sedangkan dalam Eksekusi Pembayaran Uang tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan saja, tetapi dapat juga didasarkan pada bentuk akta
tertentu yang oleh Undang-Undang “disamakan” nilainya dengan putusan pengadilan.
3. Sumber Hubungan Hukum Yang Dipersengketakan
Dilihat dari sumber hubungan hukum yang disengketakan, pada umumnya Eksekusi Riil adalah upaya hukum yang mengikuti
persengketaan “hak milik” atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa menyewa atau perjanjian
melaksanakan suatu perbuatan. Adapun Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang, dasar hubungan
hukumnya sangat terbatas sekali. Semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan “perjanjian hutang-pihutang” dan ganti rugi berdasarkan
wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan ketentuan Pasal 225 HIR dengan nilai sejumlah uang apabila tergugat tidak dapat menjalankan
perbuatan yang dihukumkan dalam waktu tertentu.
41
B. Parate Eksekusi Hak Tanggungan
Dalam menjaring debitor yang nakal dan melakukan wanprestasi atau cidera janji, Bank kerap kali mengalami kesulitan untuk memperoleh pelunasan
kreditnya. Jika ditempuh dengan cara gugatan melalui pengadilan, maka memerlukan waktu dan biaya yang banyak, meskipun dalam proses beracara di
41
Ibid, hal. 25-27
Universitas Sumatera Utara
pengadilan menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Sesungguhnya sejarah perbankan Indonesia telah mewariskan senjata yang paling ampuh dan
cepat dalam memberantas kredit macet yakni melalui Parate Eksekusi atau mengeksekusi sendiri melelang agunan tanpa campur tangan pengadilan.
42
“Eksekusi yang dilaksanakan tanpa mempunyai title eksekutorial Grosse Akta Notaris atau Keputusan Hakim melalui parate eksekusi eksekusi
langsung yaitu pemegang Hak Tanggungan dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat melaksanakan haknya secara langsung
tanpa melalui keputusan hakim atau grosse akta notaris. Menurut Sri Soedewi Mascjhoen Sofyan, Parate Eksekusi adalah:
43
Pengertian parate eksekusi menurut Bachtiar Sibarani adalah “melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan atau hakim.”
44
Subekti juga berpendapat bahwa Parate Eksekusi adalah “menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya dalam arti tanpa
perantaraan hakim”. Hal
ini sejalan dengan pengertian parate eksekusi yang di definisikan oleh Rachmadi Usman yakni “ pelaksanaan eksekusi tanpa melalui pengadilan”.
45
Menurut kamus hukum, pengertian parate eksekusi adalah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang biasa
dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian.
46
42
Bachtiar Sibarani, Op Cit, hal. 22
43
Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, Op Cit, hal.32
44
Bachtiar Sibarani, Op Cit, hal. 5
45
R.Surbekti, Hukum Acara Perdata, Bandung:Bina Cipta, 1989, hal. 42 `
46
Sudarsono, Op Cit, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa definisi mengenai Parate Eksekusi di atas, dapat diketahui bahwa tidak hanya keputusan hakim yang dapat dieksekusi, tetapi terdapat
ketentuan yang memberikan hak kepada kreditor untuk melaksanakan sendiri eksekusi tanpa perantara pengadilan yang disebut dengan Parate Eksekusi. Hal ini
berarti jika debitor wanprestasi, kreditor dapat melaksanakan secara langsung penjualan barang milik Debitor yang dijadikan barang jaminan atau agunan
dengan perantara kantor pelayanan pihutang dan lelang negara, penjualan ini dapat dilakukan tanpa perantara pengadilan. Lebih lanjut dapat dilihat apa yang
dikemukakan oleh Sri Soedewi Mascjhoen Sofyan, Beliau berpendapat bahwa hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri menguntungkan dalam dua hal yaitu:
47
1. Tidak
membutuhkan Title
Eksekutorial dalam melaksanakan
haknyaeksekusi; 2.
Dapat melaksanakan Eksekusi sendiri secara langsung Mandiri tidak peduli adanya kepailitan dari Debitor di luar pengadilan karena dia
tergolong separatis.
Dalam ilmu hukum pemberian kewenangan mengenai Parate Eksekusi ini didasarkan atas doktrin yang antara lain menyatakan bahwa suatu perjanjian yang
pasti atau tidak telah mengandung sengketa seperti pihutang yang telah pasti fixed loan. Hal seperti ini sudah dapat dilaksanakan sendiri oleh pihak yang
berkepentingan tanpa campur tangan pengadilan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pengertian Parate Eksekusi ini menjadi kabur
sebagai akibat dari adanya putusan pengadilan yang menerapkan ketentuan eksekusi Grosse Akta dalam sengketa parate eksekusi. Hal ini mengakibatkan
adanya kerancuan antara parate eksekusi dengan eksekusi. Menurut doktrin Parate
47
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Op Cit, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
Eksekusi ini adalah penjualan yang berada di luar hukum acara dan tidak diperlukan adanya penyitaan, tidak melibatkan juru sita, kesemuanya diselesaikan
seperti orang yang menjual sendiri barangnya di depan umum. Pengaturan tentang parate eksekusi khususnya yang diberikan kepada
pemegang hipotek diatur didalam Pasal 1178 ayat 2 KUHPerdata, yang selengkapnya berbunyi :
“ Namun diperkenankanlah kepada si berpihutang hipotek pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotek, dengan tegas minta diperjanjikan
bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terhutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil
yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu ”
Dari Pasal tersebut diketahui bahwa Undang-undang memberikan kepada pemegang hipotek pertama untuk menjual langsung atas kekuasaan sendiri barang
objek hipotek tanpa melalui pengadilan. Agar hak tersebut melekat pada diri pemegang hipotek serta pelaksanannya sah menurut hukum, harus dicantumkan
klausul Eigenmachtige Verkoop the Right to Sale, yaitu klausul yang secara mutlak memberi kuasa kepada pemegang hipotek menjual objek hipotek. Jadi
berdasarkan kesepakatan, debitor memberi hak kepada kreditor untuk menjual sendiri objek hipotek tanpa melalui pengadilan, apabila debitor wanprestasi dalam
bentuk : 1.
Debitor tidak melunasi hutang pokok sebagaimana mestinya; 2.
Tidak membayar bunga yang terhutang.
Universitas Sumatera Utara
Disamping Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Parate Eksekusi juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
yang diatur pada Pasal 6 yang berbunyi : “apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan pihutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Dari Pasal 6 UUHT tersebut memberikan hak bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang hak tanggungan
tidak perlu memperoleh persetujuan saja dari pemberi hak tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat dimana objek hak
tanggungan berada, apabila akan melakukan eksekusi atas objek hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang debitor dalam hal debitor cidera janji atau
wanprestasi. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada
Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek hak tanggungan yang bersangkutan. Karena kewenangan pemegang hak tanggungan pertama itu
merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang kewenangan tersebut dimiliki demi hukum, maka kepala kantor lelang negara harus
menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.
48
Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dimiliki oleh
48
Sutan Remy Syahdeni,
Op Cit, hal.
46
Universitas Sumatera Utara
pemegang hak tanggungan, atau oleh pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan, sebagaimana yang
dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 6 yang berbunyi : “ Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak
tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan
oleh pemberi hak tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak
tanggungan
melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan dan selanjutnya
mengambil pelunasan pihutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan
tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan.”
Ketentuan ini memberikan kepastian bagi Perbankan apabila debitor cidera janji dengan memberikan kemungkinan dan kemudahan untuk pelaksanaan parate
eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg.
49
Berdasarkan ketentuan ini juga sekaligus terkandung karakter parate eksekusi dan menjual atas kekuasaan sendiri, namun penerapannya mengacu pada
ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. Dimana apabila tidak diperjanjikan kuasa menjual sendiri, penjualan lelang harus diminta kepada Ketua Pengadilan
Negeri dan permintaan tersebut harus berdasarkan alasan bahwa pihak debitor telah melakukan cidera janji atau wanprestasi. Akan tetapi karena Pasal 6 UUHT
tidak mengatur tentang cidera janji, maka dengan demikian untuk menentukan adanya cidera janji merujuk pada ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata atau sesuai
49
Bambang Setijoprodjo, Pengamanan Kredit Perbankan Yang Dijamin Oleh Hak Tanggungan,
Medan:
Lembaga Kajian Hukum Bisnis USU Medan, 1996 , hal. 63
Universitas Sumatera Utara
dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian atau bisa juga merujuk secara analog pada ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata, dimana yang dikategorikan cidera
janji yaitu apabila debitor tidak melunasi hutang pokok, atau tidak membayar bunga yang terhutang sebagaimana mestinya.
50
Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap hak tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses
gugat-menggugat proses ligitimasi apabila debitor telah melakukan cidera janji. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 14 ayat 1, 2, dan 3 yang
berbunyi: Sertifikat Hak Tanggungan, yang merupakan tanda bukti adanya hak
tanggungan yang diterbitkan oleh kantor pertanahan dan yang memuat irah-irah dengan kata-kata ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA ”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku
sebagai ptidak dapatti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
51
1 Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, kantor pertanahan
menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
2 Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat
irah-irah dengan kata-kata “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mempunyai kekuatan eksekutorialyang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai ptidak dapatti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.”
50
M. Yahya Harahap, Op Cit, hal. 197
51
Sutan Remy Syahdeni, Op Cit, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya penjualan objek hak tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum, hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penjualan itu dapat
dilakukan secara jujur fair. Dan dengan cara seperti ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk penjualan dari objek hak tanggungan
yang menjadi agunan, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 20 ayat 1 yaitu: Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Objek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b.
Title Eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2.
Objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan untuk pelunasan pihutang
pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lainnya”. Ketentuan ini merupakan perwujudan dari kemudahan yang disediakan
oleh UUHT bagi para kreditor sebagai pemegang hak tanggungan dalam hal melakukan eksekusi.
Berdasarkan dari ketentuan tersebut maka apabila debitor cidera janji, kreditor berhak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang telah ditentukan guna pelunasan pihutangnya yang bersumber dari hasil penjualan tersebut. Karena dengan cara
pelelangan umum ini diharapkan dapat memperoleh harga yang paling tinggi untuk objek hak tanggungan. Kemudian dari hasil penjualan objek hak
tanggungan tersebut, kreditor berhak mengambil pelunasan pihutangnya. Dalam hal hasil penjualan yang mana harga penjualan lebih besar dari pada pihutangnya
Universitas Sumatera Utara
tersebut, maka harga yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi hak tanggungan.
Mengenai eksekusi riil atas objek hak tanggungan yang dijual, baik dalam hal melalui Pengadilan berdasarkan Pasal 224 HIR ataupun melalui kekuasaan
sendiri berdasarkan Pasal 6 UUHT. Karena tidak diatur dalam UUHT, maka pelaksanaan eksekusi riilnya tunduk kepada ketentuan umum yang digariskan
dalam Pasal 200 ayat 11 HIR yaitu jika pemberi hak tanggungan tidak mau atau tidak dapat mengosongkanmeninggalkan objek hak tanggungan yang telah dijual
lelang kepada pembeli lelang, pemegang hak tanggungan semula atau pembeli lelang, dapat meminta kepada Ketua Pengadilan untuk mengeluarkan atau
menerbitkan surat penetapan yang berisi perintah kepada juru sita supaya melakukan eksekusi riil berupa pengosongan objek hak tanggungan tersebut, jika
diperlukan dengan bantuan polisi. Dengan demikian maka berdasarkan ketentuan Pasal 200 ayat 1 HIR,
eksekusi riil untuk mengosongkan objek hak tanggungan yang dijual melalui lelang cukup dalam bentuk permintaan penetapan kepada Ketua Pengadilan dan
tidak perlu dalam bentuk gugatan perdata. Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi apabila dimungkinkan penjualan objek hak tanggungan dilakukan dengan cara di bawah tangan sebagaimana yang dimaksud
pada Pasal 20 ayat 2 UUHT. Pelaksanaan penjualan sendiri objek hak
Universitas Sumatera Utara
tanggungan secara di bawah tangan hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
52
1. Apabila disepakati oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan;
2. Setelah lewat waktu 1 satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh
pemberi danatau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
3. Diumumkan sedikitnya dalam 2 dua surat kabar yang beredar di daerah
yang bersangkutan danatau media massa setempat yang jangkauannya meliputi tempat letak objek hak tanggungan yang bersangkutan;
4. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatannya.
Kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan merupakan unsur atau kunci dalam penjualan objek hak tanggungan yang dilaksanakan di
bawah tangan, yaitu jika dengan cara itu dilakukan, maka akan dapat diperoleh harga yang lebih tinggi yang dapat menguntungkan semua pihak. Dengan kata
lain untuk memberikan kewenangan atas penjualan di bawah tangan tersebut yaitu agar tidak ada pihak yang dirugikan. Oleh karena penjualan di bawah tangan dari
objek hak tanggungan hanya dapat dilaksanakan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan.
Maka Bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak tanggungan atau agunan kredit apabila debitor tidak menyetujuinya.
Kesepakatan untuk melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak
52
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal. 131
Universitas Sumatera Utara
tanggungan merupakan bentuk dari kebebasan yang diberikan kepada pemberi dan pemegang hak tanggungan dengan tujuan untuk mempercepat penjualan
objek hak tanggungan dan juga untuk mengurangi beban biaya eksekusi yang harus dipikul oleh debitor. Namun demikian kesepakatan untuk melakukan
penjualan di bawah tangan hanya boleh dibuat apabila telah terjadi cidera janji atau wanprestasi oleh debitor, sehingga dengan demikian kesepakatan tersebut
tidak boleh dibuat dan dituangkan dalam APHT terlebih dahulu.
C. Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Title Eksekutorial