Evaluasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Dengan Kompensasi Lahan Di Provinsi Jawa Barat.

EVALUASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
DENGAN KOMPENSASI LAHAN
DI PROVINSI JAWA BARAT

S. AGUS CAHYADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Kebijakan
Penggunaan Kawasan Hutan dengan Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

S. Agus Cahyadi
NIM E151110101

RINGKASAN
S. AGUS CAHYADI. Evaluasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan dengan
Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh IIN ICHWANDI dan
DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) dengan kompensasi lahan
untuk provinsi dengan luas kawasan hutan di bawah 30% dari luas daerah aliran
sungai, pulau, dan/atau provinsi, merupakan salah satu upaya pemenuhan areal
kawasan hutan bagi kepentingan pembangunan nasional untuk penggunaan di
luar sektor kehutanan. Pedoman pelaksanaan kebijakan PKH ini pertama kali
diterbitkan pada tahun 1978 melalui Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan
Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 yang dalam perkembangan sampai sekarang yaitu
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 telah mengalami
banyak pergantian dan perubahan. Dalam kebijakan PKH ini dasar yang dipakai

para pihak (instansi pemerintah, badan usaha milik negara atau swasta dan
yayasan yang telah berbadan hukum) untuk menggunakan sebagian kawasan
hutan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan adalah izin pinjam pakai
kawasan hutan (IPPKH), tetapi dalam kenyataannya untuk mendapatkan IPPKH
ini para pihak membutuhkan waktu yang lama.
Evaluasi kebijakan PKH ini dimaksudkan untuk menganalisis isi kebijakan
PKH dan mengungkap efektifitas pelaksanaan kebijakan PKH dengan kompensasi
lahan. Penelitian ini dilakukan di lembaga dan badan usaha atau pihak yang terkait
dengan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat yang
dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan September 2014. Metode yang
digunakan adalah dengan pendekatan deskriptif kualitatif dengan jenis studi kasus.
Analisis yang digunakan adalah analisis perubahan substansi pengaturan pada
pergantian peraturan perundang-undangan kebijakan PKH, analisis proses
penerbitan IPPKH dengan kompensasi lahan, analisis kesenjangan yang terdiri
dari disharmoni, inkonsistensi dan ambivalensi kebijakan, dan evaluasi proses
retrospektif yang dipusatkan pada masalah-masalah serta kendala-kendala yang
terjadi selama implementasi berlangsung dengan kriteria evaluatif efektivitas dan
efisiensi.
Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil studi dokumentasi dan
wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan terhadap pihak pembuat

kebijakan dan yang terlibat lansung dengan terbitnya IPPKH yang terdiri dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perum
Perhutani; dan pihak yang menggunakan kawasan hutan yang terdiri dari
pemegang IPPKH dan pemegang persetujuan prinsip PKH yang belum
mendapatkan IPPKH.
Hasil kajian menunjukkan bahwa pergantian dan perubahan peraturan
perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan PKH
yang terjadi sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 2014, dilakukan untuk
perbaikan pokok-pokok pengaturan dan substansi yang terkandung didalamnya
sehingga menjadi semakin jelas, obyektif dan tersusun dengan baik. Ditinjau dari
proses penerbitan IPPKH di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
pengaturan tata waktu penyelesaian, tugas dan wewenang pihak-pihak yang
terlibat lansung didalamnya serta syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi untuk

memperoleh IPPKH dengan kompensasi lahan baik substansi dan pengaturannya
sudah terperinci dengan jelas. Ditinjau dari kesenjangan isi yang terkandung
didalamnya tidak terjadi disharmoni kebijakan tetapi terdapat inkonsistensi dan
ambivalensi kebijakan.
Pelaksanaan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa
Barat belum efektif dan efisien, ditinjau dari keberhasilan memperoleh IPPKH,

keberhasilan penambahan luas dan pengelolaan kawasan hutan yang berasal dari
lahan kompensasi, waktu yang diperlukan pemegang persetujuan prinsip PKH
untuk mendapatkan IPPKH serta waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk
pengelolaan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi. Kendala terbesar
yang dihadapi oleh pihak yang akan menggunakan kawasan hutan untuk
memperoleh IPPKH dalam kebijakan ini adalah sulitnya menyediakan lahan
kompensasi.
Kata kunci: lahan kompensasi, efektifitas, efisiensi, izin pinjam pakai kawasan
hutan, kebijakan penggunaan kawasan hutan

SUMMARY
S. AGUS CAHYADI. The Evaluation of the Use of Forest Area with Land
Compensation Policy in West Java Province. Supervised by IIN ICHWANDI and
DODIK RIDHO NURROCHMAT.
The policy on the Use of Forest Area (UFA) with land compensation for
province which the forest area is less than 30% of the watercatchment area, island,
and/or province itself, is one of government efforts to provide forest area for
national development, particularly for the non forestry purposes. The guideline for
UFA was first issued in 1978 as the Decree of Director General of Foresty number
64/kpt/DJ/I/1978. In its development, the regulation undergone shifting and

revisions until the latest regulation regarding UFA, P.16/Menhut-II/2014. This
regulation has been a legal reference for stakeholders (government offices, stateowned enterprises, privates, foundation) to use forest area partially for non
forestry purposes, named as the Leasehold Forest Area License (LFAL). In fact,
it takes more time for stakeholders to obtain the concessionaires
The evaluation of the UFA with Land Compensation Policy is intended to
analyze the content of policy and to reveal the effectiveness of the policy
implementation. The research was conducted at the institution, enterprises and
other parties related to the evaluation of the UFA with compensation Land in
West Java Province during June – September 2014. The method of the research is
qualitative descriptive with case study. The analysis applied for the research is
analysis on change of regulation’s substance regarding the regulation shifting for
the UFA policy, analysis on issuance of LFAL with land compensation, gap
analysis which consists of disharmony, inconsistency and policy ambivalence,
and evaluation of retrospective process focus on problems and distractions during
the implementation based on the standar of evaluative, effectiveness and
efficiency.
The data of the research have been obtained by documentative study and
semi-structured interview. The interview was conducted with the policy makers
of the LFAL consists of the Ministry of environment and forestry, Forestry Local
office, Perum Perhutani, and LFAL holders as well as the holder of principal

approval of UFA which have not been granted by LFAL.
The study indicates that the regulation shifting and revisions for the UFA
implementation guideline since 1978 to 2014, were conducted to improve the
main points of regulation and its substance to make them clear, objective and well
formulated. In term of the issuance of LFAL by the Ministry of environment and
forestry, the time arrangement for the process, task and authority of stakeholders,
as well as the requirements and responsibilty that must be met to obtaint the
LFAL with compensation land, have been detailed and clear both in substance and
setting. In term of content gap, there is no policy disharmony, however, it
indicates the inconsistency and ambivalence of policy.
The implementation of the the policy on the UFA with land compensation in
West Java Province has not been effective and efficient, in term of the success
story to obtain LFAL, to extent the area and management of forest area derived
from compensation land, the time required by UFA approval holders to obtain

LFAL as well as time and cost for the management of forest area derived from
compensation land. The most constraint is to provide compensation land.
Keywords : compensation land, effectiveness, efficiency, leasehold forest area
license, the policy on the use of forest area


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EVALUASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
DENGAN KOMPENSASI LAHAN
DI PROVINSI JAWA BARAT

S. AGUS CAHYADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Yulius Hero, MScFTrop

Judul Tesis : Evaluasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan dengan
Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa Barat
Nama
: S. Agus Cahyadi
NIM
: E151110101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Iin Ichwandi, MSc FTrop

Ketua

Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc FTrop
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Tatang Tiryana, SHut MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 28 Agustus 2015

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang maha kasih atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah
Evaluasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Dengan Kompensasi Lahan di
Provinsi Jawa Barat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan
dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ir Iin Ichwandi, MSc FTrop selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Bapak Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc FTrop selaku Anggota Komisi
Pembimbing atas segala masukan, saran dan arahannya selama proses
pembimbingan yang semakin menambah wawasan dan pemahaman penulis.
2. Narasumber: Ibu Dra Luluk Nurohmah, Bapak Endi Sugandi, SH MH, Bapak
Didik Heramba, SH, Bapak Ir Roberto Perdamean, Bapak Ir Budi Mulia,
Bapak Iwan Nur Hidayat, ST, Bapak Aris, Bapak Eten, Bapak Andis, Bapak
Usep, dan narasumber lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
3. Seluruh pihak yang telah membantu penyediaan data, informasi, literatur dan
semua kebutuhan dalam penelitian.
4. Teman-teman IPH angkatan 2011 atas kebersamaan dan dukungannya selama
ini
5. Ibu, Bapak dan Ibu Mertua, kakak-kakak dan adik-adikku atas doa dan

dukungannya
6. Istriku tercinta yang selalu setia memberikan doa dan dukungannya .
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
S. Agus Cahyadi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xv

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Publik
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
3. METODOTOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Tahapan Kajian Penelitian
Metode Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Jenis dan Sumber Data
Teknis Analisis Data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Peraturan Perundang-undangan Pedoman
Pelaksanaan Kebijakan PKH dan Proses Penerbitan IPPKH
Kesenjangan Isi dalam Permenhut Nomor P.16/MenhutII/2014
Pelaksanaan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan
dengan Kompesasi Lahan di Provinsi Jawa Barat

1
2
3
3
4
5
5
10
10
11
12
12
13

16
26
30

5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

51

Saran

52

DAFTAR PUSTAKA

52

DAFTAR TABEL
1. Penggantian dan perubahan Permenhut tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan dari tahun 2006 sampai dengan 2014

1

2. Tipe-tipe evaluasi formal

9

3. Pergantian dan perubahan peraturan perundang-undangan pedoman

17

pelaksanaan kebijakan PKH
4. Perubahan pengaturan ruang lingkup kegiatan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan yang dapat diproses dengan prosedur pinjam
pakai kawasan hutan
5.
6.
7.
8.

Ketidaksesuaian terminologi
Inkosistensi sistematika pecantuman kewajiban pemegang IPPKH
Ambivalensi dalam Permenhut No. P.16/Menhut-II/2014
IPPKH pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh
IPPKH dengan jangka waktu kurang atau sama dengan dua tahun
9. Masalah
pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang
memperoleh IPPKH dengan jangka waktu kurang atau sama
dengan dua tahun dalam pemenuhan persyaratan persetujuan
prinsip PKH
10. Masalah dan kendala pihak pemegang persetujuan prisip PKH
yang memperoleh IPPKH dengan jangka waktu kurang atau sama
dengan dua tahun dalam pemenuhan kewajiban persetujuan prinsip
PKH
11. IPPKH pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh
IPPKH dengan jangka waktu lebih dari dua tahun
12. Masalah pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh
IPPKH dengan jangka waktu lebih dari dua tahun dalam pemenuhan
persyaratan persetujuan prinsip PKH
13. Masalah dan kendala pihak pemegang persetujuan prisip PKH
yang memperoleh IPPKH dengan jangka waktu lebih dari dua
tahun dalam pemenuhan kewajiban persetujuan prinsip PKH
14. Persetujuan prinsip PKH Kementerian Pekerjaan Umum
15. Keberhasilan pemegang persetujuan prinsip PKH memperoleh
IPPKH berdasarkan kategori kegiatan yang dilakukan
16. Pihak dan luas IPPKH pemegang IPPKH untuk kegiatan
pertambangan
17. Pihak dan luas areal pemegang persetujuan prinsip PKH untuk
kegiatan sumber daya energi yang belum memperoleh IPPKH
18. Pihak dan luas areal pemegang IPPKH untuk kegiatan sumber
daya energi
19. Areal lahan kompesasi yang telah masuk dalam RPKH Perum
Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2013

