Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKSUAL SISWI DI

SMA NEGERI 17 MEDAN

MASTA MELATI HUTAHAEAN 125102087

KARYA TULIS ILMIAH

PROGRAM STUDI D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2013 ABSTRAK Masta Melati Hutahaean

Latar belakang: seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan zaman yang semakin berkembang pesat, perkembangan remaja Indonesia banyak terhambat oleh berbagai hal. Saat ini masalah seksual menjadi masalah yang tidak pernah habis dan tuntas untuk dibahas dari waktu ke waktu. Orang tua sering menganggap tabu untuk membicarakan masalah seksualitas, disamping itu remaja tidak menerima pendidikan kesehatan seksual yang benar dan bertanggung jawab bahkan mereka menerima informasi tentang seks justru dari sumber yang salah yang justru menyesatkan kehidupan remaja.

Tujuan penelitian: penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual siswi di SMA Negeri 17 Medan.

Metodologi: penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik quota sampling. Analisa data yang digunakan uji chi square.

Hasil: hasil penelitian diperoleh ada pengaruh pengetahuan (nilai p=0,03), sikap (nilai p=0,01), peran orang tua (nilai p=0,04), peran guru (nilai p=0,002), dan peran teman sebaya (nilai p=0,02) terhadap perilaku seksual siswi. Tidak ada pengaruh antara peran akses media informasi terhadap perilaku seksual siswi (nilai p = 0,07). Peran guru merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual siswi dengan OR=13,131. Hal ini menunjukan bahwa peran guru berpengaruh lebih besar 13,131 kali daripada pengetahuan, sikap, peran orang tua, teman sebaya, dan akses media informasi terhadap perilaku seksual siswi.

Kesimpulan dan saran: dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pengetahun, sikap, peran orang tua, guru, dan teman sebaya terhadap perilaku seksual siswi. Tidak ada pengaruh antara peran akses media informasi terhadap perilaku seksual siswi. Peran guru merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual siswi. Oleh karena itu perilaku seksual siswi paling utama dipengaruhi oleh informasi yang tepat dan akurat yang diperoleh dari guru. Penting bagi guru agar mempertimbangkan dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan kesehatan reproduksi bagi peserta didik.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kelimpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan”. Karya Tulis Ilmiah ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan Pendidikan D-IV Bidan Pendidik.

Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak menerima bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku Ketua Program Studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Evi Karota Bukit, S.Kp, MNs selaku Pembantu Dekan II dan pembimbing Karya Tulis Ilmiah ini yang telah dapat menyediakan waktu, memberikan arahan dan masukan berharga dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

4. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, SKp, MNs selaku Pembantu Dekan III dan dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

5. dr Sarma N. Lumbanraja, Sp.OG (K) selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

6. Dina Indarsita, SST. Mkes selaku dosen penguji content validity yang memberikan saran perbaikan instrumen penelitian.


(6)

7. Seluruh dosen, staf dan pegawai administrasi program studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

8. Orang tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, dorongan moril maupun materil kepada penulis untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna, sehingga dengan penuh kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini, semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...i

LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG KTI ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian 1.Tujuan Umum... 6

2.Tujuan Khusus ... 6

D.Manfaat Penelitian 1.Bagi Peneliti ... 7

2.Bagi Pendidikan Kebidanan ... 7

3.Bagi SMA Negeri 17 Medan ... 7

4.Bagi Masyarakat ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Perilaku 1.Pengertian Perilaku ... 8

2.Domain Perilaku ... 9

3.Teori Perilaku ... 14

B.Remaja 1.Pengertian Remaja ... 15

2.Batasan Remaja ... 15

3.Karakteristik Remaja ... 17

C.Perilaku Seksual Remaja 1.Pengertian Seksualitas ... 19

2.Perilaku Seksual Remaja ... 21

3.Perkembangan Perilaku Seksual Remaja ... 22

4.Penyebab Perilaku Seksual Remaja ... 25


(8)

6.Upaya-Upaya Penanggulangan Penyimpangan Perilaku

Seksual Remaja... 28

7.Pengaruh Orang Tua terhadap Perilaku Seksual Remaja ... 31

8.Pengaruh Guru terhadap Perilaku Seksual Remaja ... 32

9.Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seksual Remaja ... 35

10.Pengaruh Akses Informasi terhadap Perilaku Seksual Remaja ... 36

BAB III KERANGKA KONSEP A.Kerangka Konsep ... 38

B.Hipotesis... 39

C.Definisi Operasional ... 39

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 41

B.Populasi dan Sampel ... 41

C.Lokasi dan Waktu Penelitian... 42

D.Pertimbangan Etik ... 42

E.Instrumen Penelitian ... 43

F.Uji Validitas dan Reliabilitas ... 49

G.Prosedur Pengumpulan Data ... 51

H.Pengolahan dan Analisis Data ... 52

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 55

B.Pembahasan ... 72

C.Keterbatasan Penelitian ... 88

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 89

B.Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden berdasarkan Data Demografi di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 55 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase berdasarkan Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 56 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Gambaran Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 56 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Predispocing Factor berdasarkan Pengetahuan Siswi di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 57 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Gambaran Predispocing Factor

berdasarkan Pengetahuan Siswi di SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2013 ... 57 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi dan Persentase Predispocing Factor berdasarkan Sikap Siswi di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 58 Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi dan Persentase Gambaran Predispocing Factor

berdasarkan Sikap Siswi di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 59 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi dan Persentase Reinforcing Factor berdasarkan

Peran Orang Tua Siswi di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 61 Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi dan Persentase Gambaran Reinforcing Factor

berdasarkan Peran Orang Tua Siswi di SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2013 ... 61 Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi dan Persentase Reinforcing Factor berdasarkan

Peran Guru di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 62 Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi dan Persentase Gambaran Reinforcing Factor

berdasarkan Peran Guru di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 63 Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi dan Persentase Reinforcing Factor berdasarkan


(10)

Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi dan Persentase Gambaran Reinforcing Factor berdasarkan Peran Teman Sebaya di SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2013 ... 64 Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi dan Persentase Enabling Factor berdasarkan

Peran Akses Media Informasi di SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2013 ... 65 Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi dan Persentase Gambaran Enabling Factor

berdasarkan Peran Akses Media Informasi di SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2013 ... 66 Tabel 5.16 Pengaruh Predispocing Factor dengan Perilaku Seksual Siswi

di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 67 Tabel 5.17 Pengaruh Reinforcing Factor dengan Perilaku Seksual Siswi

di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 69 Tabel 5.18 Pengaruh Enabling Factor dengan Perilaku Seksual Siswi

di SMA Negeri 17 Medan Tahun 2013 ... 70 Tabel 5.19 Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Perilaku Seksual Siswi


(11)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan ... 38


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Persetujuan Melaksanakan Content Validity Lampiran 2 : Surat Pernyataan Content Validity

Lampiran 3 : Uji Content Validity Lampiran 4 : Lembar Kuesioner

Lampiran 5 : Lembar Penjelasan Kepada Responden Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 7 : Master Data Penelitian

Lampiran 8 : Hasil Output Data Penelitian Lampiran 9 : Surat Izin Survei Pendahuluan

Lampiran 10 : Surat Izin Penelitian dari Fakultas Keperawatan USU Lampiran 11 : Surat Balasan Izin Penelitian

Lampiran 12 : Lembar Konsultasi Proposal Karya Tulis Ilmiah Lampiran 13 : Daftar Riwayat Hidup


(13)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2013 ABSTRAK Masta Melati Hutahaean

Latar belakang: seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan zaman yang semakin berkembang pesat, perkembangan remaja Indonesia banyak terhambat oleh berbagai hal. Saat ini masalah seksual menjadi masalah yang tidak pernah habis dan tuntas untuk dibahas dari waktu ke waktu. Orang tua sering menganggap tabu untuk membicarakan masalah seksualitas, disamping itu remaja tidak menerima pendidikan kesehatan seksual yang benar dan bertanggung jawab bahkan mereka menerima informasi tentang seks justru dari sumber yang salah yang justru menyesatkan kehidupan remaja.

Tujuan penelitian: penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual siswi di SMA Negeri 17 Medan.

Metodologi: penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik quota sampling. Analisa data yang digunakan uji chi square.

Hasil: hasil penelitian diperoleh ada pengaruh pengetahuan (nilai p=0,03), sikap (nilai p=0,01), peran orang tua (nilai p=0,04), peran guru (nilai p=0,002), dan peran teman sebaya (nilai p=0,02) terhadap perilaku seksual siswi. Tidak ada pengaruh antara peran akses media informasi terhadap perilaku seksual siswi (nilai p = 0,07). Peran guru merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual siswi dengan OR=13,131. Hal ini menunjukan bahwa peran guru berpengaruh lebih besar 13,131 kali daripada pengetahuan, sikap, peran orang tua, teman sebaya, dan akses media informasi terhadap perilaku seksual siswi.

