻓ ﷲا ﻖﻠﺧ ﺎﻣ ﻦﻤﺘﻜﻳ نأ ﻦﻬﻟ ّﻞﺤﻳ ﻻو (tidak dihalalkan (tidak boleh) bagi wanita-wanita untuk merahasiakan apa yang telah Allah ciptakan di dalam rahim mereka).
Dari contoh-contoh dan penjelasan tersebut di atas terlihat jelas pengaruh fonem terhadap perubahan makna. Perubahan fonem pada suatu kata akan merubah makna kata tersebut.
b. Unsur Intonasi (‘Unshur al-Tanghîm).
41 Lihat, Muhammad ‘Alî al-Khûlî, Mu’jam ‘Ilm al-Lughah al-Nazhariyyah, (Bairut: Maktabah Lubnân, 1982), hal. 58.
42 Lihat, ‘Abd al-Lathîf Ahmad al-Syuwairif, al-Tadrîbât al-Lughawiyyah, (Mansyûrât Kulliyyah al-Da’wah al-Islâmiyyah, 2000), cet. 1, hal. 133-134.
Intonasi adalah tinggi rendahnya suara penutur (al-Mutakallim) pada saat berbicara, yang biasanya juga disertai dengan stressing, mimik, dan gaya. 43 menurut
Nuzâd Hasan Ahmad: ( عﺎﻔﺗرﻻا ﻦﻴﺑ حواﺮﺘﻳ ٌعﻮﻨﺗ ،ﻦﻴﻴﺗﻮﺼﻟا ﻦﻳﺮﺗﻮﻟا زاﺰﺘها ﻪﺛﺪﺤﻳ يﺬﻟا تاﻮﺻﻷا عﻮﻨﺗ لﺎﻘﺗ يﺬﻟا ﻲﺗﻮﺼﻟا رﺎﻃﻹا ﻞﻜﺸﻴﻟ قﺎﻴﺴﻟا ﻲﻓ ﺔﻌﺑﺎﺘﺘﻤﻟا ﺔﻳﻮﻐﻠﻟا تاﺪﺣﻮﻟا ﺔﻗﻼﻋ ﻢﻈﻨﻳو ،ﻖﻄﻨﻟا ءﺎﻨﺛأ ﻲﻓ ضﺎﻔﺨﻧﻻاو ﺔﻠﻤﺠﻟا ﻪﺑ) 44 . Intonasi (al-Tanghîm) memiliki peran penting dalam memberi kejelasan
makna yang diinginkan oleh seorang pembicara, karena dengan intonasi yang berbeda, satu kalimat bisa mempunyai makna yang bermacam-macam. 45 Bahkan
terkadang intonasi lebih besar pengaruhnya dalam dalam menentukan makna dari qarînah lafzhiyyah. 46 Sebab sering didapati ada kalimat-kalimat yang di dalamnya
terdapat pertikel untuk pertanyaan (adât al-Istifhâm) akan tetapi ia tidak mengandung makna pertanyaan. Contohnya dalam al-Qur’an surah al-Insan ayat (1): ﻰﻠﻋ ﻰﺗأ ﻞه ارﻮآﺬﻣ ﺎﺌﻴﺷ ﻦﻜﻳ ﻢﻟ ﺮهﺪﻟا ﻦﻣ ﻦﻴﺣ نﺎﺴﻧﻹا . Kalau dilihat dari segi lafadznya, ayat tersebut mengandung pertanyaan, namun ternyata ia mengandung makna taukîd (emphasis).
Misalnya juga dalam surah al-Taubah ayat (7): ﺔﻣذ ﻻو ﷲا ﺪﻨﻋ ﺪﻬﻋ ﻦﻴآﺮﺸﻤﻠﻟ نﻮﻜﻳ ﻒﻴآ , dalam ayat tersebut ada terdapat pertikel istifhâm yaitu ( ﻒﻴآ), akan tetapi maknanya adalah negative (al-Nafyu) bukan bukan pertanyaan (istifhâm).
Kemudian terkadang ada juga didapati kalimat yang tidak ada mengandung pertikel tanya (adât al-Istifhâm), akan tetapi dalam prakteknya ia adalah kalimat tanya, misalnya: ؟ﻢﺋﺎﺻ ﺖﻧأ . Dalam kalimat tersebut tidak ada pertikel tanya (adât al- Istifhâm), tetapi dari intonasi pengucapannya dapat dipahami bahwa itu adalah kalimat tanya. Misalnnya juga dalam satu bait syair dari Umar ibn Abî Rabî’ah (23-
43 Lihat, Tammâm Hassan, Manâhij al-Bahast fî al-Lughah, (Kairo: Dar al-Tsaqâfah, 1979), hal. 197.
44 Lihat, Nûzâd Hasan Ahmad, al-Manhaj al-Washfî fî Kitâb Sîbawaih, (Banghâzî, Libia: Mansyûrât Jâmi’ah Qârîyûnus, 1996), cet. 1, hal. 260.
45 Lihat, Husâm al-Bahnasâwî, al-Turâts al-Lughawi al-‘Arabiy wa ‘Ilm al-Lughah al-Hadîts (Kairo: Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, 2004), hal. 133. Lihat juga, Abû al-Faraj Muhammad
Ahmad, Muqaddimah li Dirâsah Fiqh al-Lughah, (Bairut: Dâr al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1969), cet. 1, hal. 132. Lihat juga, ‘Audah Khalîl Abu ‘Audah, al-Tathawwur al-Dilâlî baina al-Syi’ir al-Jâhilî wa Lughah al-Qur’ân al-Karîm, hal. 74. 46 Lihat, Sâmî ‘Awadh dan ‘Âdil ‘Ali Na’âmah, Majallah Jâmi’ah Tisyrîn li al-Dirâsah wa al- Buhûts al-‘Ilmiyyah- Silsilah al-Âdâb wa al-‘Ulûm al-Insâniyyah, vol. 28, no. 1, 2006.
93 H) 47 : باﺮﺘﻟاو ﻰﺼﺤﻟاو ﻞﻣﺮﻟا دﺪﻋ # اﺮﻬﺑ ﺖﻠﻗ ؟ﺎﻬﺒﺤﺗ اﻮﻟﺎﻗ ﻢﺛ : (kemudian mereka berkata:
kamu mencintainya? Ku katakan: melebihi bilangan pasir, krikil,dan debu). 48
c. Unsur Kontruksi Morfem (‘Unshur al-Binyah al-Sharfiyyah) Morfem adalah perubahan yang terjadi pada kontruksi kata sehingga menimbulkan makna-makna baru. Perubahan tersebut adalah unit-unit fonem yang masuk dalam suatu kalimat, baik di awal, akhir, atau di tengah kata tersebut. David Conan membagi morfem dalam lima bentuk. Pertama, afiksasi atau zawâ’id, yaitu tambahan huruf yang masuk dalam huruf aslinya. Kedua, adanya tanwin atau nunation yang secara umum bermakna umum. Ketiga, tasydîd atau doubled consonants biasanya terjadi dalam proses asimilasi huruf dan bunyi karena adanya dua huruf sejenis dalam kata tersebut. Makna yang dihasilkan dari asimilasi huruf dan bunyi tersebut diantaranya taktsîr atau berarti banyak atau ganda. Keempat, accent atau intonasi. Biasanya hal ini hanya ditemukan dalam bahasa lisan, khususnya dalam bacaan panjang pendeknya huruf. Dan kelima, vowels atau
harakat. 49 Morfem dalam bahasa Arab mempunya pengaruh besar dalam perubahan dan pendistribusian makna dalam kata.
47 Nama lengkapnya adalah: Abû al-Khaththâb ‘Umar ibn ‘Abd Allah ibn Abî Rabî’ah Hudzaifah ibn al-Mughîrah, dari Banî Makhzûm ibn Yaqzhah ibn Murrah. Ia dilahirkan di Makkah
pada malam meninggalnya ‘Umar ibn al-Khaththâb pada tahun 23 H. Ia adalah pemimpin para Penya’ir-penya’ir, syair-syairnya banyak berbicara tentang percintaan. Untuk memperdalam tentang sejarah hidup ‘Umar ibn Abî Rabî’ah silahkan baca, Basyîr Yamût, Dîwân ‘Umar ibn Abî Rabî’ah, (Bairut: Maktabah al-Ahliyyah, 1934), cet. 1, hal. 6-16. Lihat, http://www.n3ash.net, diakses tanggal 11-07-2009.
48 ‘Umar ibn Abî Rabî’ah, al-Dîwân, tahqîq Muhammad Muhyî al-Dîn ‘Abd al-Hamîd, (Kairo; 1965), cet. 3, hal. 431.
49 Lihat dan baca, David Conan, An Introduction to Modern Literary Arabic, (London: Cambridge University Press, 1958 M), hal. 4-9. al-Sa'rani membagi tujuh morfhem yang dapat
melahirkan makna baru, yaitu; pertama, karena pergantian vocal dan konsonan, kedua, karena pertemuan antara mabni ma'lum dan mabni majhul, ketiga, karena pertemuan isim fa'il dan isim maf'ul, keempat, karena terjadinya perubahan dari mufrad menjadi jamak khususnya dalam bahasa Inggris, kelima, karena Intonasi, keenam, karena irtikas atau kemampuan seseorang dalam menyampaikan kata atau kalimat, dan ketujuh, karena al-Waqf pada saat membaca atau melafalkan kata. Sedangkan menurut Abdul Qadir Abu Syarifah bahwa ada dua hal yang sangat mempengaruhi terjadinya perubahan makna, yaitu adanya afiksasi baik dalam bentuk shaut, maqtha' atau lebih, dan terjadinya perubahan susunan huruf dalam kata. Baca Abdul Qadir Abu Syarifah, 'Ilm al-Dilâlah wa al-Mu'jam al-'Arabi, hal. 13-14.
Studi 50 tentang morfologi di dalam bahasa Arab sangat penting dilakukan, sebab sturuktur morfologi dalam suatu kata akan memberikan kejelasan makna. Hal
ini ditegaskan al-Suyûthi (849-911 H) yang mengatakan: ﻪﻤﻠﻋ ﻪﺗﺎﻓ ﻦﻣ نءﺎﻓ ﻒﻳﺮﺼﺘﻟا ﺎﻣأ ﻢﻈﻌﻤﻟا ﻪﺗﺎﻓ (Adapun proses infleksi, maka siapa yang tidak mempelajarinya, maka ia tidak mengaetahui sebagian besar (dari bahasa Arab). Senada dengan al-Suyûthi, Farîd ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Sulaim juga menyatakan akan pentingnya morfologi untuk mengetahui makna suatu kata, sebagaimana yang ia katakana: ﺔﻴﻔﻳﺮﺼﺘﻟا ﺔﻟﻻﺪﻟﺎﻓ
ﻲﻓ ﺎﻬﺗﺮﺜآو ﻎﻴﺼﻟاو ﺔﻴﻨﺑﻷا دﺪﻌﺗ نءﺎﻓ يﻮﻐﻠﻟا ءﺎﻤﻨﻟا ﻰﻟإ ﻞﻴﺒﺳو ﺔﻐﻠﻟا ﻲﻓ ءاﺮﺜﻟاو ﻰﻨﻐﻟا ﺮهﺎ ﻈﻣ ﻦﻣ ﺮﻬﻈﻣ ﺎآﺮﺘﺸﻣ وأ ﺎﺻﺎﺧ ﻰﻨﻌﻣ ﻞﻤﺤﺗ ﺔﻴﻨﺑ ﻞآ نإ ذإ ﺎﻬﺗﺮﺜآو ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا دﺪﻌﺗ ﺪﻟﻮﻳ ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا (Makna morfologi merupakan salah satu aspek kekayaan pada bahasa Arab dan di samping itu juga sebagai serana untuk perkembangan bahasa Arab, Sebab, bervariasi dan banyaknya kontruksi-kontruksi kata (abniyah) akan melahirkan banyak dan bervariasiya makna, yang mana setiap kontruksi kata mempunyai makna tersendiri atau makna
yang sama). 51 Ungkapan tersebut menggambarkan besarnya pengaruh infleksi dalam
penetuan makna. Dengan kata lain, untuk memiliki keterampilan berbahasa Arab, wawasan tentang infleksi dalam morfologi merupakan hal yang mutlak dikuasai; karena secara morfologis, hampir seluruh kata dalam bahasa Arab akan dapat mengalami proses infleksi yang berujung pada pergeseran dan perubahan makna. Untuk membuktikan perkataan tersebut di atas, Ibn Fâris memberikan beberapa contoh yang menunjukkan manfaat tashrîf (infleksi) untuk membedakan antara makna-makna yang berubah-ubah dari yang sama menjadi berlawanan, seperti: ( ﻂﺳﺎﻘﻟا) artinya orang yang zhalim, sedangkan (ﻂﺴﻘﻤﻟا) artinya orang yang adil, disini terlihat dengan tashrîf makna kata berubah dari yang maknanya zhalim menjadi adil.
50 al-Suyûthi membagi kajian morfologi menjadi dua, yaitu: infleksi (al-Tashrîf) dan derivasi (al-Isytiqâq). Menurut dia, infleksi lebih umum dan besar cakupannya dari proses derivasi,
sebagaimana yang ia nyatakan berikut ini: بﺮّﻀﻟا ﻦﻣ ددﺮﻗ ﻞ ﺜﻣ ءﺎﻨﺑ نﻷ ؛قﺎﻘﺘﺷﻻا ﻦﻣ ﱡﻢﻋأ ُﻒﻳﺮﺼﺘﻟا بَﺮﻌﻟا ﻪْﺘَﻨﺑ ﺎﻤﺑ ﱞصﺎﺧ ﻪﻧﻷ ؛ًﺎﻗﺎﻘﺘﺷا ﻰﻤﺴﻳ ﻻو ،ًﺎﻔﻳﺮﺼﺗ ﻰﻤﺴﻳ. Lihat, Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, al-Muzhir,
Juz. 1, hal. 351. 51 Lihat, Farîd ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Zâmil al-Sulaim, al-Khilâf al-Tashrîfî wa Atsaruhu al-
Dilâlî fî al-Qur’an al-Karîm, (al-Qashîm: Dâr ibn al-Zaujî, 1427 H), cet. 1, hal. 63.
Begitu juga dengan ( ﻢﺛأ) dan (ﻢﺛﺄﺗ), yang pertama maknanya berbuat dosa, sedangkan yang kedua maknanya menjauhkan diri dari dosa.
Untuk menjelaskan makna ( مﺪﺨﺘﺳا) misalnya, tidak cukup hanya dengan menemukan maknanya di dalam kamus kemudian menjelaskan bahwa asal katanya dari ( مﺪﺧ), tetapi harus ditambahkan lagi padanya makna dari bentuk kata (shîgah) tersebut. Para linguis Arab menetapkan bahwa kata kerja yang ditambah dengan al- Hamzah, al-Sîn, dan al-Tâ menunjukan makna permintaan atau pemohonan. Jadi, morfem menambah kepada makna Leksikal (al-Ma’nâ al-Mu’jamî) makna yang
lebih jelas dan nyata. 52 Perubahan apapun yang terjadi pada kontruksi kata (Binyah al-Kalimah), akan berimplikasi pada perubahan makna kata tersebut.
d. Unsur Sintaksis (al-‘Unshur al-Nahwî) Sebagaimana telah dijelaskan bahwa makna suatu kata -ketika ia masih berdiri sendiri dan belum berada dalam konteks- maka makna kata tersebut masih umum dan tidak pasti, maksudnya masih mengandung kemungkinan-kemungkinan (ihtimâlât). Unsur sintaksis sangat membantu untuk memahami fungsi (wazhîfah) yang dimiliki tiap-tiap kata ketika ia berada dalam suatu sruktur kalimat.
Mayoritas Ulama melihat bahwa ilmu nahwu (sintaksis) merupakan ilmu yang terpenting dibandingkan ilmu-ilmu bahasa lainnya, sebab ketidak tahuan
tentang ilmu ini akan mengakibatkan kesalah fahaman. 53 Muhammad Hammâsah secara eksplisit dalam bukunya Binâ’ al-Jumlah al-‘Arabiyyah menyatakan
pentingnya sintaksis dalam menantukan makna, sebagaimana ia katakan: “ ﻲﻓ ﺔﺑاﺮﻏ ﻻو قﺎﻴﺴﻟا 54 دﺪﺤﻳ يﺬﻟا ﻰﻨﻌﻤﻟا ﻢﻬﻓ ﻰﻠﻋ ﻪﺒﻧاﻮﺟ ﻲﻓ ﺪﻤﺘﻌﻳ ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا ﺔﻐﻠﻟا ﻲﻓ ﺎﻬﻟﺎﻤﻌﺘﺳاو ﺔﻳﻮﺤﻨﻟا ﺪﻋاﻮﻘﻟا نأ ”
(Tidak disangsikan lagi bahwa kaidah-kaidah sintaksis dan penggunaannya dalam bahasa Arab pada berbagai aspek diperlukan untuk memahami makna yang menentukan konteks). Sebagai contoh kata ( ﺐهﺬﺗ), subyek (fâ’il) dari kata tersebut
52 Lihat, Rajab ‘Abd al-Jawwâd Ibrâhîm, Dirâsât fî al-Dilâlah wa al-Mu’jam, (Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2001), cet. 1, hal. 17.
53 Lihat, Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, tahqîq ‘Abd al-Wâhid Wâfî, (Kairo: Dâr al-Sya’ab, 1962), cet. 1, hal. 514.
54 Lihat, Muhammad Hammâsah ‘Abd al-Lathîf, Binâ al-Jumlah al-‘Arabiyyah, (Kairo: Dâr al-Gharîb, 2003), hal. 11.
masih mengandung dua kemungkinan, bisa ( ﺖﻧأ) dan mungkin juga (ﻲه). Akan tetapi, ketika dikatakan: قﻮﺴﻟا ﻰﻟإ ﺐهﺬﺗ ﻲه , maka kata tersebut menjadi jelas sehingga dapat diketahui subyeknya adalalah dhamîr ( ﻲه), sedangkan kalau dikatakan: ﺐهﺬﺗ ﻞه ؟ ﻲﺧأ ﺎﻳ قﻮﺴﻟا ﻰﻟإ, maka yang menjadi subyeknya adalah dhamîr (ﺖﻧأ).
Di antara contoh yang menjelaskan pentingnya struktur kalimat dalam menantukan fungsi kata adalah kata ( ﻞﺋﺎﺳ), apakah kata tersebut merupakan isim fâ’il dari kata ( لﺄﺳ) atau dari kata (لﺎﺳ), atau apakah ia isim atau fi’il amr. Untuk mengetahui makna sebenarnya dari kata tersebut, maka harus diletakkan dalam sturuktur kalimat yang menantukan maknanya sehingga ia menjadi jelas. Apabila dikatakan: ( ﻞﺋﺎﺳ لﺄﺳ), maka maknanya menunjukan kepada orang biasa yang menanya sesuatu, dan apabila dikatakan: ( ﻻﻮﺴﺘﻣ ﻞﺋﺎﺴﻟا اﺬه نﺎآ ﻻﺎﻣ ﻞﺋﺎﺴﻟا ﺖﻴﻄﻋأ), maka maknanya adalah seorang pengemis yang meminta-minta, kemudian bila dikatakan: ( ﻞﺋﺎﺴﻟا ءاوﺪﻟا ﺖﺑﺮﺷ), maka ia adalah isim fâ’il dari kata (لﺎﺳ) yang berarti benda atau
sesuatu yang cair, kemudian bila dikatakan: ( نﺎﻣﺰﻟاو ﺎﻨﻋ ﺎﻴﻠﻌﻟا ﻞﺋﺎﺳ ), maka berarti memerintah dan ia adalah fi’il amr. 55
Sebagaimana diketahui, fi’il mâdhî dari bentuk asalnya (shîghat) mengandung makna bahwa suatu peristiwa telah terjadi pada masa yang telah lalu, tetapi struktur kalimat kadang-kadang menjadikan fi’il mâdhî tersebut berubah maknanya ke masa yang akan datang (al-Mustaqbal). Misalnya dalam firman Allah swt: ( ضرﻷا ﺖﻟﺰﻟز اذإ
ﺎﻬﻟﺎﻘﺛأ ضرﻷا ﺖﺟﺮﺧأو # ﺎﻬﻟاﺰﻟز ), kata ( ءﺎﺟ) pada ayat tersebut adalah fi’il mâdhî, tetapi dari segi makna menunjukan masa yang akan datang (al-Mustaqbal), itu disebabkan adanya huruf syarat, yaitu ( اذإ). Begitu juga dengan fi’il mudhâri’, ia menunjukan pada masa sekarang, dan mungkin juga menunjukan makna yang akan datang. Apabila dikatakan: ( نﻻا ﺪﻟﻮﻟا ﻞ ), maka makna kalimat tersebut menunjukan masa آﺄﻳ sekarang, dan apabila dikatakan: ( اﺪﻏ ﺪﻟﻮﻟا ﻞآﺄﻳ), maka ia menunjukan masa yang akan datang, kemudian apabila dikatakan: ( ﺪﻟﻮﻟا ﻞآﺄﻳ ﻢﻟ) maka makna waktunya berubah menjadi masa yang telah lalu. Demikian juga pada fi’il amr, ia menunjukkan
55 Lihat, ‘Abd al-Qâdir Abû Syarîfah, ‘Ilm al-Dilâlah wa al-Mu’jam al-‘Arabî, hal. 40, 55 Lihat, ‘Abd al-Qâdir Abû Syarîfah, ‘Ilm al-Dilâlah wa al-Mu’jam al-‘Arabî, hal. 40,
Namun kalau dikatakan: " نﻻا ﺐهذا " atau " اًﺪﻏ ﺐهذا " maka menjadi jelas kapan waktunya untuk pergi. Sementara itu, i’râb yang merupakan bagian dari ilmu nahwu, juga memiliki posisi penting dalam menentukan fungsi-fungsi sintaksis (al-Wazhâ’if al-Nahwiyyah) pada suatu kata. Dengan harakat-harakat yang dimilikinya, i’râb dapat membedakan satu kata dengan kata lain, tapi tentunya juga dengan dibantu oleh unsur morfologi
