Pemetaan Kemiringan Lereng berbasis Data Elevasi dan Analisis Hubungan Antara Kemiringan Lereng dengan Bentuklahan.

(1)

PEMETAAN KEMIRINGAN LERENG BERBASIS DATA

ELEVASI DAN ANALISIS HUBUNGAN ANTARA

KEMIRINGAN LERENG DENGAN BENTUKLAHAN

SILVIA HELGA AFWILLA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Kemiringan Lereng berbasis Data Elevasi dan Analisis Hubungan Antara Kemiringan Lereng dengan Bentuklahan ini adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Silvia Helga Afwilla


(4)

ABSTRAK

SILVIA HELGA AFWILLA. Pemetaan Kemiringan Lereng berbasis Data Elevasi dan Analisis Hubungan Antara Kemiringan Lereng dengan Bentuklahan. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan KOMARSA GANDASASMITA.

Lereng merupakan bagian dari suatu bentuklahan (landform) yang

wujudnya ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu berasal dari proses geomorfik endogenik dan eksogenik. Peta topografik adalah salah satu sumber data yang sering digunakan untuk pemetaan lereng. Data elevasi dari rekaman satelit seperti dari Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) atau yang lainnya dewasa ini

juga digunakan pula untuk melahirkan data topografik. Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan pemetaan kemiringan lereng dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dan SRTM, serta (2) melakukan pemetaan bentuklahan (landform) dan analisis hubungan antara bentuklahan dengan kemiringan lereng.

Daerah penelitian dipilih di daerah aliran sungai (DAS) Cileungsi yang mempunyai keragaman bentuklahan. Metode pemetaan dilakukan secara visual untuk peta RBI cetak sedangkan untuk peta RBI digital dan data SRTM dilakukan secara digital melalui piranti lunak sistem informasi geografis (ArcGIS). Cek lapangan dengan pendekatan stratified random sampling dilakukan untuk

verifikasi hasil interpretasi bentuklahan dan analisis kemiringan lereng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiringan lereng yang mempunyai luasan terbesar di DAS Cileungsi agak berbeda-beda dari setiap metode dan sumber data. Dari metode RBI cetak kemiringan lereng terluas adalah kelas B (32%), untuk RBI digital adalah kelas A (41 %), dan dari SRTM adalah kelas C (35 %). Luas kelas lereng yang sama dan yang memiliki lokasi yang sama secara spasial (overlap) bisa diketahui dari proses overlay antara peta lereng RBI Manual, RBI

digital, dan SRTM. Dari proses tersebut diketahui bahwa rata-rata luas kelas lereng yang saling overlap berturut-turut adalah 38% (RBI manual vs RBI

digital), 50% (RBI digital vs SRTM digital), dan 59% (RBI manual vs SRTM digital), sehingga perbandingan metode yang terakhir mengindikasikan kesamaan hasil yang lebih baik. Secara geomorfologis, DAS Cileungsi tersusun oleh 17 jenis bentuklahan dimana bentuklahan perbukitan-denudasional berbatu liat tertoreh sedang merupakan bentuklahan terluas di daerah penelitian (18,18%).

Dalam kaitannya dengan kemiringan lereng, bentuklahan yang mempunyai morfografi dataran secara umum dicirikan oleh kemiringan lereng kelas A dan B;

untuk morfografi lembah, seperti bentuklahan lembah sungai, dataran banjir & teras alluvial dicirikan oleh kelas A, sedangkan lembah sungai lereng atas

dicirikan oleh kelas C dan D; untuk morfografi perbukitan, kemiringan lereng

yang mencirikan cukup bervariasi, dari kelas B hingga D, dan begitu pula untuk morfografi pegunungan. Namun demikian bentuklahan perbukitan atau pegunungan sejenis yang mempunyai tingkat torehan lebih berat dicirikan oleh kelas lereng yang lebih besar.


(5)

ABSTRACT

SILVIA HELGA AFWILLA. Slope Steepnes Mapping based on Elevation Data and Relationship Analysis between Slope Steepnes and Landform. Supervised by BOEDI TJAHJONO dan KOMARSA GANDASASMITA.

Slope is part of a landform determined by various factors which derived from endogenic and exogenic geomorphic processes. Topographic map is one of the most frecuently used data for slope steepnes mapping. Elevation data from satellite record such as Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) or others recently also used to build topographic data. The aim of this research are (1) slope steepnes mapping based on Indonesian Topographical Map (Rupa Bumi Indonesia or RBI) scale 1:25.000 and SRTM, and (2) landform mapping and analysis for landform and slope relationship. The Cileungsi Watershed was selected for research area since it has various landforms. Mapping method was done visually for printed RBI, whereas for digital RBI and SRTM data were done digitally using geographic information system software (ArcGIS). Stratified random sampling approach has been used for field work upon interpertated landform and slope analysis maps. The result show that the widest slope class in Cileungsi watershed was quite different for each method. By visual method mapping (printed RBI), the widest slope steepnes was B-class (32%), as for digital RBI was A-class (41%), and for SRTM data was C class (35%). To know where the similar slope steepnes classes having the same spatial location (overlap), the overlay processes have been done between 3 slope steepnes maps i.e. derived from printed-RBI,

digital-RBI, and digital-SRTM. By these operations, it reveal that the average of overlap area were 38% for visual-RBI vs. RBI, 50% for SRTM vs. digital-RBI, and 59% for digital-SRTM vs. visual-RBI. Thus, the latter comparasion indicated the better one in common results. Geomorphologically, Cileungsi watershed composed by 17 types of landforms where the denudational-claystone hills, was the widest landforms in study area (18,18%). In relation to the slope steepnes, the morphography of plains were generally characterized by A and B slope steepnes classes; for the river valley, such as floodplain & terraces were characterized by A-class, but for the river valley of upper slopes (in hilly and mountainous areas) were characterized by C and D-classes. For hills morfography, the characterized of dominant slope varies from B to D-classes and so did for mountains morfography. However the typical characteristic of hilly or mountainous landforms were the heavier of incision the greater of slope steepnes class.

Keywords: Cileungsi watershed, landform, slope, SRTM Indonesia, topographic map (RBI).


(6)

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PEMETAAN KEMIRINGAN LERENG BERBASIS DATA

ELEVASI DAN ANALISIS HUBUNGAN ANTARA

KEMIRINGAN LERENG DENGAN BENTUKLAHAN

SILVIA HELGA AFWILLA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

Judul Skripsi : Pemetaan Kemiringan Lereng berbasis Data Elevasi dan Analisis Hubungan Antara Kemiringan Lereng dengan Bentuklahan. Nama : Silvia Helga Afwilla

NIM : A14090033

Disetujui oleh u.p

Dr Boedi Tjahjono

Pembimbing I Dr Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, M.Sc Ketua Departemen


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 sampai Mei 2014 ini ialah Pemetaan Kemiringan Lereng berbasis Data Elevasi dan Analisis Hubungan Antara Kemiringan lereng dengan Bentuklahan.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Boedi Tjahjono selaku pembimbing skripsi utama dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc (alm.) selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran, arahan, dan bimbingannya kepada penulis.

2. Keluarga tercinta Papa, Mama, Bayu, Mella dan Nenek, terima kasih atas doa, kasih sayang, motivasi serta dukungan moral dan spiritual yang tak kunjung berhenti kepada penulis.

3. Saudara-saudara SOIL 46 Wida, Eka, Bicis, Dita dan teman seperjuangan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, terima kasih atas canda tawa, masukan, dukungan, dan kebersamaannya selama ini, senang bisa menjadi bagian dari kalian.

4. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih bila ada kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Januari 2015


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Bahan dan Alat 3

Metode Penelitian 4

GAMBARAN SINGKAT DAERAH PENELITIAN 8

Lokasi Penelitian 8

Kondisi Geografis 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Luas DAS Cileungsi 9

Kelas Lereng dari Peta RBI (Cetak & Digital) dan SRTM 11

Profil Melintang 23

Bentuklahan (landform) 27

Hubungan bentuklahan dan kemiringan lereng 33

SIMPULAN DAN SARAN 38

Simpulan 38

Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 39


(12)

DAFTAR TABEL

Kelas Lereng 5

Persebaran Kelas Kemiringan Lereng dari Metode Visual Peta RBI Cetak 11 Persebaran Kelas KemiringanLereng dari Metode Digital Peta RBI Digital 11 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng dari Metode Digital Data SRTM 11

Hasil Overlay Peta RBI Cetak dan RBI Digital 15

Hasil Overlay Peta RBI Digital dan Peta SRTM Digital 16

Hasil Overlay Peta RBI Manual dan Peta SRTM Digital 16

Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di

Lapang 16

Perbandingan Nilai Kelas Lereng dari Hasil Analisis Visual-Digital (RBI),

SRTM, dan Hasil Verfikasi Lapang 22

Kemiringan Lereng dari setiap Profil Melintang 24

Nama Bentuklahan dan Luasannya di DAS Cileungsi 28

Deskripsi dan Nama Bentuklahan DAS Cileungsi 29

Nama Bentuklahan dan Luas Persebaran Kelas Lereng di DAS Cileungsi 30

DAFTAR GAMBAR

Peta Lokasi Penelitian (DAS Cileungsi) di Kabupaten Bogor 4

Diagram Alir Penelitian 7

Peta Elevasi Daerah Penelitian 8

DAS Cileungsi dari Tiga Sumber Data yang Berbeda. Titik-titik yang Secara Menonjol Berbeda ditunjukkan oleh Tanda Lingkaran 10 Peta Perbandingan (a) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Secara Visual Peta RBI Cetak Skala 1: 25.000 (Lembar Peta : Cileungsi, Tajur, Cisarua), (b) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Peta RBI Digital Skala 1:25.000, (c) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Data SRTM

Digital Resolusi 30 Meter 14

Peta Lokasi Contoh Titik Sampel 18

Titik Observasi Lapang 23

Profil Melintang ( Profil 1, 2, dan 3 dari Gambar 6) 26

Peta Bentuklahan diatas Citra SRTM 30

Gambaran Bentuklahan di Lokasi Penelitian 32

Tumpang Tindih Antara Peta Bentuklahan dengan Peta Kelas Lereng 33 Diagram Hubungan Kelas Lereng dengan Bentuklahan (dikelompokan


(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lereng merupakan bagian dari suatu bentuklahan (landform) yang

wujudnya ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan lereng antara lain adalah batuan induk, biosfer, iklim, dan proses-proses geomorfik (Sharp, 1982). Menurut Sharp (1982) lereng dibentuk awalnya oleh proses endogenik seperti proses patahan, lipatan, atau vulkanik namun dengan berjalannya waktu lereng tersebut termodifikasi oleh proses-proses eksogenik seperti proses-proses erosi, longsor, deposisi, atau yang lainnya. Lereng merupakan unsur alam yang mempunyai sifat relatif permanen, namun seringkali aktivitas manusia dengan peralatan teknologinya dapat merubah kemiringan lereng. Meskipun perubahan lereng bersifat lokal, namun secara ekologis dampaknya sering mencapai ke wilayah-wilayah yang cukup jauh. Dengan demikian peranan kemiringan lereng dari sisi ekologis perlu mendapat perhatian dalam sistem pengelolaan sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu contoh aktivitas manusia yang berdampak pada proses ekologis, antara lain berupa erosi tanah dan longsor di wilayah-wilayah hulu dan juga banjir di wilayah hilir.