Kesimpulan dan saran: dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pengetahun, sikap, peran orang tua, guru, dan teman sebaya terhadap perilaku seksual siswi. Tidak ada pengaruh antara peran akses media informasi terhadap perilaku seksual siswi. Peran guru merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual siswi. Oleh karena itu perilaku seksual siswi paling utama dipengaruhi oleh informasi yang tepat dan akurat yang diperoleh dari guru. Penting bagi guru agar mempertimbangkan dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan kesehatan reproduksi bagi peserta didik.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja merupakan tumpuan bagi negara karena akan berperan sebagai generasi penerus bangsa. Ketika dalam masa perkembangannya remaja mengalami hambatan, dapat diperkirakan nasib suatu bangsa akan mengalami hambatan dan tidak akan berkembang secara optimal. Saat ini masalah seksual menjadi masalah yang tidak pernah habis dan tuntas untuk dibahas dari waktu ke waktu. Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan zaman yang semakin berkembang pesat justru perkembangan remaja Indonesia banyak terhambat oleh berbagai hal, saat ini siapapun termasuk remaja bisa dengan mudah memperoleh tontonan seksual yang selama ini ditabukan untuk dibahas secara transparan.

Ada beberapa faktor yang menjadi pencetus masalah ini, berdasarkan Pangkahila (2000 dalam Cynthia, 2007) adanya faktor-faktor seperti merebaknya informasi bertema pornografi di media masa, kurangnya penanaman moral agama dan adanya pengaruh pergaulan bebas, masuknya film dan VCD biru dari luar negeri ataupun dalam negeri yang bisa dengan mudah diperoleh dimana-mana. Bagi remaja yang selama ini terkungkung pengetahuannya, dan yang pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya, ini adalah saat yang tepat untuk memuaskan rasa ingin tahu remaja tersebut dan beberapa penyebab remaja melakukan hubungan seks.

Perilaku hidup bebas sangat dipengaruhi oleh sikap remaja terhadap pemahaman yang benar akan kesehatan reproduksi remaja. Sarwono (1997 dalam Cynthia, 2007) mengatakan, beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku


(15)

remaja terhadap seks bebas dapat dilihat dari dalam dan luar individu tersebut. Dari dalam individu yaitu dengan adanya perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini sangat membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.

BKKBN (2010, dalam Tresnawati. E, et al 2012) menyatakan bahwa sebanyak 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pranikah. Dengan kata lain dari 100 remaja, 51 orang sudah tidak perawan. Dari data itu juga disebutkan, penyebaran wilayah remaja yang sudah melakukan seks pranikah terjadi di sejumlah kota besar. Misalnya di Surabaya tercatat 54%, di Bandung 47%, dan 52% di Medan. Hal tersebut diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja, kurangnya pengawasan dari orang tua terhadap remaja dan adanya pergaulan bebas di kalangan remaja.

Menurut survey Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah tentang perilaku remaja saat berpacaran menunjukkan saling mengobrol 100%, berpegangan tangan 93,3%, mencium pipi/kening 84,6%, berciuman bibir 60,9%, mencium leher 36,1%, saling meraba (payudara dan kelamin) 25%, dan melakuan hubungan seks 7,6% (Farid, 2005 dalam Hastutik, 2011).

Beberapa faktor yang diasumsikan mendukung remaja untuk melakukan seks bebas salah satu diantaranya adalah semakin canggihnya perkembangan teknologi dan informasi di lingkungan kehidupan remaja sehari-hari. Informasi ini semakin mudah diakses dari media massa dan elektronik yang banyak dijumpai lewat fasilitas yang diberikan oleh orang tua yang tanpa disadari sangat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Hal ini sejalan dengan penelitian Nursal


(16)

(2008) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual murid SMA Negeri di kota Padang tahun 2007 yang menyatakan bahwa media elektronik maupun cetak, menjadi penyumbang terbesar bagi rusaknya pergaulan remaja. Apalagi televisi karena kehadirannya hampir full time (24 jam) di hadapan kita mempunyai peluang 3,06 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat tidak terpapar dengan media elektronik, sedangkan responden yang terpapar media cetak mempunyai peluang 4,44 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat dibanding tidak terpapar dengan media cetak.

Selain karena semakin canggihnya perkembangan teknologi dan informasi di kalangan remaja, perilaku seksualitas juga terjadi karena masih rendahnya pengetahuan remaja khususnya di bidang kesehatan reproduksi, hal ini sejalan dengan survey oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah tahun 2010 di Semarang tentang pengetahuan kesehatan reproduksi menunjukkan 43,22% pengetahuannya rendah, 37,28% pengetahuan cukup, sedangkan 19,50% pengetahuannya memadai (Hastutik, 2011).

Seksualitas dan kesehatan seksual dapat dilihat dari dimensi sosiokultural yang merupakan dimensi yang melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia. Misalnya bagi bangsa Timur, khususnya Indonesia, melakukan hubungan seksual di luar nikah merupakan sebuah aib. Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etika. Penyaluran dorongan seksual yang tidak bertanggung jawab sangat bertentangan dengan ajaran agama dan kesalehan hidup serta menimbulkan konflik internal, seperti perasaan bersalah, berdosa dan lain-lain sehingga sesorang akan berusaha untuk menjaga kesucian dirinya karena mereka meyakini kalau hubungan seks diluar nikah itu tidak diperbolehkan menurut agama atau etika (Brownlee, 2002).


(17)

Tetapi saat ini hal tersebut lambat laun bergeser seiring dengan norma yang semakin lemah pada masyarakat, hal ini didukung pendapat Moeliono (2004, dalam Handayani 2009) yang menyatakan bahwa pergeseran norma ini disebabkan karena masyarakat khususnya orang tua sering menganggap tabu untuk membicarakan masalah seksualitas, disamping itu remaja tidak menerima pendidikan kesehatan seksual yang benar dan bertanggung jawab bahkan mereka menerima informasi tentang seks justru dari sumber yang salah misalnya cerita dari teman, video porno, tayangan televisi, dan film sehingga hal ini berujung pada diperolehnya informasi yang menyesatkan kehidupan remaja. Remaja dengan permasalahannya justru mengahadapi masalah ketika membutuhkan informasi dan pelayanan tentang kesehatan reproduksi.

Berdasarkan penelitian oleh Synovate Research tentang perilaku seksual remaja di empat kota besar yaitu Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Medan. Survey ini mengambil 450 responden yang memiliki kisaran usia 15-24 tahun. Dari penelitian itu, Synovate mengemukakan bahwa sekitar 60% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan, 35% sisanya dari film porno. Ironisnya, hanya 5 % dari responden remaja ini yang mendapatkan informasi seks dari orang tuanya (Phychole, 2008).

Keputusan untuk melakukan hubungan seks tidak dengan konsekuensi yang kecil terutama untuk remaja putri. Di samping itu akan timbul perasaan-perasaan negatif seperti rasa bersalah yang besar, rasa malu, rasa berdosa, merasa dirinya kotor, takut, dan rasa khawatir yang besar. Berdasarkan Noor (2004, dalam Handayani, 2009) hasil survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia menunjukkan bahwa remaja yang pernah melakukan hubungan seksual pada usia 14-19 tahun bagi remaja perempuan berjumlah 34,7%, dan bagi remaja laki-laki


(18)

30,9%. Pada usia 20-24 tahun bagi remaja perempuan berjumlah 48,6% dan remaja laki-laki 46,5%. Kondisi tersebut menunjukkan perilaku hubungan seks pranikah sangat tinggi dilakukan remaja putri walapun perbedaan persentase antara remaja putra dan putri tidak jauh berbeda.

Penelitian juga pernah dilakukan terhadap 633 siswa yang terdiri dari 345 pria dan 288 wanita di salah satu SLTA di Bali, dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa 27% siswa pria mengaku pernah melakukan hubungan badan dengan lawan jenis dan 18 % terjadi pada siswa putri (Pangkahila, 1981 dalam Soejoeti, 2001) hal ini membuktikan bahwa dari dahulu hingga dekade terakhir ini masalah remaja khususnya perilaku seksualitas merupakan masalah yang tidak pernah tuntas untuk dibahas.

Perilaku seks pranikah dapat mengakibatkan risiko, seperti terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), putus sekolah (drop out), jika remaja tersebut masih sekolah, pengguguran kandungan (aborsi), terkena penyakit menular seksual (PMS/HIV/AIDS), dan tekanan psikososial yang timbul karena perasaan bersalah telah melanggar aturan agama dan takut diketahui oleh orang tua dan masyarakat. Resiko ini lebih banyak dialami oleh remaja putri walaupun ada beberapa yang juga dialami oleh remaja putra. Tetapi walaupun demikian besar kecilnya resiko yang dialami tetap saja akan sangat merugikan masa depan remaja ini.

