ada belum mencukupi dengan jumlah anak yang ada di Panti Asuhan tersebut, karena WC yang dimiliki pihak Panti Asuhan hanya 8 buah, lingkungan yang kurang bersih dan kebiasaan anak
yang bermain-main di tanah tanpa menggunakan alas kaki selain itu berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada anak Panti Asuhan menunjukan diagnosa klinis bahwa anak-anak di Panti
Asuhan tersebut menunjukan gejala kecacingan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kecacingan yang ditularkan memalui tanah pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008.
1.2. Rumusan Masalah
Belum diketahuinya faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun
2008.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kecacingan yang ditularkan memalui tanah pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun
2008.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui prevalens rate penyakit kecacingan pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk mengetahui proporsi jenis cacing pada penderita penyakit kecacingan di panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam.
c. Untuk mengetahui hubungan sosiodemografi dengan penyakit kecacingan pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam.
d. Untuk mengetahui hubngan personal higiene dengan penyakit kecacingan pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul washliyah Lubuk Pakam.
e. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan penyakit kecacingan pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi pihak Panti Asuhan untuk menjaga kebersihan lingkungan dalam rangka mencegah dan menanggulangi penyakit kecacingan pada anak-anak di Panti
Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam. 1.4.2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melaksanakan penelitian lebih lanjut
mengenai penyakit kecacingan pada murid Sekolah Dasar. 1.4.3 Merupakan bahan masukan bagi pihak Puskesmas dalam program pemberantasan penyakit
kecacingan pada murid Sekolah Dasar
Universitas Sumatera Utara
sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi.
2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan
cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1mm x 0,06mm, yang jantan berukuran 0,75mm x 0,04 mm, mempunyai ekor
melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam beberapa hari berubah menjadi
larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru. Siklus tidak langsung ini terjadi bila lingkungan sekitarnya optimum yaitu iklim tropik dan lembab.
3. Autoinfeksi Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar
anus. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongyloidisis menahun
pada penderita.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Daur Hidup Strongyloides stercoralis
2.5.3. Patologi dan Gejala Klinis
Bila larva filariform menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada
mukosa usus muda. Infeksi ringan terjadi pada umunya tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti di tusuk-tusuk di
Universitas Sumatera Utara
daerah epigastrium tengah. Mungkin disertai mual dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan
diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan pada paru, hati, dan kandung empedu.
17
2.6. Epidemiologi Penyakit Kecacingan
Di Indonesia, infeksi cacingan merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai. Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang beriklim
tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang merupakan lingkungan yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Hasil survei Cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60 - 80, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40 -
60. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2 - 96,3 .
Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi cacingan meningkat pada anak- anak dan remaja. Kurva intensitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Puncak intensitas
terjadi antara umur 5-10 tahun untuk Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, sedangkan cacing tambang pada umur 10 tahun.
19
Infeksi cacingan juga dipengaruhi oleh perilaku individu. Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari tangan yang kotor ke dalam
mulut. Pada infeksi cacing tambang, prevalensi yang tinggi di dapatkan pada anak dengan umur lebih tua, hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas anak.
19
14
Universitas Sumatera Utara
Penyebaran infeksi cacing Ascharis dan Trichuris mempunyai pola yang hampir sama. Aschariasis adalah penyakit infeksi cacingan yang distribusinya di seluruh dunia dan menginfeksi
lebih dari 1.000 juta orang. Sebagian besar infeksi terjadi di negara yang sedang berkembang, di Asia dan Amerika latin. Di Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Indonesia tahun
2002-2004 menunjukkan bahwa prevalensi Aschariasis dan Trichuris berkisar antara 57 - 90.
19
Di daerah endemik dengan tingkat kejadian Ascaris dan Trichiuris tinggi terjadi penularan secara terus menerus. Transmisi ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang menguntungkan parasit,
seperti keadaan iklim dan tanah yang sesuai. Kedua spesien ini memerlukan tanah liat untuk berkembang. Telur Ascaris yang telah dibuahi jatuh di tanah yang sesuai, menjadi matang dalam
3 minggu pada suhu optimum 25-30 C. Telur Ascaris akan matang dalam waktu 3 minggu pada
suhu optimum kira-kira 30 C. Selain keadaan tanah dan iklim yang sesuai, keadaan endemic juga
dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam tubuh hospes. Beberapa jenis antelmentik mempunyai efek memperlambat masa
perkembangan telur bahkan menimbulkan perubahan bentuk telur sehingga memperkecil reinfeksi.
