Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai

(1)

PENGAWASAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM

PENERAPAN SISTEM PERIZINAN DI KOTA BINJAI

T E S I S

OLEH :

H. M. YUSUF

NIM : 05700505I

HUKUM EKONOMI

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

PENGAWASAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM

PENERAPAN SISTEM PERIZINAN DI KOTA BINJAI

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH :

H. M. YUSUF

NIM : 05700505I

HUKUM EKONOMI

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

PENGAWASAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM PENERAPAN SISTEM PERIZINAN DI KOTA BINJAI

INTISARI Oleh : H.M Yusuf1 Bismar Nasution** Chainur Arrasyid**

M. Abduh**

Salah satu permasalahan yang terjadi dalam proses pembangunan di daerah adalah berkaitan dengan sistem perizinan. Pengaturan tentang perizinan di daerah diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah yang tujuannya ditetapkan untuk memberikan kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD). Namun dalam penerapannya masih banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang merugikan masyarakat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang penerapan peraturan daerah khususnya peraturan daerah yang berkaitan dengan sistem perizinan. Hal ini merupakan tugas dan wewenang dari Lembaga Legislatif dalam hal ini adalah DPRD untuk melakukan proses legislasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dalam rangka implementasi otonomi daerah. Dalam tesis ini permasalahan yang diajukan adalah Pertama, Bagaimana kedudukan DPRD sebagai lembaga legislasi dalam pembuatan peraturan daerah, Kedua, Bagaimana pengawasan DPRD dalam penerapan sistem perizinan di Kota Binjai.

Penelitian ini dilakukan di Kota Binjai, melalui pendekatan yuridis normatif,

yang bersifat deskriptif analitis, sumber data yang dipergunakan untuk mendukung

penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Analisis data dilakukan secara kualitatif yang ditafsirkan secara logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur dan tata cara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku umum dalam perundang-undangan.

Hasil penelitian menempatkan bahwa DPRD berperan sebagai lembaga legislasi yang diwujudkan dalam pembuatan peraturan daerah dan pengawasan untuk melaksanakan fungsi kontrol resmi terhadap pemimpin pemerintah daerah dalam melaksanaan tugasnya di daerah berjalan dengan baik dan lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Kewenangan DPRD ini merupakan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan kuat serta untuk menampung aspirasi masyarakat secara lebih cepat dan tepat sebagai prasyarat untuk dapat melaksanakan

1

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara **

Dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara **

Dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara **


(4)

pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dengan baik dalam rangka otonomi daerah. DPRD dalam otonomi daerah berubah menjadi mitra sejajar pemerintah dan sekaligus pihak yang mengawasi pemerintah daerah.

Pengawasan yang dilakukan DPRD Kota Binjai dalam penerapan sistem perizinan adalah dengan melakukan pembuatan produk peraturan daerah dan pengawasan terhadap penerapan peraturan daerah yang berkaitan dengan sistem perizinan. Hal ini dilakukan dengan semangat kemandirian lokal dalam pembangunan dengan tujuan agar terciptanya kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Komisi yang bertanggungjawab terhadap perizinan adalah Komisi C DPRD Kota Binjai.

Disarankan kepada DPRD Kota Binjai untuk melakukan pengawasan terhadap penerapan peraturan daerah yang sudah ada dan kegiatan-kegiatan masyarakat kota Binjai yang belum diatur dalam peraturan daerah dan agar DPRD Kota Binjai segera menerbitkan peraturan daerah terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat yang belum di atur dan yang berkaitan dengan retribusi perizinan di kota Binjai serta secara rutin melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat terhadap peraturan daerah yang akan dibuat dan peraturan daerah yang sudah ada.

Kata kunci : 1. Lembaga Legislatif 2. Sistem Perizinan


(5)

ROLE OF LEGISLATIVE INSTITUTION IN THE IMPELEMENTATION OF LICENSING SYSTEM IN THE CITY OF BINJAI

H.M. Yusuf∗ Bismar Nasution∗ ∗ Chainur Arrasyid**

M. Abduh**

ABSTRACT

One of the problems commonly occurs in the procces of development in the distric/city level is related to the licensing system. Regulation on licensing in the district/city is materialized in the form of local regulations whose purpose is to provide contibution to the orginal revenue of the distric/city. Yet, in pradtice, many violations that inflict loss to either communit or local (distric/city) fovernment still occur. For this reason, a study on the implementation of local regulation especially that relatied to the licensing system needs to be carried out. It is the duty or authority of the legislative instution (DPRD) to carry out a process of legislation and to control the implementation of local regulation with respect to the implementation of local (district/city) autonomy. The questions to be answered in this study are where the legislative institution (DPRD) is positioned in the making of local regulation and how the legislative institution (DPRD) plays its role in the implementations of licensing system in the city of Binjai.

This analytical descriptive study with normative juridical approach was carried out in the city of Binjai and the data used including the primary, secondary and tertiary legal materials. The data obtained were qualitatively analyzed logically and systematically interpreted. To achieve consistency, this study is based on the deductive and inductive way of thinking with the conceptual procedure as stated in the legal principles found in the legislation.

The results of this study reveals that, in the making of local regulations and controlling the local (distric/city) government leaders in carrying out their duties, the legislative institution (DPRD) plays its role well and pays attention more to community needs and interest. This authority of DPRD, in relation to local autonomy, is an attempt to create the good and strong governance and to quickly and accurately receive the aspiration of community as a prereguisite to implement the development and to provide a good cummunity service. Thus, in the context of local autonomy, the role of DPRD turns into a parallel associate of government and a party supervising the local government.

The role of DPRD of the city of Binjai in the implementation of licensing system is to make local regulation and to control the application of the local regulation related to

Student, Magister of Legal Science Study Program, School of Postgraduate Studies, University of Sumatera Utara

∗∗

Lecturers, Magister of Legal Science Study Program, School of Postgraduate Studies, University of Sumatera Utara


(6)

the licensing system. This is done with the spirit of local autonomy in development with the objective of the creation of welfare and justice for cummunity and Commission C of the DPRD of the city of Binjai is responsible for this licensing issue.

It is suggested that the DPRD of the city of Binjai keep controlling the application of currently availabel local regulation and the activities of the community in Binjai wihic are not yet regulated in the existing local regulation; therefore, the DPRD of the city of Binjai should make and issue the local regulation on the licensing retribution in the city of Binjai as well as providing a routine extension and socializing the existing local regulation and the local regulation to be issued to the community.

Key words : 1. Legislative Institution 2. Lecensing System.


(7)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN PENGESAHAN

INTISARI ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

RIWAYAT HIDUP ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Kerangka Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian ... 18

BAB II : KEBIJAKAN SISTEM PERIZINAN DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH ... …. 23

A. Pengertian Kebijakan ... 23

B. Sistem Perizinan ... 25

C. Otonomi Daerah ... 32

D. Tuntutan Otonomi Daerah Dalam Pembangunan ... 45


(8)

BAB III : KEDUDUKAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM PEMBUATAN PRODUK PEMBUATAN PERATURAN

DAERAH ... 50

A. Kedudukan Lembaga Legislatif ... 50

B. Kedudukan dan Fungsi Peraturan Daerah Dalam Perundang- Undangan ... 66

BAB IV : PENGAWASAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM PENERAPAN SISTEM PERIZINAN DI KOTA BINJAI ... 71

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 71

1. Gambaran Umum Daerah Kota Binjai ... 71

2. Gambaran Umum DPRD Kota Binjai ... 75

B. Peraturan Daerah Kota Binjai Yang Berhubungan Dengan Sistem Perizinan ... 78

C. Pengawasan DPRD Kota Binjai Dalam Penerapan Sistem Perizinan Di Kota Binjai ... 83

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 117


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah melahirkan adanya 2 (dua) macam organ pemerintahan di daerah, yaitu pemerintah

daerah dan pemerintah wilayah.2 Pemerintah daerah adalah organ daerah otonom yang

berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi. Sedangkan pemerintah wilayah adalah organ pemerintah pusat di wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi yang terwujud dalam bentuk provinsi dan ibukota negara, kabupaten/kota, yang tentu saja tidak terkait dengan kewenangan yang muncul dari otonomi daerah.

2

P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Kumpulan Karangan Dr. Ateng Syafrudin SH., (Bandung : Tarsito, 2002), hal.22-23. Pada umumnya, hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam suatu negara kesatuan berdasarkan tiga asas, yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas pembantuan.

Dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya, baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pemerintah daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri.

Pada asas dekonsentrasi, yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat dalam arti bahwa policy, perencanaan dan biaya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Urusan dilaksanakan oleh kepala wilayah dan instansi vertical yang merupakan aparat pemerintah pusat di daerah dan urusan tersebut bukanlah urusan rumah tangga daerah (yang melaksanakan), karena tetap merupakan merupakan urusan pemerintah pusat.

Pada asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan, dalam arti organisasi pemerintah setempat (daerah) memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat. Asas ini berarti penugasan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi. Pemerintah pusat berwenang dan berkewajiban memberikan perencanaan umum, petunjuk serta pembiayaan. Perencanaan terperinci dan pelaksanaannya ditugaskan kepada pemerintahan di daerah yang diawasi pejabat pemerintah di daerah.

Asas desentralisasi melahirkan pemerintah daerah, sedangkan asas dekonsentrasi dan asas pembantuan melahirkan pemerintah wilayah.


(10)

Asas desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi adalah memberikan keleluasaan organ daerah otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam

rangka desentralisasi.3 Dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang

sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintahan daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya, baik yang

menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pemerintahan

daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri.

Era globalisasi menghadapkan Indonesia pada suatu tuntutan untuk

melaksanakan pembangunan disegala bidang secara merata,4 termasuk juga menuntut

kesiapan setiap daerah untuk mampu berPengawasan serta didalamnya. Antisipasi

3

P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Kumpulan Karangan Dr. Ateng Syafrudin SH., (Bandung: Tarsito, 2002), hal.22-23. Asas desentralisasi merupakan salah satu dari 3 (tiga) asas dalam kerangka hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam suatu negara kesatuan. Asas yang lainnya adalah asas dekonsentrasi dan asas pembantuan.

Dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya, baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pemerintah daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri.

Pada asas dekonsentrasi, yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat dalam arti bahwa policy, perencanaan dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Urusan dilaksanakan oleh kepala wilayah dan instansi vertical yang merupakan aparat pemerintah pusat di daerah dan urusan tersebut bukanlah urusan rumah tangga daerah (yang melaksanakan), karena tetap merupakan merupakan urusan pemerintah pusat.

Pada asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan, dalam arti organisasi pemerintah setempat (daerah) memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat. Asas ini berarti penugasan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi. Pemerintah pusat berwenang dan berkewajiban memberikan perencanaan umum, petunjuk serta pembiayaan. Perencanaan terperinci dan pelaksanaannya ditugaskan kepada pemerintahan di daerah yang diawasi pejabat pemerintah di daerah.

Asas desentralisasi melahirkan pemerintah daerah, sedangkan asas dekonsentrasi dan asas pembantuan melahirkan pemerintah wilayah.

4

Alvin Tofler, dalam Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Pengawasanan dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.66.


(11)

terhadap arus globalisasi ini diperlukan setiap daerah, terutama berkaitan dengan peluang dan tantangan penanaman modal asing di daerah dan persaingan global di daerah.

Dalam otonomi daerah, daerah menjadi lebih leluasa dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya, dan memberi kesempatan tumbuhnya iklim yang lebih

demokratis di daerah.5 Pemerintahan daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah6 adalah semacam keleluasaan

daerah dalam mewujudkan otonomi yang luas dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, prakarsa dan aspirasi masyarakat, atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman daerah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mempunyai kemauan sungguh-sungguh dan kesiapan untuk mampu melaksanakan kebijakan otonomi daerah untuk kepentingan rakyat daerahnya.

Otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai suatu tuntutan yang berupaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, menurut James W. Fesler sebagaimana dikutip J. Kaloh, otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu instrumen untuk mencapai tujuan.7

5

Muchan, Otonomi yang Seluas-luasnya dan Ketidakadilan Daerah, dalam M.Arif Nasution dkk., Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, (Bandung : Mandar Maju, 2005), hal.78.

6

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Tahun 2004 No.125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437.

7

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan tantangan Global, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hal.6-7.


(12)

Lembaga Legislatif dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD) sebagai salah satu institusi lokal dianggap sebagai wahana

untuk bisa memberdayakan masyarakat daerah dalam era otonomi daerah.8 Sebelum era

Reformasi, DPRD yang mewakili rakyat daerah tidak berdaya menghadapi kekuatan pemerintah pusat dan kepala daerah. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa DPRD bersama rakyat di daerah terpinggirkan dari berbagai proses pembangunan yang sebenarnya menjadi haknya untuk terlibat dan melakukan kontrol.

Kehadiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah9 (sebagai pelaksanaan amanat Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/199810 pada

Sidang Istimewa MPR 1998) dan kemudian digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinilai dapat memberikan pembaharuan sistem pemerintahan daerah di Indonesia, sehingga diharapkan mampu memberikan keleluasaan bagi daerah dalam rangka menjalankan rumah tangganya sendiri sesuai dengan kepentingan rakyat daerah.

Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 200411,

DPRD adalah mitra sejajar dari Kepala Daerah sebagai pemimpin pemerintah daerah,

8

I. Widarta, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001), hal. 24.

9

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 10

Periksa Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

11

Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 secara lengkap berbunyi : “Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD”.


(13)

karena kedua lembaga ini merupakan unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah,

sehingga secara bersama-sama melaksanakan pemerintahan daerah.12

Fungsi utama DPRD berdasarkan Pasal 41 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah melaksanakan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan, di samping melaksanakan fungsi anggaran. Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, DPRD mempunyai

tugas dan wewenang di berbagai bidang.13 Fungsi legislasi berkaitan dengan

pembentukan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut dengan Perda), fungsi pengawasan berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dan fungsi anggaran terkait dengan

menetapkan anggaran daerah.14

Pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD dilaksanakan berdasarkan kebijakan DPRD terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan dan aspirasi rakyat daerah. Sesuai dengan fungsinya, kebijakan DPRD tidak hanya dituangkan dalam bentuk Perda bersama-sama dengan pemerintah daerah yang menjadi mitranya, tetapi juga diimplementasikan dalam bentuk kontrol terhadap pelaksanaan Perda tersebut, beserta peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh pihak Pemerintah Daerah beserta segenap aparaturnya. Hal ini disebabkan, apapun yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, senantiasa adalah untuk kepentingan rakyat daerah, sementara kepentingan rakyat daerah diwakili oleh lembaga legislatif daerah.

12

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal.105.

13

Rincian mengenai tugas dan kewenangan tersebut, lihat Pasal 42 UU Nomor 32 Tahun 2004. 14


(14)

Salah satu pengaturan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan hubungannya dengan Kepala Daerah dan masyarakat daerah. Masyarakat daerah mempunyai perwakilan mereka

sendiri (overhead) yang mempunyai keleluasaan berhubungan dengan daerahnya.

DPRD sebagai lembaga legislatif daerah turut mengambil keputusan politik dan kebijakan-kebijakan untuk mengeksploitasi sumber daya ekonomi lokal. Salah satu implikasi politik yang terjadi dengan Amandemen Pasal 18 UUD 945 dan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesetaraan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di daerah. Hal ini tentu juga terkait dengan efektifitas pembangunan di daerah yang tentu tidak selamanya menciptakan hubungan kausalitas yang memuaskan.

Kedudukan DPRD tetap merupakan mitra sejajar dengan Kepala Daerah untuk

tetap memelihara check and balances antara DPRD dan Kepala Daerah serta

terpeliharanya efektifitas dan stabilitas pemerintahan daerah.15

DPRD melaksanakan fungsi kontrol resmi dari masyarakat daerah terhadap pelaksanaan tugas Kepala Daerah sebagai pemimpin masyarakat daerah. Hal ini berguna agar pemimpin pemerintahan di daerah lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat daerahnya dibandingkan dengan kepentingan pejabat politis atau birokratis, baik pada tingkat atas maupun di daerahnya.

Salah satu permasalahan yang terjadi dalam proses pembangunan di daerah adalah berkaitan dengan sistem perizinan. Kegiatan pembangunan dan investasi di

15


(15)

daerah terkait erat dengan pemberian perizinan kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Pemerintahan Daerah, dimana DPRD merupakan salah satu unsurnya, mempunyai kewenangan untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon perizinan untuk memperoleh suatu izin yang diperlukannya. Penetapan syarat-syarat ini tentu saja dimaksudkan untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintahan Daerah yang bersangkutan yang diwujudkan dalam bentuk Perda.

Demikian juga halnya dengan Pemerintahan Daerah Kota Binjai, dimana DPRD Kota Binjai merupakan salah satu unsurnya, mempunyai tugas dan kewenangan dalam pengaturan dan penerapan perizinan guna mencapai sasaran pembangunan daerah yang ingin dicapai. Dalam kegiatan pembangunan yang sekarang sedang giat-giatnya dilaksanakan di Kota Binjai dalam berbagai sektor kehidupan perlu ditelaah kebijakan perizinan yang telah ditetapkan dan kontribusinya bagi pembangunan daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan DPRD Kota Binjai dalam menetapkan pengaturan sistem perizinan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan untuk mencapai sasaran pembangunan di Kota Binjai.

Kajian seperti ini penting dilakukan untuk melakukan penelusuran dan sekaligus evaluasi terhadap pelaksanaan posisi dan kedudukan DPRD di bidang perizinan yang selama ini telah dilaksanakan, guna memperoleh suatu hasil analisis yang dapat dipergunakan sebagai bahan hukum oleh pihak legislatif dalam menyongsong era globalisasi. Alasan-alasan tersebut merupakan motivasi bagi Penulis dalam melakukan

penelitian tesis dengan judul “Pengawasan Lembaga Legislatif dalam Penerapan


(16)

B. Permasalahan

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan DPRD sebagai lembaga legislasi dalam pembuatan Peraturan

Daerah.

2. Bagaimana Pengawasan DPRD dalam penerapan sistem perizinan di Kota Binjai.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan dan fungsi DPRD sebagai lembaga

legislasi dalam pembuatan peraturan daerah dalam rangka otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui Pengawasan DPRD Kota Binjai dalam penerapan sistem

perizinan dan pengawasannya di Kota Binjai.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmiah dalam ilmu hukum mengenai Pengawasan DPRD sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah, khususnya oleh DPRD Kota Binjai, dalam bidang perizinan. Dari sudut pandang praktis, penelitian ini diharapkan dapat merupakan masukan atau tawaran berharga bagi pihak legislatif daerah dalam membentuk peraturan daerah sebagai instrumen kebijakan,


(17)

khususnya yang terkait dengan sistem perizinan, sehingga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memperbaharui atau menyempurnakan peraturan-peraturan daerah yang terkait dengan sistem perizinan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian tesis mengenai “Pengawasan Lembaga Legislatif dalam Penerapan Sistem Perizinan di Kota Binjai” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum tersentuh secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Maksud otonomi luas adalah daerah mempunyai tugas, wewenang, hak dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat dengan leluasa untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah. Otonomi nyata berarti menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada sesuai dengan potensi dan karakteristik


(18)

masing-masing daerah. Otonomi yang bertanggungjawab berarti penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi, yaitu

pemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat.16

Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 lebih berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan) daripada kepada pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui Pengawasan serta dan pemberdayaan masyarakat.17

Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

menentukan jalan hidupnya sendiri,18 yang praktis dalam segala urusan, perizinan dan

sejenisnya yang sekarang bisa diselesaikan di daerah.

16

Rozali Abdullah, Op.Cit., hal.4-6. 17

ibid., hal.76. 18

Pasal 1 angka 5 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(19)

Otonomi bukanlah sekedar penyerahan begitu saja kekuasaan kepada daerah, melainkan daerah memiliki kewenangan, keleluasaan mengambil keputusan, untuk mengatur dirinya sendiri. Otoritas untuk mengatur dirinya sendiri sangat penting bagi kemajuan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah harus membentuk Perda guna

memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat daerahnya.19

Sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan

perundang-undangan20, Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh DPRD bersama-sama dengan

pemerintah daerah.21 Prakarsa suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari

pemerintah daerah.22 Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas

masing-masing daerah.23 Kewenangan membuat Perda merupakan wujud nyata

pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah,24 dengan tujuan untuk

mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat.25 Untuk

melaksanakan suatu perda, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan/atau

19

Sebagai contoh berdasarkan asas dekonsentrasi, pemerintah provinsi dimungkinkan ikut memikirkan soal kekurangan yang ada di daerah termasuk soal kekurangan aparat keamanan. Hal ini merupakan sebuah contoh yang baik dari perubahan itu, karena dapat dilihat dari keberadaan polisi di masa depan. Ryaas Rasyid, Pemerintah Serius Laksanakan Desentralisasi, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, Nomor 85, 2000, hal.7.

20

Dalam Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, perda telah secara resmi menjadi sumber hukum dan masuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

21

Pasal 136 ayat (1) UU No.32 tahun 2004. 22

Pasal 140 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004. 23

Pasal 136 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004. 24

Rozali Abdullah, Op.Cit., hal.131. 25


(20)

keputusan kepala daerah.26 Suatu perda akan berfungsi secara efektif apabila didukung

oleh adanya upaya penegakan hukum terhadapnya.

Perda merupakan kebijakan daerah yang dibuat untuk melaksanakan otonomi daerah. Kebijakan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain.27 UU

Nomor 32 Tahun 2004 menciptakan konteks politik yang memberi peluang bagi penciptaan kelembagaan politik antara pemerintah daerah dan DPRD yang seimbang

dalam membentuk kebijakan publik yang menentukan.28 Dengan konteks ini,

pelaksanaan otonomi daerah harus dilandasi prinsip yang mengarah pada lebih meningkatnya Pengawasanan dan fungsi DPRD, baik fungsi legislasi, fungsi

pengawasan maupun fungsi anggaran.29

Berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan perda adalah seluruh materi muatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disingkat dengan UU No.34 Tahun 2000), perda dapat mengatur berbagai jenis pajak dan retribusi yang sudah dilimpahkan ke daerah.

26

Pasal 146 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004. 27

Penjelasan UU No.32 Tahun 2004, Bagian I Poin 7. 28

Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal.232.

29

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal.263.


