Disain Kebijakan Pengendalian Ruang di Sekitar Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Djuanda Provinsi Jawa Barat

(1)

KAWASAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA DJUANDA

PROVINSI JAWA BARAT

AKBARSYAH RIVAI SAAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Djuanda Provinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, September 2009 AKBARSYAH RIVAI SAAD


(3)

ABSTRACT

AKBARSYAH RIVAI SAAD. 2009. Policy Design For Spatial Control Around Tahura Djuanda Conservation Area, West Java Province. Under direction of Bunasor Sanim as chairman, Aris Munandar and Ananto Kusuma Seta as members.

Tahura Djuanda Conservation Area, West Java Province is a conservation area that has an important ecological function and facing serious threat from land conversion. The main purpose of the study is to formulate policy for spatial control around Tahura conservation area, with special objectives are (1) to analyze land use change around the conservation area Tahura Djuanda, (2) to identify the factors that influencing the scenic beauty of the area (3) to analyze total economic value of Tahura conservation area in North Bandung area, and (4) to determine policy priorities for spatial control around Tahura Djuanda. The research results shows that (1) Tahura Djuanda area facing high rate of land use conversion. The urban sprawl phenomenon in the study area shows uneven development form as a result of the increased settlement activities and the activities of high economic value and the scenic beauty of Tahura as pull factor. The urban sprawl pattern occurred along existing main transportation road forms the pattern ribbon development and sprawl caused by scattered development forms leapfrog development. (2) The scenic beauty of the area dominated by high and moderate level. Domination by natural conditions such as trees that are still good condition and natural hilly contour, there are a few area with a high value even if the element is a combination of natural elements with man-made (artificial). Natural setting of secondary forest with pine forest gives good quality of vistas around the area. This condition could attract people to built their housing here. (3) The amount of Total economic value of Tahura Djuanda Rp. 7.248.163.074.446 /th (7,3 trillion per year). This amount considered big enough compared to Tahura management area is only about 526.98 hectares, and gives value of Rp 13.754.152.101,- per hetare (13,7 billion per ha); (4) the priority policies for spatial control around Tahura Djuanda area that can be managed in an integrated and sustainable manner. They are zoning regulations in a participatory, transparent licensing mechanism and integrated, the incentive and disincentive to the community and in the control area, and the sanctions are clear and firm for the violation of the spatial area.

Keywords: policy, spatial control, scenic beauty estimation, total economic valuation, tahura, urban sprawl.


(4)

RINGKASAN

AKBARSYAH RIVAI SAAD . 2009. Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Djuanda Provinsi Jawa Barat. Di Bawah bimbingan Bunasor Sanim sebagai ketua dan Aris Munandar, dan Ananto Kusuma Seta sebagai anggota.

Pertambahan penduduk yang tinggi mendorong perubahan penggunaan lahan khususnya di wilayah perkotaaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang seiring dengan dinamika pertumbuhan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Djakapermana, 2008). Perkembangan kota tersebut menyebabkan pergeseran fungsi-fungsi perkotaan ke arah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut sebagai proses perembetan kenampakan fisik perkotaan ke arah luar (urban sprawl phenomena) umumnya berlangsung cepat dan tidak terencana (Yunus, 2000). Gejala urban sprawl menyebabkan pola perkembangan dan pembangunan yang tidak terencana dari wilayah kota menuju wilayah pedesaan sehingga terjadi pertumbuhan penggunaan lahan perkotaan (urban area) ke arah pinggiran yang cepat dan menyebabkan tidak terkendalinya penggunaan lahan di wilayah pinggiran kota (Schultink et al. 2005). Akselerasi dari perambahan (sprawl) menyebabkan biaya-biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sampai sekarang masih tersembunyi, tidak diacuhkan atau secara diam-diam diserap oleh masyarakat.

Gejala urban sprawl marak terjadi di sekitar kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda yang langsung berbatasan dengan wilayah Kota Bandung. Kawasan sekitar Tahura Djuanda merupakan wilayah yang memiliki indeks konservasi (air) tinggi. Perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar konservasi akan berdampak negatif terhadap sistem ekologis kawasan tersebut sebagai wilayah konservasi yang menyediakan jasa lingkungan khususnya jasa lingkungan air (hidrologis) bagi masyarakat Kota Bandung. Kecenderungan perubahan lahan tersebut selain disebabkan oleh faktor kebutuhan perluasan lahan kota, juga diduga disebabkan oleh posisi kawasan sekitar Tahura Djuanda yang memiliki keindahan pemandangan (scenic beauty) dan lingkungan alami yang cukup asri sehingga dirasakan nyaman sebagai wilayah permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl. Perubahan penggunaan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar kawasan Tahura Djuanda terkait pula dengan apresiasi masyarakat terhadap nilai lindung atau konservasi dari kawasan tersebut. Pengabaian terhadap nilai tersebut telah mendorong perubahan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingannya tanpa mempertimbangkan nilai strategis kawasan tersebut yang menyediakan sejumlah jasa lingkungan yang sangat penting sebagai penyangga kebutuhan masyarakat Kota Bandung khususnya dalam penyediaan jasa lingkungan hidrologis.

Fungsi ekologis KBU perlu dipertahankan guna menjamin pemanfaatan ruang yang lestari. Perubahan tataguna lahan yang terjadi karena pertimbangan penggunaan lahan masih didominasi oleh kepentingan ekonomi dan sosial. Apabila fungsi kawasan diperhatikan dalam perhitungan nilai ekonomi, maka upaya konversi lahan dapat dicegah khususnya pada kawasan yang memiliki


(5)

nilai ekologis yang tinggi. Internalisasi nilai ekonomi lingkungan dalam kegiatan usaha pemanfataan ruang diperlukan di masa mendatang.

Penelitian bertujuan untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Taman Hutan Raya Djuanda Propinsi Jawa Barat. Tujuan khusus penelitian adalah: (1) menganalisis perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda; (2) menganalisis kaitan antara nilai scenic beauty kawasan sekitar Tahura Djuanda dengan kecenderungan perubahan penggunaan lahan; (3) menganalisis nilai ekonomi total kawasan Tahura sebagai kawasan konservasi di kawasan Bandung Utara; dan (4) merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Tahura Djuanda yang merupakan kawasan konservasi bagi wilayah Bandung.

Penelitian dilakukan di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Djuanda Provinsi Jawa Barat dan sekitarnya. Dalam penelitian ini digunakan data primer berupa penyebaran kuesioner kepada pengunjung dan penududk sekitar Tahura dan data sekunder. Metode analisis data yang digunakan meliputi: analisis spasial urban sprawl dengan menganalisis pola perubahan penggunaan lahan perkotaan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk mengetahui karakteristik spasial dari gejala urban sprawl di wilayah studi. Untuk mengetahui kaitan antara nilai scenic beauty kawasan sekitar Tahura Djuanda dengan kecenderungan perubahan penggunaan lahan digunakan metode analisis Scenic Beauty Estimation (SBE). Analisis ini menerjemahkan kualitas karakter elemen utama lanskap dan tata guna lahan sehingga didapat indeks tingkat keindahan. Untuk mengetahui nilai konservasi kawasan Tahura sebagai kawasan konservasi di kawasan Bandung Utara dapat dinilai melalui Nilai Ekonomi Total (NET). Untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Tahura Djuanda yang merupakan kawasan konservasi bagi wilayah Bandung dilakukan Analytical Hierarchy Process (AHP).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan Tahura Djuanda memiliki tingkat perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan pemukiman dan aktifitas ekonomi serta tingginya nilai keindahan (scenic beauty) Tahura. Perubahan tutupan lahan pada kawasan konservasi ini telah menjadi lahan terbuka dan tingginya penutupan lahan oleh kegiatan perkotaan. Perubahaan penggunaan lahan ladang meningkat akibat adanya kebutuhan akan ketersediaan lahan untuk melakukan kegiatan pertanian yang terdiri dari ladang dan kebun campuran yang sesuai dengan tekstur tanah, topografi, fisik lingkungan serta persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman. Perkembangan perubahan penggunaan lahan dari kebun campuran dan ladang menjadi penggunaan lahan pemukiman menunjukkan adanya penetrasi kegiatan perkotaan ke dalam kawasan konservasi. Fenomena urban sprawl pada wilayah studi menunjukan bahwa ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di semua bagian sisi-sisi luar dan pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota yaitu perembetan memanjang (ribbondevelopment)

Analisis SBE menunjukkan bahwa Kawasan sekitar Tahura sebagian besar mempunyai keindahan sedang dan tinggi. Dominasi kawasan oleh kondisi alami seperti pohon yang masih baik kondisinya dan bentang alam yang berbukit, ada beberapa foto dengan nilai tinggi walaupun merupakan kombinasi antara unsur alami dengan unsur buatan (artifisial). Nilai SBE sedang kebawah dipengaruhi oleh lahan terbuka dan kawasan terbangun, seperti pemukiman. Perubahan pergerakan lahan pemukiman yang mengarah ke sekitar Tahura, dimana dengan semakin tingginya konversi lahan untuk pemukiman akan mempengaruhi kondisi keindahan kawasan dan iklim mikro kawasan tersebut.


(6)

Nilai ekonomi total dari pemanfaatan kawasan Tahura Djuanda sebesar Rp. 7.248.163.074.446 /th (7,3 trilyun per tahun). Nilai ini termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan Tahura yaitu hanya sekitar 526,98 hektar dengan nilai Rp 13.754.152.101,- per hektar (13,7 milyar per ha). Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di desa penyangga Kawasan Tahura Djuanda antara lain sebagai kawasan konservasi air (kesinambungan sumber air) dan ekowisata, penyedia lapangan kerja sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djunda, menjamin ketersediaan udara segar, menjaga keindahan dan kelestarian sumberdaya hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya, menyerap polusi, tempat menanam rumput, tempat mencari kayu bakar, menyerap polusi, mencegah longsor dan erosi serta menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Prioritas kebijakan pengendalian ruang Kawasan Tahura Djuanda agar dapat dikelola secara terpadu dan berkelanjutan, secara berturut-turut adalah penetapan peraturan zonasi secara partisipatif, mekanisme perizinan yang transparan dan terpadu, pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat dan pengusaha dalam pengendalian ruang, dan pemberlakuan sanksi yang jelas dan tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap tata ruang kawasan.

Kata-kata kunci: kebijakan, pengendalian ruang, scenic beauty estimation, nilai ekonomi total, taman hutan raya, urbansprawl


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungiUndang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(8)

DISAIN KEBIJAKAN PENGENDALIAN RUANG DI SEKITAR

KAWASAN KONSERVASI TAMAN HUTAN RAYA DJUANDA

PROVINSI JAWA BARAT

Oleh:

AKBARSYAH RIVAI SAAD

P062054027

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Ujian Tertutup : 31 Juli 2009 Penguji Luar Komisi :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya M.Eng 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana

Ujian Terbuka : 2 September 2009 Penguji Luar Komisi:

1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni (Guru Besar Fahutan IPB) 2. Dr. Ir. Anang Sudarna


(10)

Judul Disertasi :

Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar

Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Djuanda

Provinsi Jawa Barat

Nama

: Akbarsyah Rivai Saad

NIM

: P062054027

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc.

