❏ Namsyah Hot Hasibuan
Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005
KEPERLUAN PENETAPAN LOKUS SUSUN TAUT FONEM DALAM TELAAH FONOLOGI BAHASA INDONESIA
Namsyah Hot Hasibuan
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Kesulitan akan jelas muncul manakala lingkup telaah susun taut sintagmatic relations fonem terlalu luas. Gambaran semacam di atas dapat
dianalogikan tidak ubahnya seperti upaya mendapatkan sebuah guli di antara semak seluas satu hektar. Kemungkinan untuk mendapatkan hasil
upaya pencariannya amat kecil dan mungkin dalam waktu yang singkat hanya berupa upaya yang berujung pada sia-sia. Sebaliknya, dengan mudah
dapat dipahami bahwa sendainya semak tempat guli berada hanya dengan luas yang terbatas atau kecil, kemungkinan pemerolehan hasil pencarian
akan lebih mudah didapat. Begitu jugalah sebenarnya dengan hasil telaah susun taut fonem yang diharapkan. Hasil maksimalnya lebih memungkinkan
diperoleh manakala ranah operasional telaah susun taut fonem itu mendapat batasan. Hal demikian sesungguhnya dapat dilakukan dengan pembatas
ranah operasionalnya pada unit suku kata.
1. Pendahuluan
Kata final tampak belum merupakan sebutan yang tepat dalam telaah susun taut fonem bahasa
Indonesia. Tidaklah terlalu sulit untuk memahami alasan mengatakan demikian karena bahasa yang
hidup, termasuk bahasa Indonesia, selalu akrab dengan perubahan. Oleh karena perubahan yang
tetap ada pada setiap bahasa yang hidup maka teori kebahasaan pun dapat saja berubah atau
berkembang sejalan dengan intensitas penelitian kebahasaan yang dilakukan terhadapnya. Hal
menarik yang dapat diamati dari fenomena ini tidak saja terdapat dan terbatas pada problema
yang dimunculkannya, tetapi juga pada aneka cara pendekatan serta hasil baru yang diperoleh dari
penerapan cara pendekatan itu sendiri. Dua hal terakhir, yang baru disebutkan, terlihat amat jelas
dalam rentang literatur telaah bahasa Indonesia; dalam hubungan ini, utamanya perihal yang
menyangkut susun taut fonemnya. Problema susun taut fonem dalam bahasa Indonesia yang terlihat
muncul sebagai akibat penerapan cara pendekatan yang dilakukan terhadapnya, antara lain, adalah
terjadinya penurunan kualitas keabsahan teori tentang distribusi fonem yang sebelumnya telah
ada, utamanya tentang distribusi fonem konsonan pada akhir suku ataupun kata. Dari hasil telaah
yang pernah dilakukan oleh para ahli bahasa selama ini lihat, misalnya: Kridalaksana 1966;
Samsuri 1967; McCune 1985 tercatat bahwa sejumlah konsonan tunggal yang menurut mereka
tidak dapat berdistribusi di akhir suku, untuk saat ini, dapat dipertanyakan keabsahannya. Konsonan
c j ñ yang dalam hasil telaah mereka tidak dapat berdistribusi di akhir suku, misalnya, justru
dapat menunjukkan hal yang sebaliknya. Sebagai akibat dari cara pendekatan yang berbeda terhadap
bahasa yang sama, seperti dimaksudkan di atas, ketiga konsonan tersebut, saat ini masing-masing
dapat ditemukan sebagai akhir suku dalam bahasa Indonesia lihat bagian uraian.
Fenomena lain dari hal yang disebutkan di atas, dalam hubungannya dengan telaah susun taut
fonem bahasa Indonesia, adalah belum terlihatnya pembedaan yang tegas antara kata dan suku kata
sebagai ranah operasional susun taut fonem. Antara kata dan suku kata memang terdapat
persamaan di samping perbedaan yang amat menentukan dalam pemerolehan hasil telaah susun
taut fonem. Persamaannya adalah bahwa di samping keduanya dapat menjadi ranah
operasional susun taut fonem lihat Fudge 1990, batas kata dapat pula diidentikkan dengan batas
suku kata. Namun, perbedaan yang paling menentukan di antara kedua ranah itu adalah
bahwa batas suku tidak dapat diidentikkan dengan batas kata karena batas suku belum tentu dapat
menjadi batas kata. Yang terjadi, pada umumnya, dalam telaah susun taut fonem bahasa Indonesia
kita selama ini adalah pengidentikan batas kata dengan batas suku. Secara khusus, di antara hal
yang dapat dicatat dari telaah semacam ini adalah belum terlihatnya pembedaan distribusi fonem
konsonan batas akhir suku dan yang terdapat pada batas akhir kata. Belum adanya perbedaan tersebut
terlihat pada pengidentikan distribusi fonem batas akhir suku dengan batas akhir kata. Sebagai akibat
dari pengidentikan tersebut ialah, fonem konsonan yang dapat diterima sebagai batas akhir suku
❏ Namsyah Hot Hasibuan
Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005
adalah fonem yang dapat berdistribusi pada batas akhir kata. Pandangan seperti ini, misalnya,
terlihat pada penafian nasal palatal ñ sebagai fonem konsonan penutup suku karena tidak
terdapatnya fonem tersebut berdistribusi sebagai batas akhir kata. Hal ini perlu dicatat karena
konsonan ñ yang selama ini belum dianggap dapat menempati posisi akhir suku lihat Van Wijk
1889; Spat 1900; Van Ophuijsen 1910; Motik 1937; Zain 1943; Emeis 1946; Pane 1950;
Alisjahbana 1950; Pemis 1951; Prijana 1954; Emeis 1955; Lie 1956; Kridalaksana 1966;
Samsuri 1967; Halim 1969; Keraf 1970; Alieva et.al. 1972; Stokhof 1980; Lapoliwa 1981;
Aminoedin et.al. 1984; McCune 1985; Moeliono et.al. 1988; dsb. , - melalui telaah ini, tidak terlalu
sulit untuk mencarikan data pendukung untuk menyatakan sebaliknya. Penyukuan ketiga kata
gincu, janji, lancar menjadi giñ.cu jañ.ji lañ.car misalnya, akan memperjelas hal itu.
Kehadirannya sebagai akhir suku kata dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan memiliki
frekuensi tinggi. Dalam hubungan ini pendapat Pulgram 1970 yang menyatakan batas kata tidak
dapat diidentikkan dengan awal atau akhir suku perlu diperhitungkan. Batas kata jelas dengan
sendirinya dapat merupakan awal atau akhir suku, tetapi batas suku belum tentu sama dengan batas
kata. Dari kasus terakhir di atas terlihat pentingnya solusi melalui pengubahan persepsi yang
mengidentikkan batas kata dengan batas suku kata.
2. Ancangan Teoretis