(21)

Pasal 18 ayat (1) UU No.34 Tahun 2000 mengatur mengenai objek retribusi yang terdiri dari (a) Jasa Umum, (b) Jasa Usaha, dan (c) Perizinan Tertentu. Ayat (2) pasal tersebut menegaskan, retribusi dibagi atas tiga golongan, yakni (a) Retribusi Jasa Umum, (b) Retribusi Jasa Usaha, dan (c) Retribusi Perizinan Tertentu. Dari ketentuan ini terlihat, bahwa perizinan merupakan kewenangan legislasi daerah untuk membuat pengaturannya dalam bentuk Perda.

Perizinan yang diatur di dalam Perda merupakan suatu instrumen hukum untuk mengatur perbuatan hukum para warga. Perizinan dapat diartikan sebagai berikut:

“izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan

yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.”30

Dengan demikian, izin merupakan sesuatu keputusan yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk memperkenankan seseorang atau suatu badan usaha yang memohon untuk dapat melakukan suatu tindakan atau kegiatan tertentu sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berarti, legislatif memegang Pengawasanan penting dalam menetapkan kebijakan perizinan yang berlaku di daerah.

Perda mengenai perizinan tidak hanya terkait dengan pembangunan daerah, tetapi juga sebenarnya terkait erat dengan iklim usaha di daerah dan kesiapan daerah menghadapi globalisasi. Pada tahun 2001, Kamar Dagang dan Industri (Kadin)

30

N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Barge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, (Utrecht : Desember 1991), hal 3.


(22)

Indonesia merekomendasikan adanya 1.006 Perda bermasalah di seluruh Indonesia yang memberatkan dunia usaha. Pemerintah kemudian melakukan evaluasi pelaksanaan

otonomi daerah agar tidak membebani para pengusaha di daerah. 31 Hasil kajian

pemerintah (cq. Depdagri), ternyata ditemukan adanya 105 Perda mengenai retribusi dan

pajak daerah yang bermasalah.32 Dana Moneter Internasional sampai memberikan

sorotan terhadap Perda “bermasalah” ini dengan meminta pemerintah mencabut perda-perda tersebut. IMF dalam permintaannya itu memberikan alasan bahwa perda-perda-perda-perda tersebut dinilai tidak menciptakan iklim usaha dan mengganggu perekonomian, karena banyak ketentuan yang mengharuskan pelaku bisnis membayar berbagai jenis pungutan

dan retribusi.33 Akhirnya pemerintah pusat (cq. Mendagri) telah membatalkan 68 perda

bermasalah tersebut.34 Adapun yang menjadi alasan pembatalan perda bermasalah

tersebut adalah:

1. tumpang tindih dengan pajak pusat,

2. pungutan retribusi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi,

3. menimbulkan duplikasi dengan pungutan daerah,

4. menghambat arus lalu lintas barang,

5. menimbulkan ekonomi biaya tinggi,

6. berakibat pada peningkatan beban subsidi pemerintah.35

31

Kompas, 6 September 2001. 32

Kompas, 10 September 2001. 33

Kompas, 26 September 2001. 34

Tjip Ismail, Kebijakan Pengawasan atas Perda Pajak dan Retribusi Daerah dalam Menunjang Iklim Investasi yang Kondusif, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22 Nomor 5 Tahun 2003, hal.31-32.

35 ibid.


(23)

Pembangunan daerah dan era globalisasi menuntut pemerintah daerah untuk lebih sungguh-sungguh menerapkan kebijakan yang mampu mendorong dan meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan daerah.

Dengan adanya perizinan, terjadi pengikatan aktivitas-aktivitas para warga yang memohonkan pada suatu peraturan atau persyaratan-persyaratan tertentu berdasarkan maksud pembuat undang-undang guna mencapai suatu tatanan tertentu atau

untuk menghalangi terciptanya suatu kondisi yang buruk yang tidak diinginkan.36

Kebijakan pembentuk perda ini dilandasi oleh tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, sesuai dengan kepentingan rakyat daerah yang disahuti oleh kebijakan tersebut.

Secara politik, kedudukan perda tidak lain merupakan produk hukum lembaga

legislatif daerah.37 Perda, sebagaimana produk hukum pada umumnya, akan diwarnai

oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan38. Pemerintah,

termasuk pula pemerintahan daerah, di dalam merumuskan suatu kebijakan kadangkala bukanlah untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari suatu kepentingan tertentu, melainkan cenderung merupakan hasil proses interaksi berbagai kepentingan

yang dikumpulkan dari berbagai preferensi.39 Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai

suatu hasil keputusan bersama yang dikaitkan secara khusus dengan pembuatannya,

36

N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Barge, Op.Cit., hal 5. 37

Ni’matul Huda, Op.Cit., hal.238-239. 38

Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2001), hal.9. 39


(24)

sehingga penyusunannya harus melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan

berbagai aspek, kepentingan dan kewenangan.40

Perda dalam bidang sistem perizinan juga tidak terlepas dari proses interaksi kepentingan-kepentingan politik dalam pembentukannya. Tentu saja tidak diinginkan adanya perda yang menunjukkan fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan

politik dominan yang lebih terasa daripada fungsi-fungsi lainnya41, yang akan

mengakibatkan perda yang dilahirkan semakin tidak otonom dari pengaruh politik. Untuk itu, pelaksanaan fungsi kontrol (pengawasan) oleh DPRD terhadap pengaturan sistem perizinan yang telah diatur menjadi penting diperhatikan.

2. Kerangka Konsepsi

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan tersebut di atas, maka perlu diuraikan definisi operasional untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

Lembaga Legislatif adalah lembaga legislatif di daerah yang melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya di bidang legislasi, kontrol dan anggaran dan merupakan mitra sejajar dari pemerintah daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004. Lembaga legislatif yang dimaksudkan disini adalah DPRD Kota Binjai.

Otonomi daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 UU No.32 Tahun 2004, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

40

Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 1997, hal 10.

41

Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, (Yakarta : Rajawali, 1986), hal.29.


(25)

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah otonom, atau sering disingkat dengan daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 UU No.32 Tahun 2004, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perizinan adalah hal pemberian izin42, yaitu suatu persetujuan dari pemerintah

untuk memperkenankan seseorang yang memohon untuk dapat melakukan suatu tindakan tertentu sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sistem perizinan merupakan suatu tata pengaturan normatif yang harus dipatuhi sebagai pedoman dalam mengajukan permohonan, mengabulkan, tidak melarang, atau memberi persetujuan untuk melakukan suatu kegiatan tertentu dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Perda, dalam rangka menunjang pembangunan daerah secara efektif.

42

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III Cetakan ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.447.


(26)

G. Metode Penelitian

Rangkaian kegiatan penelitian tesis ini dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah metode penelitian ilmiah, sejak dari pengumpulan data sampai pada analisis data.

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik rumusan permasalahan dalam penelitian ini, jenis penelitian ini tergolong pada penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang berlaku dalam pemerintahan daerah. Yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah melakukan pendekatan terhadap norma-norma hukum dalam menganalisa permasalahan yang ada. Penelitian ini merupakan

penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum,

baik yang tertulis di buku (law in written in book) maupun hukum yang diputuskan oleh

hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial

process).43 Yang dimaksud bersifat deskriptif analitis karena penelitian ini tidak hanya

bertujuan mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum terkait dengan Pengawasan DPRD Kota Binjai dalam penerapan sistem perizinan di Kota Binjai, akan tetapi ditujukan pula untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut. Jadi, penelitian ini tidak secara langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori, melainkan secara langsung berusaha untuk menggambarkan

43

Ronald Dworlin, dalam Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, makalah pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Medan, tanggal 18 Pebruari 2003 hal.1.


(27)

dan memaparkan Pengawasan DPRD Kota Binjai sebagai lembaga legislatif daerah dalam penerapan sistem perizinan di Kota Binjai.

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder sebagai sumber data utama, yang dilengkapi dengan sumber data primer sebagai pendukung. Lazimnya sebuah penelitian hukum normatif, sumber data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan (library research), baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

maupun bahan hukum tertier sebagai data utama atau data pokok penelitian.44

Bahan-bahan hukum tersebut diperoleh dari perpustakaan, yang terdiri dari:

a. bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta beberapa Perda Kota Binjai yang terkait, seperti misalnya Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Izin Tempat Usaha, Peraturan Daerah Kota Madya Tingkat II Binjai Nomor 25 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Gangguan, Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dalam Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Binjai, dan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pengelolaan & Pengusahaan Burung Walet.

44

Bambang Sunggono, Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.194-195.


(28)

b. bahan hukum sekunder, terdiri dari buku-buku teks dari para ahli hukum, jurnal-jurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah, hasil-hasil penelitian, majalah, surat kabar, situs internet dan lain-lain.

c. bahan hukum tertier, terdiri dari kamus-kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia,

ensiklopedi, dan lain-lain.

Keseluruhan data sekunder yang diperoleh ditujukan untuk mendapatkan norma-norma hukum, konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di daerah Pemerintahan Kota Binjai, baik pada DPRD Kota Binjai maupun pada Pemerintah Kota Binjai. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena Kota Binjai pada saat ini sedang bergiat melaksanakan pembangunan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat daerahnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Seluruh data sekunder yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan berdasarkan studi dokumen sebagai teknik pengumpulan data terhadap bahan pustaka yang ada, arsip pada Sekretariat DPRD dan Pemerintah Kota Binjai. Pengumpulan data didasarkan pada literatur dan peraturan perundang-undangan yang relevan guna memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah dan bahan-bahan yang bersifat


(29)

yuridis normatif sebagai perbandingan dan pedoman menguraikan permasalahan yang dibahas.

5. Analisis Data

Data utama yang dikumpulkan melalui studi dokumen, dan didukung oleh data primer, dianalisis dengan metode analisis kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Penggunaan metode analisis kualitatif didasarkan pada berbagai pertimbangan, yakni:

pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori

dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan, kedua, data yang dianalisis

beraneka ragam serta memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan yang

lain, dan ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat

menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), yang menuntut

tersedianya informasi yang mendalam (indepth information).45

Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, dan kemudian dianalisis secara deskriptif, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan permasalahan yang terjadi, sekaligus diharapkan akan dapat memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

45

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal.29.


(30)

BAB II

KEBIJAKAN SISTEM PERIZINAN DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

A. Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan suatu keputusan dalam upaya memecahkan suatu permasalahan yang melibatkan banyak pihak. Sumberdaya yang diperlukan pun tidak sedikit. Sehingga diperlukan suatu pertimbangan yang serius dalam menentukan serta menetapkan suatu kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup tergolong pada kebijakan bagi kepentingan umum. Dengan demikian kepentingaan seluruh lapisan masyarakat akan ditentukan oleh Kebijakan tersebut.

Menurut Heinz dan Kennerth Prewitt,5) kebijakan adalah suatu keputusan tetap

yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan mereka yang memenuhi keputusan tersebut. Kebijakan sebagai suatu hasil keputusan dimaksud untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Penyusunan kebijakan pada umumnya dilakukan melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan berbagai aspek, kepentingan dan kewenangan. Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai suatu hasil keputusan bersama yang dikaitkan secara khusus

dengan pembuatannya.6)

Kebijakan (Policy) adalah suatu proses yang terdiri dari serangkaian keputusan

yang sifatnya berkaitan dengan hal-hal yang lebih luas dan banyak aspek, sehingga

5)

Heinz Eulau and Kennerth Prewit, dalam Ch. O. Jones, Pengantar Kebijakan Publik, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1991), hal. 57.

6)

Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, (Jakarta : 1997), hal 10.


(31)

sumber kebijakan berasal dari banyak pihak dengan berbagai kepentingan dan kewenangan.

Kewenangan yang menyangkut masalah perizinan didasarkan pada pertimbangan bahwa di dalam negara yang sedang berkembang seperti Indonesia sistem perizinan terjadi sebagai akibat dari kegiatan pembangunan.

Sebagai penjabaran dari kebijakan tersebut Pemerintah menuangkannya dalam instrumen izin yang digunakan oleh penguasa pada sejumlah besar bidang kebijaksanaan. Ini terutama berlaku bagi hukum lingkungan, hukum pengaturan ruang dan hukum perairan. Peraturan tersebut merupakan perlindungan terhadap lingkungan terhadap kegiatan manusia yang membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Perlindungan terhadap lingkungan ini semakin penting karena seringnya terjadi pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup sehingga selanjutnya dapat merusak ekosistem. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang berhubungan dengan penerbitan izin yang bertujuan untuk melindungi, memulihkan dan kembali menata tata hubungan secara berimbang dan serasi antara semua sub sistem dalam keseluruhan ekosistem, dan juga mengatur hak, kewajiban dan wewenang baik kepada warga negara maupun pemerintah.

Di dalam berbagai sektor kebijaksanaan pemerintah dapat berdiri secara berdampingan berbagai sistem izin dengan motif sejenis. Ini berhubungan dengan perkembangan, terutama pada tahun-tahun terakhir, bahwa di dalam bidang kebijaksanaan penguasa semakin banyak terjadi pengkhususan dari tujuan-tujuan


(32)

kebijaksanaan itu. Dengan demikian timbul berbagai bidang bagian kebijaksanaan penguasa dengan sistem-sistem izin yang juga berdiri bedampingan di dalamnya.F

Satu contoh tentang ini ialah hukum lingkungan. Di bidang kebijaksanaan ini terdapat berbagai undang-undang yang masing-masing menyoroti aspek lain dari pengurusan lingkungan. Dalam hukum lingkungan kita melihat misalnya sistem-sistem

izin dalam “Wet Chemische Afvalsoffen” dan “Afvalstoffenwet” dengan maksud

menyingkirkan secara tepat kategori; kategori limbah tertentu, dalam undang-undang mengenai pengotoran udara untuk membatasi atau mencegah pengotoran udara dalam

undang-undang gangguan bunyi.46

Dengan demikian berarti, melalui instrumen izin dapat dijabarkan kebijakan Pemerintah terhadap pengelolaan lingkungan, sehingga instrumen ini juga berfungsi sebagai sarana preventif untuk menghindari sebelum terjadi peristiwa yang menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan hidup.

B. Sistem Perizinan

Pada dasarnya antara penguasa dan masyarakat terjadi suatu hubungan timbal balik, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada suatu sisi masyarakat mempengaruhi penguasa dalam menjalankan tugasnya, sementara pada sisi lain penguasa memberi pengaruh tertentu pada masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat penguasa melaksanakan aneka ragam, dimana tugas ini kadang kala dibedakan dalam

tugas-tugas mengatur dan tugas-tugas-tugas-tugas mengurus (Ordenende en verzorgende).

46


(33)

Tugas-tugas mengatur penguasa, terutama yang menyangkut peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh para warga, contohnya mengenai hal ini adalah keterlibatan penguasa dalam perkembangan tata ruang. Dalam rangka tugas-tugas mengatur, penguasa memerintah dan melarang, dan ini melahirkan sistem-sistem perizinan.

Izan adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, dimana dalam keadaan tertentu dapat menyimpang dari

ketentuan-ketentuan larangan perundangan.47 Izin adalah salah satu instrumen yang

paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga.

Izin merupakan keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dalam

hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup wajib disertai dengan persyaratan-persyaratan dan pertimbangan lingkungan. Pada lazimnya izin mengenai kegiatan dampak penting terhadap lingkungan dikenal dengan istilah izin lingkungan (environmental license).48

Menurut Mr. N. Speit yang disunting oleh Philipus M Hadjon bahwa :

Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang

47

Spelt dalam Sri Sulistyawati, Beberapa Masalah Ketentuan Dalam Bidang Perizinan dan Kaitannya Terhadap Pengelolaan Lingkungan Pada Perusahaan Makanan Ternak PT Charoen PokpHand dan PT Mabar Food di Kota Medan, Tesis, (Medan : Sekolah Pascasarjana USU, 1995), hal. 14.

48


(34)

sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi

kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.49

Dengan demikian berarti, bahwa izin merupakan sesuatu keputusan yang diberikan oleh Pemerintah untuk memperkenankan seseorang yang memohon untuk dapat melakukan suatu tindakan tertentu sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika dikaitkan dengan lingkungan hidup, Menurut Siti Sundari Rangkuti, pengelolaan lingkungan hidup hanya dapat berhasil menunjang pembangunan yang berkelanjutan apabila adminstrasi pemerintah berfungsi secara efektif dan terpadu. Salah satu saran yuridis administratif untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran

lingkungan adalah sistem perizin.50 Izin tertulis diberikan dalam bentuk penetapan

(beschikking) penguasa, pemberian izin yang keliru atau tidak cermat serta tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan kepentingan lingkungan akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologis yang sulit dipulihkan. Perizinan merupakan instrumen kebijaksanaan lingkungan yang paling penting, karena melalui izin ini telah ditetapkan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si penerima izin, dan disesuaikan dengan sektor-sektor yang terkait.

Oleh karena itu di dalam Pasal 6 dari Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan, bahwa :

1. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta

mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

49

Mr. N. M. Spelt & Prof. Mr. J. B. J. M. ten Barge, Pengantar Hukum Perizinan, Disunting oleh Dr. Philipus M.Hadjon, SH, Utrecht Desember 1991, hal 3.

50

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Jakarta : Airlangga University Press, 1996, hal. 126


(35)

2. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Selanjutnya Pasal 18 dari Undang-undang Nomor 23 tahun 1997, menetapkan bahwa :

1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting

terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

2. Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan

kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.

Sebagaimana penjabaran dari ketentuan di atas, terdapat pula dalam beberapa peraturan, antara lain di dalam Pasal 21 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian yang menetapkan :

“Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan akibat kegiatan industri yang dilaksanakannya”.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa persyaratan-persyaratan kualitas lingkungan wajib dituangkan dalam izin Usaha Industri yang dikeluarkan oleh instansi

yang berwenang.51

Terdapatnya persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan dalam hukum positif dalam proses pemberian izin yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang,

51

Syamsul Arifin, Perkembangan Hukum Lingkungan Dewasa Ini, (Medan : USU Press, 1995), hal. 101


(36)

merupakan alasan penulis untuk mengkaji dan menganalisanya sesuai dengan kondisi setiap pemerintah daerah yng pada saat sekarang ini lagi giat-giatnya melakukan pembangunan dalam berbagai sektor kehidupan.

Di dalam bidang Hukum Administrasi, mengenai perizinan ini dapat dibedakan izin dalam arti sempit, dan bentuk-bentuk hukum lain yang sejenis dengan izin ialah misalnya kewajiban melaporkan, penarikan pajak, pengujian, perbolehan, perkenan, dan pemberian kuasa.

Izin dalam arti sempit adalah pengikatan aktivitas-aktivitas pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya.

Contoh tentang hal ini ialah izin bangunan, melalu izin ini, larangan membangun bagi pemohon ditiadakan, sejauh menyangkut bangunan yang diuraikan dengan jelas dalam permohonan. Sehingga dengan adanya izin yang diberikan oleh Pemerintah secara hukum telah menimbulkan akibat hukum bagi si pemohon izin, berupa hak dan kewajiban.

Pada prinsipnya dalam pengertian izin (dalam arti sempit) ialah suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang


(37)

disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus.52

Melalui sistem perizinan yang ditetapkan oleh Pemerintah, pembuat undang-undang dapat mengejar berbagai tujuan, antara lain :

1. Keinginan mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin

bangunan).

2. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan)

3. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang; izin membongkar pada

monumen-monumen tertentu.

4. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghunian di daerah padat

penduduk);

5. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan

Drank-en Horecawet”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian berarti, bahwa izin digunakan oleh penguasa sebagai

instrumen untuk mempengaruhi (hubungan dengan) para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai tujuan kongkrit. Tujuan ini tidak senantiasa dapat segera ditemukan kembali dalam ketentuan-ketentuan sistem izin bersangkutan. Namun

kadangkala ia dapat disimpulkan dari konsiderans undang-undang atau peraturan yang mengatur izin tersebut, atau dapat pula dari isi atau sejarah lahirnya undang-undang itu.

52

Ibid, hal 5.


(38)

Pada umumnya sistem perizinan terdiri atas larangan, persetujuan (dispensasi) yang merupakan dasar perkecualian (izin) dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin. Larangan dan wewenang suatu organ pemerintah untuk menyimpang dari larangan dengan memberi izin harus ditetapkan dalam suatu peraturan undang-undang. Norma larangan diuraikan secara abstrak menunjukkan tingkah laku mana yang pada umumnya tidak diperbolehkan. Pelanggaran norma ini biasanya dikaitkan dengan sanksi-sanksi hukum administrasi atau sanksi-sanksi hukum pidana.

Kemudian jika dikaitkan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan sistem perizinan mempunyai beberapa tujuan, yaitu :

1. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu

(misalnya izin bangunan) mencegah bahaya bagi lingkungan (izin lingkungan).

2. Untuk melindungi objek-objek tertentu hendak membagi benda-benda yang relatif

sediikt, (misalnya : izin penghunian di daerah padat penduduk).

3. Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas dimana pengurus

harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Jadi izin digunakan oleh penguasa sebagai instrumen untuk mempengaruhi hubungan para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai suatu tujuan yang konkrit. Instrumen izin ini digunakan oleh penguasa pada sejumlah tujuan yang konkret. Instrumen izin ini digunakan oleh penguasa pada sejumlah kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu, terutama berlaku bagi hukum lingkungan, hukum tata ruang, dan


(39)

juga hukum perairan, hukum administrasi sosial ekonomi, budaya dan kesehatan,

pemberian izin merupakan hal yang sangat penting.53

C. Otonomi Daerah

Secara etimologis kata otonomi berasal dari bahasa Latin “Autos” yang berarti

sendiri dan “Nomos” yang berarti aturan. Menurut Amarah Muslimin dalam Syahrizal

(2002), otonomi termasuk salah satu dari azas-azas umum pemerintahan negara, dimana pemerintahan suatu negara dalam pelaksanaan kepentingan umum untuk mencapai tujuan.

Otonomi Daerah dimulai pada tanggal 01 Januari 2001 melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan diubah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan landasan konstitusional otonomi daerah, undang-undang ini telah memberikan perubahan-perubahan yang mendasar bagi perkembangan Ketatanegaraan Republik Indonesia, khususnya bagi pemerintah propinsi dan kabupaten/kotamadya. Hal ini disebabkan, bahwa otonomi daerah telah meletakkan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dalam produk hukum daerah. Dalam melaksanakan semangat tersebut menuntut adanya transparan dari segala kegiatan yang akan dilakukan baik berupa peraturan maupun prosedur dari semua kegiatan yang ditetapkan sesuai dengan potensi dan sektor-sektor yang terkait.

53

M. Abduh, Profil Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) dikaitkan dengan Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), (Medan : USU, 1998), hal. 12.


(40)

Otonomi daerah adalah kewenangan otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1, h). Dengan demikian, otonomi daerah pada prinsipnya adalah pemberian otonomi kepada rakyat suatu daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan kata lain, otonomi berarti bahwa kekuasaan dan proses pembuatan keputusan didekatkan kepada rakyat, yaitu pihak yang akan dikenai keputusan sebagai objek kekuasaan sekaligus yang diminta membiayai kekuasaan serta keputusan-keputusannya. Rakyat adalah objek sekaligus sponsor tunggal bagi beroperasinya kekuasaan politik.

Otonomi daerah berarti telah terjadi pergeseran paradigma sistem pemerintahan yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Hal ini akan membawa implikasi dan komitmen yang luas terhadap penyelenggaraan sistem pemerintahan, baik Pemerintahan Pusat maupun Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini telah memberikan semangat reformasi dan demokratisasi yang kuat.

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip otonomi daerah ini memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah yang secara proporsional diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip


(41)

demokratisasi, Pengawasan serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Kewenangan otonomi daerah yang luas adalah keleluasaan daerah yang diberikan Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang kecuali mengenai luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan melalui dari perencanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pada dasarnya merupakan penerapan konsep teori areal

division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun betapapun keleluasaan itu diberikan, tidak dapat

diartikan adanya kebebasan penuh secara absolut dari suatu daerah (absolute

onafhankelijkesheid) untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya menurut kehendak tanpa mempertimbangkan kepentingan daerah lain dan kepentingan nasional dalam ikatan negara kesatuan. Pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah diletakkan dalam kerangka Kesatuan Negara Republik Indonesia, maka segala implementasi dan konsekuensinya harus senantiasa tunduk pada prinsip Negara Kesatuan. (E. Koswara, 2000). Hal ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang

menyebutkan “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia


(42)

Dalam penyelenggaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang

tetap menjadi wewenang pemerintah pusat.54 Menurut Pasal 10 ayat (3) Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya, urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:

a. Politik luar negeri, yakni urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk

warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya.

b. Pertahanan, adalah misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata,

menyatakan damai dan Pengawasan, menyatakan negara atau sebagian negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara, dan sebagainya.

c. Keamanan, adalah misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara,

menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara, dan sebagainya.

d. Yustisi, adalah misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan Lembaga Pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang,

54

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 15.


(43)

peraturan pengganti undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya.

e. Moneter dan fiskal nasional, adalah misalnya mencetak uang dan menentukan nilai

mata uang, menetapkan kebijakan moneter/fiskal, mengendalikan peredaran uang, dan lain sebagainya.

f. Agama, adalah misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara

nasional, memberi hak pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.

Selain keenam urusan pemerintahan yang telah diuraikan di atas, sisanya menjadi wewenang pemerintah daerah. Daerah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan apa saja selain 6 (enam) bidang yang telah dikemukakan di atas, asal saja daerah mampu menyelenggarakannya, dan punya potensi untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan pembatasan urusan pemerintahan pusat

tersebut, maka urusan yang dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi tidak terbatas.55

Hal ini berarti, pemerintah daerah menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya, urusan pemerintahan di bidang apapun di luar urusan yang merupakan urusan pemerintah pusat harus terlebih dahulu diusulkan oleh pemerintah daerah dan diverifikasi oleh pemerintah pusat. Urusan yang diusulkan oleh pemerintah daerah baru

55

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 17.


(44)

dapat dilaksanakan setelah mendapat pengakuan dari pemerintah pusat atas verifikasi yang dilakukannya tersebut.56

Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah ada yang

bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau

bidang tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Pada setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang

menjadi wewenang pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada pemerintah provinsi, dan ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota.57

Mengingat begitu luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan begitu banyak urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah, Pasal 11 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 membagi semua urusan tersebut atas dua kelompok, yaitu urusan wajib dan urusan pilihan.

Urusan pemerintahan wajib secara nasional adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan warga negara, antara lain:

a. perlindungan hak konstitusional;

b. perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketenteraman dan

ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian internasional.58

56

Ibid, hal. 20. 57

Ibid, hal. 17. 58


(45)

Hal yang berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti pendidikan dasar, kesehatan, perumahan, kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar.

Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan provinsi merupakan ukuran skala provinsi yang meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan, dan alokasi sumber daya manusia potensial;

g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

i. fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, termasuk lintas

kabupaten/kota;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan, termasuk lintas kabupaten/kota;

l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh


(46)

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota yang meliputi :

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan;

g. penanggulangan masalah sosial;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan;

l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan


(47)

Urusan pemerintahan pilihan adalah urusan yang terkait erat dengan potensi

unggulan dan kekhasan daerah.59 Dengan demikian, urusan pemerintahan pilihan

meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, seperti pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata.

Paling tidak ada 4 (empat) alasan mengapa perlunya pemerintahan di daerah, yaitu :

1. Alasan historis mengenai eksistensi pemerintahan daerah pada masa pemerintahan

kerajaan serta yang pernah dipraktekkan di masa penjajahan kolonial. Juga sistem kemasyarakatan yang memang ada di negeri ini, seperti nagari, kampong dan sebagainya.

2. Alasan situasi dan kondisi wilayah Indonesia yang merupakan gugusan kepulauan,

terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang memerlukan pembinaan. Oleh karena itu adanya pemerintahan di daerah dipandang sebagai langkah yang efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

3. Alasan keterbatasan pemerintahan, pemerintah tidak dapat menangani semua urusan

pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat yang mendiami ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke sehingga pelaksanaannya diperlukan Pengawasangkat pemerintahan di daerah.

59


(48)

4. Alasan politis dan psikologis, dalam kerangka negara kesatuan dan menjaga kekompakan/keutuhan masyarakat di daerah atau wilayah, masyarakat perlu memilih pemerintahannya sendiri. Hal ini sekaligus dapat memberi kesempatan kepada daerah untuk berpengawasan sera dalam pemerintahan, sebagai perwujudan semangat dan jiwa demokrasi.

Otonomi daerah pada hakekatnya ditujukan berdasarkan kepada atas 4 (empat) yaitu :

1. Aspek politik, yaitu untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi

masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik dan kebijakan pemerintahan dalam kerangka pembangunan dan demokrasi.

2. Aspek manajemen pemerintahan, untuk memberdayakan penyelenggaraan

pemerintahan memberikan serta memberikan pelayanan kebutuhan masyarakat.

3. Aspek kemasyarakatan, meningkatkan partisipasi dan kemandirian (empowerment).

4. Aspek ekonomi pembangunan, agar pelaksanaan program pembangunan dapat

dibarengi dengan tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota pada hakikatnya merupakan residu dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Propinsi. Sedangkan rincian dan residu yang dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas hukum yang terdapat dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia.


(49)

Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pusat disebutkan secara spesifik dan limitatif dalam undang-undang tersebut.

Selain itu, otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pusat (seperti pada negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah. Di samping itu, otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai


(50)

penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumberdaya manusia.

Berkaca dari banyak negara, usaha-usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat oleh banyak negara dilakukan dengan menggunakan otonomi sebagai sarana. Terdapat lima macam otonomi yang diterapkan oleh banyak negara di dunia, yaitu : otonomi organik atau rumah tangga organik, otonomi formal, otonomi materiil, otonomi riel, serta ekonomi nyata yang bertanggung jawab dan dinamis.

Desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat (Dati I, Dati II dan Desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah) seperti pada masa orde baru, melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat adat (desa atau nama lain) sebagai daerah otonom asli. Jenis dan jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya, hanya yang bersifat wajib saja yang sama sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Perbedaan masing-masing daerah otonom kabupaten/kota tidak saja terletak pada jenis kewenangan pilihan yang ditanganinya, karena bila belum mampu menanganinya maka jenis kewenangan itu untuk sementara dapat diurus oleh provinsi.

Perbedaan setiap daerah otonom propinsi terletak pada status masing-masing propinsi (daerah khusus/istimewa atau biasa), dan apakah terdapat kabupaten/kota dalam


(51)

wilayah propinsi itu yang belum mampu menangani semua jenis kewenangan wajib tersebut. Di Indonesia dikenal tiga propinsi yang berstatus khusus, yaitu DKI Jakarta (khusus karena ibukota negara), Daerah Istimewa Aceh (dalam hal sejarah, adat istiadat dan agama) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam hal sejarah dan kepemimpinan daerah).

Mengenai masyarakat adat otonomi mengembalikan kewenangannya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Desa dan kesatuan masyarakat adat lainnya itu diakui sebagai memiliki otonomi asli, yaitu tugas dan kewenangan yang lahir berdasarkan adat istiadat, sejarah dan tradisi masyarakat tersebut.

Desentralisasi haruslah dipahami sebagai lawan dari sentralisasi. Dengan demikian desentralisasi dapat dijelaskan sebagai bentuk penyerahan kewenangan pusat kepada daerah baik aspek legislatif, yudikatif maupun administratif. Undang-undang otonomi daerah mengartikan desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah kepada daerah otonom dalam rangka negara kesatuan. Dengan demikian adanya desentralisasi memudahkan bagi penyelenggara pemerintahan di daerah dalam mengambil keputusan, sehingga profesionalisme menjadi sesuatu yang penting.

D. Tuntutan Otonomi Daerah Dalam Pembangunan

Pemerintah pusat semasa Orde Baru berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 melakukan upaya-upaya besar guna mewujudkan suatu sistem hubungan yang mantap dan menyeluruh antara pusat dan daerah. Sistem ini dirancang khusus guna memberikan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan demi menjawab permasalahan, yaitu :

1. Kedudukan dan fungsi DPRD sebagai lembaga legislasi diwujudkan dalam

pembuatan peraturan daerah yang merupakan kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sekaligus merupakan salah satu unsur untuk melaksanakan fungsi kontrol resmi terhadap Pemerintah Daerah agar pelaksanaan tugas pemimpin pemerintahan di daerah berjalan dengan baik dan lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat di daerahnya. Kewenangan DPRD ini merupakan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan kuat serta untuk menampung aspirasi masyarakat secara lebih cepat dan tepat sebagai prasyarat untuk dapat melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dengan baik dalam rangka otonomi daerah. DPRD dalam otonomi daerah berubah menjadi mitra sejajar pemerintah dan sekaligus pihak yang mengawasi pemerintah daerah.

2. Pengawasan DPRD Kota Binjai dalam penerapan sistem perizinan adalah dengan melakukan pembuatan produk peraturan daerah dan pengawasan terhadap penerapan peraturan daerah yang berkaitan dengan sistem perizinan. Pengawasan dari DPRD Kota Binjai sebagai upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dengan semangat kemandirian lokal dalam pembangunan dengan tujuan agar terciptanya


(2)

kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Komisi yang bertanggungjawab terhadap perizinan adalah Komisi C DPRD Kota Binjai.

B. Saran

Sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian maka Penulis dapat memberikan saran-saran, yaitu :

1. Agar DPRD Kota Binjai melakukan pengawasan terhadap penerapan peraturan yang sudah ada dan kegiatan-kegiatan masyarakat kota Binjai yang belum diatur dalam peraturan daerah.

2. Agar DPRD Kota Binjai segera menerbitkan peraturan daerah terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat yang belum di atur dan yang berkaitan dengan retribusi perizinan di kota Binjai serta secara rutin melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat terhadap peraturan daerah yang akan dibuat dan peraturan daerah yang sudah ada.


(3)

DAFTAR BACAAN A. Buku-Buku

Anas Saidi, et.al., Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan Permasalahannya, Jakarta : Pusat Penelitian PMB-LIPI, 2000.

Alvin Tofler, dalam Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Pengawasanan dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1997.

Bambang Sunggono, Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Yakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.

Bapedalda Kota Binjai, Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Binjai 2006, Binjai : 2007.

Collins Mac Andrews dan Ichlasul Amal (ed.), Hubungan Pusat-daerah dalam

Pembangunan, Jakarta : Rajawali Press, 1993.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III Cetakan ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.

DPRD Kota Binjai, Laporan Proses, Kerjasama DPRD Kota Binjai dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia Lokakarya Peningkatan Kapasitas Anggota DPRD Kota Binjai, Jakarta : 22-25 Februari 2007.

Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa, Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta : CV. Trio Rimba Persada, 2003.

Herbeth Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia,Ithaca, New York :Cornell University Press, 1968.

I. Widarta, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2001.

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan tantangan Global, Jakarta : Rineka Cipta, 2002.

Laode Ida, Otonomi Daerah,, Demokrasi Lokal dan Clean Government, Jakarta : PSPK, 2000.


(4)

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan

Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, Medan : Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005.

M. Arif Nasution dkk, Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, Bandung : Mandar Maju, 2005.

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Jakarta : Kanisius, 2002. Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Jakarta: Rajawali,

1986.

M. Solly Lubis, (II), Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai

Pemerintahan Daerah, Bandung : Alumni, 1978.

M. Ryaas Rasyid, (I), Memperkuat Otonomi Daerah Mendorong Demokrasi, Jakarta : Internastional Idea, 2001.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2001.

M. Abduh, Profil Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) dikaitkan dengan

Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Medan :

USU, 1998.

M.Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, Yogyakarta : Ghalia, 2000.

Nazaruddin Syamsuddin, Otonomi Daerah : Mengapa Diperlukan, dalam Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Barge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Utrecht : Desember 1991.

O. Jones, Pengantar Kebijakan Publik, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1991.

P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah dan Pelaksanaannya, Kumpulan Karangan Dr. Ateng Syafrudin SH., Bandung : Tarsito, 2002.

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.


(5)

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Syaukani HR., et.al., Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Syamsul Arifin, Perkembangan Hukum di Indonesia, Medan : USU Press, 1993.

Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 1997.

Tjip Ismail, Kebijakan Pengawasan atas Perda Pajak dan Retribusi Daerah dalam Menunjang Iklim Investasi yang Kondusif, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22 No.5 Tahun 2003.

T. Hani Handoko, Manajemen, Yogyakarta : BPFE, 1991.

B. Makalah

Ronald Dworlin, dalam Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan

Perbandingan Hukum”, makalah pada dialog interaktif tentang Penelitian

Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Medan, tanggal 18 Pebruari 2003.

Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan

Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Kantor Menteri Negara

Lingkungan Hidup, Jakarta, 1997.

C. Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara No.4437.

Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(6)

C. Tesis

Sri Sulistyawati, Beberapa Masalah Ketentuan Dalam Bidang Perizinan dan Kaitannya

Terhadap Pengelolaan Lingkungan Pada Perusahaan Makanan Ternak PT.

Charoen PokpHand dan PT. Mabar Food di Kota Medan, Tesis, Medan :