Peta topografik adalah salah satu sumber data yang paling sering digunakan untuk pemetaan lereng. Namun data topografik kini telah banyak berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Data elevasi dari rekaman satelit seperti dari

Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) atau data yang lainnya banyak

digunakan untuk melahirkan data topografik. Metode pemetaan lereng pun akhirnya menjadi berkembang sejalan dengan berkembangnya piranti lunak (software) sistem informasi geografis, sehingga keragaman peta lereng yang

dihasilkan pun bisa menjadi bervariasi sesuai dengan pemodelan yang dibangun. Pemetaan terhadap lereng merupakan langkah dasar yang hasilnya banyak dimanfaatkan oleh pengguna untuk menunjang pekerjaan-pekerjaannya, seperti inventarisasi sumberdaya lahan, kebencanaan alam, perencanaan wilayah, keteknikan, atau bidang-bidang yang lainnya. Dengan demikian akurasi merupakan hal yang sangat penting dalam pemetaan lereng dikarenakan akurasi akan berpengaruh terhadap kualitas pekerjaan lain yang ditunjangnya. Mengingat munculnya berbagai sumber data maupun metode pemetaan lereng, maka melakukan perbandingan terhadap peta-peta lereng yang dihasilkan melalui berbagai sumber maupun metode menarik untuk dilakukan. Hasil perbandingan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing data dan metode dimaksud. Melalui pemetaan lereng diharapkan dapat mengetahui pula karakter bentuklahannya. Kajian seperti ini akan bermanfaat untuk bidang-bidang aplikasi seperti kebencanaan alam atau yang lainnya yang secara umum terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup, seperti untuk pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). DAS adalah suatu kesatuan ekosistem yang khas untuk pelestarian sumber daya tanah dan air, oleh karenanya jika terjadi perubahan penggunaan lahan atau buruknya pengelolaan lahan di dalam DAS akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hidrologis di dalam DAS tersebut (Agus et al., 2007).


(14)

2

DAS Cileungsi merupakan salah satu DAS yang ada di Kabupaten Bogor. DAS ini dikenal banyak mengalami proses perubahan penggunaan lahan dikarenakan disamping DAS ini terdapat kawasan Sentul, yaitu areal yang dikembangkan untuk kawasan hunian dan wisata. Oleh karena itu, DAS ini perlu mendapat perhatian dan perlu banyak diteliti agar perubahan kondisi lingkungan yang terjadi di dalamnya dapat segera diketahui dan segera dapat dicarikan upaya-upaya untuk pencegahan jika terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka DAS Cileungsi dipilih untuk lokasi penelitian, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan pemetaan kemiringan lereng dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dengan metode manual/visual dan metode digital melalui sistem

informasi geografis (SIG), serta pemetaan lereng secara digital dari data SRTM

untuk pembanding.

2. Pemetaan bentuklahan (landform) dan analisis hubungan antara bentuklahan

dengan kemiringan lereng.

TINJAUAN PUSTAKA

Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan (landform) dan

proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan, serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya (Zuidam,1985; Asriningrum, 2002). Sejalan dengan pemahaman ini Tjahjono et al. (2001) memaparkan bahwa geomorfologi

merupakan suatu pemerian dan penjelasan bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (proses geomorfik endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu), serta struktur dan litologi penyusunnya. Dalam hal ini lereng adalah bagian dari morfologi bentuklahan yaitu dari aspek morfometri.

Lereng dapat difahami sebagai suatu permukaan tanah yang miring dan yang membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horisontal (Das, 1985). Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan lereng buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya terdapat di daerah pegunungan, sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia dan biasanya untuk keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, bendungan tanah, tanggul jalan kereta api, dan sebagainya.

Dalam aplikasinya, faktor lereng sering digunakan sebagai faktor penentu dalam analisis. Sebagai contoh dalam Keppres No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kemiringan lereng digunakan sebagai salah satu penentu kriteria kawasan lindung, yaitu jika kemiringan lereng >40% maka kawasan tersebut layak di jadikan kawasan lidung. Dalam penelitian Silviana (2013), kemiringan lereng juga dianggap sebagai faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap proses longsor, hal ini dikarenakan kestabilan lereng terletak pada kemiringannya (kendali utama proses longsor adalah gaya gravitasi).


(15)

3 Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor sangat kecil untuk dapat terjadi. Dengan kata lain semakin besar kemiringan lereng, maka semakin besar potensinya untuk melahirkan longsor yang disebabkan oleh kestabilan lereng yang semakin kecil.

Lereng juga berpengaruh besar terhadap proses erosi. Lahan dengan kemiringan lereng yang curam (30-45%) memiliki pengaruh gaya berat (gravity)

yang lebih besar dibandingkan dengan lahan dengan kemiringan lereng agak curam (15-30%) atau landai (8-15%). Hal ini disebabkan gaya berat berbanding lurus dengan kemiringan permukaan tanah. Adapun gaya berat merupakan persyaratan mutlak untuk terjadinya proses pengikisan (detachment),

pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation) (Wiradisastra,

2002).

Menurut hasil penelitian Ariza (2014) dari analisis pohon keputusan didapatkan bahwa parameter “kemiringan lereng” menjadi paling penting dalam pembentukan erosi parit karena parameter ini berada pada node paling atas.

Parameter lain, seperti “NDVI” menjadi parameter terpenting kedua. sedangkan “arah lereng” mejadi parameter terakhir.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai dengan bulan Mei 2014 di DAS Cileungsi yang meliputi di wilayah-wilayah Kecamatan Cileungsi Citeureup, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, dan Babakan Madang, Kabupetan Bogor (Gambar 1). Lokasi penelitian secara geografis terletak di antara koordinat 6º 30’ 30” – 6º 41’ 00” LS dan 106º 43’ 30” – 106º 51’ 00” BT. Analisis data dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi citra IKONOS tahun 2010, citra satelit SRTM resolusi 30 m, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) digital dan cetak edisi 1998 (skala 1:25.000), yang meliputi Lembar : Cileungsi, Tajur, dan Cisarua, serta Peta Geologis digital, skala 1:250.000 (PPPG, 1996). Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, klinometer, alat tulis, kamera, dan piranti lunak: ArcGIS 9.3, Global Mapper v12, dan Microsoft Office 2010.


(16)

4

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian (DAS Cileungsi) di Kabupaten Bogor Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai meliputi interpretasi dan analisis data spasial (peta dan citra satelit) dan dilengkapi dengan kerja lapangan untuk pengumpulan data primer serta verifikasi hasil interpretasi/analisis. Secara teknis penelitian ini dilakukan melalui 4 tahapan seperti diuraikan berikut ini.

1. Tahap Persiapan Data

Tahap persiapan data meliputi koreksi geometrik, penentuan batas daerah penelitian (DAS Cileungsi), analisis dan klasifikasi kemiringan lereng dari data RBI dan SRTM, serta interpretasi bentuklahan dari citra SRTM 30 m dan citra IKONOS. Berikut uraian singkat dari proses pembuatan batas DAS, peta-peta kemiringan lereng, dan peta bentuklahan dimaksud.

a. Penentuan Batas Daerah Penelitian

Bahan yang digunakan adalah peta kontur dari Peta RBI dan data SRTM dengan interval kontur (IC) = 12,5 meter. Dengan software Global Mapper v12

dari tools: “create watershed” dapat dihasilkan sungai dan daerah aliran sungai

(DAS) dari masing-masing data. Secara teknis data ini kemudian diekspor dalam bentuk file shapefile (.shp) dan kedua data tersebut kemudian diolah dalam software ArcGIS 9.3 untuk menentukan daerah penelitian. Daerah penelitian

didapatkan dengan cara menghapus sungai-sungai dan DAS yang bukan milik sungai Cileungsi.


(17)

5

b. Pembuatan Peta kelas Lereng Secara Manual dan Digital

Klasifikasi kemiringan lereng yang digunakan mengacu pada klasifikasi Van Zuidam (1985) yang disederhanakan menjadi 5 kelas seperti tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Kelas Lereng

Kelas Lereng (%)

A 0- 8

B 8- 15

C 15- 30

D 30- 45

E < 45

Untuk analisis kelas kemiringan lereng secara manual prosedurnya dilakukan di atas Peta RBI cetak skala 1:25.000 yang meliputi lembar Cileungsi (1209-422), lembar Tajur (1209-144), dan lembar Cisarua (1209-142). Metode analisis mengacu pada Tjahjono et al. (2013) yang didasarkan pada nilai

kerapatan kontur. Dalam metode ini kemiringan lereng dihitung berdasarkan jarak horizontal dari dua garis kontur yang berdekatan dan perbedaan ketinggian. Contoh untuk menghitung kemiringan lereng, misalnya 8%, adalah sebagai berikut :

Kemiringan 8% = 12,5 m/X, dimana 12,5 m adalah beda tinggi (= interval kontur) dan X = jarak horizontal antar dua garis kontur. Dengan demikian X = 12,5 x 100/8 = 156,25 m atau 15.625 cm. Jarak ini adalah jarak di lapangan, sehingga jarak di peta adalah = 15.625/25.000 x 1 cm = 0,625 cm. Dengan demikian dua garis kontur yang mempunyai jarak 0,625 cm (atau 6,25 mm) di peta RBI cetak skala 1:25.000 akan mempunyai kemiringan lereng sebesar 8%. Demikian selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap kelas-kelas kemiringan lereng yang lain. Jika semua rentang jarak antar kontur sudah ditetapkan untuk semua kelas lereng, maka langkah selanjutnya adalah mengelompokkan area yang mempunyai kelas lereng yang sama, yaitu mempunyai kerapatan kontur yang sama sesuai dengan rentang jarak tiap kelas. Pengelompokan ini dilakukan dengan cara deliniasi area tersebut di atas peta RBI cetak secara manual (visual).

