Keanekaragaman Hyphomycetes Pada Pisang (Musa X Paradisiaca)

KEANEKARAGAMAN HYPHOMYCETES PADA PISANG
(Musa x paradisiaca)
1.

DESI MARIA PANJAITAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman
Hyphomycetes pada Pisang (Musa x paradisiaca) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Desi Maria Panjaitan
NIM G351130151

RINGKASAN
DESI MARIA PANJAITAN. Keanekaragaman Hyphomycetes pada Pisang
(Musa x paradisiaca). Dibimbing oleh NAMPIAH SUKARNO dan MIEN
AHMAD RIFAI.
Hyphomycetes adalah cendawan anamorf yang bentuknya beranekaragam
dan terdistribusi luas di berbagai habitat. Pemanasan global menyebabkan beberapa
spesies model yang digunakan dalam pembelajaran mikologi saat ini sulit
ditemukan di lingkungan sekitar. Studi keanekaragaman cendawan Hyphomycetes
dan ontogeni konidia masih minim dilakukan di Indonesia padahal eksplorasi harus
tetap dilakukan karena diperkirakan banyak cendawan yang belum sempat
diketahui. Penelitian ini bertujuan menyediakan informasi mikoflora terkini
khususnya Hyphomycetes di Indonesia dengan cara mengumpulkan, mengisolasi
dan mengidentifikasi keanekaragaman spesies Hyphomycetes serta menguraikan
ontogeni konidia dan perkembangan konidianya. Pisang, salah satu tanaman
budidaya penting dan mudah ditemukan di seluruh Indonesia, sengaja dipilih untuk

memfasilitasi penyediaan salah satu sumber bahan ajar keanekaragaman cendawan
Indonesia guna kepentingan perkuliahan mikologi.
Eksplorasi dilakukan menggunakan metode purposive sampling di beberapa
kebun yang ditanami pisang di Bogor dan sekitarnya. Daun, tangkai daun, dan
pelepah kering tanaman pisang yang ditumbuhi cendawan Hyphomycetes dikoleksi
dan dilakukan pembuatan herbariumnya. Spesimen diamati di laboratorium
menggunakan mikroskop dan diidentifikasi secara morfologi. Konidia diisolasi
menggunakan teknik isolasi spora tunggal. Analisis molekuler dilakukan pada
beberapa koleksi isolat berdasarkan daerah ITS ribosomal DNAnya.
Berdasarkan pengamatan terhadap 127 koleksi spesimen, sebanyak 31 spesies
Hyphomycetes teridentifikasi. Sebagian besar spesies yang ditemukan menambah
catatan baru mikoflora Indonesia. Selain itu, ditemukan empat 4 spesies baru yang
terdiri dari 3 genus beserta nama ilmiah yang diusulkan yaitu Dictyosporium
bogoriense, Stachybotrys atrolaevis, Stachybotrys musicola, dan Oncopodium
javanicum. Spesies-spesies yang ditemukan lainnya ialah Bipolaris sp., Curvularia
lunata, Dendryphiella vinosa, Dendryphion comosum, Dictyosporium
heptasporum, D. hydei, D. zeylanicum, Exochalara sp., Lacellinopsis sacchari,
Periconia sp., Phaeoisaria clematidis, Phaeostalagmus cyclosporus, Pithomyces
sp. 1, Pithomyces sp. 2, Pyriculariopsis parasitica, Ramichloridium musae,
Spegazzinia deightonii, S. tessarthra, Stachybotrys echinata, S. levispora, S.

subsimplex, Stachylidium bicolor, Tetraploa aristata, Torula herbarum, dan
Zygosporium oscheoides. Kekurangan referensi mutakhir yang lengkap dan
spesimen pembanding menyebabkan beberapa belum selesai diidentifikasi
spesiesnya. Selanjutnya terdapat dua spesies yang sama sekali belum dapat
diidentifikasi karena tidak teramatinya karakter morfologi yang penting sehingga
diacu sebagai Hyphomycetes sp. 1 dan Hyphomycetes sp. 2. Di antara 31 spesies
tersebut, 6 spesies berhasil diisolasi dan dikulturnya yaitu Bipolaris sp., S.
atrolaevis, S. echinata, P. cyclosporus, T. herbarum, dan Hyphomycetes sp. 2.
Analisis molekuler yang dilakukan terhadap dua isolat Stachybotrys spp.
menunjukkan kesesuaian identitas hanya pada isolat S. echinata.

Spesies-spesies yang ditemukan memiliki karakter morfologi yang
bervariasi terutama pada tipe konidiofor, sel konidiogen dan konidia. Terdapat 7
tipe ontogeni konidia yaitu terintegrasi terminal, blastik akropetal, fragmentasi
basipetal, dentikel bersimpodial, berfialid, tretik, dan basauksik. Lima tipe konidia
ditemukan yaitu amerospora, keiroidspora, diktiospora, fragmospora, dan
staurospora. Keanekaragaman Hyphomycetes beserta variasi morfologi yang
ditemukan menunjukkan bahwa tanaman pisang dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu sumber didapatkannya spesies-spesies model dalam pembelajaran mikologi.
Kata kunci: cendawan anamorf, biodiversitas, Hyphomycetes, Musa x paradisiaca


SUMMARY
DESI MARIA PANJAITAN. Diversity of Hyphomycetes on Banana
(Musa x paradisiaca). Supervised by NAMPIAH SUKARNO and MIEN AHMAD
RIFAI.
Hyphomycetes is a group of anamorphic fungi which diverse forms and wide
distribution in various environment. Global warming has affected several fungal
model species used in mycology class make them now difficult to find.
Hyphomycetes diversity and its conidial ontogeny are not well studied yet in
Indonesia. Therefore this research has been undertaken to explore, collect, isolate,
identify, and describe Hyphomycetes species and to elucide their conidial ontogeny
and conidial development. Banana, one of the major and widely distributed crop
plant in Indonesia, has been intentionally chosen as one source to facilitate
mycological education.
Exploration was carried out using purposive sampling method in some
banana plantation around Bogor. Collected samples consisted of decaying and dry
leaf, petiole, and pseudostem of banana. Specimens were observed under
microscope and fungal identification was done based on morphological characters.
Conidia were isolated using single spore isolation technique. Molecular analysis
was done on some collections based on DNA ribosomal ITS region.