Ketua

Dr. Ir. Aris Munandar, M.Si.

Anggota

Ananto Kusuma Seta PhD

Anggota

Ketua Program Studi PSL

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Si.

Tanggal ujian: 2 September 2009

Tanggal lulus:


(11)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi Robbil 'Alaamiin atas segala Rohmat dan pertolongan Alloh swt dan izinNYA penyusunan penelitian dan disertasi dengan judul "Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Disekitar Kawasan Taman Hutan Raya Ir. H Djuanda Provinsi Jawa Barat" dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini dari lubuk hati yang paling dalam penulis menghaturkan terima kasih yang tulus kepada Ketua Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim MSc, dan kepada seluruh anggota komisi pembimbing: Bapak Dr. Ir. Aris Munandar MS, Bapak Ir. Ananto Kusuma Seta. MSc. PhD. Atas segala bimbingan dan pengarahan yang sangat berharga selama ini.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih

1. Kepada Pimpinan Direktorat Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Bapak Direktur Jenderal Prof.Dr.Ir Zaenal Bachruddin MSc, Ibu Sesdit Ir. Banun Harpini MSc. Direktur Pemasaran Internasional Bapak Dr. Ir. Suryadi Abdul Munir MS. Yang telah memberikan izin dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan studi di IPB.

2. Kepada pimpinan dan seluruh staf Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat dan Kepala Balai Pengelola Tahura Djuanda atas bantuan dan kesempatan selama penelitian. Kepada Pimpinan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, para responden pakar dan seluruh respoden.

3. Ketua Program Studi PSL-IPB Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo , MS., para Dosen dan seluruh staf sekretariat PSL-IPB mbak Ririn, mbak Suli dan Herlin yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama menempuh pendidikan di program studi PSL sehingga semua dapat terlaksana dengan baik.

4. Kepada Dr. Ir. Andi Gunawan yang telah memberikan masukan perbaikan dalam ujian prelim.

5. Kepada Prof.Dr.Ir. Bambang Pramudya MEng dan Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, selaku dosen penguji luar komisi dalam ujian tertutup untuk seluruh saran dan informasi yang diberikan, sehingga disertasi ini menjadi lebih baik.

6. Kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni dan Dr. Ir. Anang Sudarna, selaku dosen penguji luar komisi dalam ujian terbuka.


(12)

7. Ucapan terima kasih yang setulusnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang selalu saya hormati dan banggakan Ayahanda Ir. H. Abdul Rivai Saad MSc (Alm) dan Ibunda tercinta Hj Siti Desmaniar Saad yang merupakan inspirasi terbesar dan sumber kekuatan lahir dan bathin, mama Prof. Dr. Kemala Motik A Gafur dan Dad Dr. Abdul Gafur; papa Sujud Amongpraja SE (Alm) atas doa dan dukungan yang tulus.

8. Kepada istriku tercinta Dra. Sherry A. Saad dan anak-anakku tersayang Abdul Kariim Sharief Saad, Syafitri Sharina Saad, Nizaria Anissa Saad dan Muhammad Faqih Saad atas kesabaran dan pengertian serta dukungan dan kegembiraan selama ini.

9. Adik-adiku Ir. Muhammad Ichwan Saad MBA; Meiyanne Diah Permata Saad, SE. MBA dan Muhammad Ridha Saad. SH. LLM beserta keluarga yang senantiasa memberikan doa dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat luas. Semoga Alloh swt memberikan rohmat dan ridho Nya.


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat pada hari Sabtu tanggal 14 Desember 1963. Merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pernikahan Ir. H. Abdul Rivai Saad. MSc (Almarhum) dengan Hj. Siti Desmaniar Saad.

Menempuh pendidikan dasar di SD Islam Al Azhar Jakarta, SMP di SMPN XIII Jakarta, SMA di SMAN III Jakarta. Memperoleh Sarjana Teknik Planologi dari Fakultas Teknis Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Perencanaan Kota dan Wilayah, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung pada tahun 1991. Memperoleh Master of Science di bidang Agriculture Economic dari Oklahoma State University (OSU), Oklahoma, USA pada tahun 1994. Serta melanjutkan ke program strata tiga di Program Studi Lingkungan (PSL) IPB.

Penulis bekerja di Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil (Ditjen PPHP) pada Direktorat Pemasaran Internasional.


(14)

Judul : Disain Kebijakan Pengendalian Ruang Di Sekitar Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Djuanda Provinsi Jawa Barat

Nama : Akbarsyah Rivai Saad

NRP : P 062 054 027

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Komisi Pembmbing :

Ketua : Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. Anggota : 1. Dr. Ir. Aris Munandar, MS.

2. Ir. Ananto Kusuma Seta, MSc. PhD

Penguji Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni,

(Dosen Tetap pada Fakultas Kehutanan IPB) 2. Dr. Ir. Anang Sudarna,

(Kepala Dinas Kehutanan Prov Jabar)

Ujian Terbuka Pada

Hari/Tanggal : Rabu/ 2 September 2009 Waktu : 13.30 WIB - selesai


(15)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran... 3

1.3 Perumusan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Kebaruan (Novelty) ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Pembangunan Berkelanjutan ... 12

2.1.1 Teori sistem ... 13

2.1.2 Teori pertumbuhan ... 14

2.1.3 Teori perilaku ... 15

2.2 Penataan Ruang ... 17

2.3 Penggunaan Lahan ... 24

2.3.1 Sumber daya lahan ... 24

2.3.2 Perubahan penggunaan lahan ... 24

2.3.3 Urban Sprawls ... 30

2.3.4 Dinamika lansekap ... 32

2.4 Keindahan Kawasan ... 35

2.5 Valuasi Ekonomi Total ... 37

2.6 Analisis Kebijakan ... 38

2.7 Hasil-Hasil Penelitian Yang Relevan ... 41

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 46

3.2 Tahapan Penelitian ... 46

3.3 Pengumpulan Data ... 48

3.4 Metode Analisis Data ... 50

IV. KONDISI UMUM TAMAN HUTAN RAYA JUANDA ... 52

4.1 Sejarah Tahura Djuanda ... 52

4.2 Kondisi Biogeofisik ... 53

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi di Sekitar Kawasan Tahura Djuanda... 56

4.4 Sarana dan Prasarana ... 59

4.5 Potensi Wisata Kawasan Tahura Djuanda ... 59

4.6 Kebijakan Pengelolaan Tahura ... 61

V. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN SEKITAR TAHURA DJUANDA ... 70

5.1 Pendahuluan ... 62

5.2 Metode Analisis Perubahan Penggunaan Lahan ... 64

5.3 Hasil Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Sekitar Tahura Djuanda ... 67


(16)

xv

VI. ANALISIS KEINDAHAN KAWASAN... 91

6.1 Pendahuluan ... 92

6.2 Metode Analisis ... 92

6.3 Hasil Analisis dan Pembahasan ... 94

6.4 Kesimpulan... 109

VII. NILAI EKONOMI TOTAL KAWASAN TAHURA DJUANDA ... 110

7.1 Pendahuluan ... 103

7.2 Metode Analisis ... 105

7.3 Hasil dan Pembahasan Nilai Ekonomi Total Tahura Djuanda ... 107

7.4 Persepsi Masyarakat ... 142

7.5 Kesimpulan ... 148

VIII. ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG KAWASAN SEKITAR TAHURA DJUANDA ... 150

8.1 Pendahuluan ... 150

8.2 Metode Analisis Kebijakan Pengendalian Ruang di Kawasan Tahura Djuanda... 152

8.3 Prioritas Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang ... 156

8.4 Kesimpulan... 170

IX. DISAIN KEBIJAKAN PENGENDALIAN RUANG ... 174

9.1 Pembahasan Umum ... 174

9.2 Kebijakan Pengendalian Ruang ... 177

9.3 Strategi Implementasi Kebijakan Pengendalian . ... 185

X. KESIMPULAN DAN SARAN ... 188

10.1 Kesimpulan ... 188

10.2 Saran ... 189

DAFTAR PUSTAKA ... 190


(17)

xvi

DAFTAR TABEL

No. Nama Tabel Halaman

1. Jenis, Sumber Data dan Metode Penelitian ... 50

2. Sebaran Jumlah Penduduk di Sekitar Tahura Djuanda ... 57

3. Tata Guna Lahan di Sekitar Tahura Djuanda... 58

4. Kronologis Pengelolaan tahura Djuanda ... 63

5. Materi Peraturan dan Perundangan yang Berkaitan dengan KBU ... 69

6. Penambahan Luas Per kuadran dari tahun 1992-2006 ... 78

7. Perubahan Penduduk Daerah Urban, Daerah Urban Fringe Area, dan Indeks Sprawl dari Tahun 1980-1990 Untuk Bagian Barat Amerika Serikat ... 81

8. Luas Penggunaan Lahan di Tahura Djuanda Tahun 1992, 1997, 2002 dan 2006 ... 84

9. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan pada Periode 1992-1997; 1997-2002; 2002-2006 dan 1992-2006 ... 87

10. Presentase Jumlah Daerah Berdasarkan Nilai SBE ... 102

11. Biaya untuk mengaliri Lahan Pertanian di Tahura Djuanda... 128

12. Rincian Biaya yang dikeluarkan untuk Pengadaan Air Domestik ... 133


(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

No. Nama Gambar Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 7

2. Urban Sprawl tipe Concentric Development... 31

3. Urban Sprawl tipe Ribon Development ... 31

4. Urban Sprawl tipe Leap Frog Development ... 32

5. Segitiga Pemanfaatan Lahan di Kawasan Rural-Urban Fringe ... 34

6. Klasifikasi Nilai Ekonomi (Pearce, 1992) ... 37

7. Tahapan Pelaksanaan Penilitian ... 46

8. Peta Situasi Lokasi Penelitian... 47

9. Mata Pencaharian Penduduk di Sekitar Tahura Djuanda ... 57

10. Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara menurut RTRW Kabupaten Bandung ... 67

