Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Teori .1 Konseptualisasi Gender: Pendekatan Konstruksi Sosial

9 masyarakat, termakasud juga Sekolah sebagai unit institusi pendidikan. Pada SMA N 17 sendiri, terletak di lingkungan masyarakat yang mayoritas berasal dari suku Batak Karo dan Batak Toba yang dikenal memiliki sistem patriarkhi yang sangat melekat dalam kehidupan berbudayanya, serta lokasi Sekolah berada di sekitar pinggiran kota Medan, yang sering diasumsikan oleh masyarakat bahwa daerah pinggiran kota akan mengalami dampak yang lebih kecil terhadap penyebaran informasi daripada kawasan pusat kota. Ketertarikan untuk melakukan penelitian tentang pemahaman gender ini dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan gender yang tidak disadari oleh siswa-siswi yang duduk di bangku sekolah.

1.2 Perumusan Masalah

Dari yang telah diuraikan di latar belakang, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimanakah pemahaman gender pelajar sekolah umum, dalam hal ini pada siswa-siswi SMA N 17 Medan?”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengetahuan pelajar SMA khususnya pada siswa-siswi SMA N 17 Medan mengenai konsep gender dan perbedaannya dengan jenis kelamin. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 10 2. Untuk mengungkapkan berbagai kondisi gender yang terdapat dalam sistem sosial yang telah tersosialisasikan dalam waktu yang lama membudaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi Manfaat dari Penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang konsep Gender dan konstruksi sosial yang tersusun di dalam masyarakat, 2. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara USU untuk menambah dan memperkaya bahan referensi dan bahan penelitian serta sumber bacaan, 3. Secara kritis, hasil dari penulisan penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pikiran dan kontribusi motivasi kepada mahasiswa untuk meningkatkan kualitas pengetahuan khususnya dalam ilmu teknologi informasi dan komunikasi. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 11 1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Konseptualisasi Gender: Pendekatan Konstruksi Sosial Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Pemahaman mengenai jenis kelamin laki laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan gender feminin, kaitan antara jenis kelamin dengan gender bukanlah merupakan korelasi absolut 3 Menurut Chafetz 1991, ketidakseimbangan berdasarkan gender gender inequality mengacu pada ketidakseimbangan akses ke sumber-sumber yang langka . Hal ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam suatu kebudayaan dapat dianggap feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, kategori maskulin atau feminin itu bergantung pada konteks sosial budaya setempat. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminin. Realitas sosial menunjukkan bahwa pembagian peran berdasarkan gender melahirkan suatu keadaan yang tidak seimbang saat perempuan menjadi tersubordinasi oleh laki laki. Hal ini yang disebut dengan ketimpangan gender. Analisis tentang gender dalam kegiatan ekonomi, misalnya, tidak dapat dipisahkan dari analisis tentang keluarga. Keluarga dan ekonomi merupakan dua lembaga yang saling berhubungan sekalipun tampaknya keduanya terpisah satu sama lain. 3 Mosse, Julia, Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 12 dalam masyarakat 4 Sebagai konstruksi sosial budaya, gender terbentuk dari sejarah pengalaman manusia yang diinterpretasikan dan dimaknai berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Pembagian kerja secara seksual bersumber dari pengalaman awal manusia. Pada awal kehidupan manusia, berburu merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan berburu hampir selalu dilakukan oleh laki-laki. Perempuan dan anak-anak bergantung pada laki-laki untuk memperoleh daging. Pengalaman awal laki-laki yang berbeda dengan perempuan kemudian melahirkan anggapan yang berbeda terhadap . Ketidakseimbangan ini didasarkan pada keanggotaan kategori gender. Sumber-sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, peranan yang menentukan, waktu yang leluasa, maknan dan perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik. Ketimpangan gender di dalam keluarga serta rendahnya otoritas perempuan dilihat pada sumber-sumber yang dianggap langka dan tidak memperhatikan, misalnya, mengapa ketimpangan semacam ini terjadi dan membentuk suatu realitas sosial serta mengapa ketimpangan tersebut dilestarikan oleh berbagai pihak. Konstruksi sosial telah hadir untuk menjelaskan kecenderungan tersebut dengan cara melihat realitas sebagai sesuatu yang dibentuk secara sosial. Dalam hal ini, konstruksionisme sosial menekankan tentang bagaimana realitas keadaan dan pengalaman mengenai sesuatu diketahui dan diinterpretasikan melalui aktivitas sosial. 