Kondisi Sosial Budaya Masyarakat.

Sesuai dengan luas wilayah Kecamatan Tambangan tersebut maka jenis penggunaan tanah berupa tanah sawah dan bukan sawah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah Luas Lahan Ha No Desa Lahan Sawah Lahan Bukan Sawah Jumlah 1 Sibangor Tonga 80,0 520 600 2 Sibangor Julu 100,0 200 300 3 Huta Lombang 46,0 754 800 4 Huta Namale 60,0 840 900 5 Huta Baringin 60,0 1140 1200 Jumlah 34,60 3454 3800 Sumber : Kecamatan Tambangan dalam Angka Tahun 2002

4.1.2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat.

Penduduk Kecamatan Tambangan sebagian besar beretnis Mandailing dan beragama Islam. Sedangkan di lima desa lokasi penelitian seluruhnya terdiri dari etnis Mandailing Natal dan beragama Islam. Menurut data statistik tahun 2002 jumlah penduduk Kecamatan Tambangan adalah 28.543 jiwa, sedangkan di lokasi penelitian jumlah penduduknya dapat dilihat pada Tabel. 4 Tabel 4. Banyak Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2002 No Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Sibangor Tonga 303 323 626 2 Sibangor Julu 619 710 1329 3 Huta Lombang 394 482 876 4 Huta Namale 810 882 1692 5 Huta Baringin 439 507 946 Jumlah 2565 2904 5469 Sumber : Kecamatan Tambangan dalam Angka Tahun 2002 Syawaluddin : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peran Serta Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian…, 2007 USU e-Repository © 2008 Keadaan penduduk berdasarkan jumlah anggota keluarga di masing-masing desa penelitian secara umum dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Banyaknya Penduduk, Rumah Tangga dan Rata-Rata Anggota Rumah Tangga Menurut Desa Tahun 2002 No Desa Penduduk Rumah Tangga Rata-Rata Per Rumah Tangga 1 Sibangor Tonga 626 118 5 2 Sibangor Julu 1416 265 5 3 Huta Lombang 876 181 5 4 Huta Namale 1692 329 5 5 Huta Baringin 946 194 5 Jumlah 5469 1087 Sumber : Kecamatan Tambangan dalam Angka Tahun 2002 Kearifan Lokal Masyarakat Mandailing Masyarakat Kecamatan Tambangan dan pada umumnya masyarakat Kabupaten Mandailing Natal memiliki kearifan lokal yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Masyarakat Mandailing Natal mengenal budaya tempat keramat naborgo-borgo, harangan rarangan hutan larangan dan lubuk larangan yang merupakan upaya untuk pengelolaan sumberdaya alam terutama mempertahankan berbagai jenis ikan di sungai. Harahap 2006 mengatatakan, hubungan masyarakat Mandailing dengan alam terdapat dalam banyak ungkapan tradisional. Ungkapan itu merupakan rekaman pergaulan mereka yang sangat erat dengan alam sekitarnya sepajang sejarah keberadan masyarakat Mandailing sejak berapa ribu tahun lalu. Seperti hubungan dengan tanah, masyarakat Mandailing memandang tanah memiliki nilai sakral, karena dianggap sebagai bagian dari tubuh leluhur yang sudah Syawaluddin : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peran Serta Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian…, 2007 USU e-Repository © 2008 menjadi tanah. Walaupun leluhur dan tanda-tanda keberadaannya sudah tiada, namun leluhur tetap ada di dalam kehidupan anak cucunya. Mereka menyatu dengan tanah dan berada di sana sepanjang masa. Seperti salah satu ungkapan, hosa habang tu awang-awang, pematang mulak tu tano yang artinya nyawa terbang ke awang-awang, badan kembali ke tanah Harahap, 2006. Kehalusan budi pekerti dan kegemasan masyarakat Mandailing terhadap alam ditandai dengan bahasa dan julukan yang mereka berikan kepada alam sekitarnya. Mereka memiliki bahasa tertentu yang khusus diucapkan ketika memasuki tombak situmalun hutan belantara. Namun hingga saat ini, kearifan lokal yang masih bertahan adalah pelestarian lubuk larangan. Yaitu larangan untuk mengambil ikan di sungai-sungai tertentu dan hanya boleh diambil pada saat-saat tertentu juga. Kearifan lokal yang mestinya tetap dipertahankan untuk menjaga kelestarian lingkungan terutama hutan, menurut Kepala Desa Sibanggor Julu Yahya Nasution, sedikit demi sedikit kearifan lokal itu mulai punah akibat sebagian besar masyarakatnya menganggap hal tersebut hanyalah mitos-mitos semata yang saat ini sudah tidak perlu diyakini lagi.

4.1.3. Gambaran Umum Responden