Based on the observation of 127 collected specimens, 31 species of
Hyphomycetes were identified. Most of the species are new records for mycoflora
of Indonesia. In addition, four species belonging to three genera are proposed as
new to science namely Dictyosporium bogoriense, Stachybotrys atrolaevis,
Stachybotrys musicola, and Oncopodium javanicum. The other species are
Bipolaris sp., Curvularia lunata, Dendryphiella vinosa, Dendryphion comosum,
Dictyosporium heptasporum, D. hydei, D. zeylanicum, Exochalara sp.,
Lacellinopsis sacchari, Periconia sp., Phaeoisaria clematidis, Phaeostalagmus
cyclosporus, Pithomyces sp. 1, Pithomyces sp. 2, Pyriculariopsis parasitica,
Ramichloridium musae, Spegazzinia deightonii, S. tessarthra, Stachybotrys
echinata, S. levispora, S. subsimplex, Stachylidium bicolor, Tetraploa aristata,
Torula herbarum, and Zygosporium oscheoides. The absence and inadequate
modern references made it impossible to identify all species and two others could
not be identified due to the lack of morphological character so that they were refered
to Hyphomycetes sp. 1 and Hyphomycetes sp. 2. Six species were succesfully
cultured namely Bipolaris sp., Hyphomycetes sp. 2, S. atrolaevis, S. echinata, P.
cyclosporus, and T. herbarum. Molecular analysis of two isolates of Stachybotrys
spp. showed the match identity only to S. echinata.
The species found in this study vary in morphological characters mainly of
conidiophore, conidiogenous cell and conidia. Seven types of conidial ontogeny

were found and described. They are terminally integrated, acropetally blastic,
fragmentationlly basipetal, sympodially denticulate, phialidic, tretic, and basauxic
cell. Five types of conidia were also found namely amerospore, cheroidspore,
dictyospore, phragmospore and staurospore.
Keywords: anamorphic fungi, biodiversity, Hyphomycetes, Musa x paradisiaca

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KEANEKARAGAMAN HYPHOMYCETES PADA PISANG
(Musa x paradisiaca )

DESI MARIA PANJAITAN


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Atik Retnowati SP MSc

PRAKATA
Pujian dan syukur penulis ucapkan untuk semua berkat dan kebaikan yang
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan pascasarjana, penelitian, dan penulisan tesis yang berjudul
Keanekaragaman Hyphomycetes pada Pisang (Musa x paradisiaca). Penulisan tesis
ini adalah salah satu syarat yang harus disusun sebagai upaya mendapatkan gelar

Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Pelaksanaan
penelitian ini didanai oleh DIKTI melalui program Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana Dalam Negri (BPPDN) Calon Dosen tahun 2013.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada
ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Nampiah Sukarno yang dengan penuh
ketekunan memberikan ajaran, arahan, dan dukungan selama masa perkuliahan dan
juga selama penyelesaian tugas akhir di Program Studi Mikrobiologi IPB. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada anggota komisi pembimbing, Bapak Prof.
Mien A. Rifai, M.Sc PhD, yang dengan penuh kesabaran dan kerelaan hati
memberikan waktu, pikiran dan tenaga yang luar biasa kepada penulis dalam
mempelajari Hyphomycetes beserta perihal taksonominya. Beliau pula lah yang
sebenarnya pertama kali memberi buah pikiran untuk melaksanakan topik
penelitian ini. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada penguji luar komisi,
Ibu Dr. Atik Retnowati, S.P. M.Sc, yang berkenan menguji dan memberi kritik serta
saran yang sangat membangun demi meningkatkan kualitas tesis saya.
Penulis ucapkan pula terima kasih pada semua pengajar di Program Studi
Mikrobiologi terutama Bagian Mikologi yang namanya tidak dapat saya sebutkan
satu per satu. Selain itu terima kasih kepada seluruh teman-teman di Laboratorium
Penelitian Mikologi dan IPB Culture Collection: Astri Ariyani S.Si, Dewi S.Si,
Indriati Ramadhani S.Si, Ivan Permana M.Si, Neng Karisma, Oktan D. Nurhayat

S.Si, Sepriyadi S.Si, Sophia Mujahidah S.Si, Nurul S.Si dan juga para sahabat saya
Fandri S. Fastanti S.Si dan Frans G. Naibaho M.Si yang telah memberikan uluran
tangan, saran, dan diskusi berharga selama penelitian. Ungkapan terima kasih
penulis sampaikan juga kepada orang tua, Bapak Guntur Panjaitan, Ibu Dameria
Siahaan dan Beybel Tobing, serta abang dan adik-adikku yang senantiasa
mendukung dan mendoakan.
Ketidaksempurnaan dan kekurangan dalam tesis ini dan pengetahuan yang
penulis miliki adalah hal yang pasti. Oleh sebab itu penulis terbuka terhadap kritik
dan saran dari pihak manapun. Penulis berharap karya ilmiah ini bermanfaat bagi
semua pembacanya terutama berkontribusi dalam dunia taksonomi cendawan
Indonesia.

Bogor, November 2016

Desi Maria Panjaitan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Pengambilan sampel dan pembuatan herbarium
Pengamatan mikroskopis cendawan, pembuatan preparat, dan ilustrasi
Isolasi spora tunggal
Identifikasi morfologi
Identifikasi molekuler
Analisis data

3

3
3
3
3
3
4
4
5
6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Variasi morfologi Hyphomycetes pada Musa x paradisiaca di Bogor
Keanekaragaman Hyphomycetes pada Musa x paradisiaca di Bogor
Kunci Identifikasi Genus
Taksonomi

7
7
11
13
15

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

52
52
52

DAFTAR PUSTAKA

53

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

58

DAFTAR TABEL
1

Hyphomycetes pada Musa x paradisiaca beserta perbandingannya
dengan Hyphomycetes pada spesies-spesies Musa lainnya

12

DAFTAR GAMBAR
1

2

3

4
5
6

7
8
9
10
11
12
13
14
15

Variasi konidiofor Hyphomycetes pada pisang di Bogor. Makronema
(A-C), konidiofor tunggal pada Stachybotrys subsimplex (A),
konidiofor bercabang pada Stachylidium bicolor (B), konidiofor
sinemata pada Phaeoisaria clematidis (C), konidiofor semimakronema
pada Torula herbarum (D), konidiofor mikronema atau tereduksi pada
Dictyosporium zeylanicum (E). Tanda panah menunjukkan konidiofor
Tipe-tipe ontogeni Hyphomycetes pada pisang di Bogor. Terminal
terintegrasi pada Oncopodium javanicum (A), blastik akropetal pada
Lacellinopsis sacchari (B), tretik pada Dendryphiella vinosa (C),
berdentikel pada Ramichloridium musae (D), berfialid pada
Stachylidium bicolor (E), fragmentasi basipetal pada Torula herbarum
(F), basauksik pada Spegazzinia deightonii (G), sel konidiogen tidak
teramati (H-I). Garis skala = 20 µm
Lima Tipe konidia yang ditemukan pada Musa x paradisiaca.
Amerospora yaitu konidia tidak bersekat (A). Fragmospora yaitu
konidia bersekat lebih dari satu atau banyak (B). Keiroidspora yaitu
konidia bersekat banyak menggepeng pada satu sisi dan seperti
kumpulan jemari tangan (C). Diktiospora, konidia bersekat banyak dan
tidak menggepeng (D). Staurospora, konidia seperti bintang, memiliki
lebih dari satu sumbu karena adanya perpanjangan bagian konidia ke
beberapa arah (E)
Dictyosporium bogoriense pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Dictyosporium heptasporum pada substrat alami. Konidia silindris
tersusun oleh 7 baris lengan tersusun rapat. Garis skala = 10 µm
Dictyosporium hydei pada substrat alami. Kumpulan konidia (A).
Konidia memiliki tiga buah embelan membulat di bagian atas pangkal.
Garis skala = 10 µm
Dictyosporium zeylanicum pada substrat alami. Konidia menggepeng
pada satu sisi dan tersusun oleh lima baris lengan. Garis skala = 10 µm
Oncopodium javanicum pada substrat alami. Konidiofor melebar
seperti kandung kemih (B). Garis skala = 10 µm
Pithomyces sp. 1 pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Pithomyces sp. 2 pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Tetraploa aristata pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Lacellinopsis sacchari pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Periconia sp pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Zygosporium oscheoides pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Bipolaris sp pada substrat alami (A-B, I). Konidia membentuk tabung
germinasi pada kedua ujungnya (C). Koloni yang tumbuh pada PDA

