BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
yang adil, makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
1
1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Kegiatan pembangunan di bidang ekonomi tentu membutuhkan penyediaan modal yang cukup besar, karena merupakan salah satu faktor penentu dalam pelaksanaan
pembangunan. Bagi masyarakat, perorangan atau badan usaha yang berusaha
meningkatkan kebutuhan konsumtif atau produktif sangat membutuhkan pendanaan dari bank sebagai salah satu sumber dana, yang diantaranya dalam
bentuk perkreditan, agar mampu mencukupi dalam mendukung kegiatan usahanya. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam proses
pembangunan, sudah semestinya jika pemberi kredit bankkreditor dan penerima kredit nasabahdebitor serta semua pihak yang berkepentingan mendapat
perlindungan hukum sebagai upaya mengatasi timbulnya risiko bagi kreditor di masa yang akan datang. Oleh karena itu, keberadaan lembaga jaminan amat
diperlukan karena dapat memberikan kepastian, dan perlindungan hukum bagi pemberi danakreditor dan penerima dana debitor.
Universitas Sumatera Utara
Meningkatnya pembangunan mengakibatkan peningkatan dana pembangunan. Dana pembangunan yang tersedia antara lain disalurkan melalui
perbankan, dana ini perlu dilindungi karena dana tersebut merupakan dana masyarakat. Jika dana tidak dapat dikembalikan maka akan menimbulkan
ganggungan stagnasi dalam pembangunan yang akan mengakibatkan keresahan masyarakat.
Dalam kegiatan-kegiatan usahanya, bank melakukan kegiatan berupa pemberian kreditpinjaman. Bentuk pemberian kredit ini tentunya akan
menghasilkan bunga yang relatif tinggi dibandingkan jika ditanam dalam bentuk surat berharga yang menghasilkan Deviden. Namun jika dilihat dari risikonya
maka penanaman dana dalam pemberian kredit ini memiliki risiko dalam pengembalian kredit.
Dalam pemberian kredit, bank harus melakukan tindakan pengamanan terhadap kucuran pemberian kredit yang diberikan kepada nasabah. Hal ini
penting untuk melindungi dana masyarakat yang dikelola oleh bank dalam penyaluran kredit. Oleh karena itu maka bank harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut: 1.
Pemberian kredit harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian; 2.
Bank harus mempunyai keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitor dalam melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Keyakinan
ini diperoleh setelah melakukan penilaian mengenai watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitor;
Universitas Sumatera Utara
3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat
yang mempercayakan dananya kepada bank; 4.
Harus memperhatikan syarat-syarat perkreditan yang sehat. Kredit yang diberikan oleh bank dapat mengandung risiko. Risiko ini
menyangkut pengembalian kredit tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu:
1. Bank tidak diperbolehkan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis
Perjanjian Kredit; 2.
Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat;
3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan
modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham; 4.
Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit Legal Lending Limit.
2
Dalam penyaluran kredit, bank memerlukan jaminan dari kreditor. Hal ini sangat urgen sebab jaminan tersebut akan diperlukan jika suatu waktu debitor
wanprestasi. Dalam hal terjadi kredit macet, barang yang dijadikan jaminan lazimnya akan dijual untuk menutupi kewajiban debitor, untuk itu dilakukan
perjanjian penjaminan. Perjanjian penjaminan ini merupakan perjanjian yang sifatnya accesoir dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit.
2
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya, 2000, hal. 393
Universitas Sumatera Utara
Benda yang lazim digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit adalah tanah. Tanah dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai barang jaminan
yang relatif aman, karena disamping tidak mudah hilang dan rusak, harga tanah dapat terus meningkat, terlebih lagi apabila lokasi tanah yang dijadikan agunan
berada di tengah perkotaan dan strategis. Semakin banyak kebutuhan dan permintaan atas tanah, semakin tinggi harga tanah.
3
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang selanjutnya dikenal dengan istilah UUHT, mulai berlaku efektif
Luas tanah tidak akan bertambah sedangkan kebutuhan akan tanah akan terus meningkat, seirama
dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Agraria telah mengatur tentang jaminan hak tanggungan atas tanah. Dalam Pasal 51 UUPA disebutkan: “Hak Tanggungan yang dapat
dibebankan yaitu pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, dalam Pasal 25,33, dan 39 diatur dengan Undang-undang.”
Dalam hal ini, secara kelembagaan Undang-undang Hak Tanggungan sudah ada, akan tetapi yang diatur hanya sebatas objek hak tanggungan. Namun
berdasarkan ketentuan peralihan yaitu Pasal 57 UUPA masih diberlakukan ketentuan Hipotek sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Buku II
KUHPerdata; dan ketentuan Credietverband diatur dalam staatblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan staatblad 1937-190.