yang membedakan antara isim, fi’il, dan harf. 56 I’râb sebagai bagian dari ilmu sintaksis (nahwu) memiliki hubungan yang
sangat erat dengan ilmu semantik (‘Ilm al-Dilâlah). Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa ilmu semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna atau ilmu tentang makna-makna kata serta struktur sintaksisnya, maka makna dan bentuk- bentuk sintaksis kata-kata tersebut sesungguhnya timbul dari berbagai unsur, terutama unsur i’râb sebab ia berfungsi untuk menjelaskan hubungan antara bagian
suatu kalimat dengan bagian yang lain. 57 Jadi, i’râb mempunyai fungsi semantis (Wazhîfah al-Dilâlah) karena ia
merupakan aspek lafazh bagi hubungan maknawi dalam struktur sintaksis. 58 Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Ibn Jinnî (w 395 H): ظﺎﻔﻟﻷﺎﺑ ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا ﻦﻋ ﺔﻧﺎﺑﻹا ﻮه
(menjelaskan makna dengan menggunakan lafazh-lafazh) 59 Dengan pernyataannya ini Ibn Jinnî ingin menegaskan bahwa i’râb adalah penunjuk makna lahir (dalâlah
lafzhiyyah) yang berfungsi untuk menantukan dan menjelaskan makna setiap kata dalam struktur sintaksis kalimat, kemudian menjelaskan hubungan tiap kata dengan
56 Lihat, ‘Abd al-Qâdir Abû Syarîfah, Ilm al-Dilâlah wa al-Mu’jam al-‘Arabî, hal. 39. 57 Lihat, Muhammad Hamâsah ‘Abd al-Lathîf, al-Nahwu wa al-Dilâlah, (Kairo: Dâr al-
Syurûq, 2000), cet. 1, hal. 40. 58 Lihat, ‘Abd al-Karîm Mujâhid, al-Dilâlah al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab, (Amman: Dâr:
al-Dhiyâ’, t.th), hal. 194. 59 Lihat, Abû al-Fath ‘Utsmân ibn Jinnî, al-Khashâ’ish, Tahqîq Muhammad ‘Alî al-Najjâr,
(Kairo: Dâr al-Kutub, t.th), jilid 1, hal. 34.
kata yang sebelum dan sesudahnya dalam memaknainya, kemudian juga menjelaskan aspek hubungan antara kata-kata tersebut. Dari sinilah Chomsky menegaskan bahwa makna kalimat (Dalâlah al-Jumlah) dapat dipahami melalui hubungan-hubungan di dalamnya, karena ia melihat bahwa memahami relasi struktur dalam (al-Binyah al-‘Amîqah) sesuatu yang penting untuk menginterprestasi kalimat dengan benar.
Contohnya ketika dikatakan: ﻞﺒﺤﻟا ﺪﻟﻮﻟا ﻊﻄﻗ, pada dasarnya kalimat tersebut terdiri dari kata kerja ( fi’il),subjek (fâ’il), dan objek (maf’ûl), dan pendengar bisa memahami berita atau informasi tersebut. Akan tetapi bila dikatakan: ﻞﺒﺤﻟا ﻊﻄﻗ ﺪﻟﻮﻟا, maka kalimat tersebut keluar dari susunan asal dengan maksud untuk memfokuskan pembicaraan pada subjek (al-Fâ’il), dan ia mengeluarkannya dari tempatnya kemudian menampilkannya pada pusat makna, sedangkan kalimat ﻞﺒﺤﻟا ﻊﻄﻗ, sebagai
penyempurna makna yang memberitakan ﺪﻟﻮﻟا. Kemudian bila dikatakan: ﻊﻄ ﻗ ﻞﺒﺤﻟا ﺪﻟﻮﻟا, maka (ﻞﺒﺤﻟا) yang menjadi titik makna. Makna-makna yang baru tersebut disebabkan oleh perubahan struktur kalimat yang baru.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat peran yang dimainkan oleh struktur nahwu dalam menantukan makna, tentunya dengan bantuan unsur-unsur lain seperti fonem (al-Shaut), morfem (al-Sharf) dan lain-lain. Makna merupakan fenomena
yang sangat rumit, sehingga tidak bisa dipecahkan melalui salah satu aspek saja. 60 Ringkasnya, untuk memahami makna suatu srtuktur kalimat dengan baik dan benar
tidak dapat hanya dengan menggunakan salah satu unsur saja, akan tetapi harus melibatkan dan menggunakan semua unsur-unsur yang dapat mempengaruhi dalam menantukan suatu makna, atau dalam istilah yang sering digunakan oleh Tammâm Hasan (1918-sekarang) yang dikenal dengan tadhâfur al-Qarâ’in (sinergi multi- indikator atau penunjuk makna). Dan i’râb, yang merupakan salah satu dari unsur- unsur yang tidak dapat dikesampingkan untuk mengetahaui makna yang dikandung oleh struktur kalimat.