7

9

10
16
16
17

18
19
20
21
21
23
24
25

16
17
18
19
20
21
22
23

24

25
26
27
28

29

30
31

32
33
34
35

inkubasi 2 hari pada suhu ruang tampak atas (E) dan tampak ketika
dibalik (F). Koloni yang tumbuh pada PDA inkubasi 7 hari tampak atas
(G) dan tampak ketika dibalik (H). Garis skala = 10 µm
Curvularia lunata pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Dendryphiella vinosa pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Dendryphion comosum pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Pyriculariopsis parasitica pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Ramichloridium musae pada substrat alami. Garis skala (A-D) = 10
µm, (E) = 20 µm
Phaeoisaria clematidis pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Exochalara sp. pada substrat alami. Garis skala= 10 µm
Stachybotrys atrolaevis pada substrat alami (A-B). Koloni
menghasilkan pigmentasi kuning kecokelatan pada media PDA
inkubasi 7 hari pada suhu ruang tampak atas (C) dan tampak
sebaliknya (D). Garis skala = 10 µm
Stachybotrys echinata pada substrat alami (A-B, E). Koloni pada
media PDA inkubasi 7 hari pada suhu ruang tampak atas (C) dan
tampak sebaliknya (D). Garis Skala = 10 µm
Stachybotrys levispora pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Stachybotrys musicola pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Stachybotrys subsimplex pada substrat alami. Garis skala= 10 µm
Pohon filogeni DMP41 dan DMP43 dan Stachybotrys spp. dengan
Cordyceps heteropoda IFO 33060 sebagai outgroup, menggunakan
model Tamura 3 Parameter Neighbor Joining (NJ) dengan 1000
bootstrap
Phaeostalagmus cyclosporus pada substrat alami dengan pewarnaan
laktofenol biru (A-C). Koloni pada media PDA inkubasi 7 hari pada
suhu ruang tampak permukaan (D) dan tampak sebaliknya (E). Garis
skala = 10 µm
Stachylidium bicolor pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Torula herbarum pada substrat alami (A, E). T. herbarum media
Potato Dextrose Agar (PDA) (B-D). Koloni pada media PDA inkubasi
7 hari pada suhu ruang tampak permukaan (C), dan tampak ketika
dibalik (D). Garis skala = 10 µm
Spegazzinia deightonii pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Spegazzinia tessarthra pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Hyphomycetes sp. 1 pada substrat alami. Garis skala = 10 µm
Hyphomycetes sp. 2. Konidia pada substrat alami (A, E). Konidia pada
media PDA inkubasi 7 hari pada suhu ruang (B). Kultur koloni pada
media PDA inkubasi 7 hari pada suhu ruang tampak atas (C), dan
tampak sebaliknya (D). Garis skala = 10 µm

26
28
28
30
31
32
33
35

37

38
39
40
41

42

43
45

46
48
49
50

50

DAFTAR LAMPIRAN
1

Hasil elektroforesis DNA hasil amplifiksasi isolat DMP41 (1) dan
DMP43 (2) menggunakan primer ITS1 dan ITS4 menunjukkan dua
amplikon masing-masing berukuran ± 600 pb

57

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hyphomycetes merupakan kelompok cendawan bermiselium fertil dan
menghasilkan spora aseksual yang disebut konidium. Miselium Hyphomycetes
umumnya berdiferensiasi membentuk struktur mirip tangkai yang disebut
konidiofor yang membawa penghasil konidium yang dinamakan sel konidiogen.
Ragam bentuk dan proses terbentuknya sel konidiogen menjadi salah satu karakter
kunci pengelompokan cendawan Hyphomycetes yang sebagian bermelanin (Ellis
1971). Beberapa penelitian telah menemukan berbagai kerugian dan manfaat yang
diakibatkan oleh Hyphomycetes. Galur tertentu dari Stachybotrys chartarum yang
ditemukan pada bangunan berdinding lembab menghasilkan spora toksigenik bagi
manusia (Center for Disease Control 2002). Empat senyawa bioaktif yang diisolasi
dari Tricladium castaneicola dapat digunakan untuk menghambat cendawan
patogen tumbuhan seperti Phytopthora sp. (Han et al. 2015).
Hyphomycetes sangat beragam dan terdistribusi luas di berbagai habitat
misalnya di laut, air tawar, kotoran hewan, dan berbagai habitat terestrial terutama
di sisa tumbuhan (Chatmala et al. 2004; Lee et al. 2004; Jeamjit et al. 2006; Raja
et al. 2007; Sudheep & Sridhar 2012). Organ tumbuhan yang umumnya banyak
dikolonisasi ialah yang kaya selulosa seperti pada batang, pelepah, tangkai, dan
daun. Hyphomycetes pada tumbuhan dapat hidup sebagai parasit, endofit, saprofit,
atau bahkan lebih dari satu cara hidup bergantung pada keadaan lingkungan
hidupnya. Beberapa penelitian menemukan adanya pergantian cara hidup cendawan
endofit dan patogen bertahan menjadi saprofit saat inang mati (Zhou & Hyde 2001;
Photita et al. 2004).
Pisang adalah tanaman budi daya yang tersebar luas dan merupakan salah satu
inang bagi cendawan anamorf termasuk Hyphomycetes. Beberapa studi
menemukan bahwa cendawan Hyphomycetes adalah kelompok yang paling
beranekaragam dibandingkan dengan cendawan lainnya. Pendataan yang dilakukan
oleh Photita et al. (2002) menunjukkan sebanyak 58% dari 204 spesies cendawan
yang dideskripsikan dari Musaceae terdiri dari Hyphomycetes. Studi mengenai
cendawan saprofit pada Musa acuminata L. di Hong Kong dan Thailand juga
menunjukkan bahwa Hyphomycetes adalah kelompok yang paling beranekaragam
dibandingkan dengan kelompok cendawan lainnya (Photita et al. 2003).
Ancaman nyata akibat aktivitas antropogenik dan pemanasan global yang
ditandai dengan peningkatan suhu dan kekeringan menyebabkan perubahan
mikoflora baik kelompok parasit hingga saprofit. Perubahan ini dapat diamati di
berbagai daerah termasuk di Bogor. Beberapa spesies model yang umumnya
digunakan dalam pembelajaran mikologi perlahan mulai sulit ditemukan di sekitar
kita (Rifai 2012b). Fenomena ini menuntut dilakukannya eksplorasi guna
menemukan habitat atau inang lain yang relatif mudah ditemukan di lingkungan
sekitar kita.
Studi keanekaragaman Hyphomycetes dan ontogeni konidia masih minim
dilakukan di Indonesia padahal eksplorasi harus terus dan segera dilakukan
mengingat masih banyak keberadaan cendawan yang belum sempat diketahui.
Untuk itu dilakukan kegiatan pengumpulan, pengisolasian, dan pengidentifikasian

