Para fuqaha hanya mendukung pemberlakuan pajak yang adil dan selaras dengan semangat Islam. Sistem pajak yang adil paling tidak harus memenuhi tiga
kriteria. Pertama, pajak harus dipungut untuk membiayai hal-hal yang benar dianggap perlu dan untuk kepentingan mewujudkan kesejahteraan; kedua, beban pajak tidak
boleh terlalu memberatkan dibandingkan dengan kemampuan pemikulnya; ketiga, hasil dari pajak harus dibelanjakan dengan sangat hati-hati sesuai dengan tujuan awal
pengumpulan pajak tersebut.
58
3. Karakteristik Pajak dalam Ekonomi Islam
Pajak diperbolehkan dalam Islam dengan apabila memiliki karakteristik sebagai berikut:
59
1. Pajak dipungut setelah zakat ditunaikan. Zakat merupakan rukun Islam yang
ketiga dan memiliki dasar hukum yang sangat kuat karena berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits sehingga wajib untuk ditunaikan terlebih dahulu, baru kemudian baru
menunaikan pajak yang berdasarkan perintah ulil amri pemerintah. 2.
Kewajiban pajak bukan karena adanya harta, melainkan karena adanya kebutuhan mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi.
3. Ada beban-beban selain zakat yang memang dibebankan Allah atas kaum muslim.
Penggunaan dana zakat telah ditentukan untuk delapan asnaf golongan, sehingga untuk kebutuhan lain seperti pembangunan fasilitas umum,
58
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, h. 295.
59
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, hal. 203.
penanggulangan bencana, pertahanan negara, dan lain sebagainya dapat dibebankan kepada kaum muslim melalui pajak.
4. Hanya orang kaya atau mampu yang dibebani kewajiban tambahan. Orang kaya
adalah orang yang telah terpenuhi segala kebutuhan pokoknya dengan baik.
60
Yaitu orang yang memiliki kelebihan harta dari keperluan pokok bagi dirinya, anak istrinya seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat
bekerja yang sangat diperlukan.
61
5. Pemberlakuan pajak adalah situasional, tidak terus menerus dan bisa saja
dihapuskan apabila baitul mal telah terisi kembali.
60
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, hal. 26.
61
M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Pedoman Zakat, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hal. 177.
BAB IV TINJUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN DI INDONESIA
A. Konsep Kepemilikan Tanah Bumi dalam Ekonomi Islam
Persoalan kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep tauhid. Allah SWT sebagai Maha Pencipta adalah sebagai pemilik mutlak segala sesuatu
yang ada di alam semesta seperti yang tertera dalam Q.S. Ibrahim 14 ayat 32.
… ﻦ لﺰ أو ضرﻷاو تاوﺎﻤﺴﻟا ﺧ يﺬﻟا ﻪ ﻟا
ءﺎ ءﺎﻤﺴﻟا
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit.......” Q.S. Ibrahim 14: 32
Seluruh isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dam manusia dapat memanfaatkan yang ada di alam ini untuk memenuhi kelangsungan hidup mereka.
Islam menganggap hak kepemilikan adalah pemberian Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat. Kekuasaan manusia untuk memikul suatu
tanggung jawab berasal dari perannya sebagai khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
ﺔ ﻴ ﺧ ضرﻷا ﻲ ﻋﺎﺟ ﻲ إ ﺔﻜﺋﻼﻤ ﻟ ﻚﺑر لﺎ ذإو
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”Q.S.Al-Baqarah : 30.