3
John Salindeho, Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
pada tanggal 9 April 1996 dalam Lembaran Negara Indonesia Nomor 42 tahun 1996 serta penjelasannya dalam Lembaran Negara Nomor 3632, maka hak
tanggungan menjadi satu-satunya Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah. Dengan demikian ketentuan Credietverband dan Hipotek dalam Buku II KUHPerdata
sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi, hal ini
secara jelas diatur dalam Pasal 29 UUHT. Kehadiran UUHT memberikan kemudahan baik kepada kreditor maupun
debitor. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri yang melekat pada hak tanggungan yaitu:
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya Droit de Preferent hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat1 UUHT;
2. Selalu mengikuti objek hak tanggungan yang dijaminkan dalam tangan
siapapun objek itu berada Droit De Suite dijelaskan dalam Pasal 7 UUHT;
3. Memenuhi Asas Spesialitas dan Publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
4
4
Purwahid Patrick, Hukum Jaminan Edisi Revisi UUHT, Bandung: FH Undip, 2001, hal. 53
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaan eksekusi ini , jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 20 UUHT, mengenal ada tiga macam eksekusi, yaitu:
a. Parate Eksekusi Hak Tanggungan
Apabila debitor cidera janji wanprestasi, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak khusus yaitu hak preferent untuk menjual objek eksekusi
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan di muka umum. b. Eksekusi Title Eksekutorial Hak Tanggungan
Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yang maksudnya
mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
c. Penjualan Sukarela di Bawah Tangan
Atas kesepakatan antara pemberi kredit dengan penerima kredit sebagai pemegang hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilakukan di
bawah tangan. Hal ini dilakukan jika akan diperoleh harga yang lebih tinggi yang menguntungkan semua pihak.
Dalam kaitannya dengan parate eksekusi hak tanggungan, berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT terdapat perbedaan pendapat dikalangan praktisi
Universitas Sumatera Utara
hukum. Terhadap hal ini beberapa penafsiran dari ketentuan Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT, yaitu:
Pendapat pertama, pelelangan hak tanggungan pertama adalah berdasarkan janji-janji dalam memberikan kuasa untuk menjual dan tergolong
sukarela. Oleh karena itu masih memerlukan persetujuan dan harga limit dari si pemberi hak tanggungan. Pendapat ini sempat dianut oleh BUPLN sekarang
DJPLN sebagaimana tercermin dalam petunjuk penegasan dalam Surat Edaran Kepala BUPLN No. SEBI21PN1998 tanggal 13 Juli 1998 tentang petunjuk
pelaksanaan Pasal 6 UUHT. Surat edaran yang dimaksud tersebut telah dicabut dengan Surat Edaran Kepala BUPLN No.19PN2000 tanggal 23 Agustus 2000
dan selanjutnya pelaksanaan eksekusi hak tanggungan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan. Dengan adanya
surat edaran tersebut maka semua lelang berdasarkan hak tanggungan dalam pandang BUPLN adalah lelang eksekusi.
Pendapat Kedua, menganggap bahwa Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT adalah Parate Eksekusi dan karenanya tidak memerlukan persetujuan debitor dan tidak
memerlukan campur tangan pengadilan. Dengan demikian sesuai dengan pandangan yang kedua, Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT secara formal menurut hukum
positif kewenangan Parate Eksekusi Pertama sudah dapat dilakukan oleh bank baik swasta maupun pemerintah dengan mengajukan permintaan lelang Objek
Hak Tanggungan kepada Kantor Lelang Negara.
Universitas Sumatera Utara
Pendapat Ketiga, menganggap pelelangan umum hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT bukan merupakan parate eksekusi. Akan
tetapi merupakan eksekusi berdasarkan titel alas hak yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan, bedanya dalam Pasal 6 UUHT dikhususkan pada
pemegang hak tanggungan pertama. Pandangan ini berdasarkan argumentasi bahwa pelelangan hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT baru dapat
dilaksanakan jika sudah ada Akta Pembebanan Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan
yang mempunyai irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.” Karena itu berdasarkan Pasal 26 UUHT jo Pasal 224 HIR danatau Pasal 258 RBG menurut pandangan
yang ketiga ini pelelangan hak tanggungan yang pertama juga harus dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
5
Perbedaan penafsiran ini dapat dipahami karena peraturan pelaksanaan hak tanggungan telah ada, khususnya mengenai pelaksanaan parate eksekusi, sehingga
berdasarkan Pasal 26 UUHT, selama belum ada Peraturan Perundang-undangan yang mengaturnya dan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 14 UUHT,
peraturan mengenai eksekusi hipotek yang ada pada mulai berlakunya Undang- undang ini UUHT, terhadap eksekusi hak tanggungan dalam pelaksanaannya
tidak lagi mengacu pada ketentuan Hipotek dan Credietverband.
5
Bachtiar Sibarani, Parate Eksekusi dan Paksa Badan, Jurnal Hukum Bisnis, vol.15, September , 2001, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah