❏ Namsyah Hot Hasibuan
Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005
adalah fonem yang dapat berdistribusi pada batas akhir kata. Pandangan seperti ini, misalnya,
terlihat pada penafian nasal palatal ñ sebagai fonem konsonan penutup suku karena tidak
terdapatnya fonem tersebut berdistribusi sebagai batas akhir kata. Hal ini perlu dicatat karena
konsonan ñ yang selama ini belum dianggap dapat menempati posisi akhir suku lihat Van Wijk
1889; Spat 1900; Van Ophuijsen 1910; Motik 1937; Zain 1943; Emeis 1946; Pane 1950;
Alisjahbana 1950; Pemis 1951; Prijana 1954; Emeis 1955; Lie 1956; Kridalaksana 1966;
Samsuri 1967; Halim 1969; Keraf 1970; Alieva et.al. 1972; Stokhof 1980; Lapoliwa 1981;
Aminoedin et.al. 1984; McCune 1985; Moeliono et.al. 1988; dsb. , - melalui telaah ini, tidak terlalu
sulit untuk mencarikan data pendukung untuk menyatakan sebaliknya. Penyukuan ketiga kata
gincu, janji, lancar menjadi giñ.cu jañ.ji lañ.car misalnya, akan memperjelas hal itu.
Kehadirannya sebagai akhir suku kata dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan memiliki
frekuensi tinggi. Dalam hubungan ini pendapat Pulgram 1970 yang menyatakan batas kata tidak
dapat diidentikkan dengan awal atau akhir suku perlu diperhitungkan. Batas kata jelas dengan
sendirinya dapat merupakan awal atau akhir suku, tetapi batas suku belum tentu sama dengan batas
kata. Dari kasus terakhir di atas terlihat pentingnya solusi melalui pengubahan persepsi yang
mengidentikkan batas kata dengan batas suku kata.
2. Ancangan Teoretis
2.1 Susun Taut Fonem Pada dasarnya, dalam telaah fonologi bahasa,
terdapat dua liputan deskripsi. Pertama adalah deskripsi tentang fonem bahasa, dan yang kedua
mengenai distribusi fonemnya. Pandangan seperti ini terlihat, misalnya, pada Sigurd 1974: 450 –
yang selanjutnya memberikan penjelasan bahwa perihal terakhir di atas secara khusus termasuk
urusan susun taut fonem. Tafsiran lanjut konsep susun taut fonem Sigurd di atas dapat diperoleh,
antara lain, pada Lyons 1981, Hawkins 1984, Lass 1984, Fudge 1990, serta Clark dan Yallop
1990. Lyons menjelaskan bahwa sistem fonem dapat
berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Perbedaan itu tidak hanya terbatas pada
jumlah fonem, melainkan juga pada segi sistem susun tautnya syntagmatic relations yang
menentukan bangun kombinasi fonologis yang berterima dalam suatu bahasa. Dengan sepintas
terlihat bahwa susun taut fonem identik dengan deret fonem sequences of phonemes. Kesan
semacam ini dinafikan oleh Lyons 198: 96 dengan alasan bahwa tidak semua fonem yang ada
pada suatu bahasa dapat mendahului ataupun mengikuti semua fonem yang lain. Setiap bahasa
memiliki kendala penderetan sequential constraints sendiri yang tidak membolehkan
anggota perangkat fonem yang satu berdekatan dengan anggota perangkat fonem yang lain.
Menurut Wales 1990: 339 kendala penderetan seperti itu terdapat pada tatanan la langue, yang
termasuk bagian kompetensi penutur bahasa. Kendala itu menolak segala bentuk yang tidak
sesuai dengan kaidah susun taut fonem bahasa yang bersangkutan Kubozono 1990: 5. Kaidah
bahasa yang menentukan keberterimaan bangun fonologisnya menurut Lyons harus dapat
menunjukkan fonem-fonem mana yang dapat dikombinasikan dengan benar.
Tafsiran singkat yang senada dengan Lyons dikemukakan oleh Hawkins 1984: 61, yang
menyatakan bahwa susun taut fonem pada umumnya dikenal sebagai the study of sequences
of sounds in combination. Jika konsep distribusi dapat diartikan kesemua posisi yang diduduki oleh
unsur bahasa Kridalaksana 1993: 45, maka terlihat adanya kesamaan konsep susun taut fonem
antara Sigurd, Lyons, dan Hawkins, sebab pada dasarya sequences of sounds in combination itu
adalah identik dengan distribusi fonem bandingkan dengan Fromkin et.al. 1983: 129; Ball
1989: 21; Clark dan Yallop 1990: 105. Lass 1984: 23, yang melihat aspek susun taut fonem
lain, mempunyai kesamaan pandangan dengan Lyons dari segi distribusi fonem. Menurutnya,
dalam dua bahasa yang berbeda atau lebih, walaupun memiliki fonem yang sama, masing-
masing bahasa dapat berbeda dalam hal kaidah pendistribusian fonemnya.
Tentang susun taut fonem sebagai ihwal distribusi fonem, secara khusus Fudge memberikan
penjelasan lanjut dengan mengambil contoh dari bahasa Inggris. Dalam penjelasannya 1990: 56-
57 disebutkan bahwa bahasa Inggris hanya membolehkan maksimal tiga buah konsonan K
yang dapat berfungsi sebagai awal sukunya. Tidak setiap kombinasi tiga fonem konsonan dapat
diterima sebagai awal suku. Fonem konsonan yang dapat menjadi komponennya sudah tertentu dan
dengan jumlah yang lebih terbatas. Sebagai
contoh, Fudge mengemukakan kombinasi fonem konsonan spl spr str dan skl , yang mungkin
muncul sebagai awal suku. Dalam setiap contoh, posisi pertama pada urutan komponen fonemis
awal suku berupa gugus konsonan GK 3K-nya senantiasa ditempati oleh fonem s saja. Posisi
kedua ditempati oleh fonem hambat tansuara p t
❏ Namsyah Hot Hasibuan
Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005
k , dan posisi ketiga oleh konsonan sonoran nonnasal l r w y . Dari contoh awal suku
berupa GK-3K di atas, fonem tertentu yang dapat menempati posisi pertama pada urutan
komponen fonemisnya hanya satu buah. Jumlah ini merupakan bagian yang sangat terbatas dari
seluruh fonem pada khazanah fonem bahasa Inggris. Begitu juga dengan jumlah konsonan yang
dapat menjadi komponen kedua dan ketiganya, masing-masing hanya terdiri dari tiga dan empat
buah fonem konsonan. Upaya menempatkan fonem yang benar di antara s dan l pada awal
suku berupa GK-3K di atas, misalnya, memerlukan pengetahuan sendiri. Pengetahuan
tentang kombinasi fonem, menurut Fudge, sangat membantu. Mengerti tentang kombinasi fonem
akan membatasi pilihan pada salah satu dari konsonan p atau k . Studi tentang
kemungkinan kombinasi fonem dalam suatu bahasa oleh Fudge disebut studi susun taut fonem
fonotaktik. Oleh Clark dan Yallop 1990: 105 susun taut fonem tidak merupakan hal yang
dipertentangkan dengan distribusi fonem. Bagi mereka keidentikan konsep terdapat antara susun
taut fonem dengan penjelasan distribusi distributional statement, yaitu penjelasan betapa
fonem berdistribusi dalam suku, dan begitu juga suku di dalam kata. Suku dan kata, keduanya
merupakan satuan linguistik yang pada dasarnya merupakan kombinasi integral sejumlah fonem dan
suku. Unit suku terwujud melalui kombinasi integral segmen fonemnya dan satuan kata melalui
segmen sukunya. Di antara kedua satuan itu, yang mendapat pengutamaan dari Fudge 1990: 51-52
sebagai ranah telaah susun taut fonem adalah suku kata. Pengutamaan semacam ini sebelumnya telah
terlihat juga pada O’Connor 1973: 229, yang menegaskan bahwa kaidah susun taut fonem suatu
bahasa dapat disarikan melalui penjelasan tentang struktur sukunya. Kenyataan itu diperkuat oleh
Fudge yang menyatakan bahwa suku merupakan ranah utama terwujudnya susun taut fonem.
2.2 Ranah Operasional Susun Taut Fonem Pada bagian pendahuluan telah diisyaratkan