60 Lihat, ‘Audah Khalîl Abu ‘Audah, al-Tathawwur al-Dilâlî baina al-Syi’ir al-Jâhilî wa Lughah al-Qur’ân al-Karîm, hal. 74.
3. Hubungan Makna Struktur Kalimat (al-Tarkîb) dengan I’râb Ketika berbicara tentang hubungan antara antara makna struktur kalimat (al-
Tarkîb), 61 sebenarnya harakat i’râb tidak lain hanyalah merupakan pengaruh dari makna struktur kalimat tersebut. Jadi bisa dikatakan bahwa i’râb dihasilkan dari
adanya penyusunan kata-kata (tarkîb al-Kalimât) ke dalam suatu kalimat (al- Jumlah), 62 sebab i’râb tidak akan ada tanpa adanya struktur kalimat (tarkîb) tersebut.
Di sini berarti stuktur kalimat (tarkîb) merupakan pondasi, dasar, dan penyebab adanya i’râb. I’râb pada akhir kata tidak terlepas dari struktur (tarkîb) kata tersebut dalam kalimat. Sehingga sturktur (tarkîb) dan i’râb ini mempunyai jalinan (irtibâth) yang kuat.
Dalam hal ini bisa dilihat pada subjek (fâ’il) misalnya, ia di beri harakat rafa’ karena posisinya sebagai subjek (fâ’il) (maksudnya karena orang yang membuat kalimat menyandarkan dan menjatuhkan perbuatan (fi’il) kepadanya, bukan sebaliknya. Sedangakan tanda (‘alâmat) i’râb baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis merupakan ungkapan dari keputusan pembuat kalimat tersebut untuk menghubungkan antara makna kata-kata tersebut sesuai apa yang ia inginkan. Kemudian tanda-tanda i’râb tersebut memberikan petunjuk kepada pendengar dan pembicara atas hubungan kata-kata yang diingikan oleh pembuat kalimat. Jadi, si
61 Tarkîb secara bahasa berarti berarti susunan. Dalam hal ini adalah bentuk susunan kalimat sehingga disebut dengan tarkîb al-Jumal. Tarkîb al-Jumal ini terdiri dari rentetan kata-kata yang
membentuk sebuah makna atau maksud tertentu. Tarkîb ini lebih dipakai untuk membangun struktur kalimat yang baik dalam rangka menyempaikan pesan bahasa. Sehingga kalimat diartikan sebagai susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran lengkap.
62 Jumlah menurut Zamakhsyari sama dengan kalâm. Kalâm adalah murakkab min kalimatain (komposisi dari dua kata), yang salah satunya disandarkan kepada yang lainnya. Jumlah dalam bahasa
Arab disusun dengan dua dibentuk sesuai dengan predikat (al-Musnad) , yaitu: 1. Isim dengan fi’il, atau bisa juga dikatakan terdiri dari: fi’il, fâ’il atau nâ’ib al-Fâ’il, seperti: ﺪﻴﻌﺳ ﻞﺒﻗأ 2. Isim dengan isim atau bisa juga dikatakan terdiri dari mubtadâ dan khabar, seperti:
ﻞﺒﻘﻣ ﺪﻴﻌﺳ . Bentuk dasar dari kalimat (jumlah) yang musnadnya berupa fi’il, bahwa fi’il posisinya sebelum musnad ilaih, seperti dalam kalimat: ( ﺪﻴﻌﺳ ﻞﺒﻗأ ), dan fâ’il tidak boleh mendahului fi’il kecuali ada maksud tertentu yang dituntut oleh konteks situasi (al-Maqâm). Sedangkan bentuk dasar dari kalimat yang musnadnya berbentuk isim adalah bahwa mubtadâ posisinya sebelum khabar seperti dalam kalimat ( ﻞﺒﻘﻣ ﺪﻴﻌﺳ), khabar tidak boleh didahulukan dari mubtadâ kecuali adanya tuntutan dari konteks situasi (al-Maqâm). Untuk lebih memperdalam tentang masalah ini silahkan lihat, Fâdhil Shâlih al-Sâmirâ’î, Ma’ânî al-Nahwi, (Kairo: Syarikah al-‘Âtik li Shinâ’ah al-Kitâb,t. th), jilid. 1, hal. 15-18. Lihat juga, al-Zamakhsyari, al- Mufashshal fî Shinâ’ah al-I’râb, (t.tp. Maktabah Syâmilah, t. th), hal. 23. Lihat juga ‘Abd Allah Ahmad Jâd al-Karîm, al-Ma’nâ wa al-Nahwû, hal. 59.
pembuat kalimat merupakan pemuncul dari hubungan-hubungan tersebut, sedangkan kumpulan tanda-tanda i’râb dalam kalimat (al-Jumlah) merupakan pemuncul (al-
Muzhhir) dari makna struktur tersebut. 63 Kesimpulan dari ulasan di atas adalah bahwa hubungan-hubungan atara kata-
kata dalam kalimat (al-Jumlah) merupakan milik dari pembuat kalimat itu sendiri, dia lah yang menyusunnya sesuai dengan makna struktur kalimat yang dia ingin
katakan. 64 Misalnya dalam kalimat: ( سﺮﻔﻟا ﻞﻤﺠﻟا ﻖﺒﺳ), apabila yang dia inginkan bahwa kata ( ﻞﻤﺠﻟا) yang menjadi fâ’il dari kata (ﻖﺒﺳ) maka untuk menunjukan makna
tersebut dia mesti membuat kalimat dengan meletakkan alamat rafa’ pada kata ( ﻞﻤﺠﻟا) dan alamat nashab pada kata (سﺮﻔﻟا). Sedangkan apabila yang ingin dia katakan adalah sebaliknya, maka dia mesti meletakkan alamat i’râb dengan alamat rafa’ pada kata ( سﺮﻔﻟا), dan alamat nashab pada kata (ﻞﻤﺠﻟا). Jadi, tanda-tanda i’râb (al-‘Alâmat al-I’râbiyyah) dapat berubah-ubah sesuai dengan makna struktur kalimat (al-Ma’nâ al-Tarkîbî) – yang dibuat dari hubungan-hubungan yang diinginkan dan diputuskan oleh pembuat kalimat antara kata-kata kalimat tersebut. Sedangkan si
63 Lihat, Muhammad Hasan Hasan Jabal, Difâ’ ‘an al-Qur’ân al-Karîm: Ashâlah al-I’râb wa Dilâlatuh ‘ala al-Ma’ânî fî al-Qur’ân al-Karîm wa al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Kairo: al-Barbarî li al-
Thibâ’ah al-Hadîtsah), hal. 139. 64 Tapi tentunya tidak sebebas-bebasnya, dalam artian dia juga harus memperhatikan makna
kata secara bahasa (al-Ma’nâ al-Lughawî) atau makna kata sebelum disusun dalam struktur kalimat. Misalnya makna bahasa (al-Ma’nâ al-Lughawî) dari kata kerja (fi’il) ketika digunakan dalam sebuah kalimat juga ikut menentukan apakah dia fi’il lâzim atau muta’addî. Apabila ia fi’il yang berdiri sendiri
yang mana makna akan sempurna walau tanpa kata lain, seperti kata: ( ﻰﺸﻣ - ﺐﻀﻏ – ﺲﻠﺟ – مﺎﻧ ) yang mana apabila dikatakan : ( ﺪﻤﺣأ مﺎﻧ) sesungguhnya makna tidur ( مﻮﻨﻟا) sudah sempurna dengan jatuhnya kata tersebut pada ( ﺪﻤﺣ ), tidak membutuhkan makna lain untuk menyempurnakan makna tidur ( مﻮﻨﻟا) أ tersebut. Adapun kalau kata kerja tersebut seperti kata: ( ﺐﺘآ - بﺮﺿ – أﺮﻗ – ﺬﺧأ ) maka makna tiap-tiap kata tersebut tidak sempurna tanpa adanya kata yang lain, misalnya: ( ﺐﻟﺎﻄ ﻟا ﺐﺘآ ) maka kalimat tersebut tidak sempurna, sebab tidak ada penulisan ( ﺔ ﺑﺎﺘآ) kalau tidak ada yang ditulis. Jadi fi’il juga menantukan i’râb kata dalam kalimat, apabila dia fi’il lâzim maka dia merafa’kan fâ’il, sedangkan kalau dia muta’dî maka ia menashabkan maf’ûl. Kemudian, makna bahasa (al-Ma’nâ al-Lughawî) dari sebuah kata kerja (fi’il) juga dapat menentukan dan membedakan fa’il dengan maf’ûl ketika keduanya berkumpul, misalnya: ( ﺰﺒﺨﻟا ﺪﻤﺣأ ﻞآأ), maka makna bahasa dari kata kerja makan tersebut cocok untuk disandarkan atau dinisbatkan kepada makhluk hidup yang bisa makan, dan makhluk hidup disini adalah Ahmad (tapi mungkin juga makan tersebut disandarkan kepada kucing, anjing, dan lain-lain), maka Ahmad adalah fâ’il, dan dia menyandang alamat fâ’iliyyah yaitu rafa’. Kemudian makan ( ﻞآﻷا) juga bisa dinisbahkan kepada roti ( ﺰﺒﺨﻟا) sebab makan tersebut bisa jatuh kepadanya sehingga dia bisa menjadi yang dimakan ( لﻮآﺄﻣ) atau maf’ûl bih, dan dia menyandang alamat maf’ûliyyah yaitu nashab, tanpa memperdulikan susunan katanya, maksudnya posisi susunannya bisa dibolak-balik karena makna dan alamat i’râbnya sudah jelas.
penerima, dia menggambarkan makna kalimat yang diinginkan oleh si pembuat kalimat tersebut sesuai dengan tanda-tanda itu, maka wajar saja kalau gambaran dia terhadap makna bisa berubah apabila harakat i’râb suatu kata dalam kalimat berubah. Ini merupakan bukti kebenaran ungkapan ahli nahwu yang terkenal, yaitu: ( باﺮﻋﻹا ﻰﻨﻌﻤﻟا عﺮﻓ).