2

keanekaragaman Hyphomycetes pada Musa x paradisiaca di sekitar Bogor serta
mendeskripsikan setiap spesies yang ditemukan dan menguraikan ontogeni konidia
dan perkembangan konidianya. Inang pisang yang mudah ditemukan di seluruh
Indonesia sengaja dipilih untuk memfasilitasi penyediaan salah satu sumber bahan
ajar keanekaragaman cendawan Indonesia guna kepentingan perkuliahan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi mikoflora terkini
khususnya Hyphomycetes pada tanaman pisang (Musa x paradisiaca) di sekitar
Bogor, Jawa Barat, Indonesia dengan cara mengumpulkan, mengisolasi dan
mengidentifikasi serta mendeskripsikan keanekaragaman spesies-spesies
Hyphomycetes termasuk menguraikan ontogeni dan perkembangan konidianya.

3

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di bulan Juli 2014 hingga Desember 2015. Pengambilan
sampel dilakukan pada beberapa kebun yang ditanami pisang yang ada di kota
Bogor dan daerah sekitarnya. Pengamatan dilakukan di lapangan dan di
Laboratorium Mikologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian di antaranya adalah koleksi
spesimen berupa daun, tangkai dan pelepah kering Musa x paradisiaca, amplop
herbarium, larutan shears, laktofenol biru, akuades, cat kuku transparan, kertas
kalkir, media PDA (Potato Dextrose Agar), media WA (Water Agar), membran
selofan, akuades, PCR Mix dengan primer ITS1 dan ITS4 (White et al. 1990). DNA
template, etanol absolut, etanol 70%, dan bahan-bahan untuk melakukan
elektroforesis diantaranya seperti Ethidium bromide, gel agarosa 1%, larutan
penyangga TAE.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gunting tanaman,
kantong sampel, lensa tangan akromatik, mikroskop stereo, mikroskop cahaya,
gelas objek, gelas penutup, jarum sampel, pena gambar, cawan Petri, kamera lusida,
Optilab viewer, autoklaf, inkubator, LAFC (Laminar Air Flow Cabinet),
sentrifugator, mesin PCR, shaker water bath, alat elektroforesis dan alat
dokumentasi gel.
Prosedur Penelitian
Pengambilan sampel dan pembuatan herbarium
Pengambilan sampel cendawan dilakukan secara purposive sampling dengan
menjelajah kebun pisang. Pohon pisang yang dijumpai diamati batang, pelepah dan
daunnya yang sudah mengering atau mati menggunakan lensa tangan akromatik.
Organ teramati yang dikolonisasi oleh cendawan Hyphomycetes kemudian
dipotong lalu dimasukkan ke dalam amplop koleksi berukuran 10 x 10 cm dan
diberi catatan koleksi seperti nomor, waktu, tempat, nama kolektor dan keterangan
organ pisang yang diambil. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium untuk
diamati lebih lanjut. Spesimen herbarium yang telah diidentifikasi disimpan di
Herbarium Bogoriense (BO).
Pengamatan mikroskopis cendawan, pembuatan preparat, dan ilustrasi
Spesimen yang diperoleh dari lapangan diamati karakter koloni pada substrat
menggunakan mikroskop stereo. Pembuatan preparat dilakukan dengan cara

4

mengambil sedikit bagian koloni pada spesimen menggunakan jarum sampel
kemudian diletakkan pada permukaan gelas objek yang sebelumnya telah ditetesi
larutan shears atau laktofenol biru. Selanjutnya, tetesan tersebut ditutup dengan
cover glass dan dilakukan pemanasan menggunakan bunsen pijar untuk
menghilangkan gelembung udara. Pinggiran dari cover glass direkatkan
menggunakan cat kuku transparan kemudian dibiarkan hingga mengering. Preparat
kemudian diamati menggunakan mikroskop binokuler. Struktur mikroskopis yang
diamati mencakup miselium, konidiofor, sel konidiogen dan konidia dengan
menggunakan mikroskop cahaya Olympus BX53 (Olympus, Japan) dengan
perbesaran 600 dan 1000 kali menggunakan minyak imersi. Setidaknya dilakukan
pengukuran 30 konidia dewasa dari masing-masing spesimen untuk mendapatkan
kisaran ukuran spora. Dokumentasi dilakukan menggunakan optilab viewer yang
dimodifikasi pada lensa okuler mikroskop.
Ilustrasi preparat juga dilakukan menggunakan bantuan kamera lusida yang
dimodifikasi pada mikroskop cahaya. Gambar selanjutnya dipindahkan ke kertas
kalkir menggunakan pena gambar dengan berbagai ukuran ketebalan pena. Gambar
kemudian dipindai menjadi data digital menggunakan scanner.
Isolasi spora tunggal
Spesimen yang telah diamati kemudian diisolasi untuk mendapatkan
kulturnya. Isolasi menggunakan metode suspensi spora tunggal dilakukan dan
merujuk Choi et al. 1999 dengan sedikit modifikasi. Spesimen diamati
menggunakan mikroskop stereo kemudian permukaan koloni diusap menggunakan
jarum ose steril lalu disuspensikan dengan dua tetes akuades steril pada gelas objek.
Selanjutnya satu tetes dari suspensi spora tersebut diencerkan kembali dengan dua
tetes akuades steril. Suspensi spora yang telah diencerkan kemudian digoreskan
pada permukaan Water Agar (WA) yang telah ditambahkan antibiotik
kloramfenikol 0.5 g/L. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu ruang (27 ºC).
Pengamatan dilakukan 1x12 jam menggunakan mikroskop binokuler pada
perbesaran 400 kali. Konidia tunggal yang teramati telah membentuk tabung
germinasi dipindahkan ke media PDA kemudian diinkubasi selama 7 hari pada suhu
ruang. Pertumbuhan isolat diamati dan diukur diameter koloni setiap hari. Kultur
kerja disimpan pada agar miring PDA masing-masing sebanyak 4 ulangan.
Isolat murni yang telah didapatkan diamati dan dilakukan pembuatan preparat
berumur 7 hari yang selanjutnya akan dibandingkan dengan preparat yang berasal
dari spesimen herbarium. Isolat cendawan yang telah teridentifikasi disimpan di
Institut Pertanian Bogor Culture Collection (IPBCC).
Identifikasi morfologi
Hasil pengamatan koloni dan mikroskopis baik pada spesimen ataupun kultur
dan gambar tangan (line drawing) digunakan untuk identifikasi secara morfologi.
Karakter- karakter yang diamati disusun secara sistematis menjadi pertelaan
masing-masing spesies. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku
Dematiaceous Hyphomycetes (Ellis 1971), More Dematiaceous Hyphomycetes
(Ellis 1976), The Genera of Hyphomycetes (Seifert et al. 2011), dan publikasi
termutakhir yang diperlukan. Pengacuan istilah merujuk pada Dictionary of Fungi
(Kirk et al. 2008) dan padanan kata dalam bahasa Indonesia merujuk pada

5

Glosarium Biologi (Rifai & Puryadi 2008). Kunci identifikasi disusun bagi genusgenus Hyphomycetes yang ditemukan.
Identifikasi molekuler
Isolasi DNA
Isolasi DNA dilakukan terhadap isolat Stachybotrys spp. Koloni isolat
ditumbuhkan pada media PDA yang sebelumnya permukaannya ditutupi dengan
membran selofan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Miselium
yang tumbuh di atas membran tersebut selanjutnya dikerik secukupnya dan
digunakan untuk ekstraksi DNA. Metode ekstraksi DNA merujuk pada Raeder &
Broda (1985) dengan modifikasi. Miselium dimasukkan ke dalam tabung ependorf
yang berisi 100 µL SDS kemudian dihancurkan menggunakan pastel steril sampai
homogen. Sebanyak 500 µL SDS ditambahkan kembali ke dalam tabung ependorf
kemudian diinkubasi pada waterbath selama 30 menit pada kecepatan 300 round
per menit (rpm) suhu 65 ºC dan dibolak-balik setiap interval 10 menit. Selanjutnya
dikejutkan pada es selama 5 menit. Sebanyak 600 µL CI ditambahkan kemudian
dihomogenkan. Sampel kemudian disentrifuse pada selama 10 menit pada
kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4 ºC selanjutnya 600 µL supernatan dipindahkan
ke dalam tabung ependorf steril lainnya. Sebanyak 600 µL PCI (25:24:1)
ditambahkan kemudian dihomogenkan. Sampel kemudian disentrifuse selama 5
menit pada kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4 ºC. Sebanyak 400-500 µL supernatan
yang bening dipindahkan ke dalam tabung Ependorf steril yang baru. Sampel
kemudian ditambahkan dengan 40 hingga 50 µL 2 M NaOC pH 5.2 dan 600 µL
Etanol 100%. Sampel kemudian diinkubasi pada freezer selama 24 jam. Sampel
kemudian disentrifuse selama 30 menit pada kecepatan 10.000 rpm dan suhu 4 ºC,
kemudian supernatan dibuang sehingga tersisa pelet saja. Sampel kemudian
ditambahkan 500 µL etanol 70% kemudian dihomogenkan. Sampel selanjutnya
disentrifuse selama 10 menit pada kecepatan 10.000 ppm pada suhu 4 ºC kemudian
disisakan peletnya saja. Sampel kemudian dikeringkan pada mesin vakum selama
30 menit. Sebanyak 5 µL RNAse dan 50 µL Nuclease Free Water (NFW)
ditambahkan. Kemudian sampel diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37 ºC pada
kemudian diikuti inaktifasi selama 10 menit pada suhu 70 ºC.
Amplifikasi dan sekuensing DNA
Amplifikasi daerah ITS rDNA dengan teknik PCR dilakukan menggunakan
primer ITS1 (forward) (TCCGTAGGTGAACCTGCGG) dan ITS 4 (reverse)
(TCCTCCGCTTATTGATATGC) (White et al. 1990). Konidisi PCR meliputi 1
siklus denaturasi awal pada 94 ºC selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan
pengulangan 35 siklus meliputi denaturasi pada 94 ºC selama 30 detik, penempelan
primer pada 53 ºC selama 30 detik, pemanjangan pada 72 ºC selama 30 detik dan 1
siklus akhir meliputi pemanjangan pada 72 ºC selama 10 menit dan pendinginan
pada 4 ºC selama 5 menit. Elektroforesis dilakukan pada gel agarose 1.2% selama
20 menit dengan tegangan 100 V. Gel selanjutnya direndam pada larutan Etidium
Bromida selama 30 menit dan divisualisasi menggunakan sinar UV dan
didokumentasikan. DNA hasil amplifikasi digunakan sebagai DNA cetakan untuk
sekuensing menggunakan jasa perusahaan 1st Base, Malaysia.

6

Analisis molekuler
Karakter molekuler yaitu berupa urutan basa nukleotida yang diperoleh
digunakan untuk analisa homologi menggunakan program BLAST-N di situs
www.ncbi.nlm.nih.go. Analisa filogenetik dilakukan menggunakan MEGA versi 5
(Tamura et al. 2011).
Analisis data
Masing-masing cendawan yang telah teridentifikasi dideskripsikan. Kunci
identifikasi seluruh genus Hyphomycetes yang telah didapatkan disusun dan
mengacu kepada buku identifikasi dan publikasi mutakhir yang terkait.

7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Variasi Morfologi Hyphomycetes pada Musa x paradisiaca di Bogor
Tipe konidiofor
Konidiofor adalah struktur yang menopang struktur sporulasi yaitu tempat
terdapatnya sel konidiogen. Morfologi konidiofor Hyphomycetes yang ditemukan
pada penelitian ini bervariasi mulai dari makronema, semimakronema hingga
mikronema. Makronema terbentuk pada spesies yang memiliki struktur konidiofor
memanjang dan secara morfologi mudah dibedakan dengan hifa vegetatif (Kirk et
al. 2008). Semimakronema ditemukan ketika konidiofor dapat dibedakan dari hifa
vegetatif akan tetapi pertumbuhannya terbatas karena terbentuknya sel konidiogen
contohnya pada Torula herbarum. Beberapa cendawan, membentuk mikronema
karena konidiofornya sangat pendek bahkan seringkali tereduksi sehingga terlihat
seperti patahan pada pangkal konidia contohnya pada Dictyosporium zeylanicum
(Gambar 1).
Beberapa spesies memiliki konidiofor tunggal seperti pada Stachybotrys
subsimplex, bercabang mulai dari pangkal atau pertengahan seperti pada
Stachylidium bicolor, atau berupa kumpulan beberapa konidiofor yang disebut
sinema seperti pada Phaeoisaria clematidis (Gambar 1). Struktur yang mirip
konidiofor dan dapat membingungkan adalah seta. Pada penelitian ini terdapat dua
spesies yang memiliki seta, salah satunya yaitu Lacellinopsis sacchari yang berseta
sangat panjang bahkan dapat 10 kali lebih panjang dibandingkan dengan
konidiofornya. Seta adalah struktur steril seperti batang atau rambut kaku.
Perbedaan antara seta dan konidiofor adalah ditemukannya sel konidiogen dan
konidia pada konidiofor.

A

B

C

D

E

Gambar 1 Variasi konidiofor Hyphomycetes pada pisang di Bogor. Makronema
(A-C), konidiofor tunggal pada Stachybotrys subsimplex (A),
bercabang pada Stachylidium bicolor (B), sinemata pada Phaeoisaria
clematidis (C), semimakronema pada Torula herbarum (D),
mikronema atau tereduksi pada Dictyosporium zeylanicum (E). Tanda
panah menunjukkan konidiofor. Garis skala = 20 µm

Tipe sel konidiogen
Plastisitas karakter konidiofor dan konidia yang mencakup ukuran dan warna
dinilai kurang stabil karena seringkali dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pada

8

pertengahan abad ke-20, Hughes (1953) mengusulkan delapan seksi atau kelompok
berdasarkan ciri konidiofor dan ontogeni konidia. Berbagai pengembangan variasi
ontogeni konidia dalam enam dekade terakhir telah digunakan dalam taksonomi
cendawan Hyphomycetes (Kendrick 1971; Hennebert & Sutton 1994; Seifert et al.
2011).
Seluruh spesies yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki tipe konidiasi
blastik dan terdiri atas tujuh kelompok utama ontogeni konidia yaitu terintegrasi
terminal, blastik akropetal, fragmentasi basipetal, dentikel bersimpodial, berfialid,
tretik, dan basauksik (Tabel 1). Tipe sel konidiogen yang paling banyak ditemukan
adalah terminal terintegrasi (8 spesies) dan berfialid (8 spesies) dan yang paling
sedikit adalah tipe fragmentasi basipetal (1 spesies). Sementara itu, dua spesies
yaitu Hyphomycetes sp. 1 dan Hyphomycetes sp. 2 tidak dapat ditentukan jenisnya
karena sel konidiogen tidak ditemukan pada saat pengamatan mikroskopis.
Blastik adalah pembentukan konidia yang diawali dengan membesarnya
bakal calon konidia pada ujung atau bagian tertentu pada konidiofor. Istilah yang
digunakan untuk sel konidiogen yang hanya menghasilkan satu lokus penghasil
konidia ialah mono- (monoblastik, monofialid dan monotretik) dan ketika terdapat
lebih dari satu atau banyak lokus disebut poli- (poliblastik, polifialid dan politretik).
1. Terminal terintegrasi
Sebanyak delapan spesies ditemukan memiliki tipe sel konidiogen terminal
terintegrasi. Tipe ini umumnya menghasilkan konidia tunggal dari satu lokus atau
monoblastik dengan ciri penting sel konidiogen berada pada ujung konidiofor,
terintegrasi atau masih menempel dengan konidia dan tanpa diikuti pelepasan
konidia (Gambar 2A). Oleh sebab itu, seringkali struktur dari sel konidiogen kurang
dapat teramati dengan baik jika menggunakan pengamatan mikroskopis saja.
Spesies-spesies dari genus Dictyosporium spp. dan Oncopodium memiliki tipe sel
konidiogen ini.
2. Blastik akropetal
Terdapat tiga spesies ditemukan memiliki tipe sel konidiogen blastik
akropetal atau mirip dengan Kelompok I B menurut Hughes (1953). Tipe ini
memiliki ciri sel konidiogen monoblastik atau poliblastik dan menghasilkan konidia
yang membentuk rangkaian rantai akropetal (Gambar 2B). Konidia yang paling
muda biasanya lebih pucat dan lebih kecil berada pada ujung rantai sedangkan
konidia yang paling tua berada pada pangkal rangkaian.
3. Berdentikel
Sebanyak 3 spesies yang ditemukan memiliki tipe sel konidiogen berdentikel.
Tipe ini seperti yang dikemukakan pada Kelompok II oleh Hughes (1953).
Pelepasan konidia pada konidiofor ditandai dengan menonjolnya sebagian dari
dinding sel dan terpisahnya karena ada pemutusan sekat. Pada permukaan
konidiofor seringkali terlihat tonjolan-tonjolan seperti gigi yang disebut dentikel
contohnya pada Ramichloridium musae (Gambar 2D). Tonjolan pada konidiofor ini
umumnya memiliki bentuk yang cocok dengan pangkal konidia yang telah lepas.
Adanya dorongan saat konidia baru yang terbentuk pada sisi lain secara bergantian
terkadang membentuk suatu keteraturan seperti zig-zag pada sel konidiogen yang
disebut pertumbuhan simpodial.

9

D

G

Gambar 2 Tipe-tipe ontogeni Hyphomycetes pada pisang di Bogor. Terminal
terintegrasi pada Oncopodium javanicum (A), blastik akropetal pada
Lacellinopsis sacchari (B), tretik pada Dendryphiella vinosa (C),
berdentikel pada Ramichloridium musae (D), berfialid pada
Stachylidium bicolor (E), fragmentasi basipetal pada Torula herbarum
(F), basauksik pada Spegazzinia deightonii (G), sel konidiogen tidak
teramati (H-I). Garis skala = 10 µm
4. Berfialid
Tipe sel konidiogen berfialid sesuai dengan yang dikemukakan Hughes
(1953) pada Kelompok IV (Gambar 2E). Kadang kala sporulasi diawali dengan
terbentuknya sel-sel pada ujung konidiofor atau ujung dari percabangan konidiofor.
Sel-sel ini umumnya memiliki bentuk dan ukuran yang seragam, biasanya silindris
atau lonjong atau menyerupai botol, memiliki lebar yang sama atau pangkal lebih
lebar daripada ujungnya. Struktur tersebut disebut fialid.
5. Tretik
Sebanyak empat spesies ditemukan memiliki tipe sel konidiogen tretik yaitu
dihasilkannya konidia melalui sebuah lubang renik atau pori pada dinding
konidiofor. Konidia yang dihasilkan disebut atau dikenal sebagai porospora atau
porokonidia. Tipe ini seperti yang dikemukakan pada seksi VI oleh Hughes (1953).
Jika konidiofor hanya memiliki satu pori maka disebut monotretik misalnya pori
tunggal pada ujung konidiofor Bipolaris sp. dan lebih dari satu atau banyak pori

10

disebut politretik misalnya pori baik pada terminal ataupun interkalar pada
Dendryphiella vinosa (Gambar 2C).
6. Fragmentasi basipetal
Hanya terdapat satu spesies yang memiliki tipe sel konidiogen ini yaitu
Torula herbarum (Gambar 2F). Tipe ini seperti yang dikemukakan oleh Hughes
(1953) pada seksi VII. Sel konidiogen ditandai dengan perubahan konidia pada
pangkal yang akan termodifikasi menjadi sel konidiogen kembali dan
terfragmentasi dari konidiofornya.
7. Basauksik
Spesies tertentu tipe ontogeninya sangat khas dan sangat memudahkan ketika
mengelompokkannya. Tipe basauksik ini seperti yang dikemukakan oleh Hughes
(1953) pada seksi yang terakhir yaitu seksi VIII. Terdapat dua spesies yang
ditemukan memiliki tipe sel konidiogen ini. Salah satu contoh adalah Spegazzinia
deightonii (Gambar 2G). Pertumbuhan diawali dengan tumbuh keluarnya hifa
konidiogen fertil dari pangkal sel ibu, kemudian konidia diproduksi secara bebas
dari pelepasan hifa fertil yang memanjang.