Namun demikian, sampai saat ini belum ada penelitian yang cukup luas dan akurat mengenai perilaku seks bebas di kalangan remaja di Indonesia, namun dari berbagai penelitian skala kecil didapatkan penilaian secara kasar bahwa di Indonesia masalah ini telah cukup mengkhawatirkan.


(19)

SMA Negeri 17 Medan merupakan sekolah berbasis agama dimana sekolah tersebut hampir setiap hari proses bimbingan belajar dikaitkan dengan norma agama sehingga diharapkan kejadian hamil di luar nikah tidak terjadi. Upaya sekolah untuk mengadakan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi masih jarang diadakan. Sehingga berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti menganggap penelitian ini penting dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual siswi SMA Negeri 17 Medan.

B. Perumusan Masalah

Banyaknya faktor-faktor yang menjadi penyebab adanya perilaku seks di kalangan remaja putri serta minimnya informasi yang tepat dan akurat tentang kesehatan reproduksi maka peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu” faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku seksual siswi di SMA Negeri 17 Medan?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum :

Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual siswi di SMA Negeri 17 Medan.

2. Tujuan khusus:

a. Mengidentifikasi pengaruh predispocing factor (pengetahuan dan sikap) terhadap perilaku seksual siswi SMA Negeri 17 Medan.

b. Mengidentifikasi pengaruh reinforcing factor (orang tua, guru, dan teman sebaya) terhadap perilaku seksual siswi SMA Negeri 17 Medan.

c. Mengidentifikasi pengaruh enabling factor (akses media informasi) terhadap perilaku seksual siswi SMA Negeri 17 Medan.


(20)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi Peneliti

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan DIV Bidan Pendidik dan diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan promosi kesehatan khususnya pendidikan seksual remaja khususnya remaja putri.

2. Bagi Pendidikan Kebidanan

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai informasi pendukung untuk dijadikan masukan dalam menambah referensi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja.

3. Bagi SMA Negeri 17 Medan

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan dan menjadi acuan untuk kurikulum pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi, sehingga dapat dimasukan dalam kurikulum sekolah sebagai upaya meningkatkan pendidikan seksual bagi remaja khususnya remaja putri.

4. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan wawasan masyarakat tentang pendidikan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja, ini dapat menjadi bahan masukan pada orang tua dalam upaya merangsang kepedulian orang tua terhadap pendidikan seksual khususnya bagi remaja putri.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku

1. Pengertian Perilaku

Skiner (1938 dalam Notoatmodjo, 2007) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua. Pertama adalah perilaku tertutup (convert behaviour) merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

Kedua adalah perilaku terbuka (overt behaviour) merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behaviour.


(22)

2. Domain Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organism (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dibedakan atas dua yaitu pertama adalah determinan atau faktor internal, merupakan karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. Kedua adalah determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal.

Benyamin Bloom (1908 dalam Notoatmodjo, 2007) membagi perilaku manusia ke dalam tiga domain/ranah meliputi: a.Kognitif, b.Afektif, c.Psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran pendidikan kesehatan yakni:

Pertama adalah pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif ini memiliki 6 tingkatan yaitu: a.Tahu (know)


(23)

yang diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, b.Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar, c.Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya), d.Analisis (analysis) diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain, e.Sintesis (synthesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, f.Evaluasi (evaluation) diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atu menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.

Kedua adalah sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya


(24)

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk berekasi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari empat tingkatan yaitu: a.Menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek), b.Merespon (responding) diartikan sebagai memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut, c.Menghargai (valuing) diartikan sebagai mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, d.Bertanggung jawab (responsible) diartikan sebagai bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Notoatmodjo (2003, dalam Harahap 2004) menyatakan bahwa penerimaan perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap


(25)

yang positif. Artinya kekonsistenan hubungan sikap dan perilaku tersebut sangat ditentukan oleh sesuai atau tidaknya pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap perilaku.

Faktor - faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2009 dalam Kusumastuti, 2010) adalah pertama ialah pengalaman pribadi dimana sesuatu yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Kedua ialah kebudayaan. Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual. Ketiga ialah orang lain yang dianggap penting. Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, sesorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak dan tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan atau seseorang yang berati khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri tau suami dan lain-lain. Keempat ialah media massa. Media massa sebagai sarana komunikasi. Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dll, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya. Media massa membawa


(26)

pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Kelima ialah institusi/lembaga pendidikan dan lembaga agama. Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik-dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Keenam ialah faktor emosi dalam diri individu. Bentuk sikap tidak semuanya ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.

Ranah perilaku selanjutnya adalah praktik atau tindakan (practice). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya dari orang tua dan lain-lain. Praktik ini memiliki beberapa tingkatan yaitu: a. persepsi (perception) diartikan sebagai mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, ini merupkan praktik tingkat pertama. b. respon terpimpin


(27)

(guided response) diartikan sebagai dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh, ini merupakan indicator praktik tingkat dua. c. mekanisme (mecanism) apabila sesorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. d. adopsi (adoption) merupakan suatu parktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

3. Teori Perilaku

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Ada beberapa teori yang mencoba untuk mengungkap determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, salah satunya adalah teori Lawrance Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2007) yang menyatakan bahwa perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor yaitu: a.Faktor-faktor predisposisi (predispocing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. b.Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. c.Faktor-faktor pendorong


(28)

(reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja yang dalam bahasa resminya disebut adolescence berasal dari bahasa Latin (adolescere) yang berarti tumbuh mencapai kematangan dan merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa mencapai kematangan, dimana merupakan suatu tahapan psikologi perkembangan yang rentan dengan berbagai macam perubahan, baik secara fisik, psikis atau biologis (Prihatin, 2007 dalam Syah, 2011).

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun.

2. Batasan Remaja

Remaja merupakan tahapan seseorang dimana seseorang berada di antara fase anak dan dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan emosi. Untuk mendeskripsikan remaja dari waktu ke waktu memang berubah sesuai perkembangan zaman. Ditinjau dari segi pubertas, 100 tahun terakhir usia remaja putri mendapatkan haid pertama semakin berkurang dari 17,5 tahun menjadi 12 tahun, demikian pula remaja pria. Kebanyakan orang menggolongkan remaja dari usia 12-24 tahun dan


(29)

beberapa literatur yang menyebutkan 15-24 tahun. Hal yang terpenting adalah seseorang mengalami perubahan pesat dalam hidupnya di berbagai aspek (Makhfudli, 2009).

Berbeda dengan pendapat Makhfudli, menurut Monks dan Knoers (2002), suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja, yang secara global berlangsung antara umur 12- 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15 -18 tahun untuk masa remaja pertengahan dan 18 -21 tahun untuk remaja akhir.

Menurut Santrock (2003), remaja didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang mencakup aspek biologik, kognitif dan perubahan sosial yang berlangsung antara 10-19 tahun. Masa remaja terdiri dari:

Masa remaja awal (Early Adolescence). Masa yang ditandai dengan berbagai perubahan tubuh yang cepat dan sering mengakibatkan kesulitan dalam menyesuaikan diri, pada saat ini remaja mulai mencari identitas diri. Batasan usia untuk remaja awal adalah 10-14 tahun.

Masa remaja pertengahan (Middle Adolescence). Ditandai dengan bentuk tubuh yang sudah menyerupai orang dewasa. Oleh karena itu remaja seringkali diharapkan dapat berperilaku seperti orang dewasa, meskipun belum siap secara psikis. Pada masa ini sering terjadi konflik, karena remaja sudah mulai ingin bebas mengikuti teman sebaya, yang erat kaitannya dengan pencarian identitas, di lain pihak mereka masih tergantung dengan orang tua. Batasan untuk remaja pertengahan dimulai dari usia 15-16 tahun.

Masa remaja akhir (Late Adolescence). Ditandai dengan pertumbuhan biologis sudah melambat, tetapi masih berlangsung di


(30)

tempat-tempat lain. Emosi, minat, konsentrasi dan cara berpikir mulai stabil serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah sudah meningkat. Batasan usia untuk remaja akhir dimulai dari usia 17-19 tahun.

3. Karakteristik Remaja

Karakteristik perkembangan normal yang terjadi pada remaja dalam menjalankan tugas perkembangannya dalam mencapai identitas diri antara lain menilai diri secara objektif dan merencanakan untuk mengaktualisasikan kemampuannya. Menurut Hurlock (1980) mengemukakan berbagai ciri dari remaja, diantaranya yang pertama adalah masa remaja sebagai periode yang penting. Meskipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

Karakteristik yang kedua adalah masa remaja adalah periode peralihan dimana terjadi peralihan dari satu tahap perkembangan ke perkembangan berikutnya secara berkesinambungan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan seorang dewasa dan merupakan masa yang sangat strategis, karena memberi waktu kepada remaja untuk membentuk


(31)

gaya hidup dan menentukan pola perilaku, nilai-nilai dan sifat-sifat yang sesuai dengan yang diinginkannya.

Karakteristik ketiga adalah masa remaja sebagai periode perubahan. Sejak awal remaja, perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berkembang. Ada empat perubahan besar yang terjadi pada remaja, yaitu perubahan emosi, perubahan peran dan minat, perubahan pola perilaku dan perubahan sikap menjadi perasaan yang bertentangan.

Karakteristik keempat adalah masa remaja merupakan usia bermasalah. Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Hal ini terjadi karena tidak terbiasanya remaja menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain sehingga kadang-kadang terjadi penyelesaian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Karakteristik keenam adalah masa remaja sebagai masa mencari identitas. Identitas diri yang dicari remaja adalah berupa kejelasan siapa dirinya dan apa peran dirinya di masyarakat. Remaja tidak puas dirinya sama dengan kebanyakan orang, ia ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia ingin mempertahankan dirinya terhadap kelompok sebaya.

Karakteristik ketujuh adalah masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Anggapan label yang diberikan budaya bahwa remaja adalah anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak sehingga menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. Dengan adanya stigma ini akan membuat masa peralihan remaja ke dewasa menjadi sulit, karena peran orang tua yang memiliki pandangan seperti ini akan mencurigai dan


(32)

menimbulkan pertentangan dengan orang tua dan antara orang tua dan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua untuk mengatasi berbagai masalahnya.

Karakteristik kedelapan adalah masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamatanya sendiri, baik dalam melihat dirinya maupun melihat orang lain, mereka belum melihat apa adanya, tetapi menginginkan sebagaimana yang ia harapkan. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

Karakteristik kesembilan adalah masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan label yang diberikan belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

C. Perilaku Seksual Remaja 1. Pengertian Seksualitas

Istilah seks dan seksualitas merupakan dua hal yang berbeda. Istilah seks digunakan untuk mengacu pada bagian fisik dari berhubungan, yaitu aktivitas seksual genital. Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau wanita (Zawid, 1994 dalam Ropei, 2010).


(33)

Sedangkan seksualitas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi. Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada lawan jenis melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerakan tubuh, etiket, berpakaian (Denney & Quadagno, 1992; Zawid, 1994, dalam Ropei, 2010).

Adapun pendapat lain yang dikemukakan Stuart (2006, dalam Ropei, 2010) bahwa seksualitas adalah suatu keinginan untuk menjalin hubungan, kehangatan atau cinta dan perasaan diri secara menyeluruh pada individu, meliputi memandang dan bicara, berpegangan tangan, berciuman, atau memuaskan diri sendiri, dan sama-sama menimbulkan orgasme.

Bila dilihat dari segi dimensi biologis, seksualitas berkaitan dengan organ reproduksi, termasuk bagaimana menjaga kesehatan reproduksi, menggunakan secara optimal sebagai alat untuk bereproduksi dan bisa mengekspresikan dorongan seksual. Dari dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat dengan identitas peran jenis, peran terhadap seksualitas sendiri dan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual. Dimensi sosial, berkaitan dengan bagaimana seksualitas itu muncul dalam relasi antar manusia bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai seksualitas dan perilaku seks. Dimensi kultural menunjukkan bagaimana perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat (Sahaja, 1999 dalam Evlyn, 2005).


(34)

Menurut Nurhidayah dan Setiawan (2008) seks/seksual tidak sepenuhnya berarti hubungan kelamin (masalah fungsi kelamin secara fisik/reproduksi) namun juga berkaitan dengan fungsi psikososial (berperilaku) yang tidak saja menimbulkan kepuasan bagi diri sendiri tetapi juga pada orang lain.

Menurut Hurlock (1999) dorongan seksual dipengaruhi oleh : a. Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu yang berupa bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan dorongan seksual pada individu yang bersangkutan dan hal ini menuntut untuk segera dipuaskan, b. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar individu yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual. Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh melalui pengalaman kencan, informasi mengenai seksualitas, diskusi dengan teman, pengalaman masturbasi, pengaruh orang dewasa serta pengaruh buku-buku bacaan dan tontonan porno.

2. Perilaku Seksual Remaja

Perilaku seksual adalah manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati secara langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku seksual dari tahap-tahap yang paling ringan hingga yang paling berat (Purnomowardani dan Koentjoro, 2000).

Sedangkan menurut Rahayu (2005 dalam Retnaningtias, 2009) perilaku seksual adalah beralihnya perhatian remaja ke lawan jenisnya kemudian diikuti saling tertarik, saling mendekati dan berkeinginan untuk mengadakan kontak fisik yang diwarnai nafsu seksual. Selain itu pula pengertian perilaku seksual ini pula dikemukakan Sarwono (2005, dalam Retnaningtias, 2009)


(35)

bahwa perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya ataupun dengan sesama jenis.

Menurut Kinsey (dalam Harahap, 2004) mengemukakan bahwa perilaku seksual mencakup empat tahapan yaitu: a. Bersentuhan (touching), mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan, b. Berciuman (kissing), mulai dari ciuman pendek hingga ciuman dengan mempermainkan lidah (deep kissing), c. Bercumbuan (petting), menyentuh bagian yang sensitif dari tubuh pasangan dan mengarah pada pembangkitan gairah seksual, dan d. Berhubungan kelamin.

Perilaku seksual ini sangat berkaitan erat dengan persoalan yang banyak dihadapi oleh remaja terutama yang berkaitan dengan persoalan kesehatan reproduksi. Menurut Makhfudli (2009) angka kejadian remaja melakukan hubungan seksual sebelum menikah menunjukan gejala yang cukup mengkhawatirkan.

3. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja

Soetjiningsih (2004, dalam Kurniawan, 2008) adanya perkembangan fisik termasuk organ seksual serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan. Perkembangan seksual tersebut sesuai dengan beberapa fase mulai dari praremaja, remaja awal, remaja menengah sampai pada remaja akhir. Fase pertama adalah pra remaja. Masa remaja adalah suatu tahap untuk memasuki tahap remaja yang sesungguhnya. Pada masa pra remaja ada beberapa indikator yang telah dapat ditentukan untuk menentukan identitas gender laki-laki atau perempuan. Beberapa indikator biologis yang berdasarkan jenis


(36)

kromosom, bentuk gonad dan kadar hormon. Ciri-ciri perkembangan seksual pada masa ini antara lain ialah perkembangan fisik yang masih tidak banyak beda dengan sebelumnya. Pada masa remaja ini mereka sudah mulai senang mencari informasi tentang seks dan mitos seks baik dari teman sekolah, keluarga atau dari sumber lainnya. Penampilan fisik dan mental secara seksual tidak banyak memberikan kesan yang berarti.

Fase yang kedua adalah remaja awal, merupakan tahap awal atau permulaan remaja sudah mulai tampak ada perubahan fisik yaitu fisik sudah mulai matang dan berkembang. Pada masa ini remaja sudah mulai mencoba melakukan karena telah seringkali terangsang secara seksual akibat pematangan yang alami. Rangsangan ini diakibatkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya kadar testosteron pada laki-laki dan estrogen pada remaja perempuan. Sebagian dari mereka amat menikmati apa yang mereka rasakan, tetapi ternyata sebagian dari mereka justru selama atau sesudah merasakan kenikmatan tersebut kemudian merasa kecewa dan berdosa. Perasaan berdosa ini diakibatkan pemahaman agama yang mereka pahami dari tokoh agamanya yaitu mereka akan berdosa bila melakukan onani. Hampir sebagai besar dari laki-laki dari periode ini tidak bisa menahan untuk tidak melakukan onani sebab pada masa ini mereka sering kali mengalami fantasi. Sebagian dari mereka amat menikmati apa yang mereka rasakan, tetapi ternyata sebagian dari mereka justru selama atau sesudah merasakan kenikmatan tersebut kemudian merasa kecewa dan merasa berdosa.

Fase ketiga adalah remaja menengah. Pada masa remaja menengah, para remaja sudah mengalami pematangan fisik secara penuh yaitu anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah sedangkan anak perempuan sudah


(37)

mengalami haid. Pada masa ini gairah seksual remaja sudah mencapai puncak sehingga mereka mempunyai kecenderungan mempergunakan kesempatan untuk melakukan sentuhan fisik. Namun demikian, perilaku seksual mereka masih secara alamiah, sebagian besar dari mereka mempunyai sikap yang tidak mau bertanggung jawab terhadap perilaku seksual yang mereka lakukan.

Fase keempat adalah remaja akhir. Pada masa remaja akhir, remaja sudah mengalami perkembangan fisik secara penuh sudah seperti orang dewasa. Mereka telah mempunyai perilaku seksual yang sudah jelas dan mereka sudah mulai mengembangkan aspek-aspek perkembangan pada masa remaja.

Dari tahapan perkembangan seksual di atas maka terdapat tugas perkembangan remaja yang berhubungan dengan seks, tugas perkembangan pertama adalah pembentukan hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis. Tugas tersebut tidaklah mudah baik bagi remaja laki-laki maupun perempuan, setelah melewati tahun-tahun terakhir masa kanak-kanak yang bahkan keduanya memiliki kelompok dan minat masing-masing. Ketika mereka secara seksual telah matang, laki-laki maupun perempuan mulai mengembangkan minat terhadap lawan jenis, juga mengembangkan minat pada berbagai kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Minat yang baru ini mulai berkembang bila kematangan seksual telah tercapai, bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperolah dukungan dari lawan jenis.

Tugas perkembangan yang kedua adalah belajar memerankan peran seks yang diakui. Tugas ini lebih sulit bagi banyak remaja, terutama bagi


(38)

perempuan, dibandingkan penguasaan tugas perkembangan dalam masalah seks yang pertama yaitu belajar bergaul dengan lawan jenis. Anak perempuan seringkali memasuki masa remaja dengan emmbawa konsep peran wanita yang kabur sekalipun konsep tentang pria lebih jelas dan terumus dengan baik.

4. Penyebab Perilaku Seksual Remaja

Penyebab terjadinya perilaku seksual remaja menurut Makhfudli (2009) salah satunya adalah remaja yang tidak memperoleh informasi yang cukup dan benar tentang kesehatan reproduksi. Selain itu masih banyak remaja yang belum menyentuh pelayanan kesehatan reproduksi (informasi, konseling, pelayanan medis) karena terhambat oleh beberapa faktor seperti belum tersedianya pelayanan seperti kondisi geografis, ekonomis, dan psikologis; petugas yang tidak akrab dengan remaja dan kurangnya informasi di tempat pelayanan.

Menurut Sarwono (2008 dalam Hastutik, 2011), terdapat 5 faktor penyebab seks yang dilakukan oleh remaja yaitu: a. Meningkatnya libido seksualitas dimana remaja mengalami perubahan-perubahan fisik dan peran sosial yang terjadi pada dirinya. b.Penundaan usia perkawinan dimana penundaan usia perkawinan ini terjadi karena banyak hal, salah satunya adalah karena kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan taraf pendidikan. c.Tabu-larangan dimana seks dianggap bersumber pada dorongan-dorongan naluri yang bertentangan dengan dorongan “moral” sehingga menyebabkan remaja pada umumnya tidak mau mengakui aktivitas seksualnya dan sangat sulit diajak berdiskusi tentang seks, d.Kurangnya informasi tentang seks. Pada umumnya remaja tanpa pengetahuan yang


(39)

memadai tentang seks akan salah mengartikan tentang seks. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang seks dari orang tua sehingga mereka berpaling ke sumber-sumber lain yang tidak akurat. e. Pergaulan yang makin bebas dimana terjadi kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, khususnya remaja di kota-kota besar yang sangat mengkhawatirkan apalagi jika kurangnya pemantauan dari orang tua.

Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah implikasinya terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang menunjukkan bahwa responden mahasiswa yang mempunyai tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang “sangat rendah” cenderung untuk tidak melakukan hubungan seksual pra-nikah.

Seperti yang dikatakan oleh Bandura (1990) bahwa perilaku seksual tersebut tidak merupakan hasil langsung dari pengetahuan atau keterampilan, melainkan suatu proses penilaian yang dilakukan seseorang dengan menyatukan ilmu pengetahuan, harapan, status emosi, pengaruh sosial dan pengalaman yang didapat sebelumnya untuk menghasilkan suatu penilaian atas kemampuan mereka dalam menguasai situasi yang sulit. Sehingga, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dengan hanya meningkatkan pengetahuan tentang seksual dan kesehatan reproduksi remaja, PMS & HIV/ AIDS saja, walaupun penting namun belum tentu cukup untuk dapat mencapai perubahan perilaku yang dikehendaki (Suryoputro, 2006).

Penelitian Nursal (2007) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual murid SMU Negeri di Kota Padang menunjukkan bahwa remaja dengan pengetahuan relatif rendah mempunyai peluang 11,90


(40)

kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan pengetahuan relatif tinggi. Pengetahuan remaja tentang kesehatan seksual masih rendah, umumnya yang menjawab benar di bawah 50%, hanya mengenai PMS, HIV-AIDS di atas 50%. Menurut Surono (1997 dalam Nursal 2007) pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali, tetapi ketidaktahuan juga membahayakan. Pengetahuan seksual yang hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi.

5. Resiko Perilaku Seks Remaja

Menurut Notoatmojdo (2007 dalam Hastutik, 2011) begitu banyak remaja yang tidak tahu dari akibat perilaku seksual mereka terhadap kesehatan reproduksi baik dalam keadaan waktu yang cepat ataupun dalam waktu yang lebih panjang. Beberapa resiko perilaku seksual remaja terhadap kesehatan reproduksi, yaitu : a.Hamil yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy). Merupakan salah satu akibat dari perilaku seksual remaja. Anggapan-anggapan yang keliru seperti melakukan hubungan seks pertama kali, atau hubungan seks jarang dilakukan, atau perempuan masih muda usianya, atau bila hubungan seks dilakukan sebelum dan sesudah menstruasi, atau bila mengunakan tehnik coitus interuptus (senggama terputus), kehamilan tidak akan terjadi merupakan pencetus semakin banyaknya kasus unwanted pregnancy (hamil yang tidak dikehendaki), b.Penyakit Menular Seksual (PMS)-HIV/AIDS. Dampak lain dari perilaku seksual remaja terhadap kesehatan reproduksi adalah terhadap PMS termasuk HIV/AIDS. Sering kali remaja melakukan hubungan seks yang tidak aman. Adanya kebiasaan berganti-ganti pasangan dan melakukan anal seks menyebabkan


(41)

remaja semakin rentan untuk tertular HIV/PMS seperti sifilis, gonore, herpes, klamidia, dan AIDS, c.Psikologis dimana dampak lain dari perilaku seksual remaja yang sangat berhubungan dengan kesehatan reproduksi adalah konsensi psikologis. Setelah kehamilan terjadi, pihak perempuan atau tepatnya korban utama dalam masalah ini. Perasaan bingung, cemas, malu, dan bersalah yang dialami remaja setelah mengetahui kehamilannya bercampur dengan perasaan depresi, pesimis terhadap masa depan, dan kadang disertai rasa benci marah baik kepada diri sendiri maupun kepada pasangan, dan kepada nasib membuat kondisi sehat secara fisik, sosial, dan mental yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi remaja tidak terpenuhi.

6. Upaya-Upaya Penanggulangan Penyimpangan Perilaku Seksual Remaja Terdapat beberapa cara untuk menghindari pergaulan seks remaja yaitu: a.Mencari kegiatan-kegiatan atau alternatif baru sehingga dapat menemukan kepuasan yang mendalam dari interaksi yang terjalin (bukan kepuasan seksual), b.Membuat komitmen bersama dengan pacar dan berusaha keras untuk mematuhi komitmen itu. Komitmen dalam hal ini adalah kesepakatan dalam batasan-batasan seksual yang dipilih dalam hubungan pacaran, c.Menghindari situasi atau tempat yang kondusif menimbulkan fantasi atau rangsangan seksual seperti berduaan dirumah yang tidak berpenghuni, di pantai malam hari, tempat yang sepi dan gelap, d.Menghindari frekuensi pertemuan yang terlalu sering karena jika sering bertemu tanpa adanya aktifitas pasti dan tetap, maka keinginan untuk mencoba aktifitas seksual biasanya semakin menguat, e.Melibatkan banyak teman atau saudara untuk berinteraksi sehingga kesempatan untuk selalu berduaan makin berkurang,


(42)

f.Mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah seksualitas dari sumber yang dapat dipercaya bukan dari blue film, buku stensilan dan lain-lain, g.Mempertimbangakan resiko dari tiap-tiap perilaku seksual yang dipilih. h.Mendekatkan diri pada Tuhan dan berusaha keras menghayati norma atau nilai yang berlaku (Nitya, 2009 dalam Hastutik, 2011).

Selain hal-hal di atas ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan seksual yang terjadi pada remaja salah satunya adalah dengan melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi remaja di setiap jenjang sekolah lanjutan di mulai pada tingkat pertama (SMP) sederajat, Sekolah Menengah Atas (SMA) (Prihatin, 2007 dalam Syah, 2011) dan jika perlu dilakukan pula pada jenjang pendidikan tinggi atau diploma, baik sekolah negeri atau swasta melalui metode peer education yang bersifat youth friendly (ramah terhadap remaja) artinya tidak hanya memberi materi melalui proses belajar mengajar di kelas, tetapi dikembangkan dengan metode lain seperti pemasangan mading, poster tentang kesehatan reproduksi, pembentukan kegiatan ekstrakurikuler dengan memasukan materi-materi kesehatan reproduksi didalamnya (Dewi, 2009 dalam Syah, 2011) seperti acara kesenian sekolah atau drama teater yang memuat materi dasar kesehatan reproduksi yang proporsional seperti fungsi organ sistem reproduksi manusia yang mencakup pemahaman remaja tentang perubahan fisik anak laki-laki dan perempuan saat menjadi remaja, mengenal masa subur, terjadinya proses kehamilan, pencegahan penyakit menular seksual, perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab, akibat dari kehamilan tidak dikehendaki, Prihatin (2007 dalam Syah 2011).


(43)

Petugas kesehatan sebaiknya dapat melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk memberikan informasi dasar kesehatan reproduksi dan seksualitas yang proporsional sesuai dengan pemahan dan tingkat pendidikan remaja serta tidak menganggap tabu untuk membicarakan permasalahan kesehatan reproduksi dan seksualitas serta penerapan program reproduksi secara benar dan berkelanjutan ( Prihatin 2007, dalam Syah 2011).

Taufik dan Anganthi (2007, dalam Syah 2011) menambahkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menanggapi sikap dan perilaku reproduksi remaja antara lain perlunya informasi mengenai kesehatan reproduksi remaja buat orang tua agar orang tua bisa mengikuti perkembangan seksualitas anaknya. Pentingnya meningkatkan peran orang tua dan guru sebagai sumber informasi tentang kesehatan reproduksi bagi remaja dengan cara membekali dengan pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi. Selain itu peningkatan peranan orang tua dan guru penting dilakukan dengan membuat pertemuan rutin (semacam parenting class) bagi remaja atau dengan menjalin kerja sama dengan stasiun radio atau televisi untuk membuat paket acara yang berisi informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. Hal ini mengingat radio dan televisi adalah media yang paling diminati oleh remaja sementara informasi kesehatan remaja di radio dan televisi sangat minim. Acara-acara yang patut dipertimbangkan adalah acara-acara seperti talk show dan curhat remaja yang bersifat interaktif. Hal lain yang dapat dilakukan adalah lebih mengoptimalkan peran tempat-tempat ibadah seperti masjid dan musholla serta tempat-tempat ibadah agama lain sebagai pusat kegiatan siswa, agar siswa lebih dekat dengan kegiatan ibadah dan aktivitas-aktivitas


(44)

lainnya yang lebih terkontrol misalnya dengan membentuk kelompok pengajian, dll.

D. Pengaruh Orang Tua dalam Perilaku Seksual Remaja

Manurut Hurlock (1980) karena meningkatnya minat seks pada remaja, maka remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berhrap bahwa seluk-beluk tentang seks dapat dipelajari dari orang tuanya. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya karena hygiene seks di sekolah, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau bersenggama. Pada akhir masa remaja sebagian besar remaja laki-laki dan perempuan sudah mempunyai cukup informasi tentang seks guna memuaskan keingintahuan mereka. Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dalam masalah seksual, dapat memperkuat munculnya penyimpangan perilaku seksual. Komunikasi orang tua dengan anak memegang peran yang sangat penting dalam membina hubungan keduanya. Orang tua yang kurang bisa berkomunikasi dengan anaknya akan menimbulkan konflik hubungan sehingga dapat berdampak pada perilaku seksual remaja.

Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa sebagian orang tua dan lingkungan masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah seks karena adanya anggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan seksual adalah hal yang memalukan dan tabu bagi keluarga dan masyarakat sehingga remaja yang haus akan informasi berusaha sendiri mencari informasi. Informasi yang didapatkan remaja menjadi setengah-setengah yang justru membahayakan remaja


(45)

karena akan mendorong remaja untuk mencoba-coba disamping menimbulkan salah persepsi (Syah, 2011).

Menurut Prihatin (2007, dalam Syah, 2011) hubungan komunikasi yang lancar dan terbuka sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja harus tetap dijaga. Orang tua harus dapat menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak remaja di rumah.

Sehubungan dengan itu menurut BKKBN (2002, dalam Kurniawan, 2008) bahwa orang tua perlu memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan kesehatan reproduksi baik pengetahuan untuk diri sendiri maupun pengetahuan untuk anak remajanya. Orang tua perlu memahami kondisi anak remajanya yang sedang mengalami perubahan-perubahan pada dirinya, yang menyangkut proses reproduksi. Orang tua harus mempunyai kemampuan memberikan pengetahuan kesehatan reproduksi kepada anak remajanya, agar memilki informasi proses reproduksi yang benar.

E. Pengaruh Guru dalam Perilaku Seksual Remaja

Menurut Syaodih (2004 dalam Vitaloka, 2012) menyatakan bahwa sekolah merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi konsep diri dimana sekolah sebagai tempat kedua setelah lingkungan keluarga yang dapat memberi pengalaman baru sebab dengan bersekolah anak dapat mengembangkan lingkungan fisik dan sosialnya. Apabila sekolah mempunyai fungsi sebagai wadah untuk mewujudkan seluruh kemampuan siswa dan merupakan lingkungan yang dapat memberi pengalaman baru kepada siswa, maka sekolah mempunyai peranan penting dalam mengembangkan konsep diri siswa. Dengan demikian, sekolah dituntut untuk dapat menciptakan lingkungan belajar yang menantang dan memenuhi kebutuhan siswa, serta memberi pengalaman baru yang dapat


(46)

mengubah sikap atau pandangan siswa menjadi lebih positif, yang berarti tumbuhnya perasaan dihargai, dimiliki dan dianggap mempunyai kemampuan. Dalam proses pendidikan di sekolah terjadi interaksi pendidikan dan pengajaran antara pendidik (kepala sekolah, guru, konselor dan tenaga pendidik lain) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan berfungsi membantu pengembangan seluruh potensi, kecakapan dan karakteristik peserta didik. Peranan pendidik lebih besar karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih banyak menguasai nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan.

Peranan guru artinya keseluruhan perilaku yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru mempunyai peranan yang luas baik di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat. Di sekolah ia berperan sebagai perancang pengajaran, pengelola pengajaran,penilai hasil pembelajaran murid, pengarah pembelajaran dan sebagai pembimbing murid. Di dalam keluarga guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), pendorong masyarakat (social motivator), penentu masyarakat (social agent). Guru yang baik dan efektif ialah guru yang dapat memainkan semua perananan-peranan itu secara baik. Dilihat dari sudut pandang psikologis, guru adalah sebagai pakar psikologis pendidikan, artinya seseorang yang memahami psikologis pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia khususnya dengan siswa-siswa sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan, pembentuk kelompok, yaitu mampu membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitas, aktivitas sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan,


(47)

catalytic agent atau inovator, yaitu orang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi pembuat suatu hal yang lebih baik, petugas kesehatan mental (mental hygiene worker) artinya, guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para siswa.

Penelitian yang dilakukan Abidah Muflihati tentang pelaksanaan program pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) berbasis sekolah melalui studi kasus program penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi remaja di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta tahun 2005 menunjukan bahwa proses pelaksanaan program pendidikan KRR mengisyaratkan adanya berbagai tahapan mulai dari program kerja sama dengan BKKBN sampai dengan memasukkan program tersebut dalam layanan Bimbingan Konseling (BK) di kelas, dan dalam pelajaran Biologi, Penjaskes, serta Agama. Dalam proses pengajaran, materi KRR disampaikan oleh guru BK, Biologi, Penjaskes, dan Agama pada waktu dan kelas yang berbeda-beda. Guru BK menggunakan kelas terpisah pada saat menjelaskan tentang alat reproduksi, sedangkan tiga guru lainnya menggunakan kelas campur. Materi yang disampaikan para guru mencakup aspek pengetahuan fisik, aspek psikologis, dan aspek sosial/nilai. Program penyuluhan dan Konseling KRR yang dilakukan oleh guru BK bersama dengan guru Biologi, Penjaskes, dan Agama merupakan upaya pelembagaan program pendidikan KRR. Penyampaian materi KRR oleh keempat guru dalam pelajaran masing-masing membuat siswa dapat menjaga perilaku seksualnya agar tidak melakukan seks pranikah dalam pacaran, meskipun sebenarnya para guru telah menekankan agar tidak berpacaran (Muflihati, 2005).


(48)

F. Pengaruh Teman Sebaya dalam Perilaku Seksual Remaja

Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2003). Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Kelompok sebaya juga merupakan tempat untuk belajar, karena melalui kelompok remaja dapat mengambil berbagai peran, di dalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman dan kedekatannya dengan teman sebaya begitu kuat.

Menurut Zimmer-Gembeck (2002, dalam Kurniawan, 2008) teman sebaya amat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial dan perkembangan diri remaja. Pendapat dan pandangan teman biasanya lebih diterima daripada pendapat orang tua. Konflik atau perbedaan yang terjadi dalam keluarga), remaja cenderung lebih terbuka dalam menyelesaikan masalah dengan kelompoknya. Dengan demikian peranan kelompok atau peer sangat besar dalam mempengaruhi informasi mengenai segala problematika seksual di kalangan remaja. Sehingga dengan hal tersebut menjadikan remaja dan teman sebayanya sangat menghargai pertemanan, jalinan komunikasi dengan teman sebaya justru lebih baik jika dibanding dengan orang tua. hal ini karena remaja menganggap teman cenderung dapat menyimpan rahasia, lebih terbuka dalam membicarakan teman lawan jenis serta dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan orang tua/keluarga.

Menurut Prihatin (2007 dalam Syah, 2011) teman sebaya dalam pergaulan kadang kala menjadi salah satu sumber informasi yang cukup signifikan dalam membentuk pengetahuan seksual di kalangan remaja, bahkan informasi teman sebaya bisa menimbulkan dampak negatif karena informasi yang mereka peroleh hanya melalui tayangan media massa seperti: film, VCD, televisi maupun


(49)

pengalaman diri sendiri. Disamping itu menurut Collins dan Loursen (dalam Prihatin, 2007 dalam Syah, 2011) remaja cenderung lebih terbuka dalam menyelesaikan masalah dengan kelompoknya, hal ini karena adanya konflik atau perbedaan nilai yang dianut remaja dengan keluarga sehingga peran teman sebaya sangatlah berarti bagi kalangan remaja.

Sejalan dengan pendapat di atas menunjukan bahwa pola komunikasi dalam lingkungan teman sebaya di sekolah maupun di luar sekolah seperti berbagi pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja dapat menentukan atau mendorong pembentukan perilaku remaja dalam kehidupannya sehari-hari dalam hal kesehatan reproduksi (Harahap, 2004).

G. Pengaruh Akses Informasi terhadap Perilaku Seksual Remaja

Croteau & Hones (2003 dalam Suryanto & Kuwatono, 2010) mengibaratkan media sebagai udara yang kita hirup setiap saat. Media, menurut Arthur A. Berger (2003 dalam Suryanto & Kuwantono, 2010) terdiri dari tiga jenis: Media elektronik (telepon, televisi, radio, rekaman), media cetak (buku, majalah, surat kabar, billboard) dan media fotografis (fotografi, film, video).

Remaja perlu mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi sehingga remaja mengetahui hal-hal yang seharusnya dilakukan dan hal-hal yang seharusnya dihindari. Remaja mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi dan informasi tersebut harus berasal dari sumber yang terpercaya.

Menurut Indarsita (2006) media cetak dan media elektronik berperan dalam meningkatkan perilaku kesehatan reproduksi beresiko pada remaja. Saat ini perilaku kesehatan reproduksi yang beresiko pada remaja banyak disebabkan


(50)

karena informasi tentang kesehatan reproduksi terutama seks lebih mudah diperoleh karena aksesnya banyak antara lain melalui media cetak (buku, majalah, stensilan) dan elektronik (radio, televisi, dan internet). Dengan demikian remaja akan semakin besar peluangnya untuk berperilaku kesehatan reproduksi yang beresiko karena terpapar oleh hal-hal tersebut. Selain itu mudahnya remaja mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari berbagai media tanpa adanya batasan atau sensor, apalai saat mendapatkan informasi tersebut remaja tidak didampingi oleh keluarga sehingga remaja tersebut menerima sesuai dengan alur pikirnya sendiri, mengakibatkan tidak jarang terjadinya penyimpangan seksual akibat media massa.


(51)

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini kerangka konseptual yang digunakan bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual siswi yang diukur melalui predispocing factor, reinforcing factor, dan enabling factor. Predispocing factor diukur dari pengetahuan dan sikap siswi, reinforcing factor diukur dari peran orang tua, guru, dan teman sebaya serta enabling factor yang diukur dari akses media informasi yang mempengaruhi perilaku seksual siswi. Dugaan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual siswi di SMA Negeri 17 Medan juga dijelaskan pada kerangka di bawah ini.

Skema 3.1

Kerangka Konsep Penelitian tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Siswi di SMAN-17 Medan.

Variabel Independen Variabel Dependen

Factor Predispocing:

• Pengetahuan siswi

• Sikap siswi

Perilaku Seksual Siswi Factor Reinforcing:

• Peran Orang tua

• Peran Guru

• Peran Teman sebaya Factor Enabling :

• Akses media Informasi (media cetak dan media elektronik)


(52)

B. Hipotesis

1. Ada pengaruh predispocing factor yaitu pengetahuan dan sikap terhadap perilaku seksual siswi SMA Negeri 17 Medan.

2. Ada pengaruh reinforcing factor yaitu peran orang tua, guru, dan teman sebaya terhadap perilaku seksual siswi SMA Negeri 17 Medan.

3. Ada pengaruh enabling factor yaitu peran akses media informasi terhadap perilaku seksual siswi SMA Negeri 17 Medan.

C. Definisi Operasional

Perilaku seksual siswi adalah segala tingkah laku atau aktivitas yang dilakukan siswi yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya ataupun dengan sesama jenis yang merupakan pasangannya. Penilaian terhadap perilaku seksual siswi ini dilakukan dengan menggunakan Kuesioner Perilaku Seksual Siswi (KPSS).

Predispocing factor adalah faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang berupa pengetahuan dan sikap siswi dalam hal ini kaitannya dengan perilaku seksual siswi. Penilaian terhadap predispocing factor ini dilakukan dengan menggunakan Kuesioner Pengetahuan Siswi (KPS) dan Kuesioner Sikap Siswi (KSS).

Reinforcing factor adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku berupa keterlibatan dari orang tua, guru, dan teman sebaya dalam hal ini kaitannya dengan perilaku seksual siswi. Penilaian terhadap reinforcing factor ini dilakukan dengan menggunakan Kuesioner Peran Orang tua (KPO), Kuesioner Peran Guru (KPG), dan Kuesioner Peran Orangtua (KPO), dan Kuesioner Peran Teman Sebaya (KPTS).


(53)

Enabling factor adalah faktor yang mendukung terjadinya perilaku berupa tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana informasi sebagai media komunikasi dalam hal ini kaitannya dengan perilaku seksual siswi. Penilaian terhadap enabling factor ini dilakukan dengan menggunakan Kuesioner Akses Media Informasi (KAI).


(54)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah rancangan penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menuntun peneliti untuk dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Metode penelitian yang akan digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari pengaruh antara faktor-faktor risiko (variabel independen) dengan efek (variabel dependen), observasi atau pengukuran terhadap variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung (efek) yang dilakukan sekali dan dalam waktu yang bersamaan. Pada penelitian ini peneliti hanya meneliti pada waktu tertentu (Sastroasmoro & Ismael, 2007).

B. Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik subjek ditentukan sesuai dengan ranah dan tujuan penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2007). Target populasi dalam penelitian adalah semua siswi SMA Negeri 17 Medan pada tahun ajaran 2012/2013. Berdasarkan survey pendahuluan di SMAN 17 Medan terdapat 334 orang siswi.


(55)

b. Sampel

Menurut Arikunto (2006) sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Apabila subyek kurang dari 100, lebih baik diambil seluruhnya sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil 10% - 15% atau 20% - 25% atau lebih. Dengan demikian peneliti menetapkan sampel 30% dari jumlah populasi, yaitu sebesar 100 orang siswi.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik quota sampling yaitu teknik pengambilan sampel dari populasi yang memenuhi persyaratan ciri-ciri tertentu sampai jatah (kuota) yang telah ditetapkan.

Adapun kriteria responden yang peneliti tetapkan sebagai subjek studi adalah siswi berusia 14-16 tahun, bersedia menjadi responden, hadir saat penelitian, dan dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Hal ini dianggap dapat menggambarkan keadaan populasi sebenarnya (representative).

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 17 Medan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Juni 2013.

D. Pertimbangan Etik

Dalam melakukan penelitian ini ada beberapa pertimbangan etik yang diperhatikan oleh peneliti yaitu kebebasan dan kerahasiaan menjadi responden. Kebebasan yang dimaksud adalah bebas dari rasa sakit baik secara fisik maupun tekanan psikologis. Di samping itu peneliti menyediakan lembar persetujuan


(56)

responden. Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang diteliti. Peneliti menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian yang dilakukan kepada responden. Selanjutnya peneliti menanyakan kesediaan siswi menjadi responden. Jika siswi bersedia menjadi responden, maka responden diminta untuk menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Jika siswi menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, tetapi dengan memberi kode pada masing-masing lembar tersebut. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner. Instrumen pada penelitian ini terdiri dari 4 bagian yaitu Kuesioner Data Demografi Siswi (KDDS), Kuesioner Perilaku Seksual Siswi (KPSS), Kuesioner Predispocing Factor yang terdiri dari Kuesioner Pengetahuan Siswi (KPS), Kuesioner Sikap Siswi (KSS), Kuesioner Reinforcing Factor yang terdiri dari Kuesioner Peran Orangtua (KPO), Kuesioner Peran Guru (KPG), Kuesioner Peran Teman Sebaya (KPTS) dan Kuesioner Enabling Factor yang terdiri dari Kuesioner Akses Media Informasi (KAI).