Hal tersebut di atas adalah yang berkaitan dengan pokok-pokok kalimat (Asâsiyyât al-Jumlah). 65 Adapun sehubungan dengan pelengkap kalimat (al-
Mukammilât), maka juga berlaku hal tersebut. Pembuat kalimat atau pembicara yang tahu kaidah struktur kalimat, dia lah yang membentuk kata-kata pelengkap (al-
Mukammilât) 66 tersebut untuk dibuat posisi-posisi i’râbnya, apakah sebagai maf’ûl li ajlih, hâl, tamyîz, na’at, ‘athaf, dan lain-lain, sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Kalau dia ingin mengungkapkan sebab sujudnya Muhammad misalnya, maka dia akan mengatakan: ﺎًﻋﻮﺸﺧ ٌﺪﻤﺤﻣ ﺪﺠﺳ , kata (ﺎﻋﻮﺸﺧ) pada kalimat tersebut posisinya adalah sebagai maf’ul li ajlih, kalau ia ingin mengungkapkan tentang keadaan (al- Hâl) Muhammad dalam sujudnya, maka ia akan mengatakan: ﺎًﻌﺷﺎﺧ ٌﺪﻤﺤﻣ ﺪﺠﺳ , kata ( ﺎًﻌﺷﺎﺧ) pada kalimat tersebut posisinya adalah sebagai hâl, kalau ia ingin mengungkapkan tentang jenis (al-Nau’u) sujudnya Muhammad, maka ia akan
65 Yang dimaksud dengan asâsiyyâh al-Jumlah disini adalah pokok kalimat (‘umdah al- Kalâm) yaitu: predikat (al-Musnad) dan subjek (musnad ilaih). Pokok kalimat (‘umdah ) tidak bisa
dibuang kecuali bila ada indikator (al-Qarinah). Lihat, Fâdhil Shâlih al-Sâmirâ’î, Ma’ânî al-Nahwi, jilid. 1, hal. 14.
66 Mukammilât disini maksudnya adalah kalimat pelengkap atau sebagaimana yang dikatakan oleh Mushthafâ al-Ghalâyainî: ﺎﻤﻬﻴﻨآر ﺲﻴﻟو , ﺔﻠﻤﺠﻟا ﻰﻨﻌﻣ ﻢﻴﻤﺘﺘﻟ ﺮآﺬﻳ ﻢﺳا (Isim yang disebutkan sebagai penyempurna makna kalimat, dan ia bukan termasuk dua pokok kalimat yaitu subjek (musnad ilaih dan
predikat (musnad). Ibrâhim al-Sâmirâ’i menamkan mukammilât ini dengan fadhlah (selain pokok kalimat). Namun perlu diingat bahwa yang dimaksud mukammilât atau fadhlah oleh para ahli nahwu disni bukan berarti ia tidak diperlukan atau dapat dibuang beguti saja. Sebab fadhlah/mukammilât ini kadang-kadang sangat menantukan makna suatu kalimat, dan bahkan tidak bisa dipahami dengan baik. Misalnya dalam firman Allah swt: (
ﻦﻴﺒﻋﻻ ضرﻷاو ءﺎﻤﺴﻟا ﺎﻨﻘﻠﺧ ﺎﻣو), kata ( ﻦﻴﺒﻋﻻ) pada ayat tersebut adalah fadhlah yang posisinya sebagai hâl, namun kalau tidak ada kata tersebut maka makna ayat tersebut tidak sempurna dan maknanya adalah bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang adadi antara keduanya. Begitu juga dengan firman Allah: ( ﺎﺣﺮﻣ ضرﻷا ﻲﻓ ﺶﻤﺗ ﻻو), ayat tersebut juga mesti membutuhkan pada kata ( ﺎﺣﺮﻣ), kalau kata tersebut dibuang maka maknanya akan berubah, yang asal melarang berjan dengan keadaan sombong menjadi melarang untuk berjalan. Lihat, Fâdhil Shâlih
al-Sâmirâ’î, Ma’ânî al-Nahwi, jilid. 1, hal. 14. Lihat juga, Mushthafâ al-Ghalâyainî, Jami’ al-Durûs al- ‘Arabiyyah, hal. 25.
mengatakan: ﻦﻴﻌﺷﺎﺨﻟا َدﻮﺠﺳ ٌﺪﻤﺤﻣ ﺪﺠﺳ , kata (ﻦﻴﻌﺷﺎﺨﻟا َدﻮﺠﺳ) pada kalimat tersebut posisinya adalah sebagai maf’ûl muthlaq untuk menjelaskan bentuk atau jenis, dan begitu juga pada seluruh isim-isim yang manshûb (al-Manshûbât), dan isim-isim
yang mengikutinya (al-Tawâbi’). 67