18
26
28
29
30

31

32
34

35

37
38
42
43
43
43

46

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Tahapan kajian penelitian
Bagan alir penerbitan IPPKH
Bagan alir pemenuhan kewajiban penyediaan lahan kompensasi
Komposisi kategori pihak dari 38 pemegang persetujuan prinsip
PKH yang telah memperoleh IPPKH
5. Komposisi kategori pihak dari 9 pemegang persetujuan prinsip
PKH yang belum memperoleh IPPKH
6. Jumlah penerbitan IPPKH per tahun dari tahun 1984 sampai
dengan 2013 di Provinsi Jawa Barat
7. Komposisi status proses pengukuhan kawasan hutan dari 38
areal lahan kompesasi
8. Lokasi areal IPPKH dan lahan kompensasi PT. Tambang
Semen Sukabumi
9. Lokasi areal IPPKH dan lahan kompensasi PT. Lumbung
Mineral Santosa
10. Komposisi jangka waktu yang dibutuhkan dari 38 pihak
pemegang persetujuan prinsip PKH untuk memperoleh IPPKH
11. Komposisi jangka waktu yang lebih dari dua tahun dari 25 pihak
pemegang persetujuan prinsip PKH untuk memperoleh IPPKH

11
22
25
45
45
46
46
48
49
49
50

DAFTAR LAMPIRAN
1. Ruang lingkup kegiatan pembangunan di luar kegiatan
kehutananyang dapat diproses dengan prosedur pinjam pakai
kawasan hutan
2. Pengaturan fungsi kawasan hutan untuk pinjam pakai kawasan
hutan.
3. Pengaturan tentang kompesasi pinjam pakai kawasan hutan
4. Pengaturan persyaratan permohonan penggunaan kawasan hutan
5. Pengaturan tata waktu dalam pengurusan pinjam pakai kawasan
hutan di tingkat Kementerian LHK
6. Pengaturan jangka waktu persetujuan PKH dan IPPKH
7. Persyaratan permohonan PKH dalam Permenhut No. 16/MenhutII/2014 dan pihak-pihak yang terkait dalam pemenuhannya
8. Keberhasilan pemegang persetujuan prinsip PKH memperoleh
IPPKH sampai dengan tahun 2013
9. Luas kawasan hutan dan status hukum dari lahan kompensasi
yang sudah diserahkan kepada Kementerian LHK sampai dengan
tahun 2013
10. Pedoman wawancara

55
56
57
59
61
62
63
65

68
71

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan hutan termasuk segala potensi yang terkandung di dalamnya
merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Kawasan
hutan selain dimanfaatkan hasilnya baik kayu maupun hutan non kayu dan jasa
lingkungan juga digunakan untuk keperluan di luar sektor kehutanan untuk
kepentingan pembangunan. Salah satu kebijakan publik di bidang kehutanan
dalam pengelolaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan adalah kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH).
Kebijakan PKH merupakan salah satu upaya pemenuhan areal kawasan hutan
bagi kepentingan pembangunan nasional untuk penggunaan diluar sektor
Kehutanan (Nurrochmat et al. 2012). Kepentingan pembangunan diluar sektor
kehutanan dalam kebijakan PKH ini meliputi kepentingan religi, pertambangan,
instalasi pembangkit listrik, jaringan telekomunikasi, jalan umum, jalan tol, jalur
kereta api, prasarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai prasarana
transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi, sarana dan
prasarana sumber daya air, fasilitas umum, industri selain industri primer hasil
hutan, pertahanan dan keamanan, prasarana penunjang keselamatan umum,
penampungan sementara korban bencana alam, pertanian tertentu dalam rangka
ketahanan pangan dan energi.
Peraturan Menteri yang saat ini menjadi pedoman dalam pelaksanaan
kebijakan PKH adalah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor
P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Peraturan
perundangan-undangan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan ini
pertama kali diterbitkan pada tahun 1978 melalui Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah
Kawasan Hutan, selanjutnya pada tahun 1994 diganti dengan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan yang mengalami enam kali perubahan dan pada tahun 2006
diganti dengan Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan. Penggantian dan perubahan Permenhut tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari tahun 2006 sampai dengan 2014 seperti
dapat dilihat pada Tabel 1:
Tabel 1 Penggantian dan perubahan Permenhut tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan dari tahun 2006 sampai dengan 2014
Tahun
terbit
2006

Permenhut

Perubahan I

Nomor P.14/Menhut-II/2006

Nomor P.64/ Menhut-II/2006

2008

Nomor P.43/Menhut-II/2008

2011

Nomor P.18/Menhut-II/2011

2014

Nomor P.16/Menhut-II/2014

Nomor P.38/Menhut-II/ 2012

Sumber: Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan (2014)

