Arahan RPJPN Untuk Bidang Tata Ruang

Gambar 5
 Arahan RPJPN Untuk Bidang Tata Ruang

Dalam pembangunan Bidang Tata Ruang diidentifikasi 3 (tiga) isu strategis sebagai berikut:

1. Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Siklus pelaksanaan penataan ruang, sebagaimana diatur oleh UUPR, terdiri dari

perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Mempertimbangkan masih ada RTR dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) yang belum selesai, maka tahapan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang belum dapat dilaksanakan secara efektif. Salah satu faktor penyebab belum seluruh daerah memiliki RTR dan RZWP-3-K adalah belum tersedianya peta berskala besar. Untuk mendukung pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, dibutuhkan juga skema insentif sebagaimana tercantum dalam PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

2. Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang 
Permasalahan kelembagaan mencakup masih belum memadainya kualitas, kuantitas dan kompetensi SDM Bidang Tata Ruang, yang berdampak pada cenderung rendahnya kualitas RTR. Untuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bidang Tata Ruang, selain kualitas dan kuantitas yang masih harus ditingkatkan, wadah dan tata kerjanya belum terdefinisikan dengan baik untuk menunjang kinerjanya. Selain itu, masyarakat pengguna ruang juga belum berperan aktif dalam penyelenggaraan penataan ruang. Minimnya pedoman yang dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang juga menimbulkan banyak kendala.

3. RTR sebagai acuan pembangunan berbagai sektor Sebagai peraturan perundangan yang mewadahi Bidang Tata Ruang, seluruh amanat UUPR harus dilengkapi dan selaras dengan aturan sektoral lain. Namun saat ini RTR belum menjadi pedoman bagi pembangunan sektoral. Selain itu, RTR juga belum selaras dengan rencana pembangunan yang menjadi acuan pembiayaan pembangunan.

Dalam rangka mendukung visi misi dan program aksi “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan

Berkepribadian”, isu strategis utama Bidang Tata Ruang terkait erat dengan Agenda Pemerataan Pembangunan Antarwilayah terutama

Desa, Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Perbatasan. Namun selain itu, Bidang Tata Ruang juga berkaitan erat dengan berbagai agenda pembangunan lainnya, termasuk di dalamnya agenda: (1) Memperkuat sistem pertahanan melalui penyusunan peraturan perundangan tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN); (2) Memperkuat jati diri sebagai negara maritim, salah satunya dengan penetapan RTR Laut Nasional; (3) Membangun transparansi dan tata kelola pemerintahan dengan pembangunan sistem informasi tata ruang yang handal; (4) Menjalankan reformasi birokrasi yang dapat mendukung kelembagaan PPNS Bidang Tata Ruang yang Handal; (5) Membuka partisipasi publik dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha secara aktif dalam penyelenggaraan penataan ruang; serta (6) Mewujudkan pangan dengan integrasi perencanaan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) dengan RTR Wilayah Provinsi yang diamanatkan oleh UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan peraturan turunannya.

Untuk menjawab isu-isu strategis Bidang Tata Ruang yang telah diuraikan sebelumnya, berikut 4 (empat) sasaran pembangunan Subbidang Tata Ruang untuk tahun 2015-2019.

1. Tersedianya Peraturan Perundang-undangan Bidang Tata Ruang yang Lengkap, Harmonis, dan Berkualitas Pengaturan yang lengkap dan harmonis berarti pengaturan menyeluruh dan terpadu pada ruang darat, bawah tanah, udara dan laut. Keterpaduan di ruang darat dilakukan di kawasan perkotaan yang cepat tumbuh, kawasan perdesaan yang menyediakan sumberdaya penting, dan kawasan perbatasan negara. Sementara itu, harmonis dan berkualitas berarti bahwa peraturan perundangan Bidang Tata Ruang serasi dengan peraturan sektor lain.

2. Meningkatnya Kapasitas Kelembagaan Bidang Tata Ruang Peningkatan kapasitas kelembagaan bidang Tata Ruang berupa penyediaan pelaksana kebijakan dan lembaga yang berkualitas di seluruh daerah otonom yang mencakup penyediaan sistem informasi terpadu yang dapat menjadi acuan bagi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam jangka pendek, kegiatan yang sesuai dengan Visi, Misi, dan Program Aksi Presiden (kegiatan prioritas jangka pendek) dan akan segera diselesaikan adalah penyusunan pedoman perlindungan PPNS Bidang Tata Ruang.

3. Meningkatnya Kualitas dan Kuantitas RTR serta Terwujudnya Tertib Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Peningkatan kualitas RTR berupa pemanfaatan data dan informasi yang meliputi peta dasar dan peta tematik yang lengkap. Peningkatan kuantitas RTR berupa penyelesaian seluruh RTR meliputi RTRWN, RTR Pulau, RTR Kawasan Strategis Nasional, RTRW (provinsi, kabupaten, kota), RZWP-3-K (provinsi, kabupaten, kota) dan rencana rinci tata ruang. Terwujudnya tertib pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan meningkatkan kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTR yang telah ditetapkan. Kegiatan prioritas jangka pendek yang akan segera diselesaikan adalah penetapan Revisi Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur yang dilengkapi dengan lembaga dan/atau pengelola KSN Jabodetabekjur, penyediaan peta dasar skala 1:5.000 untuk penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) pada KSN dan daerah yang diprioritaskan, serta penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan.

4. Meningkatnya Kualitas Pengawasan Penyelenggaraan Penataan Ruang Peningkatan kualitas pengawasan penataan ruang berupa pemanfaatan sistem informasi yang memadai dalam rangka pemantauan dan evaluasi keberhasilan penyelenggaraan penataan ruang yang didukung indikator outcome dan baseline, dan sistem evaluasi tingkat pencapaian implementasi RTR.

Berdasarkan isu strategis dan sasaran pembangunan Bidang Tata Ruang tahun 2015- 2019, arah kebijakan dan strategi pembangunan Bidang Tata Ruang diuraikan ke dalam 4 (empat) kebijakan di bawah ini.

1. Meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan harmonis dengan strategi: (a) penyusunan peraturan perundangan amanat UU No. 26 Tahun 2007 berupa peraturan perundangan Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) dan regulasi turunannya dalam rangka mendukung agenda Penguatan Sistem Pertahanan; (b) penyusunan regulasi turunan UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 terkait RZWP-3-K; (c) harmonisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan Bidang Tata Ruang termasuk di dalamnya peraturan insentif untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam rangka mendukung Agenda Kedaulatan Pangan; (d) penginternalisasian kebijakan sektoral dalam NSPK Bidang Tata Ruang; dan (e) pengintegrasian RTR dengan rencana pembangunan.