11. Pembagian Lahan Terbangun per kuadran... 78

12. Peta Urban Sprawl tahun 1992 ... 79

13. Perkembangan Perembetan Kegiatan Perkotaan Tahun 2006 ... 80

14. Struktur Metropolitan Bandung ... 82

15. Penggunaan Tanah di Kota Bandung Tahun 2006 ... 86

16. Pola Sebaran Perubahan Tutupan Lahan Pemukiman Tahun 2006 .. 87

17. Peta Urban Sprawl di Sekitar Kawasan Tahura 2006 ... 88

18. Foto Nomor 116 dengan nilai Zo terkecil, SBE (0.0)... 97

19. Grafik Sebaran nilai SBE untuk 120 buah Foto... 98

20. Foto dengan Nilai SBE tertinggi dan terendah ... 98

21. Foto dengan Nilai SBE tinggi ... 99

22. Foto dengan Nilai SBE sedang ... 100

23. Foto dengan Nilai SBE rendah ... 101

24. Pengelompokan nilai SBE ... 102

25. Peta Keindahan Kawasan sekitar Tahura Djuanda... 103

26. Peta Keindahan dan Kelas Ketinggian Kawasan Sekitar Tahura Djuanda ... 108

27. Distribusi Asal Pengunjung Tahura Djuanda... 120

28. Distribusi Pengunjung berdasarkan Kelompok Umur, Tingkat, Pendidikan, Pekerjaan, dan Pendapatan ... 122

29. Distribusi Pengunjung berdasarkan Kepentingan dan Jumlah Kunjungan ... 123

30. Kunjungan ke Tahura dari tahun 2004-2007 ... 123

31. Kunjungan per bulan Tahun 2004-2007 ... 124

32. Distribusi Responden berdasarkan Cara memperoleh Air... 126

33. Distribusi Umur, Tingkat Pendidikan, Jenis Pekerjaan, dan Pendapatan Responeden di sekitar Tahura Djuanda ... 129

34. Distribusi Masyarakat berdasarkan Sumber Air yang digunakan ... 130

35. Sistem Pengaliran Air dari Sumber Air melalui Bak Primer dan Bak Sekunder sampai Bak Rumah Tangga... 131

36. Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan tahura Djuanda ... 145

37. Persepsi Masyarakat terhadap Ketertarikan Keberadaan Tahura Djuanda dengan Air yang dimanfaatkan oleh Masyarakat ... 146

38. Hak Pemanfaatan Tahura Djuanda sebagai Sumberdaya Domestik . 147 39. Hak Pemanfaatan Tahura sebagai Sumber Air Pertanian ... 148 40. Pemanfaatan Kawasan Tahura Djuanda untuk Kegiatan Ekowisata . 148


(19)

xviii 41. Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Pengelolaan Tahura

Djuanda ... 150 42. Hirarki AHP Penentuan Kebijakan Pengendalian Ruang Kawasan

Tahura Djuanda... 157 43. Bobot Faktor-Faktor Pada Setiap Level Penentuan Kebijakan ... 160 44. Grafik Daya Tampung Ruang Maksimal Vs Kecendrungan

Pertumbuhan Penduduk Kab Bandun ... 185 45. Pola Sebaran Daya Dukung Maksimal per Kecamatan di Kawasan


(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

No. Nama Lampiran Halaman

1. Jumlah Penduduk dan Ratio Jenis Kelamin di Kec. Cimenyan dan

Kec. Lembang, Kabupaten Bandung Tahun 2005 ... 196

2. Nilai PDRB Kota Bandung Menurut Kelompok Sektor Tahun 2004-2006 (Juta Rupiah)... 196

3. Komposisi Pendapatan Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2006... 196

4. Nilai PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2006 (Juta Rupiah)... 197

5. Distribusi Persentase PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2006 (%)... 197

6. Penggunaan Tanah Berdasarkan Jenis Penggunaan di Kota Bandung Tahun 2006... 198

7. Penggunaan Lahan di Kota Bandung Tahun 2006 ... 198

8. Taman Kota di Kota Bandung Tahun 2000 s.d. 2006 ... 199

9. Potensi Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung Tahun 2006 (Ha) ... 199

10. Jenis, Luas, dan Kondisi Sarana Prasarana Tahura Djuanda ... 200

11. Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2006 ... 201

12. Foto-Foto Penilaian SBE... 202

13. Kuesioner AHP ... 208

14. Perhitungan Nilai SBE... 222

15. Hasil Analisis Regresi ... 239


(21)

1.1. Latar Belakang

Kota Bandung dengan luas wilayah 16.730 ha semula dirancang hanya untuk berpenduduk 500.000 jiwa. Namun kenyataannya, kini berpenduduk 3 juta jiwa (siang hari) dan 2,5 juta (malam hari) (BPS, 2007). Kondisi menunjukkan kepadatan luar biasa yang pada akhirnya memberikan konsekuensi ketidaknyamanan hidup bagi masyarakatnya. UNESCO memberi batas ideal pemukim sebuah kota 60 jiwa/ha, tetapi Kota Bandung jauh melampaui angka tersebut, yaitu sebesar 149 jiwa/ha dan laju pertambahan penduduk 2,1% (Dinas Kependudukan Kota Bandung, 2006).

Fenomena tersebut telah banyak mengubah bentukan lanskap dan penggunaan lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota yang ditunjukkan dengan banyaknya daerah yang semula merupakan daerah hijau berubah peruntukannya menjadi permukiman, kawasan industri, dan kawasan non agraris lainnya. Hal ini membuat daerah pinggiran kota mempunyai kawasan terbangun (built up area) dengan kepadatan tinggi, tidak teratur, kondisi lingkungan yang buruk, kondisi sumberdaya estetika yang menurun, pola pergerakan penduduk yang tinggi yang menyebabkan tingginya kemacetan lalulintas dan menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan.

Peningkatan penduduk yang pesat menyebabkan kebutuhan ruang bagi perumahan semakin meningkat. Pada perkembangan selanjutnya pembangunan perumahan bergerak ke arah Bandung Utara. Kawasan Bandung Utara (KBU) berada pada ketinggian 750 m ke atas, sampai pada kawasan pegunungan dan perbukitan sekitarnya. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat Nomor 181/SK1824-Bapp/1982. Pesatnya perkembangan kawasan ini menjadi lebih rumit karena tingginya konflik kepentingan dan status kepemilikan tanah yang bermasalah sehingga menyebabkan semakin tidak terkendalinya pembangunan disana.

Kawasan Bandung Utara (KBU) dengan keindahan bentang alamnya dan iklim yang nyaman menyebabkan tingginya pembangunan perumahan dan kegiatan perkotaan lainnya yang tumbuh tidak sesuai dengan peruntukan kawasan tersebut. Tingginya perubahan fungsi penggunaan lahan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan kawasan konservasi Bandung Utara. Hampir 70%


(22)

dari luas kawasan yang berfungsi lindung di KBU mengalami kerusakan, padahal KBU dengan luas total 38.548,33 ha merupakan daerah resapan air yang secara ekosistem menjadi penyedia air tanah sekitar 60% bagi Kawasan Cekungan Bandung (Bandung basin) yang luasnya mencapai 338.040 ha, sehingga mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan untuk menetapkan KBU sebagai Kawasan Konservasi Resapan Air (Pergub 21 Tahun 2009).

Pengendalian lahan di kawasan tersebut belum efektif akibat terjadinya gejala urban sprawl di KBU. Gejala urban sprawl marak terjadi di sekitar kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda yang langsung berbatasan dengan wilayah Kota Bandung. Kawasan sekitar Tahura Djuanda merupakan wilayah yang memiliki indeks konservasi (air) tinggi. Perubahan lahan yang terjadi di kawasan sekitar konservasi akan berdampak negatif terhadap sistem ekologis kawasan tersebut sebagai wilayah konservasi yang menyediakan jasa lingkungan khususnya jasa lingkungan air (hidrologis) bagi masyarakat Kota Bandung.

Kecenderungan perubahan lahan di KBU selain disebabkan oleh faktor kebutuhan perluasan lahan kota, juga diduga disebabkan oleh posisi kawasan sekitar Tahura Djuanda yang memiliki keindahan pemandangan (scenic beauty) dan lingkungan alami yang cukup asri sehingga dirasakan nyaman sebagai wilayah permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl. Perubahan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar kawasan Tahura Djuanda terkait pula dengan apresiasi masyarakat terhadap nilai lindung atau konservasi dari kawasan tersebut. Pengabaian terhadap nilai tersebut telah mendorong perubahan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingannya tanpa mempertimbangkan nilai strategis kawasan tersebut yang menyediakan sejumlah jasa lingkungan yang sangat penting sebagai penyangga kebutuhan masyarakat Kota Bandung khususnya dalam penyediaan jasa lingkungan hidrologis.

Dampak lain dari kerusakan KBU adalah terjadinya gangguan pada cadangan dan konservasi air. Sekitar 2.200 ha lahan tersebut merupakan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum. Jika Sub-DAS kesembilan sungai tersebut terganggu, akan mempengaruhi pasokan air ke Sungai Citarum


(23)

yang menjadi sumber penggerak PLTA Waduk Saguling, Cirata dan Sumber Air Waduk Jatiluhur (Dinas Tata Ruang, 2004)

Fungsi ekologis KBU perlu dipertahankan guna menjamin pemanfaatan ruang yang lestari. Perubahan tataguna lahan yang terjadi karena pertimbangan penggunaan lahan masih didominasi oleh kepentingan ekonomi dan sosial. Apabila fungsi kawasan diperhatikan dalam perhitungan nilai ekonomi, maka upaya konversi lahan dapat dicegah khususnya pada kawasan yang memiliki nilai ekologis yang tinggi. Internalisasi nilai ekonomi lingkungan dalam kegiatan usaha pemanfataan ruang diperlukan di masa mendatang.

UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur mengenai struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang. Dalam struktur ruang diatur mengenai sistem pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan transportasi. Dalam pola pemanfaatan ruang diatur mengenai kawasan budidaya dan kawasan lindung. Salah satu aspek penting yang diatur dalam UU Penataan Ruang terkait dengan perubahan penggunaan lahan adalah perlu menyediakan 30% lahan terbuka hijau di perkotaan dan 30% lahan hutan di kawasan daerah aliran sungai. Kenyataan menunjukkan bahwa kawasan perkotaan pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan aturan tersebut. Fenomena ini juga menjadi permasalahan dalam pembangunan Kota Bandung dan sekitarnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, upaya pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan untuk mempertahankan kawasan tersebut sebagaimana fungsinya sebagai kawasan berkonservasi tinggi yang memberikan fungsi perlindungan tata ekologis terhadap masyarakat di sekitarnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji permasalahan perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda dan merumuskan kebijakan pengendalian ruangnya.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan akselerasi pembangunan wilayah membutuhkan lahan sebagai ruang hidup dan ruang untuk beraktivitas ekonomi yang mendorong terjadinya konversi atau perubahan lahan. Perubahan penggunaan lahan (landuse change) merupakan masalah yang serius dalam pengelolaan lahan di Indonesia (Warlina, 2007). Intervensi manusia banyak


(24)

mengubah lanskap lahan yang semula alami menjadi lansekap lahan yang disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya secara terencana dan atau tidak terencana. Perubahan lahan yang terencana dilakukan sesuai dengan rencana peruntukannya, tetapi perubahan lahan yang tidak terencana terjadi di luar rencana peruntukannya. Perubahan lahan yang terjadi di luar peruntukannya umumnya berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem wilayah tersebut, misalnya pembangunan permukiman di atas wilayah konservasi yang telah ditetapkan (Djakapermana, 2008).

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan lahan menurut Ramdan (2004) meliputi: (a) tekanan penduduk terhadap lahan.

Lahan dalam pandangan teori ekonomi klasik bersama dengan modal dan sumberdaya manusia (tenaga kerja) merupakan faktor produksi yang menjamin berlangsungnya kegiatan ekonomi. Berbagai kegiatan ekonomi dilaksanakan di atas (permukaan) lahan, mulai dari yang tradisional sampai modern. Makin beragamnya aktivitas ekonomi, maka kebutuhan lahan semakin meningkat.; (b) Pertumbuhan sektor pembangunan yang meningkat. Pertumbuhan sektor-sektor pembangunan memerlukan lahan sebagai prasarana penunjang kegiatan pembangunan.

Perubahan penggunaan lahan selalu terkait dengan perubahan sistem ekologis (ekosistem) di atasnya. Perubahan ekosistem dimulai dari berubah atau berkurangnya sebagian komponen ekosistem yang ada, yang selanjutnya mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem tersebut. Akibat prinsip interdependensi antar komponen ekosistem yang kuat, maka adanya perubahan komponen mempengaruhi kinerja ekosistem secara keseluruhan. Hasil penelitian Martono (1996) menunjukkan terjadinya konversi lahan dari hutan dan tegalan menjadi taman wisata di Cangkringan Sleman telah mengakibatkan perubahan iklim mikro di wilayah tersebut.

Pertambahan penduduk yang tinggi signifikan mendorong perubahan lahan khususnya di wilayah perkotaaan. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang seiring dengan dinamika pertumbuhan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Djakapermana, 2008). Perkembangan kota tersebut menyebabkan pergeseran fungsi-fungsi perkotaan ke arah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut sebagai proses perembetan kenampakan fisik perkotaan ke arah luar (urban sprawl phenomena) umumnya berlangsung cepat dan tidak terencana (Yunus,


(25)

2000). Gejala urban sprawl menyebabkan pola perkembangan dan pembangunan yang tidak terencana dari wilayah kota menuju wilayah pedesaan sehingga terjadi pertumbuhan penggunaan lahan perkotaan (urban area) ke arah pinggiran yang cepat dan menyebabkan tidak terkendalinya penggunaan lahan di wilayah pinggiran kota (Schultink et al. 2005). Akselerasi dari perambahan (sprawl) menyebabkan biaya-biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sampai sekarang masih tersembunyi, tidak diacuhan atau secara diam-diam diserap oleh masyarakat. Pembebanan dari biaya tersebut terlihat pada biaya barang dan jasa yang tinggi.

Fenomena tersebut telah banyak mengubah bentukan lanskap dan penggunaan lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota yang ditunjukkan dengan banyaknya daerah yang semula merupakan daerah hijau berubah peruntukannya menjadi permukiman, kawasan industri, dan kawasan non agraris lainnya. Hal ini membuat daerah pinggiran kota mempunyai kawasan terbangun (built up area) dengan kepadatan tinggi, tidak teratur, kondisi lingkungan yang buruk, kondisi sumberdaya estetika yang menurun, pola pergerakan penduduk yang tinggi yang menyebabkan tingginya kemacetan lalulintas dan menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan. Perubahan lahan yang tidak terencana ini akan mengurangi fungsi ekologis daerah pinggiran sebagai wilayah penyangga kota yang umumnya merupakan wilayah dengan indeks konservasi tinggi. Pengendalian ruang di wilayah tersebut diperlukan untuk mengantisipasi dampak negatif dari gejala urban sprawl

tersebut.

Pertumbuhan Kota Bandung sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat telah menimbulkan gejala urban sprawl ke luar kota yang umumnya mengarah ke KBU. Perubahan lahan yang tidak terkendali banyak terjadi di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda yang langsung berbatasan dengan pusat Kota Bandung. Penyimpangan pemanfaatan ruang akibat perubahan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan dapat disebabkan oleh adanya daya tarik alami keberadaan kawasan yang berubah fungsi dan masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai lindung atau konservasi dari keberadaan kawasan yang selama ini memberikan perlindungan ekosistem serta menyediakan sejumlah jasa lingkungan.

KBU yang disebut sebagai wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara adalah wilayah yang berada pada elevasi 750 meter di atas permukaan laut,


(26)

sampai puncak gunung dan perbukitan di sekitarnya yang terletak di bagian Utara Kabupaten Bandung sebagai bagian dari suatu sistem DAS. KBU perlu mendapat perhatian khusus karena pada lerengya terdapat suatu kota metropolitan dengan segala aktivitas dan perkembangannya. KBU selama ini merupakan salah satu kawasan yang sering menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan, kondisinya semakin memprihatinkan. KBU seperti Lembang, Punclut, Ciumbuleuit, dan Dago memiliki berbagai kelebihan sehingga lahan kawasan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi. Wilayah ini dikatakan elite karena terdapat hotel-hotel berbintang, restoran internasional, tempat kebugaran, dan lambang-lambang kemakmuran golongan atas.

Kawasan sekitar Tahura Djuanda umumnya merupakan dataran tinggi yang memiliki keindahan panorama (scenic beauty) dan lingkungan alami cukup asri sehingga mendorong terjadinya perubahan lahan dari yang semula berupa daerah alami menjadi daerah terbuka dengan pola ruang menyerupai perkotaan yang didominasi oleh penggunaan ruang untuk permukiman. Dalam hal ini scenic beauty dari kawasan yang berbatasan dengan pusat kota dapat memicu terjadinya urban sprawl yang menyebabkan degradasi fungsi kawasan konservasi dan mengancam terganggunya sistem ekologis dari kawasan yang secara alami memberikan perlindungan dan jasa lingkungan bagi wilayah kota di sekitarnya.

Perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi yang marak terjadi disebabkan pula oleh rendahnya apresiasi terhadap nilai konservasi dari keberadaan kawasan yang berfungsi lindung atau konservasi. Nilai lahan sering tidak mempertimbangkan nilai keberadaan kawasan tersebut, sehingga kepedulian untuk memanfaatkan ruang sesuai dengan peruntukannya cenderung terabaikan. Adanya perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda berdampak terhadap penurunan fungsi lindung kawasan yang secara alami merupakan wilayah dengan indeks konservasi tinggi, sehingga dikategorikan sebagai kawasan resapan air.

Salah satu hal yang menyebabkan tinggi kecenderungan perubahan lahan di kawasan Tahura Djuanda adalah belum adanya mekanisme pengaturan pengendalian ruang yang membatasi penduduk untuk datang bermukim di sekitar kawasan. Nilai lahan yang relatif murah bagi penduduk perkotaan menjadi daya tarik sendiri. Selain itu sistem pajak yang diterapkan masih konvensional yakni nilai lahan dihitung seperti penggunaan lahan lainnya sehingga tidak ada


(27)

perlakuan khusus dari aspek lingkungan. Hal ini karena penilaian terhadap keindahan kawasan dan nilai ekonomi total kawasan belum dilakukan dan diperhitungkan dalam pengelolaan kawasan.

Untuk mengantisipasi dampak ekologis dari perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan kajian kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan penggunaan ruang tersebut. Kebijakan yang perlu diatur dalam pengendalian ruang di kawasan tersebut mencakup tentang penataan kelembagaan pengendalian ruangnya, serta pengembangan kebijakan pengendalian ruang yang bersifat insentif dan disinsentif. Perumusan disain kebijakan mempertimbangkan pula kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan dalam mengatur ruang di kawasan tersebut. Disain kebijakan dalam pengendalian ruang dilakukan dengan melibatkan pakar dan stakeholders yang terkait langsung dengan pemanfaatan ruang di kawasan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Urban Sprawl

Penggunaan Ruang Tahura Djuanda Kondisi Kawasan Bandung Utara

Analisis Spasial Perubahan Penggunaan Lahan

Analisis Keindahan Kawasan

Keterkaitan Keindahan Kawasan dengan Tren

Perubahan Ruang

Valuasi Nilai Ekonomi Total

Nilai Ekonomi Kawasan Tahura

Djuanda Trend Perubahan

Penggunaan Ruang Tahura

Kebijakan Pengendalian Ruang Kawasan Tahura


(28)

1.3. Perumusan Masalah

Kawasan konservasi Tahura Djuanda yang merupakan kawasan berindeks konservasi tinggi memiliki fungsi perlindungan ekosistem dan menyediakan jasa lingkungan hidrologis bagi masyarakat di sekitarnya. Gejala

urban sprawl akibat pertumbuhan Kota Bandung memicu perubahan lahan di kawasan sekitar Tahura yang semula merupakan ekosistem alami berubah menjadi lahan terbuka yang didominasi oleh pemanfaatan ruang untuk permukiman. Perubahan lahan yang tidak terencana tersebut berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan di wilayah tersebut terutama fungsi kawasan tersebut sebagai daerah resapan air dan bagi keberadaan Tahura,

Kawasan hutan berfungsi sebagai kawasan cagar alam (Gunung Tangkuban Perahu) dan Tahura Djuanda adalah kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya. Wilayah Perkotaan seperti Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Perdesaan dialokasikan pada Kawasan Bandung Utara bagian Timur dan Barat yaitu kawasan budidaya sawah.

Kawsan Bandung Utara yang termasuk daerah hulu Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum mempunyai peran yang sangat penting sebagai daerah pemasok air. Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir, sehingga keterkaitan hulu dan hilir DAS sangat erat. Daerah hilir tidak mungkin mendapatkan kesinambungan pasokan air minum dengan kuantitas dan kualitas yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu (Acreman, 2004; Johnson et al., 2001).

KBU selama ini merupakan salah satu kawasan yang sering menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan. Wilayah ini boleh dikatakan elite karena terdapat hotel-hotel berbintang, restoran internasional, tempat kebugaran, dan lambang-lambang kemakmuran golongan atas. Namun kini kondisinya semakin memprihatinkan. Kawasan Bandung Utara seperti Lembang, Punclut, Ciumbuleuit, dan Dago memiliki berbagai kelebihan sehingga tanah di daerah itu mempunyai nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu tak heran jika banyak para pengembang begitu bernafsu untuk melakukan pembangunan fisik disana.


(29)

Saat ini, lebih dari 2.000 ha lahan konservasi di Kecamatan Lembang dipenuhi ratusan bangunan yang diduga liar (bangle), padahal luas kawasan yang diperbolehkan ada bangunan di Lembang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung hanya 1.035 ha, bahkan maraknya pembangunan itu seringkali mengabaikan aspek hukum dan lingkungan. Salah satu pembangunan yang merusak lingkungan itu adalah diurugnya Situ PPI (Persatuan Perikanan Indonesia) pada tahun 2001.

Pesatnya perkembangan kawasan ini diperparah dengan tingginya konflik kepentingan dan status kepemilikan tanah yang bermasalah sehingga menyebabkan semakin tidak terkendalinya pembangunan disana. Dampak lain dari kerusakan KBU adalah terjadinya gangguan pada cadangan dan konservasi air, dimana sekira 2.200 hektar lahan tersebut merupakan Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung, Cimahi, Citarik Hulu dan lima anak sungai lainnya yang bermuara di sungai Citarum. Jika Sub-DAS kesembilan sungai tersebut terganggu, akan mempengaruhi pasokan air ke Sungai Citarum yang menjadi sumber penggerak PLTA Waduk Saguling, Cirata dan Sumber Air Waduk Jatiluhur. Tumbuhnya permukiman dan vila di KBU diperkirakan perusahaan dan pengembang akan menyedot air tanah untuk penduduk di kawasan rumah mewah itu sedikitnya 1.000 liter per detik. Angka ini berdasarkan standar kebutuhan air bersih 0,5 liter per detik setiap hektar.

Perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda merupakan dampak dari gejala urban sprawl. Selain letak kawasan tersebut yang dekat dengan pusat Kota Bandung, juga disebabkan oleh keindahan panorama kawasan tersebut yang umumnya berada di dataran tinggi dan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai konservasi dari keberadaan kawasan tersebut. Sampai saat ini perubahan lahan di sekitar kawasan konservasi cukup merisaukan yang ditunjukkan dengan makin meluasnya pengembangan kawasan permukiman dan kegiatan ekonomi lainnya ke arah kawasan konservasi Tahura Djuanda, sehingga diperlukan disain kebijakan yang efektif untuk mengendalikan perubahan lahan tersebut.

Beberapa pertanyaan permasalahan yang mengemuka dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana kecenderungan pola dan arah perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda.


(30)

b. Bagaimana kaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhi nilai scenic beauty kawasan sekitar Tahura Djuanda. dengan tren perubahan penggunaan lahan.

c. Bagaimana memberikan nilai konservasi kawasan Tahura sebagai kawasan konservasi di kawasan Bandung Utara.

d. Bagaimana rumusan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Tahura Djuanda yang merupakan kawasan konservasi bagi wilayah Bandung.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Taman Hutan Raya Djuanda Propinsi Jawa Barat. Tujuan khusus penelitian adalah:

1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi scenic beauty kawasan sekitar Tahura Djuanda dan kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan. 3. Menganalisis nilai ekonomi total kawasan Tahura sebagai kawasan

konservasi di kawasan Bandung Utara.

4. Merumuskan kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Tahura Djuanda yang merupakan kawasan konservasi bagi wilayah Bandung.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah daerah, dapat dijadikan rumusan kebijakan dalam

pengendalian penggunaan ruang di sekitar Tahura Djuanda, Jawa Barat terutama dalam mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi dan tujuan wisata.

2. Bagi masyarakat (stakeholder), memberikan kontribusi hasil pemikiran secara ilmiah kepada masyarakat tentang pentingnya nilai manfaat jasa lingkungan yang ada di kawasan konservasi Tahura Djuanda baik fungsinya sebagai kawasan konservasi maupun sebagai daerah tujuan wisata sehingga perlu upaya perlindungan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak terkendali.


(31)

3. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi dan pengkajian lebih lanjut perencanaan penggunaan ruang di sekitar Tahura ke depan.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini terutama dari segi metode, penelitian ini menggunakan metode secara komprehensif untuk mengkaji tren perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda dengan membandingkan nilai manfaat jasa lingkungan dan nilai keindahan kawasan (scenic beauty value) yang terkandung di dalamnya. Metoda estimasi keindahan kawasan (scenic beauty estimation) pada umumnya digunakan untuk menilai potensi suatu kawasan yang akan dikembangkan terutama sebagai kawasan pariwisata dalam pengertian bahwa daerah atau kawasan tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah kawasan pertumbuhan baru

Perubahan penggunaan terutamanya didorong oleh pertumbuhan penduduk yang masuk kedalam suatu kawasan yang mempunyai nilai daya tarik yang tinggi seperti keindahan estetika, iklim yang nyaman dan lokasi yang berbukit. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa keindahan kawasan tersebut yang merupakan daya tarik dan dikaitkan dengan fungsi daerah tersebut sebagai kawasan konservasi dan dengan berlokasi yang berbatasan langsung dengan kota besar dapat memberikan dampak buruk bagi kualitas kawasan tersebut, bila perkembangan yang masuk kekawasan tersebut tidak dikendalikan dengan baik.

Dari segi hasil, penelitian ini menilai jasa lingkungan di kawasan konservasi Tahura Djuanda baik dari sisi fungsi konservasi maupun nilai keindahan kawasan dapat digunakan sebagai masukan untuk arahan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Hasil ini belum pernah ada dalam berbagai penelitian lainnya.


(32)

2.1. Pembangunan Berkelanjutan

Untuk kelancaran pembangunan berkelanjutan, perencanaan sektoral di tiap-tiap daerah tidak berlaku. Dalam hal penggunaan sumberdaya lahan, istilah berkelanjutan dapat berarti “menempatkan bentuk penggunaan lahan tak-deterioratif yang kompatibel dalam jumlah maksimum, sehingga memperoleh nilai manfaat yang lebih baik dari bentuk penggunaan lahan yang diterapkan” (Notohadiprawiro, 1987). Implikasi dari makna berkelanjutan tersebut ialah mengupayakan berlangsungnya interaksi bentuk dan intensitas kegiatan dengan kemampuan lahan yang ditempati kegiatan tersebut pada aras (level) optimum.

Berkelanjutan selalu berkonotasi produktifitas, efisiensi, konservasi, berwawasan lingkungan dan masa depan, serta pemerataan hak dan kesempatan berkembang bagi semua pihak. Khusus untuk implementasi konotasi terakhir diperlukan kelembagaan yang tanggap dan efektif. Taylor (1980) melihat bahwa kelembagaan di negara-negara sedang berkembang seringkali menjadi kendala utama pembangunan, terutama dalam hal pertanian yang melibatkan banyak petani kecil.

Keadaan dan pengelolaan sumberdaya lahan makin menjadi bahan kepedulian sehubungan dengan tekanan makin berat atas sumberdaya tanah, air, dan tanaman akibat dari pemekaran populasi dan pengembangan ekonomi. Meskipun masih ada ruang bagi perluasan lahan produktif di beberapa wilayah, namun di bagian terbesar dunia yang sedang berkembang kebutuhan akan peningkatan produksi terpaksa dipenuhi dari lahan yang sudah diusahakan dengan intensifikasi. Kenyataan ini memerlukan pemeliharaan potensi produktif sumberdaya-sumberdaya bersangkuktan selaku unsur-unsur mendasar dalam menggunakan lahan berkelanjutan (Pier et al. 1955).

Untuk mengharkatkan lahan perlu difahami benar perbedaan pengertian ciri lahan dan mutu lahan. Ciri lahan (land characteristic) adalah tanda pengenal (attribute) atau tampakan (feature) lahan yang terukur atau dapat ditaksirkan, jadi merupakan penentu niliai kuantitatif. Mutu lahan adalah tanda pengenal atau tampakan lahan majemuk yang bertindak berbeda dengan tindakan tanda pengenal lahan majemuk yang lain dalam mempengaruhi kesesuaian lahan bagi macam penggunaan tertentu (FAO, 1977). Mutu lahan menunjuk pada keadaan ‘kesehatan’ lahan dan khususnya kepada kapasitasnya bagi penggunaan lahan


(33)

dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Mutu lahan ditaksir dalam kaitannya dengan ragam khusus penggunaan lahan (Pieri, dkk., 1955). Mutu lahan adalah penentu nilai kualitatif karena tidak dapat diukur dan hanya dapat ditaksir. Tekanan atas mutu lahan dapat menjurus ke berbagai bentuk degradasi lahan.

Menurut Michalic (2000), teori umum dalam kreasi, eliminasi dan prevensi kerusakan lingkungan seperti yang dikembangkan dalam teori kebijakan lingkungan (teori perilaku, pertumbuhan dan teori sistem) dapat diaplikasikan dalam bidang pariwisata dengan hanya sedikit modifikasi. Pasar, fiskal dan instrumen administrasi seperti yang diturunkan dari teori-teori di atas dapat diakomodasikan untuk digunakan dalam pariwisata dalam rangka untuk mencegah atau meminimalkan kerusakan lingkungan. Mereka biasanya mencegah dan menghilangkan kerusakan pada lingkungan alami, hanya sedikit yang cocok untuk melindungi sosial atau lingkungan budaya.

Perdebatan mengenai ekonomi secara ekslusif jarang ditemukan dalam literatur mengenai ekologis, lingkungan atau pariwisata berkelanjutan. Kebanyakan pekerjaan yang ada mengenai isu ekologis utamanyan dari sudut pandang sosiologis. Walaupun begitu, instrumen ekonomi dari kebijakan lingkungan atau instrumen yang berorientasi pasar menpunyai kesempatan untuk mencegah atau meminimalkan kerusakan lingkungan pada pariwisata.

2.1.1. Teori Sistem

Teori pertama yang menjabarkan penyebab kerusakan lingkungan adalah Teori Sistem. Kerusakan lingkungan terjadi akibat alokasi sumber daya yang tidak efisien sebagai dampak dari: (i) kegagalan pasar dan/atau (ii) kesalahan negara/pemerintah. Efisiensi alokasi diartikan sebagai optimalitas Pareto, seperti situasi dimana mustahil mengalokasikan environmental goods (komoditi lingkungan) untuk membuat satu orang menjadi lebih baik secara ekonomi tanpa membuat satu orang lainnya menjadi lebih buruk secara ekonomi. Environmental goods (komoditi lingkungan) dapat dialokasikan secara optimal dengan memfungsikan pasar untuk environmental goods (komoditi lingkungan) dan/atau dengan campur tangan pemerintah.

Teori-teori ini membedakan antara biaya atau ongkos pribadi dan sosial dengan keuntungan yang diperoleh. Jumlah total dari biaya atau ongkos pribadi dan keuntungan yang diperoleh tidak sama dengan jumlah biaya atau ongkos


(34)

sosial dan keuntungan yang didapat dikarenakan seringkali sebuah perusahaan tidak menyadari produk totalnya (efek eksternal positif) dan/atau tidak menghitung semua biaya atau ongkos sosial di dalam biaya produksinya (efek eksternal negatif). Ini berarti kehilangan optimalitas Pareto sebagai subyek ekonomi yang lebih baik atau lebih buruk pada pengeluaran atas biaya atau keuntungan atas yang lainnya. Sebuah contoh klasik dari eksternalitas negatif, sebuah perusahaan membuang sampah organik ke sungai, yang akan mengurangi kemungkinan produksi perusahaan lain sebagai tempat rekreasi berenang dan memancing yang berkualitas baik (Hjalte et al., 1977).

Pigou (1920: in Leipert, 1980:7) menyatakan bahwa perbedaan antara dampak pribadi dengan sosial memerlukan campur tangan pemerintah untuk mencapai alokasi sumber daya yang optimal. Dia mengusulkan pajak dan subsidi. Subsidi mengacu pada efek positif eksternal dan pajak pada efek negative. Bila pajak lingkungan digunakan, biaya internal dari perusahaan akan meningkat dan perusahaan secara konsekuen akan mengurangi jumlah penggunaan lingkungannya: baik dengan mengurangi produksi atau menggunakan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu alokasi sumberdaya lingkungan yang lebih baik dicapai melalui dampak dari naiknya biaya perusahaan dan harga dari mekanisme pasar.

Teori sistem menganjurkan beberapa instrumen berikut yang dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan seperti : pajak, subsidi dan kompensasi, melalui harga dan biaya, dampak dengan lebih optimal alokasi sumber daya alam dan atau mengurangi utilisasi lingkungan melalui mekanisme pasar. Satu dari teori sistem, teori barang lokal, menganjurkan bahwa biaya untuk perlindungan lingkungan harus ditanggung oleh pihak ketiga (negara) dan tidak oleh industri (pariwisata)

2.1.2. Teori Pertumbuhan

Pertumbuhan ekonomi yang konstan dan pertumbuhan penduduk adalah merupakan alasan penyebab yang paling jelas bagi timbulnya konfik kepentingan atas perekonomian masyarakat dengan lingkungan sumberdaya alam dan merupakan penyebab tidak langsung atas memburuknya kondisi kehidupan di muka bumi (Michalic, 2000).


(35)

Dalam area pembangunan ekonomi, ide mengenai zero growth

pertumbuhan ekonomi telah digantikan dengan ide mengenai kualitas dan/atau pertumbuhan ekonomi organik.

Sedangkan dalam teori pertumbuhan penduduk menjelaskan bahwa sebuah pertumbuhan penduduk akan memberikan tekanan pada sumber daya alam. Pertumbuhan penduduk menyebabkan kerusakan lingkungan akibat penggunaan ruang yang berlebihan (over-utilization) oleh penduduk, pembangunan pada daerah pedesaan, yang menyebabkan hilangnya kawasan hijau, dan bahkan menyebabkan perubahan iklim.

Instrumen yang dihasilkan dari teori pertumbuhan dapat memberikan dampak untuk mengurangi atau mengatur pertumbuhan. Pembatasan kualitas melalui berbagai jenis sertifikat merupakan hal yang sangat penting dan sertifikat berdasarkan pasar atau izin yang dapat diperdagangkan kepada pengembang yang berminat merupakan sebuah jaminan bahwa harga penggunaan lingkungan ditentukan dalam basis permintaan dan penawaran. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan dan konsentrasi dapat dibatasi dengan instrumen administrasi.

Sebuah solusi dengan penggunaan sertifikat yang berdasarkan jumlah dan memberikan pemilik sertifikat sebuah hak untuk dapat melakukan polusi pada jumlah tertentu dan/atau penggunaan lingkungan hidup.

2.1.3. Teori Perilaku

Teori tidak hadirnya etika lingkungan mencoba untuk menjelaskan beberapa alasan kerusakan lingkungan dari sisi filosfosi. Dari sudut pandang sejarah, berasal dari filosofi Aristoteles (De Haas, 1989:266), yang menyatakan atas kesamaan pada tiga daerah yaitu: politik, ekonomi, dan etika. Ekonomi tidak memasukkan filosofi praktis, dan berdiri sebagai bidang keilmuan sendiri, mengembangkan cara berfikir berdasarkan rasionalitas dan hanya mengacu pada nilai ekonomi. Dengan alasan ini, permintaan akan etika dalam keadilan, kemanusiaan dan ekologi adalah irasional. Dengan dasar ini maka sebuah teori yang mengklaim bahwa ketidakhadiran etika social lingkungan telah menyebabkan attitude yang negative atas lingkungan alam (Frey, 1985: 38).

Teori perilaku lingkungan menjelaskan keberadaan kerusakan lingkungan: 1) melalui ketidak-hadiran etika social lingkungan dan 2) sebagai sebuah produk dari ketidaktahuan manusia.


(36)

Ketidakhadiran etika sosial lingkungan merupakan alasan utama atas kerusakan dan degradasi lingkungan. Istilah ini mengacu pada standar dan prinsip yang mengatur perilaku dari individu atau kelompok-kelompok individu (Rue dan Byars, 1986:71) dalam hubungannya dengan lingkungan. Secara umum etika berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “mana yang benar dan mana yang salah”, dan dengan kewajiban moral. Teorinya, diasumsikan bahwa sesorang memiliki kesadaran lingkungan dan etika lingkungan dan akan berreaksi secara ramah lingkungan apabila informasi dan pengetahuan praktis lingkungan tersedia. Menurut beberapa penulis, kesadaran lingkungan termasuk keinginan untuk melakukan tindakan secara ramah lingkungan (Muller and Flugel, 199:53). Muncul jarak karena keinginan tidak diteruskan menjadi perilaku sesungguhnya.

Secara umum kita dapat menarik batas antara etika bisnis (sisi penawaran) dan etika konsumer (sisi permintaan). Perbedaan permintaan dan penawaran pada pariwisata dapat juga terjadi. Etika pariwisata pada sisi wisatawan menentukan prinsip lingkungan yang mengatur perilaku wisatawan, dilain pihak etika pada sisi penawaran mengatur sikap terhadap lingkungan dari sisi pemerintah, daerah tujuan, dan perusahaan wisata.

Variasi kedua dari teori perilaku lingkungan melibatkan ketidaktahuan manusia dikarenakan kurangnya penelitian lingkungan, pendidikan dan informasi. Teori berkata bahwa bencana lingkungan berlangsung pada periode waktu yang lama. Hubungan langsung dengan aksi tertentu tidak tampak, maka dari itu kurangnya pengertian dan informasi merupak alasan utama mengana bencana terjadi. Bila umat manusia memiliki informasi yang memadai mengenai konsekuensi dari tindakannya, maka bencana dapat dihindari. Dalam rangka menghindari manipulasi oleh pihak berminat, penelitian dibidang harus ditingkatkan dan menghasilkan informasi yang dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat.

Tidak ada keraguan bahwa informasi yang cukup mengenai kerusakan lingkungan bersama dengan pengetahuan tentang perilaku lingkungan adalah perlu, tapi ini juga bukan hanya satu-satunya kondisi yang diperlukan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Pencegahan juga tergantung pada faktor etika lingkungan yang dijelaskan sebelumnya.

Kedua variasi teori perilaku yg dijelaskan sebelumnya, saling melengkapi (complement) satu dengan yang lain. Etika lingkungan hanya dapat dibangun


(37)

dengan asumsi bahwa alasan-alasan bagi kerusakan lingkungan dan metoda (know-how) bagi perbaikan dan menjaga lingkungan sudah diketahui. Sebaliknya, pengetahuan mengenai bencana lingkungan tidak menjamin bahwa perilaku terkait lingkungan akan lebih ramah.

Instrumen yang diturunkan dari teori perilaku mengasumsikan bahwa konsumen sadar lingkungan dan lebih memilih produk yang ramah lingkungan. Sebagai respon dari meningkatnya permintaan akan produk yang ramah lingkungan maka akan mengurangi tekanan pada kerusan lingkungan. Sehingga melalui mekanisme pasar akan merubah struktur produksi and mengurang tekanan pada lingkungan.

2.2. Penataan Ruang

Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai suatu kesatuan tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana melalui suatu proses yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Penataan ruang berdasarkan : (a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan hasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; (b) Keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.

Penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya peraturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya sehingga terciptanya peraturan pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi (Darwanto, 2000).

Tata ruang merupakan suatu artian harfiah dari kata “spatial” yaitu segala sesuatu yang dipertimbangkan berdasarkan kaidah keruangan. Sejalan dengan anggapan yang diartikan oleh Chadwick (1980), sebagai "The arrangement of space or in space of all kinds". Tata ruang pada hakekatnya merupakan lingkungan fisik dimana terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang tertentu (Rapoport, 1980). Hal ini


(38)

didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor non-fisik seperti organisasi fungsional, pola budaya, dan nilai komunitas. (Porteous, 1981).

Dalam wawasan kaitan antara aspek keruangan dan bukan keruangan inilah kemudian Foley mengemukakan bahwa penataan ruang akan dilandasi oleh suatu paradigma dimana terdapat kaitan antara tiga aspek yaitu (Foley, 1964): (1) Aspek normatif yang bersifat aspasial seperti nilai sosial budaya, institusi, peraturan dan perundangan, teknologi dan spasial. distribusi tataruang dari pola budaya, nilai yang berkaitan dengan pola tata ruang aktivitas dan lingkungan fisik; (2) Aspek fungsional yang bersifat aspasial dan agihan fungsi, sistem aktivitas termasuk manusia dari kegiatan usaha di dalam peranan fungsionalnya dan spasial seperti distribusi tata ruang dan fungsi kaitan tata ruang, pola tata ruang kegiatan berdasarkan macam dan fungsi; dan (3) Aspek fisik yang bersifat aspasial seperti obyek fisik, lingkungan geofisik, lingkungan angkasa, kualitas lingkungan (permukaan, dalam bumi dan angkasa), manusia sebagai wujud fisiko kualitas sumber daya alam dan yang bersifat spasial seperti distribusi tata ruang bentuk fisik, lahan bangunan, jaringan jalan, jaringan utilitas, pola tata guna lahan sesuai dengan kualitas lahannya Dengan perkataan lain tinjauan pengertian struktur ruang harns mengacu pada suatu wawasan yang lebih luas sebagai bagian dari ruang yang disediakan untuk digunakan sebagai tempat benda-benda kegiatan dan perubahan.

Kualitas tata ruang menurut Silalahi (1995) ditentukan oleh terwujudnya pemanfaatan ruang yang memperhatikan (1) daya dukung lingkungan, yaitu jumlah penduduk dalam suatu wilayah yang masih dapat didukung oleh ketersediaan sumberdaya alam, dan penggunaan lahan yang sesuai dengan karakteristik tanah, (2) fungsi lingkungan, yaitu tertatanya tata air, tata udara, suaka alam, suaka budaya, (3) estetika lingkungan, yaitu terpeliharanya bentang alam, (4) lokasi, yaitu pemanfaatan ruang yang serasi antara fungsi lingkungan dengan kawasan lindung dan kawasan budidaya, (5) struktur, yaitu hirarki yang jelas dalam sistem perkotaan dan hubungan yang saling menunjang antar kota besar, kota menengah dan kota kecil.

Sejalan dengan uraian tersebut Hardjowigeno (1999), mengemukakan bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan wadah kehidupan yang mencakup ruang daratan, ruang lautan, ruang udara, termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya serta


(39)

daya, keadaan sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatannya dan memelibara kelangsungan hidupnya. Karena itu tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah dan ketidaklestarian lingkungan serta konflik pemanfaatan ruang.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (5) disebutkan bahwa "Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Dalam penataan ruang harus berasaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, efektivitas dan efisiensi, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Selain itu harus berasaskan keterbukaan, persamaan. keadilan dan perlindungan hukum. Efektivitas dan efisiensi diartikan bahwa penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruang. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang akan berfungsi secara efektif dan efisien bila didasarkan pada sistem pengendalian yang menyediakan informasi yang akurat tentang penyimpangan-penyimpangan terhadap pemanfaatan ruang yang telah terjadi dan ketegasan dalam memberikan tindakan yang tepat dalam menertibkan penyimpangan-pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, perlu disiapkan mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang yang baik. Di Wilayah Kabupaten Kota, penyelenggaraan pengendalian pemanfaatan rnang dilaksanakan melalui mekanisme perizinan, selain melalui kegiatan pengawasan penertiban. Kegiatan pengendalian melalui mekanisme perizinan ini, meliputi: izin mendirikan bangunan, izin HGU, izin penggunaan bangunan, izin mengubah bangunan, izin merubuhkan bangunan dan lain-lain.

Dasar hukum yang mengatur mengenai pengendalian pemanfaatan ruang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 35 yaitu: Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi. perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Hal ini berarti pengendalian pemanfaatan ruang merupakan usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud.

Tindakan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang berupa keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang


(40)

dan urun saham; pembangunan serta pengadaan infrastruktur; kemudahan prosedur perizinan dan/atau; pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah. Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang berupa pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besamya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi dan penalti.

Pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan zonasi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dipertegas dengan Pasal 36 yaitu: (1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. (2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. (3) Peraturan zonasi ditetapkan dengan: Peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi system nasional, peraturan daerah propinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem propinsi; peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.

Rustiadi et al. (2005) menyatakan, penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yakni: (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktivitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keseimbangan, dan keadilan), dan (c) berkelanjutan (prinsip sustainability).

Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari kawasan lindung seperti suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, pantai berhutan bakau, dan sebagainya serta kawasan budidaya seperti industri, pemukiman, pertanian, dan sebagainya, sedangkan berdasarkan aspek administratif, penataan ruang meliputi ruang nasional, wilayah propinsi, wilayah kabupaten/kota yang dalam penyusunannya melalui hirarki dari level yang paling atas ke level yang paling bawah agar penataan ruang bisa dilakukan secara terpadu.

Dalam kerangka penataan ruang secara nasional, ada beberapa permasalahan diantaranya adalah terjadinya tumpang tindih penanganan


(1)

Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z

1 0 70 1,00 - 1 0 70 1,00 - 1 0 70 1,00 - 1 0 70 1,00 -2 0 70 1,00 2,13 2 0 70 1,00 2,13 2 0 70 1,00 2,13 2 0 70 1,00 2,13 3 0 70 1,00 2,13 3 0 70 1,00 2,13 3 1 70 1,00 2,13 3 1 70 1,00 2,13 4 1 70 1,00 2,13 4 0 70 1,00 2,13 4 0 69 0,99 2,19 4 1 69 0,99 2,19 5 5 69 0,99 2,19 5 0 70 1,00 2,13 5 3 69 0,99 2,19 5 3 68 0,97 1,90 6 6 64 0,91 1,37 6 6 70 1,00 2,13 6 12 66 0,94 1,58 6 29 65 0,93 1,47 7 25 58 0,83 0,95 7 1 64 0,91 1,37 7 18 54 0,77 0,74 7 29 36 0,51 0,04 8 21 33 0,47 -0,07 8 30 63 0,90 1,28 8 31 36 0,51 0,04 8 7 7 0,10 -1,28 9 11 12 0,17 -0,95 9 23 33 0,47 -0,07 9 5 5 0,07 -1,47 9 0 0 0,00 -2,13 10 1 1 0,01 -2,19 10 10 10 0,14 -1,07 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13

Sz 7,69 Sz 12,16 Sz 7,40 Sz 4,31

z 0,85z 1,35z 0,82z 0,48

SBE 78,86 SBE 128,57 SBE 75,71 SBE 41,36

Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z

1 0 70 1,00 - 1 0 70 1,00 - 1 2 70 1,00 - 1 0 70 1,00 -2 1 70 1,00 2,13 2 0 70 1,00 2,13 2 0 68 0,97 1,90 2 0 70 1,00 2,13 3 2 69 0,99 2,19 3 0 70 1,00 2,13 3 6 68 0,97 1,90 3 0 70 1,00 2,13 4 0 67 0,96 1,72 4 5 70 1,00 2,13 4 3 62 0,89 1,20 4 1 70 1,00 2,13 5 3 67 0,96 1,72 5 1 65 0,93 1,47 5 17 59 0,84 1,01 5 1 69 0,99 2,19 6 34 64 0,91 1,37 6 1 64 0,91 1,37 6 12 42 0,60 0,25 6 14 68 0,97 1,90 7 27 30 0,43 -0,18 7 29 63 0,90 1,28 7 18 30 0,43 -0,18 7 19 54 0,77 0,74 8 3 3 0,04 -1,72 8 26 34 0,49 -0,04 8 11 12 0,17 -0,95 8 33 35 0,50 0,00 9 0 0 0,00 -2,13 9 8 8 0,11 -1,20 9 1 1 0,01 -2,19 9 2 2 0,03 -1,90 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13

Sz 2,97 Sz 7,13 Sz 0,82 Sz 7,19

z 0,33z 0,79z 0,09z 0,80

SBE 26,41 SBE 72,73 SBE 2,57 SBE 73,38

Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z

1 0 70 1,00 - 1 0 70 1,00 - 1 0 70 1,00 - 1 0 70 1,00 -2 0 70 1,00 2,13 2 0 70 1,00 2,13 2 0 70 1,00 2,13 2 0 70 1,00 2,13 3 0 70 1,00 2,13 3 0 70 1,00 2,13 3 1 70 1,00 2,13 3 2 70 1,00 2,13 4 0 70 1,00 2,13 4 2 70 1,00 2,13 4 1 69 0,99 2,19 4 0 68 0,97 1,90 5 8 70 1,00 2,13 5 5 68 0,97 1,90 5 3 68 0,97 1,90 5 1 68 0,97 1,90 6 16 62 0,89 1,20 6 7 63 0,90 1,28 6 26 65 0,93 1,47 6 29 67 0,96 1,72 7 38 46 0,66 0,40 7 31 56 0,80 0,84 7 24 39 0,56 0,14 7 27 38 0,54 0,11 8 8 8 0,11 -1,20 8 25 25 0,36 -0,37 8 14 15 0,21 -0,79 8 7 11 0,16 -1,01 9 0 0 0,00 -2,13 9 0 0 0,00 -2,13 9 1 1 0,01 -2,19 9 4 4 0,06 -1,58 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13

Sz 4,66 Sz 5,79 Sz 4,85 Sz 5,18

z 0,52z 0,64z 0,54z 0,58

SBE 45,29 SBE 57,79 SBE 47,34 SBE 50,96

Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z

1 1 70 1,00 - 1 1 70 1,00 - 1 0 70 1,00 - 1 1 70 1,00 -2 0 69 0,99 2,19 2 0 69 0,99 2,19 2 0 70 1,00 2,13 2 1 69 0,99 2,19 3 1 69 0,99 2,19 3 1 69 0,99 2,19 3 0 70 1,00 2,13 3 2 68 0,97 1,90 4 0 68 0,97 1,90 4 2 68 0,97 1,90 4 1 70 1,00 2,13 4 5 66 0,94 1,58 5 2 68 0,97 1,90 5 12 66 0,94 1,58 5 2 69 0,99 2,19 5 19 61 0,87 1,13 6 11 66 0,94 1,58 6 30 54 0,77 0,74 6 13 67 0,96 1,72 6 26 42 0,60 0,25 7 31 55 0,79 0,79 7 21 24 0,34 -0,40 7 29 54 0,77 0,74 7 11 16 0,23 -0,74 8 22 24 0,34 -0,40 8 3 3 0,04 -1,72 8 18 25 0,36 -0,37 8 5 5 0,07 -1,47 9 1 2 0,03 -1,90 9 0 0 0,00 -2,13 9 6 7 0,10 -1,28 9 0 0 0,00 -2,13 10 1 1 0,01 -2,19 10 0 0 0,00 -2,13 10 1 1 0,01 -2,19 10 0 0 0,00 -2,13

Sz 6,06 Sz 2,22 Sz 7,20 Sz 0,59

z 0,67z 0,25z 0,80z 0,07

SBE 60,77 SBE 18,13 SBE 73,51 SBE 0,00

Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z Rating f cf cp z

1 3 70 1,00 - 1 2 70 1,00 - 1 2 70 1,00 - 1 2 70 1,00 -2 0 67 0,96 1,72 2 0 68 0,97 1,90 2 0 68 0,97 1,90 2 0 68 0,97 1,90 3 1 67 0,96 1,72 3 0 68 0,97 1,90 3 1 68 0,97 1,90 3 2 68 0,97 1,90 4 11 66 0,94 1,58 4 0 68 0,97 1,90 4 5 67 0,96 1,72 4 9 66 0,94 1,58 5 32 55 0,79 0,79 5 13 68 0,97 1,90 5 6 62 0,89 1,20 5 4 57 0,81 0,89 6 17 23 0,33 -0,44 6 13 55 0,79 0,79 6 17 56 0,80 0,84 6 39 53 0,76 0,70 7 1 6 0,09 -1,37 7 17 42 0,60 0,25 7 17 39 0,56 0,14 7 14 14 0,20 -0,84 8 5 5 0,07 -1,47 8 24 25 0,36 -0,37 8 16 22 0,31 -0,48 8 0 0 0,00 -2,13 9 0 0 0,00 -2,13 9 1 1 0,01 -2,19 9 6 6 0,09 -1,37 9 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13 10 0 0 0,00 -2,13

Sz -1,73 Sz 3,97 Sz 3,73 Sz -0,26

z -0,19z 0,44z 0,41z -0,03

SBE -25,75 SBE 37,55 SBE 34,92 SBE -9,39

Foto 101 Foto 102 Foto 103 Foto 104

Foto 105 Foto 106 Foto 107 Foto 108

Foto 109 Foto 110 Foto 111 Foto 112

Foto 113 Foto 114 Foto 115 Foto 116


(2)

Lampiran 14. (Lanjutan)

1 101,09 11 87,31 21 55,11 31 -34,95

2 70,77 12 36,76 22 112,50 32 46,89

3 81,88 13 103,83 23 8,81 33 31,35

4 61,21 14 48,75 24 96,68 34 80,94

5 91,05 15 66,50 25 63,44 35 45,43

6 94,11 16 62,32 26 87,03 36 90,91

7 31,81 17 100,58 27 36,69 37 92,04

8 83,63 18 94,69 28 59,31 38 102,95

9 95,62 19 55,28 29 71,23 39 118,03

10 55,95 20 65,28 30 74,50 40 62,75

41 87,04 51 47,92 61 53,33 71 92,43

42 -41,71 52 80,87 62 62,11 72 81,90

43 28,13 53 92,13 63 68,38 73 80,96

44 63,14 54 91,19 64 63,38 74 71,53

45 37,08 55 43,71 65 84,32 75 81,01

46 33,83 56 111,31 66 24,94 76 81,95

47 79,96 57 80,69 67 93,02 77 70,91

48 77,79 58 59,43 68 2,46 78 66,53

49 91,79 59 84,12 69 98,37 79 74,72

50 -18,77 60 70,07 70 64,85 80 94,00

81 82,87 91 11,07 101 78,86 111 47,34

82 98,74 92 28,27 102 128,57 112 50,96

83 53,47 93 111,48 103 75,71 113 60,77

84 66,20 94 48,99 104 41,36 114 18,13

85 66,49 95 89,15 105 26,41 115 73,51

86 55,69 96 50,53 106 72,73 116 0,00

87 99,26 97 104,70 107 2,57 117 -25,75

88 36,93 98 70,58 108 73,38 118 37,55

89 99,78 99 106,03 109 45,29 119 34,92

90 51,88 100 -12,26 110 57,79 120 -9,39

NOMOR FOTO NILAI SBE NOMOR FOTO NILAI SBE NOMOR FOTO NILAI SBE

NOMOR FOTO NILAI SBE

NOMOR FOTO NILAI SBE NOMOR FOTO NILAI SBE NOMOR FOTO NILAI SBE NOMOR FOTO NILAI SBE

NOMOR FOTO NILAI SBE NOMOR FOTO NILAI SBE

Keterangan: f = frequencies; cf = cumulative frequencies; cp = cumulative probabilities; z = Z score; `z = Mean Zs of 9 rating


(3)

Output Minitab

Regression Analysis: Y versus X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8

The regression equation is

Y = 79,2 - 128X1

*

+ 9,2X2 + 2,6X3 - 2,7X4 – 267,14 X5

*

+ 126,28 X 6

*

+ 66,9X7 - 65,7X8

Predictor Coef SE Coef T P

Constant 79,25 56,43 1,40 0,163

X1 - 128,45 63,19 -2,03 0,044

*

X2 9,16 70,92 0,13 0,897

X3 2,59 57,35 0,05 0,964

X4 -2,72 56,14 -0,05 0,961

X5 - 267,14 66,62 -4,01 0,000

*

X6 126,28 82,12 1,54 0,127

*

X7 66,87 76,60 0,87 0,385

X8 -65,73 55,11 -1,19 0,235

S = 21,7281 R-Sq = 59,9% R- Sq(adj) = 57,0%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 8 78163,7 9770,5 20,70 0,000

Residual Error 111 52404,1 472,1

Total 119 130567,7

Source DF Seq SS

X1 1 16670,1

X2 1 1204,7

X3 1 11827,2

X4 1 15011,3

X5 1 23897,4

X6 1 6084,4

X7 1 2796,9

X8 1 671,7

Unusual Observations

Obs X1 Y Fit SE Fit Residual St Resid

31 0,000 -34,95 - 52,08 11,83 17,13 0,94 X

39 0,050 118,03 74,11 3,29 43,92 2,05R

43 0,000 28,13 80,78 3,34 -52,65 -2,45R

46 0,000 33,83 81,10 3,42 -47,27 -2,20R

50 0,000 -18,77 - 27,29 11,44 8,52 0,46 X

61 0,080 53,33 72,91 11,30 -19,58 -1,05 X

69 0,000 98,37 104,31 21,58 -5,94 -2,36RX

88 0,030 36,93 42,60 20,46 -5,67 -0,78 X

92 0,010 28,27 93,70 8,74 -65,43 -3,29R

101 0,070 78,86 23,73 5,59 55,13 2,63R

102 0,070 128,57 89,14 11,31 39,43 2,13RX

103 0,070 75,71 91,66 12,92 -15,95 -0,91 X

107 0,610 2,57 - 11,29 14,63 13,86 0,86 X

108 0,000 73,38 66,37 10,98 7,01 0,37 X

116 0,420 0,00 20,76 11,25 -20,76 -1,12 X

R denotes an observation with a large standardized residual.

X denotes an observation whose X value gives it large influence.


(4)

Lampiran 15 (Lanjutan)

Residual P e rc e n t 50 25 0 -25 -50 99,9 99 90 50 10 1 0,1

Fitted Val ue

R e s id u a l 100 50 0 -50 50 25 0 -25 -50 Residual F re q u e n cy 60 40 20 0 -20 -40 -60 24 18 12 6 0

Obser vation Orde r

R e s id u a l 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 50 25 0 -25 -50

Normal Probabilit y Plot of t he Residuals Residuals Versus t he Fit t ed Values

Hist ogram of t he Residuals Residuals Versus t he Order of t he Dat a

Residual Plots for Y

Análisis of variante (ANOVA)

Y= a + b

1

X1 + b

2

X2 + b

3

X3 + b

4

X4 + b

5

X5 + b

6

X6 + b

7

X7 + b

8

X8

Hipotesis uji untuk kasus ini adalah:

H

0

: b

1

= b

2

= b

3

= b

4

= b

5

= b

6

= b

7

= b

8

= 0

H

1

: Sedikitnya ada b

i

? 0 (dengan i = 1, 2,..., 8)

Ketentuan: Analisis keragaman (analysis of Variance) digunakan untuk mengecek apakah ada

pengaruh nyata antara peubah respon dengan peubah-peubah penjelasnya. Apabila hasil

analisis menunjukkan Ho ditolak, maka ada pengaruh yang nyata antara peubah-peubah (X

1

-X

8

)

dengan nilai SBE (Y).

Output ANOVA dengan MINITAB . 14:

Source DF SS MS F P

Regression 8 78163,7 9770,5 20,70 0,000

Residual Error 111 52404,1 472,1

Total 119 130567,7

Dari output Minitab tersebut, dapat dilihat bahwa nilai F hitung untuk model ini adalah 20.70 dan

nilai p bernilai 0.000. Sehingga apabila a sebesar 5%:


(5)

F tabel = F

a (df regresi, df residual error)

= F

0,05 (8,111)

= < 2.204

Sehingga, dapat ditentukan nilai F hitung > F tabel, sehingga kesimpulannya tolak Ho, yaitu

setidaknya ada satu peubah-peubah (X

1

-X

8

) yang memiliki pengaruh terhadap nilai SBE (Y).

Sehingga model ini dapat digunakan untuk menduga nilai SBE.

Model yang dihasilkan dari minitab adalah:

Y = 79,2 – 128 X1* + 9,2 X2 + 2,6 X3 – 2,7 X4 – 267 X5* + 126 X6* + 66,9 X7 - 65,7 X8

Dengan R-Sq = 59,9%

Jika nilai p < a, maka tolak Ho, a = 0,20

* = nyata pada taraf = 20 %

Dari model regresi berganda yang dihasilkan program minitab di atas, dapat disimpulkan bahwa

nilai keindahan SBE (Y) dipengaruhi nilai konstan sebesar 79.2. dan beberapa peubah

penjelas :

Model yang didapat menunjukkan nilai SBE dan peubah penjelasnya

-

Perubahan satu satuan hard material (ordered, finished) ‘X1’ akan menurunkan nilai

SBE sebesar 128

-

Perubahan satu satuan hard material (unstructurred) ‘X2’ akan meningkatkan nilai SBE

sebesar 9.2

-

Perubahan satu satuan covered land (trees) ‘X3’ akan meningkatkan nilai SBE sebesar

2.6

-

Perubahan satu satuan covered land (bushes, ground cover,etc) ‘X4’ akan menurunkan

nilai SBE sebesar 2.7

-

Perubahan satu satuan abandoned land (tanah bera) ‘X5’ akan menurunkan nilai SBE

sebesar 267

-

Perubahan satu satuan paved land/path (path, stepping stone, dll) ‘X6’ akan

meningkatkan nilai SBE sebesar 126

-

Perubahan satu satuan water cover (water font) ‘X7’ akan meningkatkan nilai SBE

sebesar 66.9


(6)

Lampiran 15 (Lanjutan)

Model tersebut hanya memiliki ukuran kebaikan model sebesar 59.9% (R-Sq), hal ini

disebabkan ditemukan beberapa unusual observation. Artinya model ini hanya dapat

menjelaskan nilai SBE sebesar kurang lebih 60%, sisanya dijelaskan oleh faktor lainnya.

R-Sq (R

2

) yang kecil berarti ada peubah penjelas (X

i

) yang memiliki nilai korelasi kecil dengan

peubah responnya (Y). Oleh karena itu, dilakukan uji korelasi untuk mengetahui hubungan

keeratan antar peubahnya, apabila ditemukan nilai korelasi yang sangat kecil, maka sebaiknya

peubah tersebut sebaiknya dihilangkan.

Berikut hasil test korelasinya:

Correlations: Y; X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8

Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7

X1 -0,357

0,000

X2 0,035 0,168

0,707 0,066

X3 0,427 -0,437 - 0,071

0,000 0,000 0,444

X4 -0,056 0,052 - 0,149 -0,714

0,545 0,570 0,105 0,000

X5 -0,618 -0,007 - 0,068 -0,364 0,049

0,000 0,942 0,460 0,000 0,594

X6 0,183 0,006 0,086 -0,317 0,233 -0,031

0,046 0,949 0,349 0,000 0,011 0,736

X7 0,123 -0,047 - 0,034 -0,068 -0,027 -0,029 -0,016

0,181 0,608 0,716 0,460 0,768 0,751 0,859

X8 -0,387 0,132 - 0,118 -0,490 0,076 0,169 -0,070 - 0,079

0,000 0,151 0,200 0,000 0,409 0,065 0,449 0,392

Cell Contents: Pearson correlation

P- Value

Dari Output minitab di atas, ditemukan nilai yang memiliki korelasi yang kecil, yaitu pada

peubah X

2

Hard Material (unstructurred)’

dan X

4

Covered Land (bushes, ground cover,

etc)’

. Hal ini menunjukkan bahwa kedua peubah tersebut kurang mempengaruhi nilai SBE.

Sehingga, apabila menginginkan nilai kebaikan model R-Sq yang lebih baik, maka sebaiknya

kedua peubah tersebut dihilangkan.