B

A

D
Gambar 3

C

E

Lima Tipe konidia yang ditemukan pada Musa x paradisiaca.
Amerospora yaitu konidia tidak bersekat (A). Fragmospora yaitu
konidia bersekat lebih dari dua atau banyak (B). Keiroidspora yaitu
konidia bersekat banyak menggepeng pada satu sisi dan seperti
kumpulan jemari tangan (C). Diktiospora, konidia bersekat banyak
dan tidak menggepeng (D). Staurospora, konidia seperti bintang,
memiliki lebih dari satu sumbu karena adanya perpanjangan bagian
konidia ke beberapa arah (E)

Tipe konidia
Konidia adalah propagul yang dihasilkan oleh sel konidiogen dan akan
tumbuh dan berkembang menjadi koloni baru ketika lingkungan hidup mendukung.

11

Karakter konidia merupakan salah satu karakter penting dalam taksonomi
cendawan, yang mencakup bentuk, ornamentasi, pigmentasi, dan ukuran. Secara
umum, berdasarkan bentuk dan jumlah sekatnya konidia dibedakan menjadi: 7
macam yaitu amerospora, keiroidspora, diktiospora, didimospora, helikospora,
fragmospora dan staurospora.
Pada penelitian ini seluruh tipe konidia ditemukan kecuali didimospora
(konidia bersekat satu) dan helikospora (konidia heliks) (Gambar 3). Amerospora
adalah konidia tidak bersekat contohnya konidia pada genus Stachybotrys.
Fragmospora adalah konidia bersekat lebih dari satu atau banyak contohnya yaitu
konidia bersekat tiga pada Dendryphiella vinosa dan Pyriculariopsis parasitica.
Spesies pada genus Dictyosporium memiliki dua tipe konidia: keiroidspora yaitu
konidia bersekat banyak, dan menggepeng pada satu sisi sehingga seperti kumpulan
jemari tangan, dan diktiospora yaitu konidia bersekat banyak, tidak menggepeng
melainkan terdiri dari beberapa lapisan sel. Beberapa spesies memiliki konidia yang
sangat unik sehingga dengan mudah dibedakan dari kelompok cendawan lainnya
misalnya pada genus Tetraploa yang memiliki tipe konidia staurospora yaitu
konidia seperti bintang, memiliki lebih dari satu sumbu karena adanya
perpanjangan bagian konidia ke beberapa arah.

Keanekaragaman Hyphomycetes pada Musa x paradisiaca di Bogor
Hasil identifikasi dan inventarisasi
Berdasarkan hasil eksplorasi lapangan, 31 spesies Hyphomycetes
teridentifikasi dari 127 koleksi spesimen yang diperoleh di sekitar Bogor pada
Musa x paradisiaca (Tabel 1). Spesies yang berhasil diidentifikasi, dideskripsikan
dan penguraian taksonomi masing-masing diurutkan berdasarkan spesies
pembentukan dan perkembangan konidia. Dua puluh sembilan spesies
teridentifikasi setidaknya hingga ke tingkat genus dan termasuk dalam 20 genus.
Genus-genus yang ditemukan pada penelitian ini adalah Bipolaris (1 spesies),
Curvularia (1 spesies), Dendryphiella (1 spesies), Dendryphion (1 spesies),
Dictyosporium (4 spesies), Exochalara (1 spesies), Lacellinopsis (1 spesies),
Oncopodium (1 spesies), Periconia (1 spesies), Phaeoisaria (1 spesies),
Phaeostalagmus (1 spesies), Pithomyces (2 spesies), Pyriculariopsis (1 spesies),
Ramichloridium (1 spesies), Spegazzinia (2 spesies), Stachybotrys (5 spesies),
Stachylidium (1 spesies), Tetraploa (1 spesies), Torula (1 spesies), dan
Zygosporium (1 spesies). Secara keseluruhan, Stachybotrys adalah genus yang
paling banyak ditemukan karena terdiri atas 5 spesies, kemudian diikuti genus
Dictyosporium yang terdiri atas 4 spesies.
Tabel 1 memperlihatkan rekaman hasil eksplorasi dibandingkan dengan dua
penelitian sebelumnya yang juga merekam Hyphomycetes pada spesies-spesies
Musa (Ellis 1971, 1976; Photita et al. 2003). Sebagian besar spesies-spesies yang
ditemukan adalah catatan baru pada pisang di Indonesia. Empat di antaranya adalah
spesies baru yang berturut-turut diusulkan diberi nama Dictyosporium bogoriense
Rifai & Panjaitan, Stachybotrys musicola Rifai, Stachybotrys atrolaevis Panjaitan
& Sukarno, dan Oncopodium javanicum Panjaitan & Rifai.
Hasil penelitian menunjukkan rendahnya persentase tumpang tindih spesies
yang ditemukan dibandingkan dengan kedua penelitian sebelumnya. Terdapat 4

12

spesies yang ditemukan pada penelitian ini maupun kedua penelitian yang
dibandingkan (Ellis 1971, 1976; Photita et al. 2003). Keempat spesies tersebut
adalah Stachybotrys subsimplex, Stachylidium bicolor, Pyriculariopsis parasitica,
dan Tetraploa aristata. Rendahnya tumpang tindih ini menunjukkan bahwa
Hyphomycetes pada pisang di Bogor, Indonesia beranekaragam dan berbeda dengan
daerah dan negara lainnya. Hal tersebut kemungkinan dapat dipengaruhi oleh iklim
dan distribusi geografi, spesifitas inang dan kemunculan cendawan kembali pada
inang (Zhou & Hyde 2001).

Tabel 1 Hyphomycetes pada Musa x paradisiaca beserta perbandingannya dengan
Hyphomycetes pada spesies-spesies Musa lainnya
Tipe Sel Konidiogen
Terintegrasi terminal

Spesies
Dictyosporium bogoriense sp.nov
Dictyosporium heptasporum
Dictyosporium hydei
Dictyosporium zeylanicum
Oncopodium javanicum sp.nov
Pithomyces sp. 1
Pithomyces sp. 2
Tetraploa aristata

B
X
X
X
X
X
X
X
X

Lacellinopsis sacchari
Periconia sp.
Zygosporium oscheoides

X
X
X

Exochalara sp.
Phaeostalagmus cyclosporus*
Stachybotrys atrolaevis sp.nov*
Stachybotrys echinata*
Stachybotrys levispora
Stachybotrys musicola sp.nov
Stachybotrys subsimplex
Stachylidium bicolor

X
X
X
X
X
X
X
X

Phaeoisaria clematidis
Pyriculariopsis parasitica
Ramichloridium musae

X
X
X

Tretik

Bipolaris sp.*
Curvularia lunata
Dendryphiella vinosa
Dendryphion comosum

X
X
X
X

Fragmentasi basipetal

Torula herbarum*

X

Basauxic

Spegazzinia deightonii
Spegazzinia tessarthra

X
X

Hyphomycetes sp. 1
Hyphomycetes sp. 2*

X
X

Blastik akropetal

Berfialid

Berdentikel

?
?