2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang, dengan strategi: (a) optimasi kinerja lembaga penyelenggara tata ruang (instansi, SDM Bidang Tata Ruang, dan 2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang, dengan strategi: (a) optimasi kinerja lembaga penyelenggara tata ruang (instansi, SDM Bidang Tata Ruang, dan

3. Meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang, dengan strategi: (a) peningkatan kualitas produk dan penyelesaian serta peninjauan kembali RTR, baik RTRWN, peraturan perundangan RTR Laut Nasional (dalam rangka mendukung Agenda Memperkuat Jati Diri sebagai Negara Maritim), RTR Pulau/Kepulauan, RTR KSN (termasuk penetapan revisi Perpres RTR KSN Jabodetabekjur) dan RTRW yang telah mengintegrasikan LP2B dan prinsip-prinsip RZWP-3-K; (b) penyusunan peraturan zonasi yang lengkap untuk menjamin implementasi RTR; (c) percepatan penyediaan data pendukung pelaksanaan penataan ruang yang mutakhir termasuk penggunaan Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) dan penyediaan foto udara resolusi tinggi sebagai dasar peta skala 1:5000 untuk RDTR; dan (d) peningkatan efektifvitas pengendalian pemanfaatan ruang; dalam rangka mendukung agenda Pemerataan Pembangunan Antarwilayah terutama Desa, Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Perbatasan.

4. Melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang, melalui pemantauan dan evaluasi yang terukur

5. Pendanaan kegiatan penyelenggaraan penataan ruang adalah melalui APBN dan APBD yang ditujukan untuk:

1. Meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan harmonis

2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang

3. Meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang

4. Melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang Selain APBN dan APBD, mengingat bahwa banyak pihak dimudahkan dari

ketersediaan RTR, khususnya swasta/investor, maka pilihan pendanaan melalui dana perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) layak dipertimbangkan. Hal ini khususnya dalam penyusunan perangkat kelembagaan yang tidak terkait langsung dengan peraturan perundangan, yaitu penyusunan sistem informasi penataan ruang, pemanfaatan sistem informasi penataan ruang untuk perizinan di daerah, dan peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha.

Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan Bidang Tata Ruang, beberapa peraturan perundangan perlu disusun maupun ditinjau kembali. Berikut kerangka regulasi yang menjadi fokus pada RPJMN 2015-2019:

Untuk arah kebijakan pertama: Meningkatkan ketersediaan regulasi Tata Ruang yang efektif dan harmonis, kegiatan yang perlu dilakukan adalah penyusunan peraturan perundangan Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) dan regulasi turunannya.

Untuk arah kebijakan kedua: Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang, kegiatan yang perlu dilakukan adalah: (a) penyusunan regulasi yang mengatur pedoman kerja Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan pelatihan PPNS; dan (b) penyusunan regulasi yang mengatur tentang sistem informasi penataan ruang.

Untuk arah kebijakan ketiga: Meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang, kegiatan yang perlu dilakukan adalah: (a) penyusunan peraturan perundangan RTR Laut Nasional; (b) revisi PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); (c) revisi Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekjur, termasuk konsep kelembagaan pengelolanya; serta peninjauan kembali dan penyusunan seluruh RTR Pulau/Kepulauan dan KSN.

Untuk arah kebijakan keempat: Melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang, kegiatan yang perlu dilakukan berupa penyusunan regulasi yang mengatur tentang pedoman dan sistem pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah.

Pasca ditetapkannya UUPR, urusan tata ruang seharusnya menjadi tanggung jawab Menteri yang membidangi urusan penataan ruang. Namun demikian, karena belum terdapat kementerian/lembaga yang membidangi langsung urusan penataan ruang, dan mengingat sifat penataan ruang yang lintas-sektor, maka dibentuklah Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) melalui Keppres No. 4 Tahun 2009.

Saat ini, dengan dibentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, maka implementasi kebijakan (delivery mechanism) Bidang Tata Ruang akan dilaksanakan oleh Kementerian tersebut dengan dukungan program dan kegiatan dari K/L lain. Fungsi BKPRN diharapkan akan tetap sebagai forum koordinasi antarK/L dengan melibatkan pemangku kepentingan lain di luar pemerintahan seperti masyarakat dan dunia usaha.

Secara rinci, kerangka kelembagaan diuraikan di bawah ini:

1. Meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan harmonis Dalam meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan harmonis,

diperlukan peran dan kerjasama beberapa instansi pemerintah yaitu

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang • Menyusun NSPK Bidang Tata Ruang; Bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian

PPN/Bappenas, dan Kementerian Hukum dan HAM • Melakukan harmonisasi UU yang berkaitan dengan Bidang Tata Ruang.Bersama

dengan Kementerian Pertahanan • Menyusun peraturan perundangan Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) dan

turunannya.

b. Kementerian Kelautan dan Perikanan • Menyusun regulasi turunan UU No. 27/2007.

c. Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan Kementerian Dalam Negeri • Menyusun materi teknis integrasi RTR dengan Rencana Pembangunan dan rencana

sektor; • Menyusun mekanisme implementasi integrasi pemanfaatan ruang oleh berbagai

sektor yang mengacu pada indikasi program RTR.

2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang

Dalam meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang, instansi pelaksana yang terlibat langsung.

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang • Mengoordinasikan BKPRN (termasuk di dalamnya menyelenggarakan Rakernas

BKPRN); • Menyusun sistem informasi penataan ruang yang terintegrasi (termasuk sistem

informasi untuk sosialisasi, perizinan, serta pemantauan dan evaluasi); • Menyusun pedoman kerja PPNS; dan

• Melakukan pelatihan PPNS; Bersama Kementerian Dalam Negeri • Menyusun standarisasi instansi penyelenggara Tata Ruang;

• Melakukan pembinaan SDM Bidang Tata Ruang di Daerah;

b. Kementerian Dalam Negeri • Menyusun Mekanisme Hubungan Kerja BKPRN-BKPRD; dan

• Menyelenggarakan Rakereg BKPRD. Bersama dengan Bappeda

• Membentuk forum masyarakat pemangku kepentingan dan dunia usaha terkait penataan ruang di daerah.

3. Meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang Dalam meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang, instansi pelaksana yang

terlibat mencakup.

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang • Melakukan percepatan penyelesaian dan peninjauan kembali RTR Pulau/Kepulauan,

RTR KSN (termasuk Revisi Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur yang dilengkapi dengan lembaga dan/atau pengelola KSN Jabodetabekjur), RTRW dan Rencana Rinci Tata Ruang;

• Melakukan peninjauan kembali PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN; • Menyusun rekomendasi perbaikan mekanisme persetujuan substansi RTR termasuk

sertifikasi bagi tim teknis persetujuan substansi;

• Menyusun peraturan zonasi; • Melakukan kajian dan penyusunan pedoman mekanisme insentif, dan pemberian

sanksi; • Menyusun sistem informasi publik terpadu yang terintegrasi dengan sistem

perizinan di daerah; dan • Menyusun pedoman dan sistem evaluasi pemanfaatan ruang;

• Menyusun peraturan perundangan Rencana Tata Ruang Laut Nasional. Bersama dengan Badan Informasi Geospasial • Menyediakan peta dasar peta skala 1:5000 untuk RDTR yang mutakhir dan sesuai dengan kebutuhan penataan ruang.

b. Kementerian Kelautan dan Perikanan • Melaksanakan percepatan penyelesaian dan implementasi RZWP-3-K; dan

c. Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang

• Melaksanakan pedoman integrasi RTR dengan rencana pembangunan; • Melakukan pemetaan indikasi program RTR ke dalam program rencana

pembangunan dalam rangka menyusun rencana pembangunan.

d. Kementerian Dalam Negeri • Melakukan pembinaan kapasitas kelembagaan terkait peraturan zonasi, insentif, dan

pemberian sanksi; dan • Menyusun

evaluasi RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota.

4. Melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang akan dilaksanakan oleh

Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Kementerian PPN/Bappenas • Melakukan penyusunan indikator outcome dan baseline penyelenggaraan penataan

ruang, pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang di tingkat pusat; • Menyusun sistem informasi penataan ruang yang mendukung pemantauan dan

evaluasi penyelenggaraan penataan ruang.

b. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah • Melakukan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang di tingkat daerah sesuai

dengan pedoman yang telah disusun oleh Pemerintah Pusat.

 Pertanahan Amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria (UUPA) bahwa pemanfaatan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang dijabarkan dalam perencanaan nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Untuk bidang pertanahan, yang dijabarkan dalam Misi 5 – Mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan; arah pengelolaan pertanahan meliputi: (i) penerapan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien dan efektif; (ii) pelaksanaan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi; (iii) penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan landreform, agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah; (iv) penyempurnaan sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat; (v) peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan; dan (vi) penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia bidang pertanahan di daerah.

Terkait arah pengelolaan pertanahan di atas, terdapat 4 (empat) isu strategis bidang pertanahan sebagai berikut.

1. Jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah Jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah masih menjadi isu utama,

manakala faktor-faktor utama yang mempengaruhi kondisi kepastian hukum hak atas tanah belum dapat diperbaiki secara signifikan. Faktor-faktor dimaksud, antara lain adalah rendahnya cakupan peta dasar pertanahan (23,26 persen), rendahnya jumlah bidang tanah yang telah bersertipikat (51,8 persen), rendahnya kepastian batas kawasan hutan dan non hutan (49,96 persen), rendahnya tingkat penyelesaian kasus pertanahan, dan rendahnya penetapan batas tanah adat/ulayat (hingga saat ini baru 1 (satu) tanah adat/ulayat yang ditetapkan yaitu Tanah Adat Badui, Provinsi Banten).

Saat ini, bila terjadi sengketa pertanahan antara dua pihak atau lebih dan tidak dapat diselesaikan melalui musyarawah, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara litigasi dengan berperkara di pengadilan.Diperoleh fakta ada beberapa jenis pengadilan yang berbeda dengan kemungkinan keputusan pengadilan yang berbeda pula.Hal ini menyebabkan kepastian hukum masyarakat terhadap hak atas tanah tidak dapat terjamin bahkan oleh lembaga peradilan yang ada.

2. Ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) serta kesejahteraan masyarakat

Ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) masih menjadi masalah, terlihat dari luas wilayah darat nasional di luar kawasan hutan seluas

65 juta Ha, hanya sekitar 39,6 juta Ha yang dikuasai oleh petani. Sensus pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 65 juta Ha, hanya sekitar 39,6 juta Ha yang dikuasai oleh petani. Sensus pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89

Dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi petani amat miskin, disadari bahwa pemberian sebidang tanah melalui kegiatan redistribusi tanah belum dapat efektif meningkatkan kesejahteraannya sehingga perlu dilengkapi dengan pemberian bantuan lain yang dapat meningkatkan kemampuan penerima bidang tanah dalam mengolah dan memanfaatkan bidang tanah tersebut. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN tidak memiliki program dan kegiatan pemberdayaan. Sementara K/L lainnya memiliki program pemberdayaan masyarakat yang dapat digunakan sebagai bantuan pendukung redistribusi tanah.

3. Kinerja pelayanan pertanahan 
 Upaya terus menerus yang dilakukan Pemerintah dalam memperbaiki kinerja

pelayanan pertanahan, antara lain adalah dengan membangun dan mengembangkan sistem informasi manajemen pertanahan nasional (Simtanas). Sepanjang tahun 2010- 2014 telah dikembangkan aplikasi sistem informasi pertanahan pada seluruh Kantor Wilayah Pertanahan. Namun demikian tetap dirasakan bahwa pelayanan pertanahan belum optimal.
Kemudian, teridentifikasi bahwa kurangnya kinerja pelayanan pertanahan karena masyarakat harus menunggu cukup lama untuk dapat menyelesaikan pelayanan pertanahannya sebagai akibat kurangnya jumlah Juru Ukur Pertanahan. Data tahun 2014 menunjukkan komposisi perbandingan Juru Ukur pada keseluruhan pegawai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN hanya mencapai 15 persen atau 3.013 orang untuk melayani pelayanan pertanahan di seluruh Indonesia. Sementara keseluruhan jumlah pegawai BPN tahun 2014 berjumlah 19.493 orang. Kondisi yang demikian menunjukkan adanya proporsi yang tidak seimbang antara juru ukur pertanahan dan non juru ukur sehingga memengaruhi kinerja pelayanan pertanahan menjadi tidak optimal.

4. Ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum 
 Ketersediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum menjadi

permasalahan bidang pertanahan terlihat dari pembebasan tanah yang berlarut-larut dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. UU No. 2/2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Perpres No. 40/2014 tentang Perubahan Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta perangkat hukum turunannya, memberi kepastian dari sisi waktu pengadaan melalui pembatasan waktu maksimal pengadaan tanah. Namun demikian, peraturan tersebut belum dapat mengantisipasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan dan penganggaran permasalahan bidang pertanahan terlihat dari pembebasan tanah yang berlarut-larut dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. UU No. 2/2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Perpres No. 40/2014 tentang Perubahan Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta perangkat hukum turunannya, memberi kepastian dari sisi waktu pengadaan melalui pembatasan waktu maksimal pengadaan tanah. Namun demikian, peraturan tersebut belum dapat mengantisipasi permasalahan kepastian dari sisi perencanaan dan penganggaran

yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, isu strategis utama bidang pertanahan terkait erat dengan agenda Reformasi Sistem dan Penegakan Hukum yang Bebas Korupsi,

Bermartabat dan Terpercaya dengan menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah dan melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat. Agenda lain yang terkait dengan bidang pertanahan adalah meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui komitmen untuk implementasi reforma agraria melalui: a). pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta Ha; b) meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 Ha menjadi 2,0 Ha per KK tani, dan pembukaan 1 juta Ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali.

Selain itu, bidang pertanahan juga berkaitan erat dengan berbagai agenda pembangunan lainnya, termasuk di dalamnya agenda: (1) Membangun Tata Kelola Pemerintahan yang Bersih, Efektif, Demokratis, dan Terpercaya melalui pengelolaan pelayanan Teknologi Informasi dan Komputerisasi (TIK) dalam pelayanan pertanahan untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas; (2) Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik melalui perbaikan proporsi penerimaan SDM Juru Ukur Pertanahan untuk perbaikan kualitas pelayanan publik; dan (3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan.

Untuk menjawab isu-isu strategis bidang pertanahan yang telah diuraikan sebelumnya berikut 4 (empat) sasaran pembangunan bidang pertanahan untuk tahun 2015-2019.

1. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah Dalam upaya meningkatkan kepastian hukum, telah teridentifikasi bahwa permasalahan

mendasar adalah sistem pendaftaran tanah yang dianut saat ini berupa sistem publikasi negatif yang berarti negara tidak menjamin kebenaran informasi yang ada dalam sertipikat. Dibutuhkan upaya untuk mulai membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif yang dikenal sebagai Pendaftaran Tanah Stelsel Positif, yang berarti negara menjamin kebenaran informasi yang tercantum dalam sertipikat tanah yang diterbitkan. Dengan demikian, ketika terjadi gugatan maka pihak yang dirugikan akan memperoleh ganti-kerugian dari negara.

Upaya membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif perlu dimulai dengan memperbaiki secara signifikan cakupan peta dasar pertanahan, cakupan bidang tanah bersertipikat hingga masing-masing meliputi 80 persen wilayah nasional, dan percepatan penetapan batas kawasan hutan pada skala kadastral. Selain itu, perlu juga dilakukan percepatan penetapan batas tanah adat/ulayat yang didahului oleh sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait tanah adat/ulayat kepada seluruh pihak terutama pemerintah daerah untuk menyamakan pemahaman tentang peran masing-masing pihak dalam proses penetapan tersebut. Namun demikian, upaya membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif tersebut amat terkait dan perlu mendapat dukungan bidang hukum, terutama pada percepatan penyelesaian kasus pertanahan di pengadilan.

Dengan memperhatikan kemampuan penyelenggaraan pembangunan dan sumber daya yang ada kemudian ditetapkan target pencapaian beberapa kondisi berikut yang dapat dipenuhi dalam kerangka waktu 5 (lima) tahun.

a. Tercapainya Cakupan Peta Dasar Pertanahan hingga meliputi 80 persen dari wilayah darat nasional bukan hutan (wilayah nasional);

b. Tercapainya Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat hingga meliputi 70 persen dari wilayah nasional;

c. Tercapainya penetapan batas wilayah hutan pada skala 1:5.000 dan terintegrasi dengan sistem pendaftaran tanah di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sepanjang 189.056,6 km;

d. Terlaksananya sosialisasi peraturan perundangan tanah adat/ulayat pada 34 provinsi dan 539 kab/kota.

2. Semakin baiknya proporsi kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat

Upaya perbaikan ketimpangan kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dilakukan melalui reforma agraria, yaitu redistribusi tanah, legalisasi aset, dengan sekaligus dilengkapi dengan bantuan pemberdayaan masyarakat kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkan terutama pemilik usaha skala mikro dan kecil termasuk petani dan nelayan, serta masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam melakukan redistribusi tanah, negara melakukan Inventarisasi Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) untuk mendapatkan sumber-sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang kemudian ditetapkan sebagai tanah obyek agar selanjutnya dapat diredistribusikan kepada para petani sebagai penerima hak tanah (beneficiaries). Untuk itu, upaya reforma agraria perlu dipandang sebagai upaya lintas sektor yang melibatkan sektor lain seperti kehutanan, industri, dan IPTEK. Dengan demikian, sasaran semakin baiknya proporsi P4T dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat diasumsikan tercapai bila beberapa kondisi berikut dapat terpenuhi.

a. Tersedianya sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan terlaksananya redistribusi tanah dan legalisasi aset;

- Teridentifikasi dan terinventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) sebanyak 18 juta bidang atau sedikitnya mencapai 9 juta ha;

- Teridentifikasi kawasan hutan yang akan dilepaskan sedikitnya sebanyak 4,1 juta ha; - Teridentifikasi tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa berlakunya, tanah terlantar, dan tanah transmigrasi yang belum bersertipikat, yang berpotensi sebagai TORA sedikitnya sebanyak 1 juta ha; dan

- Teridentifikasi tanah milik masyarakat dengan kriteria penerima reforma agraria untuk legalisasi aset sedikitnya sebanyak 3,9 juta ha.

b. Terlaksananya pemberian hak milik atas tanah (reforma aset) yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset:

- Terlaksananya redistribusi tanah sedikitnya sebanyak 4,5 juta ha yang meliputi:

- tanah pada kawasan hutan yang dilepaskan; dan - tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa berlakunya dan

tanah terlantar. - Terlaksananya legalisasi aset sedikitnya sebanyak 4,5 juta ha, yang meliputi: - tanah transmigrasi yang belum dilegalisasi; dan - legalisasi aset masyarakat dengan kriteria penerima reforma agraria.

