Pemungutan Pajak Tanah Bumi dalam Ekonomi Islam

bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lainnya. Tanah-tanah hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu: a. Tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka masuk Islam secara sukarela. b. Tanah yang subur secara alami seperti hutan, serta berupa tanah mati. Tanah yang subur alami menjadi milik negara dan individu bolehmengambil manfaat darinya tetapi tidak dapat menguasainya. Tanah mati juga menjadi milik negara. Akan tetapi apabila ada individu yang menghidupkannya menggarap , maka tanah mati tersebut menjadi miliknya. 3. Tanah yang masuk Wilayah Islam melalui Perjanjian Sulh Tanah ini disebut dengan tanah perjanjian, dimana mereka tetap memeluk agam mereka serta hidup damai dan aman di bawah naungan Negara Islam. Tanah ini tetap menjadi milik mereka. Namun jika di dalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah tersebut menjadi milik masyarakat Muslim, maka tanah ini menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama.

B. Pemungutan Pajak Tanah Bumi dalam Ekonomi Islam

Harta rampasan perang dalam Islam tidak semuanya adalah harta bergerak atau harta yang dapat dipindahkan, tetapi juga harta tidajk bergerak yang meliputi tanah-tanah pertanian di negara yang dikuasai. Diantara tindakan Rasulallah Saw terhadap tanah yang dikuasai - yang dapat dijadikan contoh - adalah perlakuan beliau terhadap tanah Khaibar. Tanah Khaibar adalah sumber kharaj untuk perekonomian umat Islam. Pada saat Khaibar ditaklukkan, tanah tersebut diserahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar bukan untuk dijadikan sebagai milik mereka, tetapi diolah untuk lahan pertanian sesuai dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mereka mendapatkan setengahnya dari hasil tanaman dan buah-buahan. Dan untuk menghitung hasil bumi dan mengambil setengahnya sebagai kharaj, Nabi Saw mengutus Abdullah bin Rawahah. 10 Secara sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut bahasa diambil dari kata “kharaja”, yang artinya mengeluarkan dari tempatnya. Kharaj adalah apa yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk mengeluarkan. Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Ada yang memberi penegertian lain, kharaj adalah apa dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain beranggapan bahwa kahraj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu pajak bumi, jizyah, dan ‘usyr. 11 Dalam Reading in Islamic Fiscal Policy kharaj didefinisikan sebagai berikut: Kheraj was used for levies in return for leasing a land. The Arabs used to call land rent or house rent as kheraj. Umar leased conquered lands to people in return of a fixed levy and it was called kheraj. 12 Pada masa Rasulullah Saw, jumlah kharaj yang dibayar masih sangat terbatas sehingga tidak diperlukan suatu sistem administrasi yang terperinci. Selama 10 Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, terj. Ahmad Syarifuddin Shaleh, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, hal. 79 11 Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, hal. 77-78. 12 Peerzade, Sayed Afzal, Reading in Islamics Fiscal Policy, Delhi: adam Publisher Distributor, 1996, hal. 39. pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Sehingga dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. 13 Dengan semakin luasnya wilayah negara Islam maka dibutuhkan sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian pendapatan yang diperolah dari pajak tanah-tanah tersebut. Di masa Umar bin Khathab, kaum muslimin mendapatkan kemenangan atas Syam, Irak dan Mesir serta memperoleh harta rampasan yang sangat banyak. Para pasukan Islam meminta agar harta rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada dasar umum yang ditetapkan Rasullah Saw atas tanah Khaibar, umar membagikan harta yang berupa barang saja sedangkan tanah tidak dibagikan dan menjadikannya sebagai milik umum umat Islam dan diambil kharaj darinya. 14 Sistem pemungutan kharaj assessment of kheraj ada dua macam yaitu sistem wazifah tetap dan sistem muqasamahmisaha proporsional. Dalam buku Readings in Islamic Fiscal Policy dijelaskan tentang sistem pemungutan kharaj yaitu sebagai berikut: Kheraj, since the days of Hazrat Umar and until Mahdi’s reign during the Abbasaid era, was levied on acreage basis and not on crop. A major development occurred during Al-Mahdi’s reign and the state adopted Al-Mugasama or crop sharing instead of the acreage system. The state under new system shared crops with tenant on the basis of a certain percentage of total harvest. This implied that kharaj 13 Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 65 14 Quth Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, hal. 80 revenue would not be fixed but would vary with variations in total crop. A main reason behind the change was suggested to reduce burden of fixed kheraj on farmers. Abu Ubeid, the founder of new system, suggested new rates which varied according ti difficulties of irrigation. Rates were reduce wherever difficulties existed. Rates also varied according to vicinity to market. This gives a clear indication that vertical equity was catered for Islamic levies. Abu yusuf later supported the new system as being consistent with Islamic shariah. He suggested that fruits should also be subject to kheraj. He also suggested that the ruller could vary kheraj according to the ability of tenant. 15 Cara pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap wazifah, yaitu beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan yang dibayarkan wajib setalah lampaui satu tahun. Sistem ini berlaku mulai dari khalifah Umar bin Khattab sampai pada masa daulah Abbasiyah dibawah pemerintahan Al-Mahdi. Metode perhitungan wazifah didasarkan pada pengukuran tanah, tanpa memperhitungkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman. Metode ini mulai berubah pada masa daulah Bani Abbasiyah. Abu Yusuf berpandangan bahwa sistem misaha atau wazifah ini tidak lagi efisien untuk diterapkan. Dia merujuk pada saat Umar bin Khattab menerapkan metode ini hanya sebagian besar tanah yang dapat diolah sedangkan sebagian lainnya menganggur. Area yang diolah diklasifikasikan dalam satu kategori, dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak diolah. Atas dasar pertimbangan optimalisasi pemasukan bagi negara dan keadilan sosio ekonomi, maka Abu Yusuf menyampaikan gagasannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid untuk mengubah sistem wazifah dengan muqasamah. 15 Peerzade, Sayed Afzal, Reading in Islamics Fiscal Policy, hal. 40. Dan yang kedua adalah kharaj perbandingan muqasamah yang ditetapkan berdasarkan porsi hasil seperti ½, 13, atau 15 dari total hasil panen yang dipungut pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang yang menemukan sistem baru ini dan kemudian Abu Yusuf mendukung serta menerapkan sistem baru ini. Pada masa daulah Abbasiyah, pajak atas tanah mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi proporsional, dengan pertimbangan persentase yang ditetapkan oleh negara tidak terlalu tinggi. Abu Yusuf merekomendasikan adaptasi dari sistem muqasamah dengan mengenakan persentase dari produksi panen. Menurutnya metode pajak proporsional akan meningkatkan pendapatan dari pajak tanah dan pada pihak lain akan mendorong para pengolah tanah untuk meningkatkan produksi mereka. Argumen Abu Yusuf menunjukkan bahwa sistem pajak proporsional akan meningkatkan produksi agrikultur dan mencegah penurunan ekonomi. Karena sistem ini menilai berdasarkan hasil panen yang sudah ada. Penetapan kharaj pajak tanah harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, sebab ada tiga hal berbeda yang sangat berpengaruh, yaitu: 1. Jenis tanah: karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk. 2. Jenis tanaman: ada yang harganya tinggi dan juga ada yang rendah. 3. Pengelolaan tanah: biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak tanah tidak sebesar pajak tanah yang disiram dengan air hujan biaya rendah. K haraj yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum sesuai dengan ukuran dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber pemasukan umum. Jadi kharaj telah memenuhi syarat-syarat yang urgen dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj adalah pajak yang memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga dalam pengambilannya.

C. Analisa Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia