Batasan dan Uraian Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem Dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia

❏ Namsyah Hot Hasibuan Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 hal yang terkait dengan ciri suku. Pulgram bertolak dari pernyataan bahwa suku adalah satuan linguistik bertipe figura 1970: 65. Sebagai satuan linguistik, suku merupakan klas yang dapat ditempatkan di antara klas lainnya, seperti fonem, morfem, ataupun leksem. Masing-masing adalah satuan emik yang terdapat pada tuturan. Pensegmenan tuturan atas masing-masing satuan merupakan kerja atas dasar emik emic operation. Dengan kata lain, setiap pensegmenan tuturan atas satu jenis satuan tertentu dapat diartikan sebagai pemisahan bagian-bagian emiknya yang diidentifikasi berdasarkan klas yang menjadi tempat masing-masing bagian dapat dikelompokkan. Klas itu sendiri, termasuk suku, tidak memiliki batas sebab batasnya hanya ditentukan oleh definisinya. Lewat definisi kelas baru dapat ditentukan mana saja yang dapat dipandang sebagai anggota dari kelas yang dimaksudkan. Hanya yang dapat menjadi anggota dari klas itulah yang secara jelas memiliki batas. Selanjutnya dikatakan bahwa batas bangun satuan yang lebih besar dari sebuah fonem dibatasi oleh fonem atau gugus fonem yang terdapat pada awal dan akhir setiap satuan dalam setiap bahasa. Pembatasan setiap satuan terjadi sedemikian rupa sesuai dengan kaidah distribusi fonem yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Adapun variasi fonetis yang terdapat pada batas masing- masing satuan emik, menurut Pulgram, dapat dibicarakan kemudian manakala uraian satuan emiknya telah lebih dahulu dilakukan. Atas dasar suku sebagai satuan linguistik, menurut Pulgram, batas-batasnya harus diterangkan lebih dahulu berdasarkan segi emiknya. Artinya harus dicarikan mana fonem yang menjadi pendukung perwujudan suku serta fonem mana pula yang dapat membatasinya. Telaah terhadap hal yang menyangkut segi etik, yang terdapat pada batas- batas suku, baru dapat dilakukan kemudian setelah urusan yang menyangkut emiknya selesai. Ciri lain yang terdapat pada suku, menurut Pulgram, adalah tipenya yang tergolong figura. Pengertian figura dalam hubungan ini oleh Pulgram diberikan sambil lalu dengan mempertentangkan satuan fonem dan suku dengan satuan morfem dan leksem. Dua satuan pertama fonem dan suku menurut Pulgram termasuk tipe figura, sedangkan dua satuan terakhir morfem dan leksem tidak termasuk figura. Ditambahkannya bahwa figura itu sendiri tidak bermakna dan tidak pula menyatakan makna the figura does not by and of itself convey meaning. Namun, figura berguna dalam upaya melengkapi makna tanda sign. Walau tergolong ke dalam tipe figura, antara fonem dan suku tetap terdapat perbedaan yang jelas. Pulgram melihat perbedaan itu dari ciri yang dimiliki oleh masing-masing satuan. Pada fonem sendiri terdapat ciri tersendiri yang memungkinkan terdapatnya pengertian ataupun batasan tentang fonem. Ciri itu, yang sekaligus dapat dijadikan batasannya, adalah bahwa di samping sebagai figura fonem merupakan satuan fungsional terkecil bahasa. Dengan kedua ciri yang dimilikinya itu dapat dikatakan bahwa fonem dengan sendirinya telah beroleh batasan. Ciri fonem seperti yang dimaksudkan di atas, yang sekaligus dapat dijadikan sebagai batasannya, tidak