3. Meningkatnya kepastian ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum Tujuan lain diterbitkannya UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum, dan Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta Perpres No. 40/2014 tentang Perubahan Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, adalah untuk mencegah spekulasi tanah dan mengendalikan harga tanah yang sebenarnya berdampak langsung kepada kesejahteraan masyarakat secara umum. Untuk melaksanakan tujuan tersebut Pemerintah belum memiliki instrumen kelembagaan yang khusus. Dengan demikian, diperlukan lembaga khusus yang mewakili negara untuk melakukan penyediaan tanah bagi pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Lembaga negara tersebut disebut

Lembaga Penyediaan Tanah atau dikenal dengan “Bank Tanah”. Dalam pelaksanaannya Bank Tanah diamanatkan untuk melakukan pembelian bidang-bidang tanah untuk

dimanfaatkan pembangunan kepentingan umum atau menjual kembali dengan harga tertentu bagi keperluan pembangunan. Dengan demikian, sasaran meningkatnya kepastian ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum diasumsikan tercapai dengan Pembentukan Kelembagaan Penyediaan Tanah (Bank Tanah) yang ditetapkan melalui penyusunan Peraturan Presiden (Perpres).

Pasca diterbitkannya Perpres Pembentukan Kelembagaan Penyediaan Tanah (Bank Tanah), maka bank tanah tersebut dapat secara aktif melakukan pembelian bidang-bidang tanah pada kawasan-kawasan yang diprioritaskan pembangunannya seperti Pusat Pertumbuhan Baru, Terminal Logistik Tol Laut, Kawasan Industri, Sentra Industri Maritim dan Perikanan.

4. Meningkatnya pelayanan pertanahan

Upaya meningkatkan pelayanan pertanahan yang dilakukan Pemerintah belum memberikan hasil yang cukup memuaskan, terutama kepastian waktu pelayanan mengingat proporsi pegawai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN belum mencapai komposisi ideal bagi jumlah Juru Ukur. Dari keadaan saat ini,dengan proporsi 15 persen, perlu ditingkatkan hingga mencapai 40 persen dari jumlah pegawai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN secara nasional.

Namun demikian, memerhatikan kemampuan penyelenggaraan pembangunan dan sumber daya serta pemanfaatan teknologi informasi dan komputerisasi (TIK) yang ada, ditetapkan target pencapaian beberapa kondisi berikut yang dapat dipenuhi dalam kerangka waktu 5 (lima) tahun.

a. Tercapainya proporsi Juru Ukur secara nasional mencapai 30 persen dari seluruh pegawai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN;

b. Termanfaatkannya teknologi informasi dan komputerisasi (TIK) dalam pelayanan pertanahan dan pengelolaannya di 34 kantor wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dan 539 kantor pertanahan kabupaten/kota. Berdasarkan isu strategis dan sasaran pembangunan bidang pertanahan tahun 2015-

2019, maka disusun arah kebijakan dan strategi untuk memenuhi keempat sasaran bidang yang telah diuraikan di atas.

1. Membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif Dalam rangka menjamin kepastian hukum hak atas tanah perlu dikembangkan sistem

pendaftaran tanah publikasi positif. Kebijakan tersebut dicapai melalui strategi.

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas georefrensi melalui penyediaan peta dasar pertanahan;

b. Mempercepat penyelesaian sertipikasi tanah;

c. Meningkatkan kepastian batas hutan dan non hutan;

d. Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan perannya untuk penyusunan Peraturan Daerah terkait penyelesaian tanah adat/ulayat.

2. Reforma agraria melalui redistribusi tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat Redistribusi tanah dilakukan dengan memberikan hak atas tanah kepada masyarakat yang

tidak memiliki tanah. Kebijakan redistribusi tanah tersebut perlu disempurnakan dan dilengkapi dengan pemberdayaan masyarakat (access reform) melalui upaya mengkoordinasikan dan menghubungkan (channeling) masyarakat kepada sumber- sumber ekonomi produktif sehingga dapat lebih berkontribusi secara nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kebijakan tersebut dicapai dengan strategi sebagai berikut.

a. Koordinasi lokasi redistribusi tanah dan legalisasi aset dengan progam pemberdayaan masyarakat;

b. Pengembangan teknologi pertanian dan pengolahan hasil pertanian;

c. Pembentukan dan penguatan lembaga keuangan mikro;

d. Membangun koneksi antara usaha petani, dan UKM dengan dunia industri.

3. Pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum Negara memiliki kewenangan untuk melakukan pencadangan tanah yang akan digunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaannya pencadangan tanah oleh negara tidak terikat waktu untuk melakukan pemanfaatan pada bidang-bidang tanah yang dikuasai. Kebijakan tersebut dicapai dengan strategi sebagai berikut:

a. Penyiapan regulasi pembentukan lembaga bank tanah berupa Peraturan Presiden (Perpres);

b. Mewakili negara untuk melakukan pembelian bidang-bidang tanah pada kawasan- kawasan yang diprioritaskan pembangunannya.

4. Pencapaian proporsi kompetensi SDM ideal bidang pertanahan untuk mencapai kebutuhan

minimum juru ukur pertanahan Pelayanan pertanahan memerlukan kompetensi sumber daya manusia yang ideal baik

kuantitas maupun kualitas dengan komposisi yang ideal terutama ketersediaan juru ukur sebagai ujung tombak di lapangan. Dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara yang terbatas dan kebijakan organisasi birokrasi yang efektif dan efisien perlu disusun kebijakan penerimaan PNS baru. Kebijakan tersebut dicapai dengan strategi perbaikan proporsi penerimaan SDM Juru Ukur Pertanahan melalui penerimaan PNS Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN yang terencana

Kerangka pendanaan bidang pertanahan sebagian besar bersumber dari APBN, terkecuali beberapa kegiatan yang dananya dapat bersumber dari APBD yaitu: pelaksanaan sertipikasi tanah melalui PRODA, dukungan pemberdayaan masyarakat paska sertipikasi tanah (reforma akses).

Sementara sumber lainnya dapat berasal dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membiayai kegiatan diantaranya dukungan pemberdayaan masyarakat paska sertipikasi tanah (reforma akses), dan sertipikasi tanah.

Kerangka regulasi bidang pertanahan mencakup:

1. Membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif

Dalam membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif, perlu dilakukan pengkajian ulang beberapa peraturan perundangundangan dengan tujuan (i) mengakomodasi perubahan sistem pendaftaran menuju sistem pendaftaran tanah publikasi positif, dan (ii) mendukung upaya peningkatan kepastian hukum hak atas tanah, diantaranya meliputi :

a. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; - Pasal-pasal terkait sistem pendaftaran tanah perlu diubah menjadi sistem

pendaftaran publikasi positif;

b. PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah; - Pasal-pasal terkait sistem pendaftaran tanah perlu diubah menjadi sistem

pendaftaran publikasi positif;

c. UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah; - Pasal-pasal terkait Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) perlu

diubah agar dapat dibebaskan bea bagi pendaftaran tanah pertama.

2. Mendorong reforma agraria melalui pemberian tanah dan bantuan pemberdayaan

Dalam rangka melaksanakan reforma agraria untuk mengurangi ketimpangan pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, beberapa peraturan perundang- undangan yang perlu dilakukan pengkajian ulang, diantaranya meliputi:

a. Penyusunan Perpres Reforma Agraria tentang: (a) Dimulainya program Reforma Agraria; (b) Kerangka waktu pelaksanaan dan tahapan program Landreform; a. Penyusunan Perpres Reforma Agraria tentang: (a) Dimulainya program Reforma Agraria; (b) Kerangka waktu pelaksanaan dan tahapan program Landreform;

c. Menyusun pedoman pelaksanaan redistribusi tanah meliputi: sumber-sumber tanah yang dapat menjadi tanah objek reforma agraria (redistribusi tanah).

d. Menyusun pedoman pelaksanaan reforma akses meliputi program/kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh K/L dan pemerintah daerah.

3. Pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum Dalam rangka pencadangan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum perlu

penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Perpres untuk pembentukan bank tanah yang mengatur kelembagaan bank tanah, kewenangan, sumber pendanaannya serta pemanfaatan tanah yang berasal dari bank tanah.

4. Pencapaian proporsi kompetensi SDM ideal bidang pertanahan untuk mencapai kebutuhan minimum juru ukur pertanahan

Untuk mencapai proporsi kompetensi SDM ideal bidang pertanahan perlu disusun kebijakan penerimaan PNS Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dengan jumlah tertentu sampai memenuhi kebutuhan ideal terutama untuk mencapai kebutuhan minimum juru ukur pertanahan. Selain itu, menyediakan kebijakan jenjang karir juru ukur pertanahan.

Kerangka kelembagaan bidang pertanahan mencakup:

1. Sistem pendaftaran tanah publikasi positif Dalam membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif, diperlukan peran dan

kerjasama beberapa instansi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan tugas tertentu dengan tujuan (i) mengakomodasi perubahan sistem pendaftaran menuju sistem pendaftaran tanah publikasi positif, dan (ii) mendukung upaya peningkatan kepastian hukum hak atas tanah, diantaranya adalah :

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional - Percepatan penyusunan peta dasar pertanahan;

- Percepatan sertipikasi tanah; - Melakukan review dan perubahan peraturan perundangundangan terkait sistem

pendaftaran tanah; - Bersama Kementerian Kehutanan melakukan pendaftaran dan publikasi batas kawasan hutan dalam skala 1:5.000; - Bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, melakukan sosialisasi peraturan perundangan tanah adat/ulayat;

b. BIG dan LAPAN - Penyediaan peta dasar rupabumi;

- Penyediaan foto udara; - Penyediaan citra satelit.

c. Kementerian Keuangan - Bersama Kementerian Dalam Negeri melakukan review dan perubahan UU No.

28/2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah untuk dapat membebaskan BPHTB pada pendaftaran tanah pertama;

d. Kementerian Dalam Negeri - Bersama Kementerian Keuangan melakukan review dan perubahan UU No. 28/2009

tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah untuk dapat membebaskan BPHTB pada pendaftaran tanah pertama;

- Bersama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, melakukan sosialisasi peraturan perundangan tanah adat/ulayat;

e. Kementerian Kehutanan - Bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN melakukan pendaftaran dan

publikasi batas kawasan hutan dalam skala 1:5.000.

f. Pemerintah Daerah - Melakukan identifikasi masyarakat adat/ulayat;

- Menetapkan perda tanah adat/ulayat.

g. Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan/atau Tokoh Masyarakat - Bersama pemerintah daerah melakukan sosialisasi peraturan perundangan tanah

adat/ulayat.

2. Reforma Agraria melalui pemberian tanah dan bantuan pemberdayaan masyarakat

Dalam upaya pelaksanaan reforma agraria diperlukan dukungan dan peran dari setiap instansi pemerintah dan masyarakat sebagai berikut:

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN - Melakukan identifikasi ketersediaan sumber tanah sebagai Tanah obyek Reforma

Agraria - Melakukan koordinasi lokasi antara kegiatan redistribusi tanah dan kegiatan pemberdayaan masyarakat - Melaksanakan redistribusi tanah

b. Seluruh K/L dan Pemda: - Mengidentifikasi lokasi program pemberdayaan masyarakat

- Melakukan identifikasi masyarakat penerima tanah obyek reforma agraria - Melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagai access reform

3. Pencadangan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Upaya mewujudkan institusi/lembaga pencadangan tanah, memerlukan peran dan kerjasama dari beberapa instansi pemerintah sebagai berikut :

a. Kementerian PPN/Bappenas - Melakukan kajian pengembangan konsep bank tanah

b. Kementerian Hukum dan HAM - Penyusunan peraturan perundang-undangan terkait bank tanah.

c. Kementerian Keuangan - Mengalokasikan anggaran untuk pembentukan institusi/lembaga bank tanah.

- Mengalokasikan anggaran pembelian bidang-bidang tanah pada kawasan yang diprioritaskan pembangunannya.

d. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN - Membentuk Badan Layanan Umum (BLU) penyediaan tanah/Bank Tanah

- Menyiapkan SDM dan mekanisme praktek pencadangan tanah

4. Pencapaian proporsi kompetensi SDM ideal bidang pertanahan untuk mencapai kebutuhan minimum juru ukur pertanahan

Dalam rangka memenuhi proporsi kompetensi SDM bidang pertanahan yang ideal terutama juru ukur maka perlu dukungan dan kerjasama dari beberapa pihak sebagai berikut.