1. Kuesioner Data Demografi Siswi (KDDS)

Pada bagian awal instrumen penelitian ini berisi identitas responden. KIS digunakan untuk mengkaji data demografi responden yang meliputi usia dan tempat tinggal responden.


(57)

2. Kuesioner Perilaku Seksual Siswi (KPSS)

Bagian instrumen pertama berisi pernyataan untuk mengidentifikasi perilaku seksual siswi. Bagian ini terdapat 6 pernyataan. Penilaian kuesioner ini terdiri atas pilihan jawaban Pernah (P) dan Tidak Pernah (TP). Bobot skor yang diberikan untuk setiap pernyataan ini adalah 0 sampai 1. Dimana jawaban Pernah (P) mendapat skor 0, dan Tidak Pernah (TP) mendapat skor 1. Skor terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan skor tertinggi adalah 6. Berdasarkan rumus statistik p = (menurut Sudjana, 1992) dengan p merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi dikurang nilai terendah) sebesar 6 dibagi atas 2 kategori kelas yaitu perilaku seksual negatif dan perilaku seksual positif, maka diperoleh panjang kelas sebesar 3. Dengan p=3, dengan nilai terendah adalah 0 sebagai batas bawah kelas pertama, perilaku dikategorikan atas :

- Total skor 0-3 = perilaku negatif - Total skor 4-6 = perilaku positif 3. Kuesioner Predispocing Factor (KPF)

Kuesioner Predispocing Factor (KPF) berisi pernyataan yang dibagi dalam 2 (dua) komponen yaitu Kuesioner Pengetahuan Siswi (KPS) dan Kuesioner Sikap Siswi (KSS) yang berisi pernyataan untuk mengidentifikasi pengetahuan dan sikap siswi terhadap perilaku seksual.

Kuesioner Pengetahuan Siswi (KPS). Pengetahuan siswi adalah segala sesuatu yang diketahui oleh siswi dilihat dari kemampuan siswi untuk menjawab pernyataan dengan benar mengenai tahapan perilaku seksual remaja dan dampak perilaku seksual remaja. KPS ini terdiri dari 8 pernyataan menggunakan skala guttman dengan alternatif pilihan jawaban Ya (Y) dan


(58)

Tidak (T). Untuk jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0. Nilai terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 8.

Menggunakan rumus statistik menurut Sudjana (1992) yang sama seperti pada Kuesioner Perilaku Seksual Siswi (KPSS), dengan rentang 8 dan banyak kelas dibagi atas 2 kategori kelas untuk pengetahuan baik dan buruk, maka diperoleh panjang kelas sebesar 4. Dengan p = 4 dan nilai terendah 0 sebagai batas bawah kelas pertama, pengetahuan dikategorikan atas:

- Total skor 0-4 = pengetahuan buruk - Total skor 5-8 = pengetahuan baik

Kuesioner Sikap Siswi (KSS). Sikap siswi merupakan reaksi siswi berupa respon setuju atau tidaknya siswi terhadap perilaku seksual berkaitan dengan tahapan dalam perilaku seksual remaja dan upaya menghindari perilaku seksual remaja. KSS ini terdiri dari 10 pernyataan yaitu 5 pernyataan positif dan 5 pernyataan negatif. Penilaian kuesioner ini menggunakan skala guttman yaitu dengan dua alternatif jawaban yang terdiri dari Setuju (S) dan Tidak Setuju (TS). Bobot nilai yang diberikan untuk setiap pernyataan positif dari 0 sampai 1, dimana jawaban Setuju (S) bernilai 1 dan jawaban Tidak Setuju (TS) bernilai 0. Sedangkan bobot nilai untuk setiap pernyataan negatif dari 0 sampai 1, dimana jawaban Tidak Setuju (TS) bernilai 1 dan jawaban Setuju (S) bernilai 0. Skor terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan skor tertinggi adalah 10.

Menggunakan rumus statistik dengan rentang sebesar 10 dan banyak kelas dibagi atas 2 kategori kelas untuk sikap positif dan sikap negatif maka diperoleh panjang kelas sebesar 5. Dengan p=5 dan skor terendah 0 sebagai batas bawah kelas pertama, maka sikap siswi dikategorikan atas:


(59)

- Total skor 0-5 = sikap negatif - Total skor 6-10 = sikap positif

4. Kuesioner Reinforcing Factor (KRF)

Kuesioner Reinforcing Factor (KRF) berisi pernyataan yang dibagi dalam 3 (tiga) komponen yaitu Kuesioner Peran Orangtua (KPO), Kuesioner Peran Guru (KPG), dan Kuesioner Peran Teman Sebaya (KPTS) yang berisi pernyataan untuk mengidentifikasi peran orang tua, guru, dan teman sebaya terhadap seksualitas siswi.

Kuesioner Peran Orang tua (KPO). Peran orang tua merupakan persepsi siswi mengenai keterlibatan orang tua dalam memberikan pengetahuan dan informasi berupa komunikasi orang tua-anak sebagai penguat terbentuknya perilaku seksual siswi yakni apakah siswi pernah melakukan komunikasi dengan orang tua mengenai bentuk perilaku seksual remaja putri, masalah perilaku seksual remaja putri, dampak perilaku seksual remaja putri, dan pencegahan perilaku seksual remaja putri. KPO ini terdiri dari 6 pernyataan. Penilaian kuesioner menggunakan skala guttman dengan dua pilihan alternatif jawaban yang terdiri dari Ya (Y) dan Tidak (T) dimana jawaban Ya (Y) bernilai 1, Tidak (T) bernilai 0. Skor terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan skor tertinggi yang mungkin dicapai adalah 6.

Menggunakan rumus statistik dengan rentang sebesar 6 dan banyak kelas dibagi atas 2 kategori kelas maka diperoleh panjang kelas sebesar 3. Dengan p=3 dan skor terendah 0 sebagai batas bawah kelas pertama, maka peran orang tua dikategorikan atas:

- Total skor 0-3 = Tidak Mendukung - Total skor 4-6 = Mendukung


(60)

Kuesioner Peran Guru (KPG). Peran guru merupakan persepsi siswi mengenai keterlibatan guru dalam memberikan pendidikan dan informasi di lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi perilaku seksual siswi yakni terselenggaranya program pendidikan seksual oleh guru di sekolah dan peran guru dalam memberikan nasehat dalam menghindari perilaku seksual pada remaja putri. KPG ini terdiri dari 4 pernyataan. Penilaian kuesioner ini menggunakan skala guttman dengan dua pilihan alternatif jawaban yang terdiri dari Ya (Y) dan Tidak (T). Bobot skor yang diberikan untuk setiap pernyataan dari 0 sampai 1, dimana jawaban Ya (Y) bernilai 1, dan Tidak (T) bernilai 0. Skor terendah yang mungkin dicapai adalah 0 dan skor tertinggi adalah 4.

Menggunakan rumus statistik dengan rentang sebesar 4 dan banyak kelas dibagi atas 2 kategori kelas maka diperoleh panjang kelas sebesar 2. Dengan p=2 dan skor terendah 0 sebagai batas bawah kelas pertama, maka peran guru dikategorikan atas:

- Total skor 0-2 = Tidak Mendukung - Total skor 3-4 = Mendukung

Kuesioner Peran Teman Sebaya (KPTS). Peran teman sebaya merupakan keterlibatan teman sebaya atau remaja dengan tingkat usia atau kedewasaan yang sama baik di lingkungan sekolah atau di luar lingkungan sekolah yang berperan dalam memberikan informasi dan dorongan sebagai penguat terbentuknya perilaku seksual siswi yang meliputi aktivitas seksual pada masa pacaran, dan dampak perilaku seksual remaja putri. KPTS ini terdiri dari 6 pernyataan. Penilaian kuesioner menggunakan skala guttman dengan dua pilihan alternatif jawaban yang terdiri dari Ya (Y) dan Tidak


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran 13

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Masta Melati Hutahaean

Tempat/Tgl Lahir : Palangka Raya, 24 Januari 1990 Agama : Kristen Protestan

Nama Ayah : Juatner Hutahaean Nama Ibu : Saida Silalahi, SPd

Status di Keluarga : Anak kedua dari empat bersaudara Alamat : Jl. Paus Raya No. 79, Palangka Raya

Provinsi Kalimantan Tengah

Telp : 0852 5284 2409

Riwayat Pendidikan:

1. Tahun 1996-2002 : SD Katolik Santo Don Bosco Palangka Raya 2. Tahun 2002-2005 : SMP Katolik Santo Paulus Palangka Raya 3. Tahun 2005-2008 : SMA Negeri 2 Palangka Raya

4. Tahun 2008-2011 : Akademi Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

5. Tahun 2012-2013 : D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara