khususnya yang terkait dengan sistem perizinan, sehingga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memperbaharui atau menyempurnakan peraturan-peraturan
daerah yang terkait dengan sistem perizinan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas Sumatera Utara USU, penelitian tesis mengenai “Pengawasan Lembaga Legislatif dalam
Penerapan Sistem Perizinan di Kota Binjai” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu
permasalahan yang belum tersentuh secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-
asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan
kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Maksud otonomi luas
adalah daerah mempunyai tugas, wewenang, hak dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat dengan leluasa untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah. Otonomi nyata berarti menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada sesuai dengan potensi dan karakteristik
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
masing-masing daerah. Otonomi yang bertanggungjawab berarti penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi, yaitu
pemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
16
Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 lebih berorientasi kepada masyarakat daerah lebih bersifat kerakyatan daripada kepada
pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan
rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui Pengawasan serta dan pemberdayaan masyarakat.
17
Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip
penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri,
18
yang praktis dalam segala urusan, perizinan dan sejenisnya yang sekarang bisa diselesaikan di daerah.
16
Rozali Abdullah, Op.Cit., hal.4-6.
17
ibid. , hal.76.
18
Pasal 1 angka 5 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
Otonomi bukanlah sekedar penyerahan begitu saja kekuasaan kepada daerah, melainkan daerah memiliki kewenangan, keleluasaan mengambil keputusan, untuk
mengatur dirinya sendiri. Otoritas untuk mengatur dirinya sendiri sangat penting bagi kemajuan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah harus membentuk Perda guna
memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat daerahnya.
19
Sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang- undangan
20
, Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh DPRD bersama-sama dengan
pemerintah daerah.
21
Prakarsa suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari pemerintah daerah.
22
Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah.
23
Kewenangan membuat Perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah,
24
dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat.
25
Untuk melaksanakan suatu perda, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah danatau
19
Sebagai contoh berdasarkan asas dekonsentrasi, pemerintah provinsi dimungkinkan ikut memikirkan soal kekurangan yang ada di daerah termasuk soal kekurangan aparat keamanan. Hal ini
merupakan sebuah contoh yang baik dari perubahan itu, karena dapat dilihat dari keberadaan polisi di masa depan. Ryaas Rasyid, Pemerintah Serius Laksanakan Desentralisasi, Jurnal Berita Otonomi Daerah,
Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, Nomor 85, 2000, hal.7.
20
Dalam Ketetapan MPR RI No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, perda telah secara resmi menjadi sumber hukum dan masuk ke dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan.
21
Pasal 136 ayat 1 UU No.32 tahun 2004.
22
Pasal 140 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004.
23
Pasal 136 ayat 3 UU No.32 Tahun 2004.
24
Rozali Abdullah, Op.Cit., hal.131.
25
ibid. , hal.133.
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
keputusan kepala daerah.
26
Suatu perda akan berfungsi secara efektif apabila didukung oleh adanya upaya penegakan hukum terhadapnya.
Perda merupakan kebijakan daerah yang dibuat untuk melaksanakan otonomi daerah. Kebijakan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain.
27
UU Nomor 32 Tahun 2004 menciptakan konteks politik yang memberi peluang bagi
penciptaan kelembagaan politik antara pemerintah daerah dan DPRD yang seimbang dalam membentuk kebijakan publik yang menentukan.
28
Dengan konteks ini, pelaksanaan otonomi daerah harus dilandasi prinsip yang mengarah pada lebih
meningkatnya Pengawasanan dan fungsi DPRD, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran.
29
Berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan perda adalah seluruh
materi muatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah selanjutnya disingkat dengan UU No.34 Tahun 2000, perda dapat mengatur berbagai jenis pajak dan retribusi yang sudah dilimpahkan ke daerah.
26
Pasal 146 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004.
27
Penjelasan UU No.32 Tahun 2004, Bagian I Poin 7.
28
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.232.
29
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hal.263.
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
Pasal 18 ayat 1 UU No.34 Tahun 2000 mengatur mengenai objek retribusi yang terdiri dari a Jasa Umum, b Jasa Usaha, dan c Perizinan Tertentu. Ayat 2
pasal tersebut menegaskan, retribusi dibagi atas tiga golongan, yakni a Retribusi Jasa Umum, b Retribusi Jasa Usaha, dan c Retribusi Perizinan Tertentu. Dari ketentuan ini
terlihat, bahwa perizinan merupakan kewenangan legislasi daerah untuk membuat pengaturannya dalam bentuk Perda.
Perizinan yang diatur di dalam Perda merupakan suatu instrumen hukum untuk mengatur perbuatan hukum para warga. Perizinan dapat diartikan sebagai berikut:
“izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-
ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.”
30
Dengan demikian, izin merupakan sesuatu keputusan yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk memperkenankan seseorang atau suatu badan usaha yang
memohon untuk dapat melakukan suatu tindakan atau kegiatan tertentu sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini berarti, legislatif memegang Pengawasanan penting dalam menetapkan kebijakan perizinan yang berlaku di daerah.
Perda mengenai perizinan tidak hanya terkait dengan pembangunan daerah, tetapi juga sebenarnya terkait erat dengan iklim usaha di daerah dan kesiapan daerah
menghadapi globalisasi. Pada tahun 2001, Kamar Dagang dan Industri Kadin
30
N.M. Spelt J.B.J.M. ten Barge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Utrecht : Desember 1991, hal 3.
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
Indonesia merekomendasikan adanya 1.006 Perda bermasalah di seluruh Indonesia yang memberatkan dunia usaha. Pemerintah kemudian melakukan evaluasi pelaksanaan
otonomi daerah agar tidak membebani para pengusaha di daerah.
31
Hasil kajian pemerintah cq. Depdagri, ternyata ditemukan adanya 105 Perda mengenai retribusi dan
pajak daerah yang bermasalah.
32
Dana Moneter Internasional sampai memberikan sorotan terhadap Perda “bermasalah” ini dengan meminta pemerintah mencabut perda-
perda tersebut. IMF dalam permintaannya itu memberikan alasan bahwa perda-perda tersebut dinilai tidak menciptakan iklim usaha dan mengganggu perekonomian, karena
banyak ketentuan yang mengharuskan pelaku bisnis membayar berbagai jenis pungutan dan retribusi.
33
Akhirnya pemerintah pusat cq. Mendagri telah membatalkan 68 perda bermasalah tersebut.
34
Adapun yang menjadi alasan pembatalan perda bermasalah tersebut adalah:
1. tumpang tindih dengan pajak pusat, 2. pungutan retribusi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi,
3. menimbulkan duplikasi dengan pungutan daerah, 4. menghambat arus lalu lintas barang,
5. menimbulkan ekonomi biaya tinggi, 6. berakibat pada peningkatan beban subsidi pemerintah.
35
31
Kompas, 6 September 2001.
32
Kompas, 10 September 2001.
33
Kompas, 26 September 2001.
34
Tjip Ismail, Kebijakan Pengawasan atas Perda Pajak dan Retribusi Daerah dalam Menunjang Iklim Investasi yang Kondusif
, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22 Nomor 5 Tahun 2003, hal.31-32.
35
ibid.
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
Pembangunan daerah dan era globalisasi menuntut pemerintah daerah untuk lebih sungguh-sungguh menerapkan kebijakan yang mampu mendorong dan
meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan daerah. Dengan adanya perizinan, terjadi pengikatan aktivitas-aktivitas para warga
yang memohonkan pada suatu peraturan atau persyaratan-persyaratan tertentu berdasarkan maksud pembuat undang-undang guna mencapai suatu tatanan tertentu atau
untuk menghalangi terciptanya suatu kondisi yang buruk yang tidak diinginkan.
36
Kebijakan pembentuk perda ini dilandasi oleh tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, sesuai dengan kepentingan rakyat daerah yang
disahuti oleh kebijakan tersebut. Secara politik, kedudukan perda tidak lain merupakan produk hukum lembaga
legislatif daerah.
37
Perda, sebagaimana produk hukum pada umumnya, akan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan
38
. Pemerintah, termasuk pula pemerintahan daerah, di dalam merumuskan suatu kebijakan kadangkala
bukanlah untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari suatu kepentingan tertentu, melainkan cenderung merupakan hasil proses interaksi berbagai kepentingan
yang dikumpulkan dari berbagai preferensi.
39
Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai suatu hasil keputusan bersama yang dikaitkan secara khusus dengan pembuatannya,
36
N.M. Spelt J.B.J.M. ten Barge, Op.Cit., hal 5.
37
Ni’matul Huda, Op.Cit., hal.238-239.
38
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2001, hal.9.
39
Satya Arinanto, Op.Cit., hal.237.
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
sehingga penyusunannya harus melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan berbagai aspek, kepentingan dan kewenangan.
40
Perda dalam bidang sistem perizinan juga tidak terlepas dari proses interaksi kepentingan-kepentingan politik dalam pembentukannya. Tentu saja tidak diinginkan
adanya perda yang menunjukkan fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa daripada fungsi-fungsi lainnya
41
, yang akan mengakibatkan perda yang dilahirkan semakin tidak otonom dari pengaruh politik.
Untuk itu, pelaksanaan fungsi kontrol pengawasan oleh DPRD terhadap pengaturan sistem perizinan yang telah diatur menjadi penting diperhatikan.
2. Kerangka Konsepsi
Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan tersebut di atas, maka perlu diuraikan definisi operasional untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap istilah-
istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: Lembaga Legislatif adalah lembaga legislatif di daerah yang melaksanakan
fungsi, tugas dan kewenangannya di bidang legislasi, kontrol dan anggaran dan merupakan mitra sejajar dari pemerintah daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004.
Lembaga legislatif yang dimaksudkan disini adalah DPRD Kota Binjai. Otonomi daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 UU No.32
Tahun 2004, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
40
Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 1997, hal 10.
41
Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Yakarta : Rajawali, 1986, hal.29.
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah otonom, atau sering disingkat dengan daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 UU No.32 Tahun 2004, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perizinan adalah hal pemberian izin
42
, yaitu suatu persetujuan dari pemerintah untuk memperkenankan seseorang yang memohon untuk dapat melakukan suatu
tindakan tertentu sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sistem perizinan merupakan suatu tata pengaturan normatif yang harus dipatuhi sebagai pedoman dalam mengajukan permohonan, mengabulkan, tidak
melarang, atau memberi persetujuan untuk melakukan suatu kegiatan tertentu dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dalam hal ini Perda, dalam rangka menunjang pembangunan daerah secara efektif.
42
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III Cetakan ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal.447.
H.M. Yusuf : Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai, 2007 USU e-Repository © 2008
G. Metode Penelitian