4 Chafetz, Janet Saltzman. The Gender Division of Labour and Reproduction of Female Disadvantage : Toward and Integreted Theory ” dalam R. L. Blumber ed. Gender Family and Economy : The Triple Overlap . Nebury Park : Sage Publikation. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 13 dua jenis kelamin ini. Subordinasi perempuan itu tidak hanya bersifat kultural, tetapi juga berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender. Pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolis antara perempuan dengan alam nature dan laki laki dengan budaya culture. Perempuan dengan fungsi reproduksinya diasosiasikan dengan domestik dan laki laki di lingkungan publik akhirnya melahirkan hubungan hubungan hierarkis, yakni laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior. Nilai-nilai budaya yang membedakan peran laki-laki dan perempuan dalam realitas sosial dapat ditemukan dalam berbagai basis kebudayaan, seperti dalam lembaga-lembaga sosial, ajaran-ajaran agama, mitos mitos, simbol, serta praktik- praktik sosial lainnya. Nilai-nilai budaya ini bersifat objektif karena kebudayaan adalah milik publik. Kajian Gender dan Relasi Istilah Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan tersebut sangat dibutuhkan karena selama ini kita seringkali mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Dengan kata lain masyarakat tidak membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin kodrat dan yang mana gender. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 Penanaman konsep gender dilakukan sebagai pengetahuan juga berupa penanaman sikap. Sehingga gendering merupakan konstruksi sosial-psikologis berarti secara historis dan budaya. Penanaman pengetahuan yang baru dan pembentukan sikap gender memerlukan langkah-langkah yang berbeda dengan pengetahuan lainnya mengingat gender merupakan suatu pemaknaan budaya yang telah melekat di masyarakat. Dalam perkembangannya, sistem sosial, membentuk status, peran dan tanggung jawab sosial yang diberikan kepada setiap unit sosial yang berada di dalamnya. Status dan peran tersebut memberikan atribut secara tidak langsung kepada individu terhadap cara mereka berinteraksi di kelompok. Atribut tersebut memberikan memberikan tanggung jawab kepada individu akan berjalannya keharmonisan dalam kelompok dengan menciptakan aturan dan norma yang berfungsi sebagai pembatas atas perilaku individu agar sesuai dengan perilaku kelompok. Atribut yang terbentuk tersebut merupakan sebuah proses organis yang dibutuhkan untuk mendapatkan keteraturan dalam berinteraksi dalam sistem sosial. Terjadi kontradiksi yang bias apabila atribut tersebut kemudian berbenturan dengan masyarakat yang memiliki sistem patriarkhi dalam tatanan budaya mereka. Sistem tersebut memberikan arti yang bias terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan. Patriarkhi sendiri mnitikberatkan bahwa laki-laki memiliki nilai yang lebih daripada perempuan, sehingga seolah-olah terjadi perbedaan status dan peran antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. Pembedaan tersebut menghasilkan ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan sebagai kaum “bawah”. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 15 Fenomena adanya bias gender dapat tampil dalam bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender, seperti : a. Marjinalisasi pemiskinan, Perempuan cenderung dimarginalkan, yaitu diposisikan dipinggir. Dalam rumah tangga, perempuan adalah konco wingking di dapur. b. Subordinasi penomorduaan, Kaum perempuan harus tunduk kepada kaum laki-laki. Pemimpin superordinat hanya pantas dipegang oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya boleh menjadi yang dipimpin subordinat. c. Kekerasaan, Kaum perempuan berada dalam posisi yang lemah, karenanya kaum perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan violence oleh kaum laki-laki. Dalam masyarakat, bentuk kekerasan itu mulai dari digoda, dilecehkan, dipukul, dicerai sampai diperkosa. d. Beban ganda Akibat ketidakadilan gender itu, kaum perempuan harus menerima beban pekerjaan yang lebih berat dan lebih lama daripada yang dipikul kaum laki- laki. Dalam bekerja, laki-laki paling aktif makasimal bekerja rata-rata 10 jamhari, sedangkan perempuan bekerja 18 jamhari. Pada umumnya beban ini dianggap remeh oleh kaum laki-laki, karena secara ekonomi dinilai kurang berarti. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 16

1.6 Defenisi Konsep Pemahaman Gender