Perubahan II

Nomor P.14/MenhutII/2013

2
Berdasarkan Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014, PKH adalah
penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukannya. Pihak-pihak yang
dapat menggunakan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di
luar kegiatan kehutanan adalah instansi pemerintah, badan usaha milik negara atau
swasta dan yayasan yang telah berbadan hukum. Dasar yang dipakai oleh para
pihak untuk melakukan kegiatan di sebagian kawasan hutan di luar sektor
kehutanan adalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). IPPKH untuk
kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan selain kegiatan survei dan
eksplorasi pertambangan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah
30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi adalah dengan
kompensasi berupa lahan, yang dalam pemberiannya didahului dengan penerbitan
persetujuan prinsip PKH. Persetujuan prinsip PKH ini merupakan persetujuan dari
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yang didalamnya berisi
persetujuan tentang jenis kegiatan, letak dan luas kawasan hutan yang akan
digunakan, serta semua kewajiban yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan
IPPKH. Jangka waktu persetujuan prinsip ini adalah selama dua tahun dan dapat
diperpanjang.
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang luas kawasan
hutannya di bawah 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi,
yang berdasarkan data pada Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan sampai
dengan tahun 2013, merupakan provinsi yang paling banyak mendapatkan IPPKH
yaitu sebanyak 38 izin. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh IPPKH
setelah mendapatkan persetujuan prinsip PKH yang pertama kalinya dari 38
pihak ini, sebagian besar yaitu sebanyak 25 pihak lebih dari dua tahun. Jumlah
penerbitan IPPKH dari tahun 1984 yang merupakan tahun pertama kali terbitnya
IPPKH sampai dengan tahun 2013 dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan
penurunan.
Perumusan M asalah
Easton (1953) dalam Islamy (2000) menyatakan bahwa kebijakan negara
atau pemerintah seharusnya bersifat obyektif, dan tersusun dengan baik karena
merupakan pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh warga
masyarakat. Publik mempunyai kepentingan yang sangat besar atas dampak
kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung akan menyentuh
masyarakat. Nugroho (2011), mengemukakan bahwa sebelum suatu kebijakan
publik diganti harus dievaluasi terlebih dahulu, hal ini perlu dijadikan acuan
untuk menghindari kebiasaan buruk administrasi publik di Indonesia yang sering
menerapkan prinsip ganti pejabat peraturannya harus diganti dan supaya setiap
kebijakan tidak diganti hanya karena keinginan atau selera pejabat yang saat
itu berwenang.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukan bahwa Permenhut yang merupakan
pedoman dalam pelaksanaan kebijakan penggunaan kawasan hutan dari tahun
2006 sampai 2014 telah mengalami tiga kali pergantian bahkan dalam pergantian
kedua yaitu pada tahun 2011 telah mengalami dua kali perubahan, dengan adanya
pergantian dan perubahan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
pedoman dalam pelaksanaan kebijakan penggunaan kawasan hutan ini maka
akan merubah pengaturan-pengaturan yang terkandung didalamnya, sehingga

3

akan mempengaruhi pelaksanaan kebijakan penggunaan kawasan hutan bagi
calon pengguna atau yang telah menggunakan kawasan hutan.
Kebijakan PKH sesuai Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014, bertujuan
untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan, sedangkan dasar para pihak untuk
menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan tersebut adalah IPPKH. Dengan demikian dengan sering berganti dan
berubahnya peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam
pelaksanaan kebijakan ini, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh
IPPKH, naik turunnya jumlah penerbitan IPPKH dari tahun 1984 sampai dengan
tahun 2013, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana efektifitas kebijakan penggunaan kawasan hutan dengan
kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penentu atau kendala bagi terlaksananya
kebijakan penggunaan kawasan hutan dengan kompensasi lahan di Provinsi
Jawa Barat?
3. Opsi-opsi kebijakan penggunaan kawasan hutan apa saja yang efektif
diterapkan di Provinsi Jawa Barat?

Tujuan Penelitian
Menurut Nugroho (2011), t ujuan evaluasi adalah untuk mengetahui
kesenjangan antara harapan dan pencapaian suatu kebijakan, serta bagaimana
menutup kesenjangan tersebut, sehingga evaluasi harus dipahami sebagai sesuatu
yang positif, karena bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup
kekurangan bukan untuk menyalahkan pihak yang mengeluarkan kebijakan.
Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis isi kebijakan PKH
2. Menganalisis efektifitas implementasi kebijakan PKH dengan kompensasi
lahan di Provinsi Jawa Barat.
3. Mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi penentu keberhasilan dan
kegagalan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat.
4. Merekomendasikan opsi-opsi kebijakan PKH yang efektif diterapkan di
Provinsi Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat yaitu:
1. Secara teoritis diharapkan dapat memperkaya kajian akademis tentang
efektifitas kebijakan PKH dengan kompensasi lahan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
Kementerian Kehutanan untuk mengambil kebijakan khususnya tentang
kebijakan PKH dengan kompensasi lahan.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Publik
Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public
policy. James E. Anderson (1979) dalam Subarsono (2006), mendefinisikan
kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat
pemerintah. Nugroho (2011) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah
sebuah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknik. Sebagai sebuah
strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari
para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses
perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif,
namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan bersifat menerima salah satu
dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah
tuntutan dapat diakomodasi, tapi pada akhirnya ruang untuk win-win sangat
terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ruang zero-sum-game, yaitu
menerima yang ini dan menolak yang lain. Kebijakan publik juga dapat
didefinisikan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok,
atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang
yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan
potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan
tertentu (Nugroho 2011).
Menurut Nugroho (2011), ada dua pemahaman kebijakan publik yaitu
pertama, pemahaman kontinentalis yang cenderung melihat bahwa kebijakan
publik adalah turunan dari hukum, bahkan kadang mempersamakan kebijakan
publik dengan hukum, terutama hukum publik ataupun hukum tata negara,
sehingga melihatnya sebagai interaksi antara institusi-institusi negara. Dalam
pemahaman ini hukum merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik baik
dari sisi wujud maupun produk, proses atau dari sisi muatan. Dari sisi proses
karena hukum merupakan produk dari pemerintah atau Negara sehingga posisi
rakyat atau publik lebih sebagai penerima produk. Model ini memahami
kebijakan publik sebagai fakta yang sangat berjenjang. Undang-Undang
memerlukan peraturan penjelas atau pelaksana untuk dapat dilaksanakan. Oleh
karena itu, setelah kebijakan dalam bentuk Undang Undang ditetapkan,
barulah Undang-Undang itu dapat dilaksanakan menjadi produk hukum dan
landasan hukum. Kedua, pemahaman Anglo-Saxonis, yang melihat kebijakan
publik adalah turunan dari politik-demokrasi sehingga melihatnya sebagai sebuah
produk interaksi antara negara dan publik, sehingga memahami sebagai proses
politik yang demokratis. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka pada dasarnya
pemahaman kontinentalis melihat kebijakan publik sebagai produk negara,
pemerintah atau administrasi publik sedangkan pemahaman Anglo-Saxonis
melihat kebijakan publik adalah produk pertemuan antara kepentingan negara dan
rakyat atau publik.

5

Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan
publik, ada dua pilihan langkah. Pertama, langsung mengimplementasikan dalam
bentuk program atau kedua, memformulasikan kebijakan turunan dari kebijakan
publik tersebut (Nugroho 2011). Implementasi melibatkan usaha dari pembuat
kebijakan untuk mempengaruhi bawahannya atau staf pegawainya untuk
memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk
kebijakan yang sederhana, cukup melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai
implementor, namun sebaliknya, untuk kebijakan yang sifatnya makro, maka
upaya implementasi akan melibatkan berbagai institusi mulai dari aparatur tingkat
desa hingga pemerintah pusat, yang berpotensi memunculkan kerumitan dalam
pelaksanaannya (Subarsono 2006).
Nugroho (2011), menyarankan bahwa pada prinsipnya ada lima tepat
untuk mengukur keefektifan dalam implementasi. Pertama, apakah
kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh
mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan
masalah yang hendak dipecahkan. Tepat yang kedua adalah tepat
pelaksanaannya, tepat yang ketiga adalah tepat target, t epat keempat adalah
tepat lingkungan dan tepat kelima adalah tepat proses. Menurut pandangan
Weimer dan Vining (1999 dalam Subarsono 2006), t erdapat tiga variabel besar
yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, antara lain:
1. Logika kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang
ditetapkan ialah kebijakan yang masuk akal dan mendapat dukungan teoritis.
Isi dari suatu kebijakan atau program harus mencakup berbagai aspek
yang memungkinkan untuk diimplementasikan dalam tataran praktik.
2. Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan. Maksud dari lingkungan ini
ialah kondisi sosial, politik, ekonomi, pertahanan, keamanan, fisik atau
geografis.
3. Kemampuan implementor. Keberhasilan suatu kebijakan akan dipengaruhi
oleh kompetensi dan ketrampilan dari para implementor kebijakan. Untuk itu,
diperlukan pengembangan kualitas SDM, komitmen, dan jumlah implementor
yang memadai.

Evaluasi Kebijakan
Sebuah kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya
dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi
kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode
berjalannya suatu kebijakan. Selain menilai efektifitas, evaluasi juga berfungsi
untuk menilai ketercapaian tujuan dari suatu kebijakan. Menurut Thomas Dye
(1987) dalam Parsons (2008) evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif,
sistematis dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap
targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai.
Nugroho (2011), menyampaikan bahwa ciri dari evaluasi kebijakan adalah:
1. Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan
kinerja kebijakan.

6
2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana
kebijakan, dan target kebijakan.
3. Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi.
4. Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian.
5. Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja kebijakan.
Sifat evaluasi, menurut Dunn (2003), evaluasi menghasilkan tuntutantuntutan yang bersifat evaluatif sehingga evaluasi mempuyai karakteristik yaitu :
1. Fokus Nilai
Evaluasi difokuskan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari
sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha
untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan
bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi
kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.
2. Interdependensi Faktor Nilai
Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta” maupun ”nilai”. Untuk menyatakan
bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja
yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil
kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh
masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa
hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi
yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu,
pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau
Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan
pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan.
Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post).
Rekomendasi yang juga mencakup premis-permis nilai , bersifat prospektif
dan dibuat sebelum aksi- aksi dilakukan (ex ante).
4. Dualitas Nilai
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda,
karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi
sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada dapat
dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstriksik
(diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain).
Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki
yang
merefleksikan
kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.

