Dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat ataupun Tergugat, dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk
transaksi.
112
Dengan demikian pembekuan harta bersama dibawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas
tindakan yang tidak bertanggung jawab dari Tergugat. Sehubungan dengan itu titik berat penilaian yang harus dipertimbangkan Pengadilan atas permintaan sita marital
adalah pengamanan atau perlindungan atas keberadaan harta bersama. Penilaian ini jangan terlampau dititikberatkan pada faktor dugaan atau persangkaan akan adanya
upaya Tergugat untuk menggelapkan barang tersebut, tetapi lebih diarahkan pada masalah pengamanan dan perlindungan harta bersama.
2. Pengaturan Sita Marital
Pengaturan sita marital dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain yang terdapat dalam :
113
a. Pasal 190 KUHPerdata, yang berbunyi :
“Sementara perkara berjalan dengan ijin Hakim, istri boleh mengadakan tindakan- tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak dihabiskan atau
diboroskan” Ketentuan tersebut dulunya berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing Cina.
Tetapi sejak UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan
112
Sudikno Mertokusuma, Op.Cit., hal. 164.
113
R. Sardjono, Op.Cit., hal. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
segala ketentuan KUHPerdata mengenai Perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun demikian ketentuan Pasal 190 KUHPerdata tersebut, dapat dijadikan
bahan orientasi sebagai kedudukan dalam hukum adat tertulis. b.
Pasal 24 ayat 2 huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975, yang berbunyi : “Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-
barang yang menjadi hak suami atau barang- barang yang menjadi hak istri”.
Akan tetapi ketentuan ini lebih tegas dari Pasal 190 KUHPerdata, karena didalamnya terdapat perkataan menjamin terpeliharanya harta bersama. Namun
terlepas dari itu, hampir tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sama-sama bermaksud mengamankan keberadaan dan keutuhan harta bersama agar tidak
jatuh kepada pihak ketiga. c.
Pasal 78 huruf c UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Bunyi dalam pasal ini persis sama dengan Pasal 24 ayat 2 huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975 atau dapat juga dikatakan bahwa isi dan ketentuannya ditransfer dari
Pasal PP Nomor 9 Tahun 1975 yang dimaksud. Berdasarkan Pasal 78 huruf c, lingkungan Peradilan Agama pun telah memiliki
aturan positip lembaga sita marital. Bahkan sita marital tersebut dalam lingkungan Peradilan Agama tidak hanya diatur dalam Pasal 78 huruf c UU
Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006
Universitas Sumatera Utara
tentang Peradilan Agama tetapi juga dalam Pasal 136 ayat 2 huruf b Kompilasi Hukum Islam KHI. Yang sama bunyinya dengan Pasal 24 ayat 2 huruf c PP
Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 78 huruf c UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Dengan demikian, landasan penerapan sita marital dalam lingkungan Peradilan Agama telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
114
d. Pasal 823-830 RV
Pasal ini merupakan salah satu diantara beberapa pasal lainnya yang mengatur tentang sita marital. Ketentuannya mulai dari Pasal 823-830 RV
115
. Maka dapat
114
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama , Op.Cit.,
hal. 65.
115
Pasal 823-823j RV : a. Pasal 823 : Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan sehubungan dengan Pasal 190 KUHPerdata
adalah penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilaian barang-barang bergerak bersama atau kepunyaan istri dan penyitaan jaminan atas barang-barang tetap bersama, sesuai ketentuan dari sepuluh
pasal berikut. b. Pasal 823a : Izin untuk mengambil satu atau lebih tindakan ini dapat diminta kepada Raad Van
Justitie
pada saat atau sesudah mengajukan surat permohonan seperti yang dimaksud dalam Pasal 820. Ketua Raad Van Justitie memberi izin itu, jika ia menganggap perlu, dapat memanggil si suami.
c. Pasal 823b : Terhadap penyitaan atas barang-barang bergerak bersama atau atas barang-barang bergerak dari istri berlaku kalimat kedua alinea kesatu dan ketiga Pasal 444, Pasal 447, Pasal 448,
Pasal 448a, Pasal 448b, Pasal 451, Pasal 452, alinea kesatu Pasal 454, Pasal 456, Pasal 457, Pasal 458 dan Pasal 726 ayat 1.
d. Pasal 823c : Dalam sita tidak termasuk barang-barang bergerak yang oleh pihak terkena sita ditunjuk sebagai tidak termasuk dalam barang-barang bernama atau bukan kepunyaan si istri,
semuanya, kecuali yang menjadi hak masing-masing, dapat diserahkan pada keputusan dari hakim berdasarkan Pasal 823d maupun berdasarkan penerapan alinea terakhir dari Pasal 823e.
e. Pasal 823d : Seseorang yang menerangkan pemilik dari barang-barang yang disita atau sebagian daripadanya, dapat mengajukan keberatan terhadap penyitaan itu dengan cara seperti yang dimaksud
dalam Pasal 470 ayat 1. f. Pasal 823e : Keputusan hakim yang memuat penolakan terhadap tuntutan akan pemisahan
memerintahkan juga pengangkatan penyitaan. Pada pengabulan terhadap pemisahaan, sita berakhir dengan pembagian sungguh-sungguh dari barang-barang bersama atau dengan pemberian pada istri
barang-barangnya. g. Pasal 823f : Terhadap sita atau barang-barang tetap bersama berlaku ketentuan dalam alinea kesatu
Pasal 763b, Pasal 726 berlaku juga pada sita ini. h. Pasal 823g : Pencatatan terhadap sita barang-barang tetap dicoret di daftar-daftar umum.
Universitas Sumatera Utara
dilihat bahwa pengaturan sita marital dalam RV sangat luas. Sebaliknya dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 hanya terdiri dalam satu 1
satu pasal. Sedangkan dalam HIR dan Rbg sama sekali tidak diatur mengenai sita marital.
3. Lingkup Penerapan Sita Marital