terlihat pada suku. Walau tergolong figura, suku tidak dapat diberi batasan atas dasar jumlah komponen satuannya. Hal ini disebabkan oleh jumlah komponen fungsional suku tidak dapat diprakirakan. Suku tidak dapat dikatakan merupakan satuan minimal atau maksimal, dan tidak pula sebagai satuan dengan jumlah komponen yang pasti. Jelasnya, suku hanya dapat diterangkan berdasarkan bentuk dan batas- batasnya sendiri. Sifat suku yang tidak dapat disebut sebagai satuan minimum dengan sendirinya memperjelas bahwa suku menduduki posisi di atas fonem dalam hierarki satuan linguistik, dengan pengertian bahwa suku pada dasarnya terwujud berkat adanya kombinasi fonem tertentu menurut kaidah susun taut fonem yang beriaku. Atas dasar itu suku adakalanya disebut sebagai satuan fonem lihat juga OConnor 1973: 259; Hawkins 1984: 62. Di sisi lain, suku tidak pula dapat disebut sebagai satuan maksimal sebab dalam hierarki kepemilikan komponen suku masih merupakan bawahan satuan lain yang oleh Pulgram disebut seksi section. Dari kenyataan ini suku beroleh ciri lain, yaitu sebagai subsatuan dari seksi. Pada batasan Pulgram ditambahkan bahwa setiap suku memiliki sebuah vokal sebagai inti. Terdapatnya sebuah fonem vokal pada setiap suku telah menjadi konsep bersama, dan menurut Pulgram hal ini bebas kontroversi. Dalam upaya menguraikan tuturan, pengertian satu vokal dalam setiap suku dapat menjadi petunjuk atas jumlah suku yang terdapat pada tuturan. Jumlah suku dalam tuturan dapat diketahui dengan jalan menghitung vokal inti yang terdapat dalam tuturan tersebut. Namun pada bagian lain, Pulgram juga mengatakan bahwa cara seperti itu bukan satu-satunya cara menetapkan jumlah suku.

3. Batasan dan Uraian

Pada hasil penyukuan kata bahasa Indonesia ternyata tidak semua suku diawali atau diakhiri oleh sebuah konsonan. Tidak terdapatnya sebuah ❏ Namsyah Hot Hasibuan Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 konsonan yang mengawali suku menandakan bahwa pada suku itu tidak terdapat konsonan awal. Sebaliknya, tidak terdapatnya sebuah konsonan yang mengakhiri suku dapat dikatakan bahwa suku tersebut tidak memiliki konsonan akhir. Konsonan awal di sini dapat diartikan sebagai konsonan tunggal yang dapat mengawali suku, dan konsonan akhir untuk konsonan tunggal yang dapat menjadi akhir suku Roach 1983. Jenis bangun suku yang memiliki konsonan awal dan konsonan akhir di atas pada kenyataannya meliputi bangun berciri tanpa gugus konsonan dan yang bergugus konsonan. Dalam hubungan ini yang diperhitungkan, sebagai batasan uraian, adalah fonem konsonan tunggal yang mengawali dan mengakhiri suku kata. 01 a. bawa ba.wa b. cegah c∂..gah c. dayus da.yus d. fatal fa.tal e. halaman ha.la.man f. gajah ga.jah g. kampus kam.pus h. minim mi.nim i. syarat ∫a.rat j. khazanah xa.za.nah k. zakar za.kar l. menyuruh m∂.ñu.ruh m. ngeri η∂..ri n. konteks kon.teks o. korps korps p. sawah sa.wah Data pada 01 menunjukkan sejumlah konsonan yang dapat menjadi konsonan awal suku. Dari suku pertama kata yang terdapat pada 01a-p saja diperoleh konsonan awal b c d f h g k m ∫ x z η s sebanyak tiga belas buah. Dari suku keduanya diperoleh konsonan awal w n y t l j p ñ r l sebanyak sembilan buah. Konsonan yang dapat menjadi awal suku pada 01 berjumlah 22 buah 13 + 9 = 22. Jumlah ini sesuai juga dengan jumlah fonem konsonan tunggal yang dapat mengawali kata bahasa Indonesia lihat Lapoliwa, 1981: 7. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 22 buah konsonan bahasa Indonesia b c d f g h j k x l m n ñ η p r s ∫ t w y z dapat menjadi konsonan awal suku yang jumlahnya sama dengan jumlah konsonan yang dapat mengawali kata. Pada 01 terdapat sejumlah suku yang berakhir dengan konsonan tunggal. Untuk memperoleh konsonan akhir, data pada 01 masih dapat dijadikan sebagai sumber. Dari 01, tujuh buah konsonan m n h s l t r dapat menjadi konsonan akhir suku. Pada 02 terlihat lagi adanya 10 buah konsonan yang dapat menjadi akhir suku selain dari yang terdapat pada 01. Terdapatnya konsonan lain pada akhir suku, seperti pada 02, menunjukkan bahwa konsonan akhir suku tidak hanya sebatas jumlah yang didapat dari 01 saja. 02 aktif ak.tif ratap ra.tap pulau pu.law tinju tin.ju tajdid taj.dit magma max.ma tanggal taη|.gal pantai pan.tay tasydid ta ∫.dit Kesepuluh konsonan akhir tersebut adalah k f p w ñ j x η y ∫ . Jika ditambahkan dengan yang terdapat pada contoh 01, jumlah seluruhnya menjadi 17 7 + 10 = 17. Terlihat bahwa di antara konsonan yang dapat menjadi akhir suku tersebut tidak terdapat b c d g z . Hal ini disebabkan oleh tidak ditemukannya data pendukung yang menunjukkan bahwa kelima konsonan tersebut dapat berdistribusi pada akhir suku kata. Di antara 22 buah konsonan yang terdapat dalam bahasa Indonesia, empat buah di antaranya, yaitu f x ∫ z , oleh sebagian linguis dianggap sebagai unsur yang masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui kata pungut. Anggapan demikian didasarkan pada kenyataan bahwa kata bahasa Indonesia yang ada dengan setiap fonem dari keempat konsonan tersebut tidak ditemukan dalam bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia bandingkan dengan Johns 1977: 12; Lapoliwa 1981: 3; dan juga McCune 1985: 17. Setiap kata dengan salah satu dari keempat konsonan tersebut adalah kata pungut yang tidak ditemukan dalam bahasa Melayu ataupun bahasa daerah lain yang terdapat di wilayah Republik Indonesia. Kenyataan ini sekaligus dapat juga menunjukkan bahwa kata pungut yang dimaksudkan di atas adalah kata pungut yang berasal dari bahasa asing. Dalam upaya mengenali etimologi kata, kehadiran keempat konsonan di atas adakalanya dapat menjadi pertanda bahwa kata dengan setiap konsonan tersebut berasal dari bahasa asing. Namun, ketentuan semacam ini tidak berarti bahwa setiap kata pungut mengharuskan kehadiran setiap konsonan tersebut pada kata bahasa Indonesia. Terdapatnya kata, seperti misal, nuklir, jadwal, justru, astronomi, nikmat, akhlak, kampus, minim; menunjukkan bahwa penentuan kata ❏ Namsyah Hot Hasibuan Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 pungut asing dalam bahasa Indonesia tidak selamanya dapat dilakukan hanya dengan melihat kehadiran konsonan dari keempat konsonan tersebut. Di antara kata pungut yang ada dalam bahasa Indonesia terdapat juga kata yang komponen fonemisnya, seperti pada contoh kata yang disebutkan terakhir di atas, seluruhnya terdiri dari fonem yang dapat ditemukan dalam sistem fonem bahasa Melayu. Dalam hal kata bahasa Indonesia tidak menunjukkan komponen fonemis f x ∫ z terlihat bahwa penentuan kata pungut asing hanya dapat dilakukan melalui kamus etimologi kata.

4. Awal dan Akhir Suku