Fungsi dan Kriteria Evaluasi
Dalam analisis kebijakan evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama
yaitu (Dunn 2003):
1. Memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan
seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan telah dicapai.
2. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan

7

mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik
dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam
hubungan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan
sasaran, analis dapat menguji alternatif sumber nilai maupun landasan mereka
dalam berbagai bentuk rasionalitas.
3. Memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya,
termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak
memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada
perumusan ulang masalah kebijakan. Evaluasi dapat pula menyumbang pada
definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan
menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya
perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.
Menurut Dwidjowijoto (2007) evaluasi mempuyai empat fungsi yaitu
eksplanasi, kepatuhan, audit dan akunting. Eksplanasi karena dengan evaluasi
evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan. Fungsi kepatuhan , yaitu melalui evaluasi
dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik
birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang
ditetapkan oleh kebijakan. Fungsi audit, melalui evaluasi dapat diketahui, apakah
output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru
ada kebocoran atau penyimpangan. Fungsi akunting karena dengan evaluasi
dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut
Dunn (2003), menyatakan bahwa dalam menghasilkan informasi
mengenai kinerja kebijakan digunakan tipe kriteria yang berbeda-beda untuk
mengevaluasi hasil kebijakan. Di bawah ini adalah beberapa kriteria evaluasi:
1. Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu kebijakan mencapai hasil yang
diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas ini
berkaitan dengan rasionalitas teknik, selalu diukur dari unit produk atau
layanan atau moneternya.
2. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi adalah merupakan
hubungan antara efektivitas dan usaha. Ukuran-ukuran yang digunakan
dalam kriteria efisiensi adalah jangka waktu pelaksanaan kebijakan, sumber
daya manusia yang diberdayakan untuk melaksanakan kebijakan,
3. Kecukupan (adequacy), berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan
adanya masalah. Kriteria ini menekankan pada kuatnya hubungan antara
alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4. Kesamaan atau perataan (equity), berhubungan erat dengan rasionalitas legal
dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompokkelompok yang berbeda dalam masyarakat.
5. Responsivitas,
berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat
tertentu.
6. Ketepatan (appropriateness), berhubungan dengan rasionalitas substantif.
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan kebijakan dan
kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut dan apakah
hasil (tujuan) yang diinginkan benar berguna atau bernilai.

8
Pendekatan dalam Evaluasi Kebijakan
Evaluasi implementasi kebijakan mempunyai dua aspek penting yang
saling berhubungan, yaitu aspek menggunakan berbagai macam metode untuk
memantau hasil kebijakan publik dan aspek berbagai aplikasi nilai untuk
menentukan manfaat hasil kebijakan. Pendekatan-pendekatan dalam evaluasi
kebijakan (Dunn 2003) :
1. Evaluasi Semu
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi
valid tentang hasil kebijakan tanpa berusaha untuk menanyakan tentang
manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok, atau
masyarakat secara keseluruhan. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah
ukuran manfaatnya suatu kebijakan atau nilai terbukti dengan sendirinya
atau tidak kontroversial. Analis dalam evaluasi semu menerapkan bermacammacam metode (rancangan ekspeimental-semu, kuseioner, random sampling,
teknik statistik) untuk menjelaskan variasi hasil kebijakan sebagai produk
dari variable masukan dan proses.
2. Evaluasi Formal
Menggunakan metode desktriptif untuk menghasilkan informasi yang
terpercaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan dan mengevaluasi hasil
tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang diumumkan secara formal
oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari
evaluasi formal adalah tujuan dan sasaran pengambil kebijakan dan
administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat
dari manfaat atau nilai.
Analis dalam evaluasi formal menggunakan berbagai macam metode
yang sama seperti yang dipakai dalam evaluasi semu dan tujuannya adalah
identik untuk menghasilkan informasi yang valid dan data dipercaya mengenai
variasi-variasi hasil kebijakan dan dampak yang dapat dilacak dari masukan
dan proses kebijakan. Meskipun demikian perbedaannya adalah bahwa
evaluasi formal menggunakan undang-undang, dokumen-dokumen program,
dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan administrator untuk
mengidentifikasikan, mendefinisikan dan menspesifikkan tujuan dan target
kebijakan. Kelayakan dari tujuan dan target yang diumumkan secara formal
tersebut tidak ditanyakan. Dalam evaluasi formal tipe-tipe kriteria evaluatif
yang paling sering digunakan adalah efektivitas dan efisiensi.
Dalam pendekatan evaluasi formatif terdapat tipe-tipe untuk
memahami evaluasi kebijakan lebih lanjut, yakni: evaluasi sumatif, yang
berusaha untuk memantau pencapaian tujuan dan target formal setelah suatu
kebijakan atau program diterapkan untuk jangka waktu tertentu; dan kedua,
evaluasi formatif, suatu tipe evaluasi kebijakan yang berusaha untuk meliputi
usaha-usaha secara terus menerus dalam rangka memantau pencapaian tujuantujuan dan target-target formal. Evaluasi formal selain dapat bersifat sumatif
dan formatif tetapi juga meliputi kontrol langsung atau tidak langsung
terhadap masukan kebijakan dan proses-proses, seperti dapat dilihat pada
Tabel 2:

9

Tabel 2 Tipe-tipe evaluasi formal
Kontrol terhadap
aksi kebijakanan
Langsung
Tidak langsung

Orientasi terhadap proses kebijakan
Formatif
Sumatif
Evaluasi
Evaluasi eksperimental
perkembangan
Evaluasi proses
Evaluasi hasil
retrospektif
retrospektif

Dari Tabel 2 menunjukan terdapat empat variasi dalam evaluasi formal
yaitu evaluasi perkembangan, evaluasi proses retrospektif, evaluasi
eksperimental dan evaluasi hasil retrospektif yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Evaluasi Perkembangan
Dalam varian ini evaluasi formal berupaya untuk menunjukan
kegiatan/aktivitas evaluasi kebijakan secara eksplisit yang diciptakan
untuk melayani kebutuhan sehari-hari staf program. Evaluasi
perkembangan yang meliputi beberapa ukuran pengontrolan langsung
terhadap aksi-aksi kebijakan, telah digunakan secara luasuntuk berbagai
situasi di sektor-sektor publik dan swasta. Evaluasi perkembangan karena
bersifat formatif dan meliputi kontrol secara langsung, dapat digunakan
untuk mengadaptasi secara langsung pengalaman baru yang diperoleh
melalui manipulasi secara sistematis terhadap variabel masukan dan proses.
b. Evaluasi proses retrospektif
Evaluasi proses retrospektif, yang meliputi pemantauan/evaluasi program
setelah program tersebut diterapkan untuk hangka waktu tertentu. Varian
ini cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang
terjadi selama implementasi berlangsung, dan tidak memperkenankan
dilakukannya manipulasi langsung terhadap masukan atau proses. Dalam
Evaluasi ini lebih menggantungkan pada deskripsi ex post (retrospektif)
tentang kegiatan aktifitas kebijakan yang selanjutnya berhubungan dengan
keluaran dan dampak yang diperoleh.
c. Evaluasi eksperimental
Varian evaluasi eksperimental adalah evaluasi kebijakan yang lahir dari
hasil kondisi kontrol langsung terhadap masukan dan proses kebijakan.
Evaluasi eksperimental yang ideal secaara umum merupakan faktor
“eksperimental ilmiah yang terkontrol”, dimana semua faktor yang dapat
mempengaruhi hasil kebijakan, dikontrol, dipertahankan konstan, atau
diperlakukan sebagai hipotesis tandingan yang masuk akal.
d. Evaluasi hasil retrospektif
Varian terakhir, evaluasi hasil retrospektif, meliputi pemantauan dan
evaluasi hasil tetapi tidak disertai dengan kontrol langsung terhadap
masukan-masukan dan prose kebijakan yang dapat dimanipulasi.
3. Evaluasi Keputusan Teoritis
Evaluasi keputusan teoritis menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan
yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan. Perbedaan
pokok antara evaluasi teori keputusan di satu sisi, evaluasi semu dan evaluasi

10
formal di sisi lainnya, adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha
untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku
kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan. Ini berarti bahwa tujuan
dan target dari para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah
satu sumber nilai, karena semua pihak yang membuat andil dalam
memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan dilibatkan dalam
merumuskan tujuan dan target dimana kinerja nantinya akan diukur. Salah
satu tujuan utama dari evaluasi ini adalah untuk menghubungkan informasi
mengenai hasil-hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari berbagai pelaku
kebijakan.
Menurut Palumbo (1987) dalam Parsons (2008) evaluasi kebijakan dibagi
menjadi dua jenis yaitu formatif dan sumatif, evaluasi formatif adalah evaluasi
yang diakukan ketika kebijakan atau program sedang diimplementasikan dan
merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diiplementasikan dan
kondisi apa yang bisa meningkatkan implementasi”, sedangkan evaluasi sumatif
menganalisis bagaimana suatu kebijakan atau program secara aktual berdampak
pada problem yang ditanganinya. Oleh karena itu dalam tahap implementasi
sebuah kebijakan diperlukan evaluasi formatif yang memonitor cara di mana
sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bias
berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.

3 METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lembaga dan badan usaha atau pihak yang
terkait dengan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat.
Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Juni sampai dengan September 2014,
dengan studi kasus pada tiga kategori pihak yang menggunakan kawasan hutan
yaitu:
1. Pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh IPPKH dengan
jangka waktu kurang atau sama dengan dua tahun sejumlah empat pihak yang
terdiri dari PT. Rajamandala Eletric Power, PT Lumbung Mineral Santosa,
KUD Bumi Karya, PT. Tambang Semen Sukabumi
2. Pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh IPPKH dengan
jangka waktu lebih dari dua tahun sejumlah lima pihak yang terdiri dari
Pertamina Geothermal Energy-Chevron Geothermal Indonesia Ltd, PT.
Pertamina EP, Koperasi Pondok Pesantren Al- Islah, PT. Atlasindo Utama,
dan PT. Akarna Marindo
3. Pihak pemegang persetujuan prisip PKH dengan jangka waktu lebih dari dua
tahun tetapi belum memperoleh IPPKH yaitu Kementerian Pekerjaan Umum.

Tahapan Kajian Penelitian
Tahapan kajian dalam peneletian ini dapat digambarkan seperti dapat

11

dilihat pada Gambar 1:
Evaluasi Kebijakan PKH dengan Kompensasi Lahan
di Provinsi Jawa Barat

Tiga Kategori Pihak Pemegang Persetujuan Prinsip PKH
Pihak dengan waktu
≤ 2 tahun
memperoleh IPPKH

Pihak dengan waktu
> 2 tahun tetapi belum
memperoleh IPPKH

Pihak dengan waktu
> 2 tahun
memperoleh IPPKH

Studi Dokumentasi

Wawancara

Mempelajari peraturan
perundang-undangan kebijakan
PKH dan dokumen persetujuan
prinsip PKH, IPPKH dan lahan
kompensasi

Menggali permasalahan yang
terjadi, memperoleh klarifikasi,
pendapat, dan masukan

Triangulasi

Teknis Analisis Data
Analisis Perubahan
Substansi Pengaturan
pada Pergantian
Peraturan Perundangundangan Kebijakan
PKH

Analisis
Proses
Penerbitan
IPPKH
dengan
Kompensasi
Lahan

Analisis
Kesenjangan
Isi Kebijakan
PKH

Evaluasi
Proses
Retrospektif

Kesimpulan
Gambar 1 Tahapan kajian penelitian
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan jenis studi kasus. Creswell (2002), menyadur pendapat Merriam
(1988) dan Yin (1989), menjelaskan bahwa dalam penelitian studi kasus peneliti
menggali kesatuan atau fenomena kasus yang dibatasi oleh waktu dan aktifitas
(program, kejadian, proses, institusi atau kelompok sosial) dan mengumpulan

12
informasi rinci dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data
selama periode waktu tertentu.
Keabsahan data di uji dengan triangulasi, yaitu menguji kebenaran dengan
membandingkan data hasil studi dokumen dan hasil wawancara, serta data hasil
wawancara antar informan. Menurut Moleong (2007) triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Dalam pendekatan kualitatif, unit contoh yang digunakan adalah informan
sebagai sumber informasi. Dalam Penelitian ini penentuan informan dilakukan
dengan metode purposive sampling yaitu penentuan informan secara sengaja
sesuai dengan tujuan penelitian. Informan ditentukan berdasarkan kapasitas,
kewenangan, keterlibatan dan kebersediaan informan yang berhubungan dengan
pelaksanaan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat.

Teknik Pengumpulan Data
Studi Dokumentasi
Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data dengan cara
mempelajari berbagai dokumen dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan
dengan kebijakan PKH di Provinsi Jawa Barat.
Wawancara
Metode wawancara dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi
terstruktur (semistructured interview). Wawancara semi terstruktur menggunakan
beberapa inti pertanyaan yang diajukan, yaitu pewawancara (peneliti) membuat
garis besar pokok-pokok pertanyaan, namun dalam pelaksanaannya pewawancara
mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-pokok pertanyaan yang dirumuskan
tidak perlu dipertanyakan secara berurutan dan pemilihan kata-katanya juga tidak
baku, tetapi dimodifikasi pada saat wawancara berdasarkan situasinya. Tujuan
dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih
terbuka dan mendalam, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat
dan ide-idenya (Satori dan Komariah 2009). Dalam penelitian wawancara
bertujuan untuk menggali permasalahan yang dialami oleh para pihak yang
menggunakan kawasan hutan dan memperoleh klarifikasi, pendapat, dan masukan
dari pihak informan yang telah ditentukan.

Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer didapatkan dari hasil wawancara sedangkan data sekunder dari hasil studi
dokumentasi. Sumber data studi dokumentasi adalah peraturan perundangundangan yang terkait dengan PKH dan dokumen yang berkaitan dengan
kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat yaitu
persetujuan prinsip PKH, IPPKH dan lahan kompensasi. Sumber data wawancara
diperoleh dari beberapa informan yang terdiri dari berbagai pihak:

13

1. Pihak dari Kementerian LHK yang merupakan pihak pembuat kebijakan dan
yang terlibat dalam proses terbitnya IPPKH, yang terdiri:
a. Direktur Penggunan Kawasan Hutan.
b. Kepala Sub Direktorat Penggunaan Hutan Wilayah I.
c. Kasubag Peraturan Perundang-undangan II pada Biro Hukum dan
Organasisasi Kementerian Kehutanan
2. Pihak dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang merupakan pihak yang
terlibat dalam proses terbitnya IPPKH khususnya dalam pemenuhan
persyaratan untuk memperoleh persetujuan prinsip PKH dan pemenuhan
kewajiban persetujuan prinsip PKH untuk memperoleh IPPKH, yaitu Kepala
Bidang Planologi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
3. Pihak dari Perum Perhutani yang merupakan pihak yang terlibat dalam proses
terbitnya IPPKH khususnya dalam pemenuhan persyaratan untuk
memperoleh persetujuan prinsip PKH dan pemenuhan kewajiban persetujuan
prinsip PKH untuk memperoleh IPPKH serta sebagai pengelola kawasan
hutan, yang terdiri dari:
a. Kepala Biro Analisa Kebijakan dan Penggunaan Kawasan Hutan Perum
Perhutani.
b. KSS Tata Batas Biro Perencanaan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani
Divisi Regional Jawa Barat dan Banten
4. Pihak yang menggunakan kawasan hutan yang terdiri dari tiga kategori pihak
yang digunakan dalam studi kasus.

Teknik Analisis Data
Analisis Perubahan Substansi Pengaturan pada Pergantian Peraturan Perundangundangan Kebijakan PKH
Menganalisis perubahan substansi pokok-pokok pengaturan
dalam
pergantian peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman pelaksanaan
kebijakan PKH dari Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor
64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan sampai
dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang
pedoman pinjam pakai kawasan hutan.
Analisis Proses Penerbitan IPPKH dengan Kompensasi Lahan
Menganalisis proses dalam penerbitan IPPKH dengan kompensasi lahan
untuk kegiatan eksploitasi/operasi produksi pertambangan dan kegiatan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan lainya selain kegiatan survey dan
eksplorasi pertambangan di Kementerian LHK, syarat dan kewajiban yang harus
dipenuhi untuk mendapatkanya serta pihak yang terlibat didalamnya.

Analisis Kesenjang