Untuk analisis kemiringan lereng secara digital dilakukan melalui software

SIG dengan menggunakan data dari RBI digital dan SRTM. Dalam software

ArcGIS 9.3 analisis dilakukan dari Menu tools : peta kontur > TIN > DEM >

Slope.

c. Pembuatan Peta Bentuklahan

Bahan yang digunakan adalah citra SRTM, IKONOS, peta kontur, dan peta geologis. Keempat data tersebut digunakan untuk melakukan interpretasi bentuklahan (landform) secara visual dengan menggunakan software ArcGIS 9.3.

Sistem klasifikasi bentuklahan mengacu pada sistem ITC (Van Zuidam, 1985) dengan modifikasi pada pemberian simbolnya. Dalam sistem ITC klasifikasi


(18)

6

bentuklahan mempertimbangkan aspek-aspek, morfologi (terkait dengan relief), morfogenesis (terkait dengan proses-proses geomorfik yang membentuknya), morfokronologi (terkait dengan tahap pembentukan dan perkembangan bentuklahan), dan morfoarrangement (terkait dengan hubungan susunan keruangan bentuklahan dan proses-proses yang membentuknya). Dalam interpretasi bentuklahan, citra SRTM dan IKONOS digunakan untuk melihat morfologi dan morfoarrangement secara umum, peta geologi untuk membantu mengetahui jenis batuan, struktur, dan penafsiran morfogenesis, sedangkan garis kontur untuk membantu mengetahui relief, yaitu melalui pola garis kontur. Dari sisi morfogenesis, bentuklahan dipilah menjadi 11 jenis asal proses geomorfik (Tjahjono et al. 2013), yaitu proses-proses tektonik/struktural, vulkanik, fluvial,

marin, glasial, aeolin, solusional/karst, biologik/organik, denudasional, lakustrin, dan antropogenik.

2. Tahap Pengecekan Lapang

Pada tahap kerja lapang dilakukan verifikasi terhadap peta-peta yang telah dihasilkan dari tahap sebelumnya, yaitu peta kemiringan lereng dan peta bentuklahan. Pada tahap ini juga dilakukan pengukuran terhadap kemiringan lereng di lapangan. Pengambilan titik sampel dilakukan dengan metode stratified random sampling yang didasarkan pada jenis bentuklahan dan kelas kemiringan

lereng serta mempertimbangkan kondisi hambatan lapang (hutan, lembah yang dalam, atau tebing curam). Pada wilayah yang tidak dapat diakses maka tidak diambil sampel.

3. Tahap Analisis

Pada tahap ini dilakukan analisis perbandingan antara data primer dengan hasil yang diperoleh sebelumnya untuk tujuan mengetahui tingkat ketelitian pada skala 1:25.000. Selain itu dilakukan analisis hubungan antara bentuklahan dengan kemiringan lereng melalui operasi tumpang tindih (overlay) dengan SIG.

4. Tahap Penyajian Hasil

Seluruh hasil penelitian ini selanjutnya disajikan dalam bentuk skripsi yang dilengkapi dengan tabel, grafik, peta-peta, dan foto-foto lapangan. Secara singkat rangkaian dari seluruh penelitian ini disajikan dalan bentuk diagram alir seperti yang terlihat pada Gambar 2.


(19)

7


(20)

8

GAMBARAN SINGKAT DAERAH PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di sebagian wilayah Kecamatan-kecamatan Cileungsi, Citeureup, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur dan Babakan Madang, Kabupetan Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara spasial lokasi penelitian berbatasan dengan kecamatan-kecamatan lain, yaitu

 Sebelah Utara : Kecamatan Gunung Putri

 Sebelah Barat : Kecamatan Cibinong dan Sukaraja

 Sebelah Selatan : Kecamatan Megamendung dan Cisarua

 Sebelah Timur : Kecamatan Cariu

Kondisi Geografis

Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada ketinggian 120 meter sampai dengan 1.500 meter di atas permukaan air laut. Lokasi ini mempunyai relief yang bervariasi, dari dataran rendah di bagian utara hingga perbukitan dan pegunungan di bagian selatan. Untuk elevasi 0-500 m terletak di sebelah utara daerah penelitian dan mempunyai luas 13,88% dari total luas daerah penelitian; untuk elevasi 500-1000 m seluas 63,90% terletak di bagian tengah, dan untuk elevasi 1000-1500 m (21,71%) serta elevasi >1500m (0,51%) terletak di bagian ujung selatan (Gambar 3). Secara klimatologis, wilayah penelitian mempunyai iklim tropis “sangat basah” di bagian selatan dan iklim tropis “basah” di bagian utara dengan rata-rata curah hujan tahunan 3.500 – 4.500 mm/tahun (Sumber : BMKG Kabupaten Bogor 2005).


(21)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas DAS Cileungsi

Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari pelacakan (dan penarikan garis) pada igir pembatas DAS pada saat melakukan interpretasi terhadap garis kontur secara visual (RBI). Adapun secara digital wilayah DAS dapat diperoleh melalui komputer, yakni melalui perintah pembentukan DAS pada piranti lunak Global Mapper v12 (tools: “create

watershed”).

Dari hasil analisis secara manual atau visual Peta RBI (cetak) skala 1:25.000 didapatkan bahwa luas DAS Cileungsi adalah sebesar 7.207,64 Ha, sedangkan dari hasil analisis Peta RBI digital (dengan software Global Mapper v12)

didapatkan bahwa luas DAS Cileungsi adalah sebesar 7.279,56 Ha. Dari hasil analisis data SRTM dengan software yang sama didapatkan luas DAS Cileungsi

adalah sebesar 7.163,07 Ha.

Dari ketiga hasil pengukuran tersebut di atas terlihat bahwa hasil luasan DAS berbeda-beda, meskipun tidak berbeda jauh. Perbedaan luasan tersebut jika dilihat dari masing-masing peta tampak bersumber pada geometri batas DAS (Gambar 4). Perbedaan terlihat terutama pada wilayah hulu bagian ujung (selatan) dan bagian hilir (utara) serta pada bagian barat. Perbedaan tampak lebih menyolok terutama dari DAS hasil analisis secara manual dengan hasil analisis secara digital (RBI), sedangkan dua DAS dari hasil analisis secara digital (RBI dan SRTM) perbedaan tampak lebih kecil dan hanya terdapat pada hulu bagian ujung dan di bagian hilir DAS.

Perbedaan seperti ini wajar terjadi disebabkan data yang digunakan untuk analisis secara manual dan secara digital berbeda. Untuk yang pertama berasal dari data vektor, sedangkan yang kedua berasal dari data raster. Data raster dari Peta RBI ini diperoleh dari hasil konversi data vektor RBI, sedangkan untuk data SRTM tidak dilakukan konversi (karena data aslinya sudah berupa data raster). Berdasarkan sumber data ini, maka cukup wajar jika hasil pemetaan DAS dari analisis secara digital (antara Peta RBI dengan data SRTM) tidak jauh berbeda. Adanya sedikit perbedaan yang muncul mungkin lebih disebabkan oleh asal data yang berbeda, yaitu Peta RBI berasal dari proses fotogrametri (foto udara), sedangkan data SRTM berasal dari sistem Radar.


(22)

10

(a) Peta DAS Cileungsi dipetakan (b) Peta DAS Cileungsi dipetakan secara visual dari Peta RBI dari peta RBI digital melaui

cetak skala 1:25.000 Global Mapper v12

(c) Peta DAS Cileungsi dipetakan dari data SRTM melalui

Global Mapper v12

Gambar 4 DAS Cileungsi dari Tiga Sumber Data yang Berbeda. Titik-titik yang Secara Menonjol Berbeda ditunjukkan oleh Tanda Lingkaran


(23)

11 Kelas Lereng dari Peta RBI (Cetak & Digital) dan SRTM

Berdasarkan hasil analisis secara visual dari Peta RBI cetak didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas di daerah penelitian adalah kelas B (8%-15%) yaitu seluas 2.303,2 Ha, sedangkan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) yaitu seluas 82,4 Ha. Adapun hasil dari analisis secara digital dari Peta RBI didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas adalah kelas A (0%-8%) seluas 3.012,5 Ha dan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) seluas 26,5 Ha. Hasil analisis dari data SRTM secara digital didapatkan bahwa kelas kemiringan lereng yang terluas adalah kelas C (15%-30%) seluas 2.495,96 Ha dan yang paling kecil adalah kelas E (>45%) seluas 289,06 Ha (Gambar 5, Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4). Dari angka-angka tersebut tampak bahwa kelas kemiringan lereng yang dominan dari ketiga analisis di atas tampak berbeda. Perbedaan ini bisa dikarenakan oleh sumber data yang berbeda, yaitu peta RBI cetak berasal dari data vektor sedangkan RBI digital dan SRTM berasal dari data raster.

Tabel 2 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng dari Metode Visual Peta RBI Cetak

Kelas Lereng Luas (Ha) Luas (%)

A (0%-8%) 1202,79 16,69

B (8%-15%) 2303,24 31,96

C ( 15%-30%) 1897,19 26,32

D (30%-45%) 1721,97 23,89

E (>45%) 82,44 1,14

Total 7207,64

Tabel 3 Persebaran Kelas KemiringanLereng dari Metode Digital Peta RBI Digital

Tabel 4 Persebaran Kelas Kemiringan Lereng dari Metode Digital Data SRTM

Kelas Lereng Luas (Ha) Luas (%)

A (0%-8%) 3012,46 41,38

B (8%-15%) 2409,72 33,1

C ( 15%-30%) 1501,35 20,62

D (30%-45%) 329,53 4,53

E (>45%) 26,51 0,36

Total 7279,56

Kelas Lereng Luas (Ha) Luas (%)

A (0%-8%) 1481,43 20,68

B (8%-15%) 2093,22 29,22

C ( 15%-30%) 2495,96 34,84

D (30%-45%) 803,40 11,22

E (>45%) 289,06 4,04


(24)

12

(a) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis dari Peta RBI Cetak


(25)

13

(b) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis dari Peta RBI Digital


(26)

14

(c) Peta Kemirigan Lereng Hasil Analisis dari Data SRTM

Gambar 5 Peta Perbandingan (a) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Secara Visual Peta RBI Cetak Skala 1: 25.000 (Lembar Peta : Cileungsi, Tajur, Cisarua), (b) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Peta RBI Digital Skala 1:25.000, (c) Peta Kemiringan Lereng Hasil Analisis Data SRTM Digital Resolusi 30 Meter


(27)

15

Perbandingan Kelas Lereng dari data RBI (Cetak dan Digital)

Seperti telah diungkapkan dalam metode penelitian bahwa pengukuran kemiringan lereng dari Peta RBI dilakukan dengan dua metode, yaitu secara cetak dan secara digital dengan software SIG. Mengingat bahwa geometri DAS hasil

dari kedua metode ini sedikit berbeda (termasuk luasannya), maka hasil dan pembahasan terhadap perbandingan dua metode ini hanya dilakukan pada daerah yang tercakup oleh keduanya (overlap). Luas wilayah yang overlap di dalam DAS

ini didapatkan seluas 6.978,5 Ha.

Untuk membandingkan pola persebaran spasial masing-masing kelas lereng dari kedua metode tersebut maka dilakukan proses tumpang-tindih (overlay)

(Gambar 5a dan 5b). Dengan cara demikian maka dapat dilihat bagaimana persebaran poligon-poligon kelas-kelas lereng yang sama dari kedua peta. Melalui proses tumpang-tindih ini dapat diketahui persebaran kelas lereng yang sama dan menempati lokasi yang sama (overlap) atau menempati lokasi yang berbeda (tidak overlap). Luasan dari hasil proses tumpang-tindih tersebut disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5 Hasil Overlay Peta RBI Cetak dan RBI Digital Kelas Lereng Luas Total

(Cetak & Digital) (Ha)

Luasan overlap

(%)

Luasan tidakoverlap

(%)

A (0%-8%) 1127,7 95,6 4,4

B ( 8%-15%) 2247,7 36,5 63,5

C (15%-30%) 1848,8 18,8 81,2

D (30%-45%) 1678,5 15,6 84,4

E (>45%) 75,9 21,7 78,3

Jumlah

Nilai Rata-rata 6978,5 37,64 62,36

Dari Tabel 5 di atas terlihat bahwa nilai persentase overlap yang terbesar

adalah pada kelas kemiringan lereng A (95,6%), disusul dengan kelas B (36,5%), sedangkan untuk kelas C, D, dan E relatif hampir sama (± 20 %). Hal ini mengindikasikan bahwa untuk daerah yang mempunyai kemiringan lereng datar hingga landai (0-8%) kedua metode mempunyai akurasi yang relatif sama. Namun jika kemiringan lereng semakin besar (> 8%), maka akurasi dari kedua metode tersebut sudah tidak sama lagi. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai persentasi dari luasan yang tidak overlap. Adapun nilai rata-rata luas area yang overlap

adalah 37,64%.

Perbandingan Lereng dari Data RBI (Digital) dan SRTM (Digital)

Luas daerah penelitian yang terliput oleh kedua sumber data yang berbeda ini (Peta RBI Digital dan SRTM) adalah sebesar 7.107,1 Ha. Luasan dari hasil proses tumpang-tindih dari kedua data disajikan pada Tabel 6. Untuk kedua sumber data ini semuanya berasal dari jenis data yang sama (raster) dan metode analisis yang digunakan adalah sama, yaitu secara digital dengan software SIG.

Data raster RBI dibuat dengan resolusi 30m agar memiliki resolusi yang sama dengan data SRTM (=30m).


(28)

16

Tabel 6 Hasil Overlay Peta RBI Digital dan Peta SRTM Digital Kelas Lereng Luas Total (RBI &

SRTM) (Ha)

Luasan overlap (%) Luasan tidak overlap

(%)

A (0%-8%) 2876,0 44,7 55,3

B ( 8%-15%) 2385,9 29,3 70,7

C (15%-30%) 1490,6 47,8 52,2

D (30%-45%) 328,0 40,1 59,9

E (>45%) 26,5 88,3 11,7

Total

Nilai Rata-rata 7107,1 50,04 49,96

Bila dilihat dari persebarannya (Gambar 5b dan 5c) terlihat bahwa kelas lereng A dari data RBI digital lebih mendominasi, sedangkan dari data SRTM

cenderung lebih mirip dengan data RBI hasil analisis visual. Untuk membandingkan pola persebaran spasial dari masing-masing kelas lereng dari dua sumber data yang berbeda ini maka dilakukan proses tumpang-tindih (overlay).

Dari hasil proses tumpang-tindih ini dapat diketahui persebaran kelas-kelas lereng yang sama yang menempati lokasi yang sama (overlap) dan yang tidak menempati

lokasi yang sama (tidak overlap). Tabel 6 menyajikan hasil dari proses tersebut

dan terlihat bahwa persentase terbesar dari kelas lereng yang overlap terdapat

pada kelas E (>45%) yaitu sebesar 88,3%, sedangkan persentase luasan terbesar yang tidak overlap terdapat pada kelas B (8%-15%) sebesar 70,7%. Untuk nilai

rata-rata luas area yang overlap adalah sebesar 50,04%. Jika melihat Tabel 6,

maka tampak bahwa meskipun jenis data adalah sama (raster) dengan resolusi yang sama (30m) namun hasilnya tetap saja berbeda. Beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab terjadinya perbedaan ini adalah asal sumber data. Asal data raster dari RBI berbeda dengan data raster dari SRTM, dimana yang pertama berasal dari hasil konversi data vektor, sedangkan yang kedua masih asli dari sensornya berupa data raster.

Perbandingan Kelas Lereng dari Data RBI Cetak dan SRTM Digital

Dari perbandingan antara peta kemiringan lereng hasil analisis RBI cetak secara visual dengan SRTM digital didapatkan bahwa secara umum antara kedua peta tersebut tampak lebih banyak memiliki kesamaan (Tabel 7). Nilai persentase overlap yang terbesar adalah kelas lereng A (74,4%), sedangkan untuk kelas lereng B, C, dan E relatif hampir sama (± 60 %) dan luasan overlap terkecil

adalah kelas lereng D (37,1%).

Tabel 7 Hasil Overlay Peta RBI Manual dan Peta SRTM Digital Kelas Lereng Luas Total (RBI &

SRTM) (Ha)

Luasan overlap (%) Luasan tidak overlap

(%)

A (0%-8%) 1108,3 74,4 25,6

B ( 8%-15%) 2236,8 56,0 44,0

C (15%-30%) 1836,2 62,0 38,0

D (30%-45%) 1666,2 37,1 62,9

E (>45%) 75,3 65,1 34,9

Total


(29)

17 Dari hasil proses overlap pada Tabel 7, angka-angka persentase overlap

antara peta-peta kemiringan lereng dari RBI cetak dan SRTM digital ini tampak lebih baik dari perbandingan-perbandingan lainnya (Tabel 5 dan 6) artinya nilai overlapnya lebih besar. Hal ini mungkin dikarenakan kedua data yang digunakan dalam analisis masih asli atau tidak mengalami konversi sebelumnya, sehingga data tidak mengalami perubahan sifat dasar geometrik. Data dari RBI cetak merupakan data kontur yang langsung dianalisis di atas peta, sedangkan data dari SRTM berupa data raster yang juga langsung dilakukan analisis di dalam piranti lunak tanpa adanya proses konversi. Untuk nilai rata-rata luas area yang overlap

dari perbandingan ini adalah 58,92%.

Perbandingan Pemetaan Kemiringan Lereng dan Pengukuran di Lapangan Dari ketiga metode yang telah dihasilkan dan telah dibahas, selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan. Hasil perbandingan ini secara visual disajikan pada Gambar 6 (menunjukkan titik-titik sampel) dan Tabel 8 (yang menunjukkan secara detil titik-titik sampel yang dimaksud pada Gambar 8). Pada Tabel 8 hanya menunjukan 6 titik perbandingan antara peta lereng hasil analisis RBI cetak, RBI digital, dan SRTM.

Berdasarkan pengukuran dan verifikasi lapang dengan titik sampel yang lebih banyak lagi terlihat bahwa metode digital dari data SRTM memiliki

persamaan dengan pengukuran lapangan yang lebih baik, yaitu 80,9% (Tabel 9 ). Adapun metode digital dari data RBI = 76,2%, dan metode visual dari data RBI

cetak = 66,7%. Rendahnya nilai RBI digital mungkin lebih disebabkan oleh

adanya proses konversi data (vektor ke raster) dalam persiapan sebelum di analisis, sedangkan rendahnya nilai RBI cetak hasil disebabkan oleh kesalahan penafsir (interpreter) dalam melakukan analisis secara visual. Dalam hal ini pengalaman, ketekunan, dan ketelitian dalam mengukur jarak antar kontur oleh penafsir merupakan bagian terpenting dari hasil analisis yang diperoleh. Dengan kata lain pengalaman, ketekunan, dan ketelitian penafsir untuk kasus ini dapat dikategorikan sedang.

Dalam penelitian ini jumlah titik pengukuran lapangan hanya mencapai 42 titik (Gambar 7), sehingga untuk penelitian lanjutan mungkin perlu ditambah agar dapat diperoleh perbandingan nilai yang lebih baik.


(30)

A A A C

A D

A F

A E A B

A A A C

A D

A F

A E A B

A A A C

A D

A F

A E A B

18


(31)

Tabel 8 Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di Lapang Nama

Titik RBI Cetak Peta Kemiringan Lereng dari RBI Digital Peta Kemiringan Lereng dari SRTM Peta Kemiringan Lereng dari Di Lapang Kemiringan Lereng A

Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi di lapang lereng kelas A B

Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Terklasifikasi sebagai lereng kelas B 19 Tabel 8 Perbesaran Hasil Kelas Lereng RBI (Cetak-Digital), SRTM dan Kondisi Di Lapang


(32)

17 Nama

Titik Peta Kemiringan Lereng dari RBI Cetak Peta Kemiringan Lereng dari RBI Digital Peta Kemiringan Lereng dari SRTM KemiringanLereng Di Lapang C

Terklasifikasi sebagai lereng kelas D Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelas D Terklasifikasi sebagai lereng kelas C D

Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelasB Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelas C

20


(33)

18 Nama

Titik RBI Cetak Peta Kemiringan Lereng dari RBI Digital Peta Kemiringan Lereng dari SRTM Peta Kemiringan Lereng dari Di Lapang Kemiringan Lereng E

Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas A Terklasifikasi sebagai lereng kelas B F

Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelas B Terklasifikasi sebagai lereng kelas C Terklasifikasi sebagai lereng kelas C


(34)

Tabel 9 Perbandingan Nilai Kelas Lereng dari Hasil Analisis Visual-Digital (RBI), SRTM, dan Hasil Verfikasi Lapang

Titik Observasi

Metode Analisis Kelas yang Sama Kelas yang Berbeda

RBI

Visual Digital RBI SRTM Lapangan Manual RBI Digital RBI SRTM Manual RBI Digital RBI SRTM

1 A A A A   

2 A A A A   

3 A A A A   

4 A A A A     

5 A A A A    

6 A A A A    

7 A A A A    

8 A A A A    

9 A A A A    

10 A A A A    

11 A A A A     

12 A A B A   

13 B A B A     

14 B A B A    

15 B A B A   

16 B A B A    

17 B B B B   

18 B B B B   

19 B B B B   

20 B B B B     

21 B B B B    

22 B B B B    

23 B B C B    

24 C C C C     

25 C B C C    

26 C B C B      

27 C B C C    

28 C B C C    

29 C B C C    

30 C B C C    

31 C B C C    

32 C B C C    

33 C B C C    

34 D B C C    

35 D C C C     

36 D C C C   

37 D C C C      

38 D C C C    

39 D C C C    

40 D C D C   

41 D C D C   

42 D C D C   

Jumlah 28 32 34 14 10 8

Jumlah % 66,7% 76,2% 80,9% 33,3% 23,8% 19,1%


(35)

23

Profil Melintang

Selain melakukan pengukuran terhadap kemiringan lereng pada saat kerja lapang, dilakukan pula pembuatan transek untuk membuat profil permukaan lahan. Lokasi pengukuran ditunjukan pada Gambar 8 yaitu terdiri atas 3 lokasi, sedangkan hasil pengukuran ditunjukan pada Tabel 10. Profil melintang (toposkuen) yang dihasilkan disajikan pada Gambar 9

Berdasarkan pada Gambar 8 dan 9 dapat dilihat bahwa Profil 1 (dari titik A hingga B) menggambarkan suatu profil lereng yang melintas dari permukaan lahan dengan kemiringan lereng “datar” atau kelas A (0-8%) ke kemiringan lereng “sangat miring” atau kelas D (30% - 45%).

Peta kemiringan lereng pada Gambar 8 diambil contoh dari peta lereng (RBI cetak), sedangkan Gambar 9 memperlihatkan profil melintang dari hasil


(36)

24

pengukuran lapangan. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa di dalam kelas lereng A ternyata kemiringan lereng di lapangan masih cukup bervariasi seperti yang dapat dilihat dari Tititk A-1 ke titik 4 pada Profil 1 (A-B). Dari transek ini terdapat 3 kemiringan lereng yang berbeda, yaitu 9%, 15%, dan 10% (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa kelas lereng di dalam peta sesungguhnya merupakan hasil penyederhanaan atau generalisasi dari fenomena sebenarnya di lapangan. Penyederhanaan terjadi karena adanya skala yang membatasi kerincian data yang dapat ditampilkan. Dalam kasus ini hasil pengukuran lapangan yang mempunyai skala 1:1 disederhanakan menjadi skala 1:25.000, sehingga generalisasi di sini terjadi lebih disebabkan oleh adanya interval kontur sebesar 12,5 m yang ditetapkan di dalam peta RBI. Dengan demikian nilai dari kemiringan lereng di lapangan yang cukup beragam tidak dapat dipetakan satu per satu di dalam peta skala 1:25.000.

Tabel 10 Kemiringan Lereng dari setiap Profil Melintang

Titik Profil 1 (A – B) Profil 2 (C – D) Profil 3 (E – F) kemiringan

lereng (%) kemiringan lereng (%) kemiringan lereng (%)

1 - 2 9 1 9

2 - 3 15 9 12

3 - 4 10 9 16

4 - 5 9 12 20

5 - 6 11 11

6 - 7 12 20

7 - 8 11 23

8 - 9 25

Menurut proses generalisasi ini, maka yang seharusnya termasuk ke dalam kemiringan lereng Kelas B pada profil 1 adalah mulai dari titik pertama (titik A-1) hingga ke titik 8, sedangkan dari titik 8 ke titik 9 (titik B) masuk ke dalam kemiringan lereng Kelas C (Tabel 10). Dengan kata lain kesalahan pada peta lereng tidak dapat di hindari akibat proses generalisasi.

Untuk Profil 2, dari titik C-1 ke titik 2 mempunyai kemiringan lereng 1% (kelas A), sedangkan dari titik 2 hingga titik 6 mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi namun berdekatan, yaitu antara 9% hingga 12% (kelas B) adapun, dari titik 6 hingga ke titik 8 masuk ke dalam kemiringan lereng kelas C (kemiringan 20% dan 23%). Berdasarkan profil ini maka seharusnya kelas lereng hanya dapat dipilah menjadi Kelas A, B dan C (pengukuran lapang), namun pada peta lereng dibedakan menjadi 4 kelas, yaitu kelas A, B, C, dan D.

Untuk Profil 3, dari Titik E-1 ke titik 2 mempunyai kemiringan lereng 9%, dari titik 2 ke titik keempat berturut-turut mempunyai kemiringan lereng 12% dan 16%, dan dari titik 4 ke titik 5 mempunyai kemiringan lereng 20% (Tabel 10). Menurut profil ini, kelas lereng seharusnya hanya dibedakan menjadi 2, yaitu kelas lereng B dan C atau sesuai dengan peta lereng yang dibuat namun terjadi kesalahan dalam persebarannya. Ketepatan dalam interpretasi kemiringan lereng untuk kasus yang terakhir ini mungkin lebih disebabkan oleh adanya dua kelas kemiringan lereng yang kontras dan berdampingan, sehingga lebih mudah untuk dibedakan secara visual.


(37)

Gambar 8 Tiga Titik Pengamatan untuk Pembuatan Profil Melintang (Profil 1, 2 dan 3) dengan Latar Belakang

Peta Kemiringan Lereng (RBI Cetak) Profil 1

Profil 2 Profil 3


(38)

450 470 490 510 530

0 9.1 35.5 103.5 126

ELE VAS I (m ) JARAK (m)

PROFIL 3

E F 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300

0 138 215.7 259.7 321.2 345.7 405 481.9 539.4

ELE V ASI (m) JARAK (m)

PROFIL 1

A B 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250

0 46.8 101.9 156.6 217.1 227.8 311 323.2

ELE V ASI (m) JARAK (m)

PROFIL 2

C D 26


(39)

27 Bentuklahan (landform)

Geomorfologi daerah penelitian dapat digambarkan dari keragaman bentuklahannya. Dengan mempelajari atau memetakan bentuklahan maka akan dapat diketahui sifat fisik lingkungan dari daerah penelitian. Manfaat dari pemetaan bentuklahan antara lain adalah dapat mengetahui sifat bentanglahan melalui keterkaitan antara persebaran bentuklahan dengan pola spasial proses geomorfik (Goudie, 2004). Secara mikro kemiringan lereng adalah salah satu sifat dari bentuklahan hasil dari proses geomorfik yang dapat mencirikan karakteristik bentanglahan dimaksud.

Berdasarkan hasil interpretasi dari citra SRTM (resolusi spasial 30 meter) yang dibantu dengan peta kontur untuk melihat kondisi umum relief, peta geologis untuk melihat litologi serta struktur dan proses, dan peta jaringan sungai

untuk melihat pola dan kerapatan torehan, didapatkan 17 bentuklahan untuk daerah penelitian. Nama-nama bentuklahan disajikan pada Tabel 11 termasuk kode dan luasannya, sedangkan persebaran spasial bentuklahan ditampilkan pada Gambar 10. Beberapa foto bentuklahan yang diambil di lapangan disajikan pada Gambar 11.

Menurut peta geologis (skala 1:100.000) daerah penelitian tersusun oleh material batuan sedimen berumur Miosen, batuan vulkanik berumur Pleistosen, dan alluvium berumur Pleistosen, Jenis-jenis batuan yang menyusun bentuklahan di daerah penelitian tercantum di dalam Tabel 11. Berdasarkan tabel tersebut, bentuklahan perbukitan denudasional-berbatu liat tertoreh sedang (D3)

merupakan bentuklahan terluas di daerah penelitian, yaitu seluas 1302,08 hektar atau 18,18% dari total luasan daerah penelitian, sebaliknya bentuklahan yang terkecil adalah dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping (K3) dengan

luasan 29,47 hektar (0,29%). Untuk dataran- fluvio vulkanik (FV) yang dibentuk

oleh proses deposisi aliran sungai serperti tampak pada Gambar 10 tersebar memanjang di bagian selatan daerah penelitian (hilir), yaitu mengikuti lembah sungai di bagian hilir, sedangkan bentuklahan Lembah Sungai Lereng Atas (F1)

persebarannya juga mengikuti aliran sungai namun berada pada daerah-daerah perbukitan dan pegunungan (hulu). Bentuklahan lain yang berupa tebing berada di

perbukitan bagian selatan yang mudah dikenali di lapangan tersusun dari batugamping, sehingga dinamakan Tebing Karst (K2). Bentuklahan perbukitan

yang lain cukup bervariasi, sebagian besar berada pada elevasi < 400 m, terdiri dari perbukitan karst (K1), perbukitan denudasional berbatuan sedimen

(batupasir, batuliat) (D2, D4), dan perbukitan denudasional vulkanik. Untuk

bentuklahan pegunungan sebagian besar persebarannya berada pada elevasi > 400 m, yaitu pegunungan denudasioanl vulkanik (DV1, DV2), yang terletak di bagian


(40)