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN: - Melakukan analisa kebutuhan pegawai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN

- Menyiapkan skenario rencana penerimaan pegawai baru terutama juru ukur;

b. Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara - Mengkaji permintaan dan penerimaan pegawai baru Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/BPN

c. Kementerian Keuangan: - Menyiapkan alokasi anggaran untuk penambahan pegawai baru Kementerian Agraria

dan Tata Ruang/BPN  Perkotaan

Kota dan kawasan perkotaan mengalami perkembangan yang cepat dan dinamis. Perkembangan tersebut menjadi daya tarik bagi penduduk di perdesaan untuk berpindah dan berkegiatan di kota dan kawasan perkotaan, sehingga terjadi urbanisasi. Berdasarkan data dari BPS (2012), pertambahan jumlah penduduk tersebut terlihat dari komposisi penduduk perkotaan di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 50 persen, dengan tingkat pertumbuhan penduduk 2,75 persen per tahun, melebihi rata-rata pertumbuhan penduduk nasional yang hanya sebesar 1,17 persen per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk tersebut, diperkirakan tingkat urbanisasi dan jumlah penduduk perkotaan akan meningkat Kota dan kawasan perkotaan mengalami perkembangan yang cepat dan dinamis. Perkembangan tersebut menjadi daya tarik bagi penduduk di perdesaan untuk berpindah dan berkegiatan di kota dan kawasan perkotaan, sehingga terjadi urbanisasi. Berdasarkan data dari BPS (2012), pertambahan jumlah penduduk tersebut terlihat dari komposisi penduduk perkotaan di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 50 persen, dengan tingkat pertumbuhan penduduk 2,75 persen per tahun, melebihi rata-rata pertumbuhan penduduk nasional yang hanya sebesar 1,17 persen per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk tersebut, diperkirakan tingkat urbanisasi dan jumlah penduduk perkotaan akan meningkat

1. Kesenjangan yang tinggi antarkota dan pusat pertumbuhan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta antara kota-kota di Pulau Jawa-Bali dengan di luar Pulau Jawa-Bali.

2. Masih belum terpenuhinya Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) di kota dan kawasan perkotaan, sehingga menjadi kurang layak huni.

3. Rendahnya daya saing kota serta ketahanan sosial, ekonomi dan lingkungan kota terhadap perubahan iklim dan bencana.

4. Belum optimalnya pengelolaan perkotaan, terutama di kawasan perkotaan metropolitan dan kawasan perkotaan yang terletak di kabupaten.

Sasaran utama pembangunan perkotaan tahun 2015-2019 yaitu: (a) Pembangunan 5 Kawasan Metropolitan baru di luar Pulau Jawa – Bali sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang diarahkan menjadi pusat investasi dan penggerak pertumbuhan ekonomi bagi wilayah sekitarnya guna mempercepat pemerataan pembangunan di luar Jawa; (b) Peningkatan peran dan fungsi sekaligus perbaikan manajemen pembangunan di 7 kawasan perkotaan metropolitan yang sudah ada untuk diarahkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) berskala global guna meningkatkan daya saing dan kontribusi ekonomi; (c) Pengembangan sedikitnya 20 kota otonom di luar Pulau Jawa – Bali khususnya di KTI yang diarahkan sebagai pengendali (buffer) arus urbanisasi ke Pulau Jawa yang diarahkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi bagi wilayah sekitarnya serta menjadi percotohan (best practices) perwujudan kota berkelanjutan; (d) Pembangunan 10 kota baru publik yang mandiri dan terpadu di sekitar kota atau kawasan perkotaan metropolitan yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah serta diarahkan sebagai pengendali (buffer) urbanisasi di kota atau kawasan perkotaan metropolitan; (e) diwujudkan 39 pusat pertumbuhan baru perkotaan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) atau Pusat Kegiatan Wilayah (PKW).

Arah kebijakan strategi pembangunan perkotaan tahun 2015-2019 terkait tata ruang dan pertanahan adalah :

1. Penguatan Tata Kelola Pembangunan Perkotaan

a) Menyusun peraturan perundangan yang terkait dengan Pengelolaan Perkotaan,

Standar Pelayanan Perkotaan (SPP), kebijakan perkotaan dan berbagai peraturan teknis lainnya dalam rangka perwujudan Kota Berkelanjutan;

b) Membentuk dan menguatkan status Badan Koordinasi Pembangunan Kawasan Perkotaan Metropolitan termasuk Jabodetabek;

c) Menyiapkan program pembangunan perkotaan nasional (National Urban Development

Program);

2. Pengembangan Wilayah, mencakup: 2. Pengembangan Wilayah, mencakup:

(b) Mengembangkan wilayah perkotaan Sedang dan Kecil melalui: (i) Mengembangkan simpul transportasi antar PKN dan PKW; (ii) Merencanakan dan menyediakan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) dalam bentuk sarana prasarana permukiman, transportasi publik, sarana prasarana kesehatan, sarana prasarana pendidikan, sarana prasarana sosial budaya, sarana prasarana ekonomi, dan sarana prasarana keamanan kota; (iii) Membangun kota hijau dalam skala utuh (full scale); (iv) Mengembangkan kota yang berketahanan iklim dan bencana (resilient city); (v) Mengembangkan kota pusaka berbasis karakter sosial budaya (heritage city); (vi) Membangun kapasitas masyarakat yang inovatif, kreatif dan produktif; (vii) Mengembangkan dan menyediakan basis data informasi dan peta perkotaan yang terpadu dan mudah diakses.

c) Mengembangkan Kawasan Perkotaan di Kabupaten melalui: (i) Merencanakan dan menyediakan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) dalam bentuk sarana prasarana permukiman, transportasi publik yang terintegrasi antara kawasan perkotaan dan ibukota Kabupaten serta pusat pertumbuhan baru perkotaan, sarana prasarana pendidikan, sarana prasarana sosial budaya, sarana prasarana ekonomi, dan sarana prasarana keamanan kawasan perkotaan; (ii) Merencanakan dan mengembangkan Kota Baru publik yang mandiri dan terpadu di sekitar kota atau kawasan perkotaan metropolitan.

Kerangka regulasi pembangunan wilayah perkotaan tahun 2015-2019 yaitu:

1. Terkait permasalahan KBI KTI: Rancangan PP Pengelolaan Perkotaan, Rancangan Perpres Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional.

2. Terkait isu Belum optimalnya tata kelola dan kelembagaan pemerintah daerah: Rancangan Perpres Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabotabek.

Dalam jangka waktu pelaksanaan RPJMN tahun 2015-2019, maka roadmap pengembangan kelembagaan pembangunan perkotaan selama 5 (lima) tahun ke depan adalah sebagai berikut:

1. Penguatan dan pengembangan kelembagaan koordinasi pembangunan perkotaan di 1. Penguatan dan pengembangan kelembagaan koordinasi pembangunan perkotaan di

2. Pembentukan badan kerjasama pembangunan kawasan perkotaan metropolitan;

3. Penguatan kelembagaan yang memasilitasi pembiayaan infrastruktur, khususnya infrastruktur kawasan perkotaan

 Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan Pembangunan desa dan kawasan perdesaan secara komprehensif merupakan faktor

penting bagi pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan antarwilayah. Perkembangan jumlah desa di Indonesia meningkat pesat, dari 72.944 2 desa

pada tahun 2012 menjadi 74.093 3 desa tahun 2014.

Secara ringkas, isu-isu strategis pembangunan desa dan kawasan perdesaan yang perlu diselesaikan adalah:

1. Tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat di perdesaan yang masih rendah.

2. Ketersediaan sarana dan prasarana fisik maupun non-fisik di desa dan kawasan perdesaan yang belum memadai.

3. Ketidakberdayaan masyarakat perdesaan akibat faktor ekonomi maupun non ekonomi.

4. Pelaksanaan tata kelola pemerintahan Desa yang memerlukan penyesuaian dengan amanat Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa.

5. Kualitas lingkungan hidup masyarakat desa memburuk dan sumber pangan yang terancam berkurang.

Sasaran pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah mengurangi jumlah desa tertinggal sampai 5.000 desa dan meningkatkan jumlah desa mandiri sedikitnya 2.000 desa.

Arah kebijakan pembangunan desa dan kawasan perdesaan tahun 2015-2019 terkait tata ruang adalah pembangunan Kawasan Perdesaan, mencakup:

a) Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup berkelanjutan, serta penataan ruang kawasan perdesaan melalui strategi: (i) menjamin pelaksanaan distribusi lahan kepada desa-desa dan distribusi hak atas tanah bagi petani, buruh lahan, dan nelayan; (ii) menata ruang kawasan perdesaan untuk melindungi lahan pertanian dan menekan alih fungsi lahan produktif dan lahan konservasi; (iii) menyiapkan dan melaksanakan kebijakan untuk membebaskan desa dari kantong-kantong hutan dan perkebunan;

b) Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota dengan strategi: (i) mewujudkan dan mengembangkan sentra produksi, sentra industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan, serta destinasi pariwisata; (ii) meningkatkan akses transportasi desa dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal/wilayah;

Kerangka regulasi yang penting dan paling dibutuhkan untuk pembangunan wilayah

2 Sumber Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri

3 Sumber Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Per Semester I Bulan Juni 2014 3 Sumber Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Per Semester I Bulan Juni 2014

2. Pengaturan mengenai Pembangunan Desa yang diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Berdasarkan UU No. 6/2014 tentang Desa, bahwa pengaturannya meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.

Kerangka regulasi yang penting dan paling dibutuhkan untuk pembangunan wilayah perdesaan tahun 2015-2019 terkait bidang tata ruang dan pertanahan, adalah penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota. Regulasi ini diperlukan untuk melaksanakan amanat UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang belum secara spesifik mengatur mekanisme penataan ruang kawasan perdesaan, sedangkan dalam PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang belum ada pengaturan mengenai mekanisme tersebut.

Kerangka kelembagaan dalam pembangunan desa dan kawasan perdesaan tahun 2015- 2019 terkait bidang tata ruang dan pertanahan adalah peningkatan peran fasilitasi, pelatihan dan pendampingan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyusunan dan implementasi penataan ruang kawasan perdesaan yang memperhitungkan ekologi ruang perdesaan yang memperhitungkan kearifan lokal, mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim dengan mengacu pada UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang

 Kawasan Transmigrasi Isu strategis pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi yang perlu

diselesaikan pada tahun 2015-2019 adalah:

1. Pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang mencakup pembangunan prasarana dan sarana kawasan transmigrasi, penataan persebaran penduduk, fasilitasi penyediaan dan sertifikasi bidang tanah pada lokasi-lokasi transmigrasi di daerah tertinggal dan perbatasan, serta Kawasan Perkotaan Baru (KPB).

2. Pembangunan sosial ekonomi, termasuk kemandirian pangan, yang mendukung pengembangan kawasan transmigrasi di daerah tertinggal dan perbatasan, serta di Kawasan Perkotaan Baru (KPB).

Sasaran pembangunan dan pengembangan transmigrasi tahun 2015-2019, meliputi (1) Terbangun dan berkembangnya 144 kawasan yang berfokus pada 72 Satuan Permukiman (SP) menjadi pusat Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) yang merupakan pusat pengolahan hasil pertanian/perikanan dan mendukung sasaran kemandirian pangan nasional, dan (2) Berkembangnya 20 Kawasan Perkotaan Baru (KPB) menjadi kota kecil/kota kecamatan Sasaran pembangunan dan pengembangan transmigrasi tahun 2015-2019, meliputi (1) Terbangun dan berkembangnya 144 kawasan yang berfokus pada 72 Satuan Permukiman (SP) menjadi pusat Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) yang merupakan pusat pengolahan hasil pertanian/perikanan dan mendukung sasaran kemandirian pangan nasional, dan (2) Berkembangnya 20 Kawasan Perkotaan Baru (KPB) menjadi kota kecil/kota kecamatan

terkait tata ruang dan pertanahan adalah

1. Penyiapan Kawasan Transmigrasi, mencakup penyediaan lahan transmigrasi, melalui penyediaan lahan untuk permukiman, usaha, serta prasarana dan sarana;

2. Pengembangan Kawasan Transmigrasi, mencakup pelayanan pertanahan di kawasan transmigrasi meliputi (i) Sertifikasi tanah; dan (ii) Penanganan masalah tanah di kawasan transmigrasi.

Kerangka regulasi dalam pembangunan dan pengembangan transmigrasi yang dibutuhkan tahun 2015 terkait bidang tata ruang dan pertanahan antara lain Keputusan Menteri terkait dengan penetapan kawasan transmigrasi selama periode 2015-2019. Penetapan kawasan ini dibutuhkan agar pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi menjadi lebih fokus dan memberi kepastian yang lebih jelas bagi stakeholder terkait.

 Kawasan Strategis Kebijakan pengembangan Kawasan Strategis Nasional (KSN) bidang ekonomi merupakan

upaya untuk memacu pusat-pusat pertumbuhan dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk komoditas unggulan yang berasal dari desa-desa, wilayah-wilayah tertinggal, dan kawasan perbatasan; serta melancarkan distribusi pemasaran baik nasional maupun global. Pusat-pusat pertumbuhan tersebut yaitu Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan pusat-pusat pertumbuhan penggerak ekonomi daerah pinggiran lainnya.

Isu strategis yang menjadi perhatian utama terkait tata ruang, antara lain konektivitas antara pusat-pusat pertumbuhan dengan kawasan penyangga.