Banyak telur yang dihasilkan satu ekor cacing adalah sebagai berikut : Ascaris kira-kira 200.000 sehari, Trichuris kira-kira 5.000 sehari dan cacing tambang 9.000-10.000 sehari. Jumlah
telur yang dapat berkembang semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin berat akibat defekasi di sembarang tempat khususnya di tanah.
16
Cacing tambang banyak dijumpai pada pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting
16
Universitas Sumatera Utara
dalam penyebaran infeksi. Tanah yang gembur berpasir dan humus serta lembab sangat baik untuk perkembangan larva dengan suhu optimum 28-32
C.
14
2.6.1 Penyakit Kecacingan Menurut Orang
a. Umur Secara epidemiologi puncak terjadinya infestasi cacing adalah pada usia 5-14 tahun.
Penderita penyakit kecacingan sebagian besar menyerang anak Sekolah Dasar dengan prevalensi 60-80.
Menurut Rukmono 1980 golongan orang yang rawan terhadap infeksi kecacingan adalah balita, murid Sekolah Dasar, wanita hamil, wanita menyusui, buruh, petani. Sedangkan
Brown 1983 di Jakarta menyebutkan prevalensi tertinggi ditemukan pada balita dan anak golongan umur 5-9 tahun. Margono 1991 juga mengemukakan bahwa prevalensi infeksi cacing
tambang meningkat seiring dengan pertambahan usia. Di Indonesia angka prevalens rate Ascariasis yang tertinggi, terutama pada anak dengan frekuensinya antara 60 – 90.
16
b. Jenis Kelamin Menurut laporan pembangunan Bank Dunia, di negara berkembang diperkirakan infeksi
kecacingan menyumbangkan angka kesakitan sebesar 12 untuk anak perempuan dan 11 untuk anak laki-laki. Dapat disimpulkan bahwa risiko untuk terkena penyakit kecacingan pada anak
perempuan dan anak laki-laki tidak jauh berbeda. c. Pekerjaan
8
Prevalensi dan intensitas kecacingan masih tinggi, terutama pada balita, murid Sekolah Dasar serta orang-orang yang dalam pekerjaannya sering berhubungan dengan tanah seperti
Universitas Sumatera Utara
petani, pekerja perkebunan dan pertambangan kelompok tersebut biasanya terkena kecacingan mencapai 80-90.
Prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan jenis pekerjaan adalah infeksi cacing tambang pada buruh waduk irigasi ditemukan dengan prevalensi 81-87,3, pada buruh kebun
karet 93,1, dan buruh tambang batubara 79,8. d. Personal Higiene
Menurut Azwar 1989 higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit
karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan.
Kebersihan diri atau higiene perorangan yang buruk merupakan cerminan dari kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat dan memiliki pengaruh yang besar terhadap
penyebaran dan penularan penyakit kecacingan. Menurut penelitian Salbiah S.Pd pada siswa SDN Kecamatan Medan Belawan Tahun
2007 medapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan rumah dengan infeksi kecacingan pada siswa sekolah dasar dengan nilai p-value = 0,002 0,05.
2.6.2 Penyakit Kecacingan Menurut Tempat
Tempat berjangkitnya penyakit kecacingan pada umumnya adalah daerah pedesaan khususnya di daerah perkebunan. Dengan bentuk tanahnya adalah tanah liat, tanah gembur pasir ,
humus dengan suhu 25-30 C.
Di Amerika Serikat, infeksi cacing cambuk ditemukan di daerah selatan yang panas dan lembab. Penyebarannya seiring dengan penyebaran Ascaris lumbricoides. Frekuensi yang tinggi
17
Universitas Sumatera Utara
ditemuka n di daerah-daerah dengan hujan lebat, iklim subtropik, dan tanah dengan banyak kontaminasi tinja.
Kebiasaan penduduk dengan buang air besar defakasi ditanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun diberbagai daerah tertentu lebih memudahkan dalam penyebaran infeksi
kecacingan.
16
15
Prevalensi Ascaris yang lebih tinggi dari 70 ditemukan antara lain di beberapa desa di Sumatera 78, Kalimantan 79, Sulawesi 88, Nusa Tenggara Barat 92 dan
Jawa Barat 90. Prevalensi cacing Tambang berkisar 30-50 diberbagai daerah di Indonesia, prevalensi
yang lebih tinggi ditemukan didaerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat 93,1 dan di perkebunan kopi di Jawa Timur 80,69. Tingginya prevalensi juga
dipengaruhi oleh sifat pekerjaan sekelompok pekerjaan.
15
2.6.3 Penyakit Kecacingan Menurut Waktu
Dari hasil pengamatan berbagai penelitian, terutama yang menyangkut Program pemberantasan penyakit kecacingan menunjukkan musim tidak mendukung terjadinya penularan
penyakit kecacingan karena keberadaan telur cacing pada feses tidak dipengaruhi musim, hal ini disebabkan penularan penyakit kecacingan dapat terjadi kapan saja sepanjang musim apabila
didukung higiene perorangan yang kurang dan sanitasi lingkungan yang buruk maka untuk tertular penyakit kecacingan akan lebih mudah terjadi.
17
2.7. Dampak Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths
2.7.1 Dampak Terhadap Status Kesehatan dan Gizi
18
Universitas Sumatera Utara
Penyakit kecacingan sering kali menyebabkan berbagai penyakit di dalam perut dan berbagai gejala penyakit perut seperti kembung dan diare. Infeksi penyakit kecacingan selain
berperan sebagai penyebab kekurangan gizi yang kemudian berakibat terhadap penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi, juga berperan sebagai faktor yang lebih memperburuk keadaan
kekurangan gizi yang sudah ada sehingga memperburuk daya tahan tubuh terhadap berbagai macam infeksi.
Infeksi cacingan jarang sekali menyebabkan kematian langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan
malnutrisi dan gangguan pertumbuhan pada anak. Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam
tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3 dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25 dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan
oleh badan. Infeksi Aschariasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A.
17
Pada infeksi Trichuris berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan, dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30 di
bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml perharicacing.
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml perhari.
Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat.
17
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Dampak Terhadap Intelektual dan Produktifitas
Secara umum berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan, mental dan prestasi anak sekolah. Hasil penelitian Bundy dkk, 1992 menunjukkan bahwa anak-anak Sekolah Dasar di Jamaika
terinfeksi cacing Trichuris trichiura mengalami penurunan kemampuan berfikir. Hasil study di Kenya oleh Stephenson tahun 1993 menunjukkan penurunan kesehatah jasmani, pertumbuha dan
selera makan pada anak sekolah yang terinfeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Di Malaysia ditemukan dampak infeksi penyakit cacing terhadap penurunan kecerdasan di
lingkungan anak sekolah Che Ghani tahun 1994. Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati mendadak, akan tetapi menyebabkan penderita semakin lemah karena kehilangan darah yang
menahuun sehingga menurunkan prestasi kerja.
17
3
2.7.3 Dampak Terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia
Penyakit kecacingan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia, mengingat kecacingan akan menghambat pertumbuhan fisik dan
kecerdasan anak serta produktifitas kerja. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaan dan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingginya prevalensi kacacingan adalah kesadaran higiene perorangan personal hygiene yang kurang.
17
2.8. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Soil Transmitted Helminths
13,21
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan ini dapat dilakukan dengan :
Universitas Sumatera Utara
a. Pencegahan Primer 1. Memutuskan rantai daur hidup dengan cara: berdefekasi di jamban, menjaga kebersihan
perorangan. 2. Penularan Strongyloides dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan tanah, tinja atau
genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. 3. Pencegahan infeksi cacing tambang adalah dengan cara mencegah kontak manusia dengan
tanah yang mengandung bentuk infektif. Salah satu caranya adalah dengan memakai alas kaki jika keluar rumah.
4. Bagi individu atau keluarga yang sering mengkonsumsi sayuran mentahlalapan diharapkan agar mencuci sayur dengan benar.
5. Bagi petani yang menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk tanaman dihimbau untuk mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan pemupukan dan menggunakan alat pelindung
diri seperti sepatu bot dan sarung tangan. 6. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara
menghindari penyakit kecacingan.
b. Pencegahan Sekunder 1. Memberi pengobatan masal secara berkala 6 bulan sekali dengan obat antelmintik yang efektif,
terutama pada golongan rawan. 2. Apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, maka orang tersebut harus segera diberi obat
cacing.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Konsep
3.2. Definisi Operasional a. Penyakit Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing oleh kelas nematoda
yang dikategorikan menjadi 2 kelompok : 1. Positif, bila ditemukan satu jenis atau lebih telur cacing dalam feses.
2. Negatif, bila tidak ditemukan telur cacing dalam feses. b. Jenis Cacing adalah, cacing yang termasuk ke dalam kelas Nematoda yang menginfeksi
responden dan ditemukan berdasarkan hasil diagnosa, dikategorikan menjadi 5 kelompok : 1. Ascaris lumbricoides
2. Trichuris trichiura 3. Hookworms
4. Strongyloides stercoralis 5. Campuran A+T, A+H
1. Jenis Cacing Usus
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura
Hookworms Strongyloides stercoralis
2 . Sosiodemografi
Umur Jenis Kelamin
Suku
3. Personal Higiene 4. Status Gizi
Penyakit Kecacingan
Universitas Sumatera Utara