28

Tabel 11 Nama Bentuklahan dan Luasannya di DAS Cileungsi

No KODE Nama Bentuklahan Luas

(Ha) luas (%) 1 FV Dataran fluvio vulkanik 64,68 0,90 2 D2 Perbukitan denudasional berbatu liat,tertoreh ringan 95,78 1,34 3 D3 Perbukitan denudasional,berbatu liat tertoreh sedang 1302,08 18,18 4 D4 Perbukitan, denudasional, berbatu liat, tertoreh kuat 577,71 8,07 5 F1 Lembah sungai lereng atas bermaterial alluvium 283,89 3,96 6 F2 Lembah sungai dataran banjir dan teras alluvial

bermaterial alluvium 141,05 6,58 7 K1 Perbukitan karst berbatu gamping tertoreh sedang 631,28 8,81 8 K2 Tebing karst berbatu gamping 134,73 1,88 9 K3 Dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping 20,47 0,29 10 DV1 Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh

ringan 332,70 4,65

11 DV2 Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh

sedang 489,87 6,84

12 DV3 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu

lava tertoreh sangat ringan 33,22 0,46 11 DV4 Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik

berbatu lava tertoreh ringan 321,25 4,49 14 DV5 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu

lava tertoreh ringan 471,01 1,97 15 DV6 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu

lava tertoreh sedang 166,18 2,32 16 DV7 Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh

kuat 1042,96 14,56

17 DV8 Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh

sedang 624,90 8,72

Total Luas 7162,32 100,00


(41)

Tabel 12 Deskripsi dan Nama Bentuklahan DAS Cileungsi

No Kode Morfologi Morfogenesis Morfo

kronologi Litologi Nama Bentuklahan Luas (Ha) Luas (%)

1 FV Dataran Denudasional Miosen Endapan kipas aluvium Dataran fluvio vulkanik 64,68 0,90 2 D2 Perbukitan Denudasional Miosen Batu liat, batu kapur,

batu lumpur, tuff Perbukitan denudasional berbatu liat,tertoreh ringan 95,78 1,34 3 D3 Kerucut Denudasional Miosen Batu kapur, batu pasir,

tuff, batu lumpur Perbukitan denudasional,berbatu liat tertoreh sedang 1302,08 18,18 4 D4 Perbukitan Denudasional Miosen Batu kapur, batu pasir,

tuff, batu lumpur Perbukitan, denudasional, berbatu liat, tertoreh kuat 577,71 8,07 5 F1 Dataran Fluvial Pleistosen Andesit,

alluvium-vulkan Lembah sungai lereng atas bermaterial alluvium 283,89 3,96 6 F2 Dataran

bergelombang Fluvial Misosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur Lembah sungai dataran banjir dan teras alluvial bermaterial alluvium 471,01 6,58 7 K1 Perbukitan Karts Miosen Batu kapur, batu liat, tuff Perbukitan karst berbatu gamping tertoreh sedang 631,28 8,81 8 K2 Kerucut Karst Miosen Batu kapur, batu pasir,

tuff, batu lumpur Tebing karst berbatu gamping 134,73 1,88 9 K3 Dataran

puncak perbukitan

Karst Miosen Batu kapur, batu pasir,

tuff, batu lumpur Dataran puncak perbukitan karst berbatu gamping 20,47 0,29 10 DV1 Perbukitan Denudasional,

vulkanik Miosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan 332,70 4,65 11 DV2 Kerucut Denudasional,

vulkanik Miosen Batu kapur, batu pasir, tuff, batu lumpur Perbukitan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang 489,87 6,84 12 DV3 Kerucut Denudasional,

vulkanik Pleistosen Andesit, alluvium-vulkan Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sangat ringan 33,22 0,46 13 DV4 Perbukitan Denudasional,

vulkanik Pleistosen Andesit, alluvium-vulkan Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan 321,25 4,49 14 DV5 Kerucut Denudasional,

vulkanik Pleistosen Andesit, alluvium-vulkan Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh ringan 141,05 1,97 15 DV6 Kerucut Denudasional,

vulkanik Pleistosen Andesit, alluvium-vulkan Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang 166,18 2,32 16 DV7 Kerucut Denudasional,

vulkanik Pleistosen Andesit, alluvium-vulkan Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh kuat 1042,96 14,56 17 DV8 Pegunungan Denudasional,

vulkanik Miosen Batu kapur, batu pasir Pegunungan denudasional vulkanik berbatu lava tertoreh sedang 624,90 8,72


(42)

Gambar 10 Peta Bentuklahan diatas Citra SRTM 30


(43)

31

(a) Lembah Sungai Dataran Banjir & Teras Alluvial (F2)

(b) Perbukitan Kasrt (K1) Lembah Sungai

Alluvium (F2)

Perbukitan Denudasional Berbatu Liat (D3)

Sungai Cileungsi

Batu Gamping Yang Tersingkap


(44)

32

(c) Tebing Karst (K2)

(d) Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV2)

(e) Dataran Puncak Perbukitan Karst (K3)

Gambar 11 Gambaran Bentuklahan di Lokasi Penelitian Tebing Karts


(45)

33 Hubungan bentuklahan dan kemiringan lereng

Kemiringan lereng adalah bagian dari morfologi bentuklahan yang mencerminkan ukuran derajat kemiringan permukaan lahan terhadap bidang horisontal. Kemiringan ini dilahirkan oleh proses geomorfik, baik endogen maupun eksogen, yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh faktor litologi dan struktur material penyusun bentuklahan. Oleh karena itu karakter bentuklahan seharusnya dapat dihubungkan dengan pola kemiringan lereng yang dimilikinya. Hubungan antara bentuklahan (landform) dengan kemiringan lereng dalam

penelitian ini dihasilkan dari proses tumpang-tindih (overlay) antara peta

bentuklahan dengan peta lereng. Dalam hal ini peta lereng hasil analisis dari peta RBI secara manual diambil contoh untuk overlay karena pada peta ini tidak

memerlukan proses filterisasi guna mendapatkan kelas lereng yang bersih (tanpa poligon berukuran kecil) karena keduanya dihasilkan dari interpretasi dan analisis manual. Gambaran hasil overlay disajikan pada Gambar 12, sedangkan besarnya

persentase dari luas kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan disajikan pada Gambar 13.

Gambar 12 Tumpang Tindih Antara Peta Bentuklahan dengan Peta Kelas Lereng


(46)

34 0 20 40 60 80 100 120

Dataran puncak perbukitan, karst Dataran Bergelombang

LU A S KE LA S LE R E N G (h a)

DATARAN

A B C D E (a) (b) (c) 0 20 40 60 80 100 120 LU A S K E LA S LE RE NG (h a)

PERBUKITAN

A B C D E 0 20 40 60 80 100 120

Lembah sungai lereng atas Lembah sungai dataran banjir dan teras aluvial

LU A S KE LA S LE R E N G (h a)

LEMBAH

A B C D E


(47)

35 (d)

(d)

Pada Gambar 12 dapat dilihat hubungan antara bentuklahan dengan kelas kemiringan lereng yang dikelompokkan berdasarkan morfografi dalam hal ini adalah hubungan luasan kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan. Secara tabular persebaran luas kelas kemiringan lereng pada setiap bentuklahan dapat dilihat pada Tabel 11 dan berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 13 tersebut terlihat bahwa pada bentuklahan dengan morfografi Lembah, kelas lereng C dan D

mendominasi bentuklahan Lembah Sungai Lereng Atas, sedangkan pada

bentuklahan Lembah Sungai Dataran Banjir dan Teras Alluvial lebih didominasi

oleh kelas lereng A. Hal ini tampak logis karena bentuklahan yang pertama persebarannya berada di daerah perbukitan dan pegunungan atau di daerah erosional (hulu), sedangkan bentuklahan yang kedua berada di daerah hilir atau di daerah deposisional. Oleh sebab itu lembah sungai yang berada pada daerah perbukitan dan pegunungan di bagian selatan memiliki kelas lereng yang lebih curam di bandingkan dengan di daerah dataran bagian utara.

Untuk bentuklahan dengan morfografi Dataran, sesuai dengan namanya

maka kelas lereng A dan B lebih mendominasi bentuklahan ini. Dalam hal ini bentuklahan Dataran Puncak Perbukitan Karst lebih didominasi oleh kelas lereng

B, sedangkan pada bentuklahan Dataran fluvio vulkanik lebih didominasi oleh

kelas lereng A. Hal ini juga terkait dengan elevasi, dimana yang pertama mempunyai elevasi ± 140m, sedangkan yang kedua berada pada elevasi ± 500m. Elevasi berkaitan pula dengan proses geomorfik, dimana pada elevasi yang lebih tinggi umumnya terjadi proses denudasional, sedangkan pada elevasi yang lebih rendah terjadi proses deposisional yang umumnya menghasilkan lereng dengan kemiringan kelas A.

Pada bentuklahan dengan morfografi perbukitan, kelas lereng yang

mendominasi bentuklahan tampak lebih bervariasi tergantung pada jenis bentuklahannya. Di grup perbukitan ini terdapat 7 jenis bentuklahan dimana morfografi tebing dimasukkan di dalamnya. Pada bentuklahan Tebing Karst (K2)

kelas kemiringan lereng yang mendominasi adalah kelas D, sedangkan pada bentuklahan Perbukitan Karst Tertoreh Sedang (K1) lebih didominasi oleh kelas

lereng B dan C. Hal ini cukup relevan dikarenakan tebing karst merupakan bagian ujung atau tepi dari bentuklahan berbatugamping yang umumnya mempunyai batas lereng yang tegas.

Untuk bentuklahan Perbukitan Denudasional Berbatu Liat, baik yang

tertoreh ringan, sedang, maupun kuat (D2, D3, D4), kelas kemiringan lereng yang mendominasi adalah kelas kemiringan lereng B, C, dan D. Dalam hal ini

Gambar 13 Diagram Hubungan Kelas Lereng dengan Bentuklahan (dikelompokan berdasarkan morfografi)

0 20 40 60 80 100 120 LU A S KE LA S LE R E N G (h a)

PEGUNUNGAN

A B C D E 35


(48)

36

bentuklahan D2 dan D4 (tertoreh ringan dan berat) lebih didominasi oleh kelas lereng C dan D, sedangkan bentuklahan D3 (tertoreh sedang) didominasi oleh kelas kemiringan lereng B dan C. Torehan tampaknya mempuyai hubungan yang erat dengan dominasi kelas lereng (bentuklahan D4 dan D3), kecuali untuk bentuklahan D2. Hal ini mungkin disebabkan oleh posisi bentuklahan D2 yang berada pada elevasi paling rendah (140-200m) dibandingkan dengan bentuklahan D3 (162-387m) dan D4 (275-462m) dengan demikian bentuklahan D2 mempunyai tingkat torehan paling ringan. Tingkat kemiringan perlapisan batuan (dip) batuliat yang menyusun perbukitan ini, yang mungkin juga mempengaruhi

kemiringan lereng, tidak diamati dalam penelitian ini (di lapangan).

Untuk bentuklahan Perbukitan Denudasional Vulkanik baik yang teroreh

ringan dan sedang (DV1 dan DV2) didominasi oleh kelas kemiringan lereng B dan C berturut-turut. Dalam hal ini tingkat torehan juga tampak berpengaruh terhadap dominasi kelas kemiringan lereng, dimana tingkat torehan yang lebih tinggi lebih didominasi oleh kelas kemiringan lereng yang lebih besar.

Pada bentuklahan dari grup morfografi pegunungan, terdapat 6 jenis

bentuklahan yang kesemuanya tersusun dari material vulkanik sehingga diklasifikasikan sesuai dengan posisi topografinya, yaitu yang berada pada lereng bawah, lereng atas, dan lainnya. Untuk bentuklahan Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Vulkanik Tertoreh Ringan (DV4) lereng yang mendominasi adalah

kelas kemiringan C, D, dan B yang ketiganya tidak mempunyai perbedaan luasan yang sangat menyolok, sedangkan untuk yang berada pada lereng atas, baik yang tertoreh ringan, sedang, maupun kuat (DV5, DV6, DV7), lereng yang mendominasi berturut-turut adalah kelas kemiringan B-C, C-D, dan D. Pada bentuklahan ini juga tampak ada hubungan erat antara tingkat torehan dengan dominasi kelas lereng. Adapun untuk bagian yang lain, yaitu pada bentuklahan

Pegunungan Denudasional Vulkanik Tertoreh Sedang dan Kuat (DV7 dan DV8)

hubungan antara tingkat torehan dengan dominasi lereng juga tampak jelas, dimana untuk yang tertoreh sedang didominasi oleh kemiringan lereng kelas B-C, dan untuk yang tertoreh kuat didominasi oleh kelas kemiringan lereng D.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa selain proses geomorfik dan material penyusun bentuklahan, maka tingkat torehan juga mengindikasikan dominasi kelas lereng pada setiap bentuklahan di wilayah hulu.


(49)

Tabel 13 Nama Bentuklahan dan Luas Persebaran Kelas Lereng di DAS Cileungsi

No KODE Nama Bentuklahan Kelas

Kemiringan Lereng

Luas (%) 1 FV Dataran fluvio vulkanik A,B,C A(87,30%) B(3,50) C (9,20%)

2 D2 Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh ringan A, B, C,D A(7,71%) B(22,02%) C(38%%) D(32,25%)

3 D3 Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh sedang A,B,C,D A(10,01%) B(51,56%) C(31,61%) D(6,73%)

4 D4 Perbukitan denudasional berbatu liat tertoreh kuat A,B,C,D A(3,78%) B(13,63%) C(43,24%) D(39,35%)

5 F1 Lembah sungai A,B,C,D,E A(26,59%) B(2,12%) C (35,56%) D(39,53%) E(0,39%)

6 F2 Lembah sungai, dataran banjir dan teras alluvial A,B,C,D A(78,65%) B(18,3%) C(2,5%) D(0,6%)

7 K1 Perbukitan karst tertoreh sedang A, B, C,D A(20,6%) B(43,3%) C(30,5%) D(4,3%) E(0,04%)

8 K2 Tebing karst A,B,C,D,E A(0,3%) B(7,6%) C(27,4%) D(52,4%) E(12,3%)

9 K3 Dataran puncak perbukitan, karst A,B,C A(26,30%) B(71,20%) C (2,50%)

10 DV1 perbukitan denudasional vulkanik tertoreh ringan A,B,C,D A(19,51%) B(47,67%) C(24,75%) D(8,07%)

11 DV2 perbukitan denudasional vulkanik tertoreh sedang A,B,C,D,E A(0,77%) B(27,07%) C(43,08%) D(28,55%) E(0,54%)

12 DV3 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sangat ringan A,B,C,D A(12,74%) B(59,65%) C(12,8%) D(15,26%)

13 DV4 Lereng bawah pegunungan denudasional vulkanik tertoreh ringan B,C,D B(38,38%) C(44,41%) D(17,20%)

14 DV5 Lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh ringan A,B,C,D,E A(4,95%) B(42,72%) C(30,64%) D(20,13%) E(1,56%)

15 DV6 lereng atas pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sedang B,C,D B(12,94%) C(46,32%) D(40,75%)

16 DV7 pegunungan denudasional vulkanik tertoreh kuat A,B,C,D,E A(0,04%) B(1,8%) C(16,92%) D(75,46%) E(5,78%)

17 DV8 Pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sedang A,B,C,D A(3,39%) B(65,74%) C(21,18%) D(9,69%)


(50)

38

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Berdasarkan verifikasi lapang dan perbandingan 3 hasil pemetaan, terlihat bahwa hasil pemetaan kemiringan lereng bersumber dari metode digital

dengan data SRTM memiliki ketelitian yang lebih baik, yaitu 80,9%, yang diikuti oleh metode manual dari data RBI cetak (76,2%), dan metode digital

dari data RBI digital (66,7%). Besarnya angka-angka tersebut tampak lebih

disebabkan oleh sifat keaslian sumber data, dimana sumber data SRTM 30m masih asli atau belum mengalami konversi sebelumnya, sedangkan untuk metode RBI digital data telah mengalami konversi, yaitu dari vektor ke raster.

Adapun rendahnya nilai Peta lereng dari Peta RBI cetak lebih disebabkan oleh kurangnya pengalaman, ketekunan, dan ketelitian penafsir. Berdasarkan kenyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini sumber data SRTM 30m dinilai paling baik dan konversi data berpengaruh terhadap tingkat ketelitian hasil yang diperoleh (bersifat mengurangi ketelitian).

2. Bentuklahan morfografi lembah dicirikan secara dominan oleh kelas lereng

A; untuk morfografi dataran dicirikan oleh kelas lereng A dan B; untuk

morfografi perbukitan dicirikan oleh kelas lereng B dan C; dan untuk

morfografi pegunungan dicirikan secara dominan oleh kelas lereng B, C dan

D. Untuk bentuklahan di wilayah hulu (perbukitan atau pegunungan), secara lebih spesifik, terdapat meningkatnya kemiringan lereng diikuti oleh meningkatnya torehan.

Saran

1. Untuk membuat peta kemiringan lereng disarankan tidak memakai data hasil konversi, namun memakai sumber data elevasi yang masih asli (raster atau vektor) agar mendapat tingkat ketelitian yang baik.

2. Perlu adanya kajian lebih lanjut :

a. mengenai analisis kelas lereng dengan pembagian kelas kemiringan lereng yang lebih detil dan dengan skala yang lebih besar, agar hasilnya lebih mendekati dengan kondisi aktual. Selain itu data lapangan perlu diperbanyak untuk mendapatkan hasil perbandingan yang lebih baik. b. mengenai hubungan kemiringan lereng dengan bentuklahan di wilayah lain

yang mempunyai bentuklahan yang lebih bervariasi, sehingga dapat dibandingkan dengan hasil penelitian ini.


(51)

39

DAFTAR PUSTAKA

Agus F, Sinukaban N, Ginting AN, Santoso H, dan Sutadi. 2007. Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah

dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta.

Badan Meteorolgi Klimatoogi dan Geofisika. 2005. Curah Hujan Kabupaten Bogor 2005.

Ariza D. 2014. Pemanfaantan Citra SRTM dan Landsat untuk Pemetaan Bentuklahan dan Satuanlahan serta Analisis Erosi Parit Di Kabupaten Ponorogo. [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Das BM. 1985. Mekanika Tanah 1. Diterjemahkan oleh Noor Endah dan

Indrasurya B.M. Jakarta : Erlangga.

Goudie AS. 2004. Encyclopedia of Geomorphology. Routledge, London.

Sharp R.P. 1982. Landscape Evolution (A Review). Proc. Natl. Acad, Sci. USA.,

Vol. 79. pp: 4477-4486.

Silviani RV. 2013. Analisis Bahaya dan Risiko Longsor di DAS Ciliwung Hulu dan Keterkaitannya dengan Penataan Ruang. [tesis]. Bogor. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tjahjono B, Trisasongko BH, Munibah K. 2013. Penuntun Praktikum Geomorfologi dan Analisis Lanskap. Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.

Van Zuidam, RA, 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphological Mapping. International Institute for Aerospace Survey

and Earth Sciences (ITC). The Netherlands.

Wiradisastra, U.S, Tjahono B, Gandasasmita K, Barus B, Munibah K. 2002.

Geomorfologi dan Analisis Lanskap. Laboratorium Penginderaan Jauh dan


(1)

7


(2)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lereng merupakan bagian dari suatu bentuklahan (landform) yang

wujudnya ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan lereng antara lain adalah batuan induk, biosfer, iklim, dan proses-proses geomorfik (Sharp, 1982). Menurut Sharp (1982) lereng dibentuk awalnya oleh proses endogenik seperti proses patahan, lipatan, atau vulkanik namun dengan berjalannya waktu lereng tersebut termodifikasi oleh proses-proses eksogenik seperti proses-proses erosi, longsor, deposisi, atau yang lainnya. Lereng merupakan unsur alam yang mempunyai sifat relatif permanen, namun seringkali aktivitas manusia dengan peralatan teknologinya dapat merubah kemiringan lereng. Meskipun perubahan lereng bersifat lokal, namun secara ekologis dampaknya sering mencapai ke wilayah-wilayah yang cukup jauh. Dengan demikian peranan kemiringan lereng dari sisi ekologis perlu mendapat perhatian dalam sistem pengelolaan sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu contoh aktivitas manusia yang berdampak pada proses ekologis, antara lain berupa erosi tanah dan longsor di wilayah-wilayah hulu dan juga banjir di wilayah hilir.

Peta topografik adalah salah satu sumber data yang paling sering digunakan untuk pemetaan lereng. Namun data topografik kini telah banyak berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Data elevasi dari rekaman satelit seperti dari

Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) atau data yang lainnya banyak

digunakan untuk melahirkan data topografik. Metode pemetaan lereng pun akhirnya menjadi berkembang sejalan dengan berkembangnya piranti lunak (software) sistem informasi geografis, sehingga keragaman peta lereng yang

dihasilkan pun bisa menjadi bervariasi sesuai dengan pemodelan yang dibangun. Pemetaan terhadap lereng merupakan langkah dasar yang hasilnya banyak dimanfaatkan oleh pengguna untuk menunjang pekerjaan-pekerjaannya, seperti inventarisasi sumberdaya lahan, kebencanaan alam, perencanaan wilayah, keteknikan, atau bidang-bidang yang lainnya. Dengan demikian akurasi merupakan hal yang sangat penting dalam pemetaan lereng dikarenakan akurasi akan berpengaruh terhadap kualitas pekerjaan lain yang ditunjangnya. Mengingat munculnya berbagai sumber data maupun metode pemetaan lereng, maka melakukan perbandingan terhadap peta-peta lereng yang dihasilkan melalui berbagai sumber maupun metode menarik untuk dilakukan. Hasil perbandingan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing data dan metode dimaksud. Melalui pemetaan lereng diharapkan dapat mengetahui pula karakter bentuklahannya. Kajian seperti ini akan bermanfaat untuk bidang-bidang aplikasi seperti kebencanaan alam atau yang lainnya yang secara umum terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup, seperti untuk pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). DAS adalah suatu kesatuan ekosistem yang khas untuk pelestarian sumber daya tanah dan air, oleh karenanya jika terjadi perubahan penggunaan lahan atau buruknya pengelolaan lahan di dalam DAS akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hidrologis di dalam DAS tersebut (Agus et al., 2007).


(3)

2

DAS Cileungsi merupakan salah satu DAS yang ada di Kabupaten Bogor. DAS ini dikenal banyak mengalami proses perubahan penggunaan lahan dikarenakan disamping DAS ini terdapat kawasan Sentul, yaitu areal yang dikembangkan untuk kawasan hunian dan wisata. Oleh karena itu, DAS ini perlu mendapat perhatian dan perlu banyak diteliti agar perubahan kondisi lingkungan yang terjadi di dalamnya dapat segera diketahui dan segera dapat dicarikan upaya-upaya untuk pencegahan jika terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka DAS Cileungsi dipilih untuk lokasi penelitian, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan pemetaan kemiringan lereng dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dengan metode manual/visual dan metode digital melalui sistem

informasi geografis (SIG), serta pemetaan lereng secara digital dari data SRTM

untuk pembanding.

2. Pemetaan bentuklahan (landform) dan analisis hubungan antara bentuklahan

dengan kemiringan lereng.

TINJAUAN PUSTAKA

Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan (landform) dan

proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan, serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya (Zuidam,1985; Asriningrum, 2002). Sejalan dengan pemahaman ini Tjahjono et al. (2001) memaparkan bahwa geomorfologi

merupakan suatu pemerian dan penjelasan bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (proses geomorfik endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu), serta struktur dan litologi penyusunnya. Dalam hal ini lereng adalah bagian dari morfologi bentuklahan yaitu dari aspek morfometri.

Lereng dapat difahami sebagai suatu permukaan tanah yang miring dan yang membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horisontal (Das, 1985). Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan lereng buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya terdapat di daerah pegunungan, sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia dan biasanya untuk keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, bendungan tanah, tanggul jalan kereta api, dan sebagainya.

Dalam aplikasinya, faktor lereng sering digunakan sebagai faktor penentu dalam analisis. Sebagai contoh dalam Keppres No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kemiringan lereng digunakan sebagai salah satu penentu kriteria kawasan lindung, yaitu jika kemiringan lereng >40% maka kawasan tersebut layak di jadikan kawasan lidung. Dalam penelitian Silviana (2013), kemiringan lereng juga dianggap sebagai faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap proses longsor, hal ini dikarenakan kestabilan lereng terletak pada kemiringannya (kendali utama proses longsor adalah gaya gravitasi).


(4)

38

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Berdasarkan verifikasi lapang dan perbandingan 3 hasil pemetaan, terlihat bahwa hasil pemetaan kemiringan lereng bersumber dari metode digital

dengan data SRTM memiliki ketelitian yang lebih baik, yaitu 80,9%, yang diikuti oleh metode manual dari data RBI cetak (76,2%), dan metode digital

dari data RBI digital (66,7%). Besarnya angka-angka tersebut tampak lebih

disebabkan oleh sifat keaslian sumber data, dimana sumber data SRTM 30m masih asli atau belum mengalami konversi sebelumnya, sedangkan untuk metode RBI digital data telah mengalami konversi, yaitu dari vektor ke raster.

Adapun rendahnya nilai Peta lereng dari Peta RBI cetak lebih disebabkan oleh kurangnya pengalaman, ketekunan, dan ketelitian penafsir. Berdasarkan kenyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini sumber data SRTM 30m dinilai paling baik dan konversi data berpengaruh terhadap tingkat ketelitian hasil yang diperoleh (bersifat mengurangi ketelitian).

2. Bentuklahan morfografi lembah dicirikan secara dominan oleh kelas lereng

A; untuk morfografi dataran dicirikan oleh kelas lereng A dan B; untuk

morfografi perbukitan dicirikan oleh kelas lereng B dan C; dan untuk

morfografi pegunungan dicirikan secara dominan oleh kelas lereng B, C dan

D. Untuk bentuklahan di wilayah hulu (perbukitan atau pegunungan), secara lebih spesifik, terdapat meningkatnya kemiringan lereng diikuti oleh meningkatnya torehan.

Saran

1. Untuk membuat peta kemiringan lereng disarankan tidak memakai data hasil konversi, namun memakai sumber data elevasi yang masih asli (raster atau vektor) agar mendapat tingkat ketelitian yang baik.

2. Perlu adanya kajian lebih lanjut :

a. mengenai analisis kelas lereng dengan pembagian kelas kemiringan lereng yang lebih detil dan dengan skala yang lebih besar, agar hasilnya lebih mendekati dengan kondisi aktual. Selain itu data lapangan perlu diperbanyak untuk mendapatkan hasil perbandingan yang lebih baik. b. mengenai hubungan kemiringan lereng dengan bentuklahan di wilayah lain

yang mempunyai bentuklahan yang lebih bervariasi, sehingga dapat dibandingkan dengan hasil penelitian ini.


(5)

2

DAS Cileungsi merupakan salah satu DAS yang ada di Kabupaten Bogor. DAS ini dikenal banyak mengalami proses perubahan penggunaan lahan dikarenakan disamping DAS ini terdapat kawasan Sentul, yaitu areal yang dikembangkan untuk kawasan hunian dan wisata. Oleh karena itu, DAS ini perlu mendapat perhatian dan perlu banyak diteliti agar perubahan kondisi lingkungan yang terjadi di dalamnya dapat segera diketahui dan segera dapat dicarikan upaya-upaya untuk pencegahan jika terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka DAS Cileungsi dipilih untuk lokasi penelitian, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan pemetaan kemiringan lereng dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dengan metode manual/visual dan metode digital melalui sistem

informasi geografis (SIG), serta pemetaan lereng secara digital dari data SRTM

untuk pembanding.

2. Pemetaan bentuklahan (landform) dan analisis hubungan antara bentuklahan

dengan kemiringan lereng.

TINJAUAN PUSTAKA

Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan (landform) dan

proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan, serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya (Zuidam,1985; Asriningrum, 2002). Sejalan dengan pemahaman ini Tjahjono et al. (2001) memaparkan bahwa geomorfologi

merupakan suatu pemerian dan penjelasan bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (proses geomorfik endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu), serta struktur dan litologi penyusunnya. Dalam hal ini lereng adalah bagian dari morfologi bentuklahan yaitu dari aspek morfometri.

Lereng dapat difahami sebagai suatu permukaan tanah yang miring dan yang membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horisontal (Das, 1985). Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan lereng buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya terdapat di daerah pegunungan, sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia dan biasanya untuk keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, bendungan tanah, tanggul jalan kereta api, dan sebagainya.

Dalam aplikasinya, faktor lereng sering digunakan sebagai faktor penentu dalam analisis. Sebagai contoh dalam Keppres No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kemiringan lereng digunakan sebagai salah satu penentu kriteria kawasan lindung, yaitu jika kemiringan lereng >40% maka kawasan tersebut layak di jadikan kawasan lidung. Dalam penelitian Silviana (2013), kemiringan lereng juga dianggap sebagai faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap proses longsor, hal ini dikarenakan kestabilan lereng terletak pada kemiringannya (kendali utama proses longsor adalah gaya gravitasi).


(6)

3 Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor sangat kecil untuk dapat terjadi. Dengan kata lain semakin besar kemiringan lereng, maka semakin besar potensinya untuk melahirkan longsor yang disebabkan oleh kestabilan lereng yang semakin kecil.

Lereng juga berpengaruh besar terhadap proses erosi. Lahan dengan kemiringan lereng yang curam (30-45%) memiliki pengaruh gaya berat (gravity)

yang lebih besar dibandingkan dengan lahan dengan kemiringan lereng agak curam (15-30%) atau landai (8-15%). Hal ini disebabkan gaya berat berbanding lurus dengan kemiringan permukaan tanah. Adapun gaya berat merupakan persyaratan mutlak untuk terjadinya proses pengikisan (detachment),

pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation) (Wiradisastra,

2002).

Menurut hasil penelitian Ariza (2014) dari analisis pohon keputusan didapatkan bahwa parameter “kemiringan lereng” menjadi paling penting dalam pembentukan erosi parit karena parameter ini berada pada node paling atas.

Parameter lain, seperti “NDVI” menjadi parameter terpenting kedua. sedangkan “arah lereng” mejadi parameter terakhir.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai dengan bulan Mei 2014 di DAS Cileungsi yang meliputi di wilayah-wilayah Kecamatan Cileungsi Citeureup, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, dan Babakan Madang, Kabupetan Bogor (Gambar 1). Lokasi penelitian secara geografis terletak di antara koordinat 6º 30’ 30” – 6º 41’ 00” LS dan 106º 43’ 30” – 106º 51’ 00” BT. Analisis data dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi citra IKONOS tahun 2010, citra satelit SRTM resolusi 30 m, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) digital dan cetak edisi 1998 (skala 1:25.000), yang meliputi Lembar : Cileungsi, Tajur, dan Cisarua, serta Peta Geologis digital, skala 1:250.000 (PPPG, 1996). Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, klinometer, alat tulis, kamera, dan piranti lunak: ArcGIS 9.3, Global Mapper v12, dan Microsoft Office 2010.