E

P
X

X

X

X

X
X

X
X

X

X

X

X

Keterangan : B = Rekaman hasil eksplorasi; E = rekaman oleh Ellis (1971) dan
Ellis (1976); P = rekaman oleh Photita et al. (2003); X = ada; ? = tipe
ontogeni konidia tidak diketahui; * = dapat dikulturkan.

13

Spesimen yang diamati meliputi batang, pelepah, dan daun pisang yang telah
mengering. Pisang adalah tanaman tidak berkayu dan cukup cepat terdekomposisi.
Oleh sebab itu, cendawan yang mengkolonisasi jaringannya harus cepat melakukan
sporulasi dengan tujuan menyebarkan spora sebelum jaringannya terurai secara
sempurna. Cendawan anamorf termasuk Hyphomycetes lebih cepat bersporulasi
dibandingkan cendawan yang membentuk fase teleomorf. Sehingga, Hyphomycetes
paling banyak ditemukan termasuk pada tanaman monokotil lainnya contohnya
seperti pada nipah (Hyde & Alias 2000), bambu (Hyde et al. 2001), rumput (Wong
dan Hyde 2001), dan palem (Yanna et al. 2001).
Spesies-spesies yang ditemukan termasuk ke dalam kelompok cendawan
saprofit dan beberapa di antaranya diketahui berpenyebaran kosmopolit. Dua
spesies yang diketahui merupakan patogen pada pisang ditemukan dan dapat
bertahan hidup sebagai saprofit yaitu Pyriculariopsis parasitica dan
Ramichloridium musae. Kedua spesies tersebut dikenal sebagai penyebab penyakit
bercak daun pada pisang dan kultivarnya (Shivas et al. 2010). Hal serupa juga
ditemukan oleh peneliti lainnya yang juga menemukan beberapa spesies patogen
yang dapat hidup sebagai saprofit (Photita et al. 2003). Hasil penelitian Photita et
al. (2001 a) yang menggali cendawan endofit pada pisang liar di Thailand, menduga
bahwa P. parasitica adalah patogen laten karena dapat diisolasi dari daun sehat
Musa acuminata. Hal ini menunjukkan bahwa spesies ini memiliki persistensi dan
adaptasi yang tinggi terkait mode perolehan nutrisi di dalam tubuh inangnya.
Hasil isolasi spora tunggal
Dari seluruh spesimen yang didapatkan, terdapat 7 spesies yang dapat
dikulturkan yaitu Bipolaris sp, Hyphomycetes sp.2, Phaeostalagmus cyclosporus,
Pyriculariopsis parasitica, Stachybotrys atrolaevis, S. echinata, dan Torula
herbarum. Walaupun demikian, isolat P. parasitica tidak dapat dipertahankan dan
dimurnikan kulturnya karena kontaminasi oleh cendawan lainnya. Menurut Choi et
al. (1999) terdapat beberapa faktor penyebab tidak berhasilnya isolasi spora tunggal
yaitu tidak semua spora dalam keadaan viabel ketika dikoleksi, tidak semua spora
dapat bergerminasi pada media buatan seperti PDA, kontaminasi oleh cendawan
lain atau bakteri (Choi et al. 1999), dan keterbatasan dalam metode isolasi.
Kunci Identifikasi Genus
1.
2.
3.

4.

5.

A. Konidiofor basauksik, konidia terdiri atas dua tipe ................. Spegazzinia
B. Konidiofor akroauksik, konidia hanya satu tipe ......................................... 2
A. Konidiofor kebanyakan mikronema atau tereduksi .................................... 3
B. Konidiofor kebanyakan makronema atau semi-makronema ...................... 5
A. Sel konidiogen monoblastik, konidia bersekat banyak, menjari, menggepeng atau menyilindris, beberapa memiliki embelan ........... Dictyosporium
B. Sel konidiogen monoblastik atau poliblastik, ............................................. 4
A. Konidia membintang, embelan berdivergen ................................. Tetraploa
B. Konidia mengavokad, mengavokad sungsang, sekat transversal 1-12 .........
..................................................................................................... Pithomyces
A. Konidiofor sinema, sel konidiogen berdentikel, konidia tidak bersekat, hialin .............................................................................................. Phaeoisaria

14

6.

7.

8.
9.

10.

11.
12.

13.

14.

15.
16.

17.

18.

19.

B. Konidiofor mononema ................................................................................ 6
A. Konidiofor melebar seperti kandung kemih, konidia terintegrasi tidak terlepas dari sel konidiogen dan konidiofor, bersekat banyak, klatrat atau
muriform .................................................................................. Oncopodium
B. Konidiofor umumnya seperti tangkai, terjadi pelepasan konidia dari sel konidiogen atau konidiofor ............................................................................. 7
A. Sel konidiogen dapat terbentuk kembali saat terjadi pemutusan sel pangkal
konidia dewasa (fragmentasi basipetal), konidia moniloid ............... Torula
B. Sel konidiogen tidak mengalami fragmentasi ............................................. 8
A. Konidia bersekat ......................................................................................... 9
B. Konidia kebanyakan tidak bersekat .......................................................... 13
A. Sel konidiogen berupa dentikel, konidia bersekat 1-7, menggelendong,
mengavokad sungsang, atau gada terbalik, silindris ............ Pyriculariopsis
B. Sel konidiogen tretik ................................................................................. 10
A. Konidia bersekat tidak sejati, silindris, menggada, atau gada terbalik, sekat
lebih dari 4, germinasi biasanya dari kedua ujung konidia ........... Bipolaris
B. Konidia bersekat sejati .............................................................................. 11
A. Konidia biasanya melengkung, bersekat 2 atau lebih ................. Curvularia
B. Konidia tidak melengkung ........................................................................ 12
A. Konidiofor bercabang, membengkak atau melutut pada ujung atau interkalar, konidia bundar telur, lonjong, silindris, bersekat 0-3
................................................................................................ Dendryphiella
B. Konidiofor bercabang banyak pada ujung dan melebar seperti kipas.
Konidia moniloid, bersekat banyak (lebih dari 4-5 sekat) ..... Dendryphion
A. Sel konidiogen berupa dentikel, awalnya terminal menjadi simpodial, konidia bersekat 0-1, umumnya membulat telur sungsang, bulat hingga jorong
............................................................................................. Ramichloridium
B. Sel konidiogen dihasilkan dari pembengkakan ujung konidiofor, atau fialid
atau dari vesikel, atau metula atau ampula, semua konidia amerospora ... 14
A. Seta umumnya ada, sel konidiogen berupa ampula, konidia bulat dan membentuk rangkaian akropetal ..................................................... Lacellinopsis
B. Seta tidak ada ............................................................................................ 15
A. Sel konidiogen bukan fialid .......................................................................16
B. Sel konidiogen fialid ..........................................................